Jumat, 25 April 2008

Jatuh ke Matahari (Djokolelono - 1976)

Kalau saya menuliskan review 'novel' (?) dari jaman taun kuda ini ke blog bertarikh dua ribu delapan, semata-mata alasannya selaras dengan komplain saya atas kemutakhirkan cara berpikir, cara menyusun plot, cara bercerita, atau cara bergaya bahasa, para penulis sci-fi terkini Indonesia, yang sebagian bukunya telah meramaikan blog saya ini.
In a way, untuk mengatakan pada rekan-rekan penulis: lihat nih, referensi dari tahun jadul, yang sebaiknya anda baca, dan anda absorb spiritnya. Karena menurut saya karya ini sudah mendului jamannya.


Setidaknya, mendului kemutakhiran penulis sci-fi kita sekarang ini, walau telah tiga puluh dua tahun berselang. Memang disayangkan bahwa om Djokolelono belum membagi ilmu penulisan Sci-Fi-nya kepada generasi kita-kita, kalau saja beliau tahu bahwa jumlah aspiran penulisan Sci-Fi tanah air saat ini sesungguhnya lebih menggembirakan dibanding jaman beliau. Dan saya yakin, kalo Om Djoko bikin workshop, pesertanya pasti berjibun!


OK. Jatuh ke Matahari adalah salah satu Novel Sci-Fi yang ditulis oleh Djokolelono. Masih ada judul-judul lain yang cukup terkenal pada jamannya, sehingga sosok Djokolelono sempat pula mendapatkan gelar 'master' Fiksi Ilmiah Indonesia. Seingat saya ada satu serial sci-fi terakhir yang sempat dikarangnya, terbitan Gramedia. Saat ini saya lupa judulnya, kalau tidak salah ada elemen-elemen Candi Borodubur-nya, serial itu terhenti pada buku ke dua, kalau tidak salah, dari trilogi yang direncanakan. Soalnya waktu itu saya udah beli sampai 2 jilid, dan jilid ketiganya tunggu punya tunggu nggak pernah nongol,... hehehe.


Buku Jatuh ke Matahari sendiri agak ketipisan untuk disebut sebagai Novel :), mungkin lebih tepat Cerpen atau Novelette (ini istilah jadul, kalo sekarang mungkin padanannya: Chiklit). Hanya 86 halaman.


Tapi amboi, betapa kisah yang cuma 86 halaman itu mampu menggrip pembaca dengan pesona luar angkasa, teknologi, serta suspense. Jatuh ke Matahari menceritakan kisah perjalanan Sweta Kamandalu, seorang kadet Akademi Antariksa asal Indonesia dalam missi PKL (Praktek Keantariksaan Langsung,... hehehe, itu istilah karangan gue 'ndiri!) ke Venus, yang saat itu, tahun 2048, sedang dalam proses kolonisasi agar bisa dihuni oleh manusia Bumi. Dalam perjalanan, terjadi drama sabotase yang dilakukan oleh kadet eksentrik Adrian Barry, yang mencoba melakukan eksperimen bahan bakar baru untuk pesawat antariksa, di pesawat yang mereka tumpangi. Plot sangat sederhana, bukan? Akibat sabotase itu, pesawat terlempar mengarah pada Matahari, dan Sweta harus mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyelamatkan diri serta awak pesawat yang lainnya.


Simpel, kan? Yg seru adalah eksekusinya. Pengarang banyak menjelaskan berbagai konsep Sci-Fi khususnya Antariksa, dan boleh dibilang sedikit berbau pelajaran astronomi. Kemudian ada pula penjelasan 'pseudo'-teoritis mengenai proses kolonisasi Venus, dengan menggunakan tembakan-tembakan algae (ganggang) sebagai cikal bakal kehidupan. Lalu yang menarik juga, adalah penggambaran kehidupan sosial internasional di Stasiun Antariksa Sagan di Venus, yang melibatkan antara lain orang Amerika, orang Indonesia, orang India, Rusia, Jepang, dll. Dan tentu saja, aksi Sweta menyelamatkan diri yang penuh dengan problem solving teknologi kreatif, kayak McGyver.


Satu hal yang aku puji, dan rasanya belum dapat disaingi oleh terbitan mutakhir kita di era sekarang (silakan tes dan argue statemen ini), adalah realisme setting angkasa luar yang berhasil dihantarkan oleh pengarang, termasuk sampai interaksi sosial kru Stasiun Luar Angkasa dari berbagai kebangsaan, dan penerapan prinsip-prinsip teknologi di dalam kisah yang dibangunnya. Inget lho, bro, buku ini dikarang tahun berapa, dan betapa informasi-informasi semacam ini masih langka pada waktu itu.


Contoh teknologi, misalnya, pengetahuan Pengarang bahwa bahan bakar cairan tidak akan dapat berfungsi di angkasa luar, karena ketiadaan gaya berat yang memungkinkan cairan itu mengalir. Konsep 'sesederhana' ini jamak terlewat dari logika penulis kita di era sekarang. Sesungguhnya, kita perlu mempelajari bagaimana mekanisme bahan bakar di pesawat angkasa luar. Kenapa sekarang ini pesawat Challenger menggunakan oksigen padat, bagaimana fungsi 'pompa' dalam pesawat antariksa,.... astaga, ternyata dalam banyak hal kita masih kurang belajar!


Tentu saja, sebagai karya jadul, dalam beberapa aspek masih terasa beberapa ketertinggalannya. Contoh paling jelas adalah ilustrasi yang terasa banget flash gordoniyah-nya. Secara analogis, yg namanya komputer teuteup aja digambar sebesar IBM AS 400, misalnya,...hehehe. Juga penyebutan istilah REAKTOR untuk ruang mesin, tetapi sistem mesinnya dikesankan menggunakan sistem jet (combustion engine). Tentunya berbeda jauh. Kalo maksudnya Reaktor adalah Reaktor fusi (Nuklir cs), maka mesin berpenggerak nuklir tentunya akan menggunakan sistem pendorong dan sistem bahan bakar yang berbeda dari sistem jet, karena reaksi Nuklir itulah yg menjadi sumber penghasil energi, bukan hasil pembakaran bahan bakar seperti sistem jet. Tapi bila kita introspeksi, gak sedikit karya mutakhir yang ternyata masih 'sama' kerancuan logikanya, kan,... hehehe,....


Kemudian penamaan ADRIBAR-1 (bahan bakar ciptaan Adrian Barry) ada sedikit miss, mungkin karena Pengarang kelupaan konsep penamaan di Barat, yang umumnya mendahulukan nama belakang. Jadi secara common sense, mustinya si Adrian pencipta bahan bakar itu akan menamai ciptaanya dengan BAR lebih dulu (BARADRIAN-01, atau BARAD-01, atau apa kek,....)


Tapi anyway, dengan segala kekurangannya pun, tetap aja buku tipis ini pantas jadi milestone pencapaian kepenulisan fiksi ilmiah di Indonesia.


So, melalui review ini, saya ingin mengajak rekan-rekan untuk mempelajari kembali buku-buku karya Djokolelono, di mana pun kita masih bisa mendapatkan. Kita punya seorang master yang kita nggak kenali sepak terjangnya. Saya harap, buku semacam Jatuh ke Matahari ini bisa memberi inspirasi sekaligus pemacu semangat bagi kita dalam mengerjakan karya-karya Fiksi Ilmiah dan Fantasi Indonesia!


Salam,


FA Purawan

Rabu, 23 April 2008

Para Penunggang Petir (Mohammad Sadra - 2008)

Orang sering bilang, “don’t judge the book by it’s cover”, jangan menilai suatu buku (semata-mata) dari melihat sampulnya. Nasihat bijak dan imbauan obyektivitas yang rasanya sulit berlaku di era Milenium ini. Kenapa? Soalnya sekarang setiap buku dijual dalam bungkus plastik tertutup yang ga bisa diintip isinya,… hehehe. Sehingga kita harus bergantung pada a) desain sampul, b) abstract/ ringkasan di sampul belakang, dan c) endorsement siapapun yang ada di sampul depan maupun belakang, untuk memutuskan apakah kita akan membeli buku tersebut ato nggak.

Dan dari pengalaman saya selama ini, judge by the cover do works, semata-mata karena sebuah logika filosofis praktis. Kalo bikin sampulnya serius, setidaknya dia mencerminkan sebuah usaha yang serius dari seluruh komponen penerbitan buku itu untuk menyajikan sebuah buku yang bermutu. Dan kalo prosesnya serius, rasanya hasilnya boleh dibilang 90% konsisten bagus.


Para Penunggang Petir, cetakan pertama di bulan Maret 2008, saya temukan di Gramedia PIM tanggal 19 April. Gramedia meletakkannya di rak cerita fantasi anak, bersanding dengan barisan Harry Potter (Termasuk spin-off Harry Potter: Happy Porter, serta satu buku lagi yang ingin membunuhnya :-) ), Kronikel Narnia, dan yg lagi ngetop dipajang: Spiderwick. Diterbitkan oleh C Publishing, dan dikategorikan sebagai: Novel Anak.

Bagaimana dengan judge by the cover-nya? Well, a) desain sampulnya, buat saya kurang terasa ‘serius’ berfantasi. Memang ada gambar monster, gambar semacam ksatria berkacamata, gambar perang di latar belakang, secara teknis dikerjakan dengan cukup baik, walaupun saya kurang begitu happy dengan tarikan garisnya, yang lebih cocok sebagai ilustrasi dalam alih-alih ilustrasi sampul. Dalam standar gue, ilustrasi sampul mestinya jauh lebih rapih dari ini. Soalnya ilustrasi sampul itulah yang harus fight dengan novel-novel lain di rak penjualan, man! Dan ada dua elemen ilustrasi yg menurut saya agak mengganggu. Yg pertama adalah kacamata si kesatria (walaupun sebenernya ini intergral dalam cerita, tapi keberadaan sebuah kaca-mata sebagai perwakilan dunia modern, membuat gambar itu jadi terasa kurang ‘fantasy’). Yang kedua adalah desain monster biru yang memiliki semacam tanduk runcing di pundaknya, mencuat ke atas. Entah maksudnya tanduk alami ataupun kostum (belakangan saya ngga menemukan referensi tanduk ini di cerita), tapi tanduk di pundak itu is a No No! Ngebayang deh gimana parahnya hidung atau kuping si monster bila kesangkut di tanduknya sendiri itu,… he he he.

Terus b) Abstrak/ ringkasan? Cukup menjanjikan adanya petualangan fantasi. Dari tata bahasanya, memang redaksinya sederhana dan to the point, konsisten dengan tujuannya sebagai novel anak.

Bicara Kronikel Narnia, simak juga c) endorsement yang terpampang di cover muka, "Mengingatkan kita pada kisah klasik C.S. Lewis King of Narnia, Imajinasi tiada berbatas" disampaikan oleh Siska Widyawati, wartawan JIJI Press. Who ever she was, she must be important. Sebab endorsement itu, sodara-sodara, ternyata bukan sekedar pujian, melainkan sekaligus hints atau foretelling mengenai bagaimana kiat memahami novel ini.

Seperti biasa, tentang pengarang dulu. Mohammad Sadra atau disebut dengan nick Sadra, adalah: seorang remaja biasa. Hidup dan bersekolah seperti remaja pada umumnya. Demikian introduksi dari penerbit. Mungkin maksudnya untuk menyiratkan bahwa yang "tidak biasa" dari remaja ini adalah imajinasinya,dan kemampuannya menulis novel.

Well, I have news for ya: Semua remaja emang punya imajinasi gila, (that's the beauty of being adolescent! He he he) dan semuanya bisa menuangkannya dalam bentuk novel, kalau mau. Tapi apakah orang lain bisa relate atau menikmatinya, itu soal lain. Walau tidak ada detail mengenai usia pengarang, dari pilihan usia para tokoh yang SMP, saya menduga sang pengarang pun berusia di sekitar itu pula.

Membaca novel ini di awal-awal halaman pertama, tiba-tiba saja pikiran saya beralih pada kenangan situasi industri musik tahun 90-an. Lho koq kenapa ujug-ujug nyangkut ke sana? Please bear with me a second more. Aku ceritain kenapa.

Tahun 90-an, sempat terjadi titik nadir industri musik lokal. Saat itu pihak label rekaman kesulitan mengorbitkan artis. Situasi bisnis sedemikian tidak menentu, pembajakan merajalela sehingga pencarian dan pengorbitan artis baru menjadi tindakan yang penuh resiko. Akhirnya, sebagian label rekaman menempuh strategi menjadi "Makelar Rekam". Ngapain tuh? Singkatnya gini: I akan orbitin you jadi artis, I produserin, I rekamin, I promosiin you punya band asal you tanam modal nopek tiauw, lah! You terima jadi.

Get the picture? Saat itu, asal kita punya modal, maka regardless kemampuan bermusik kita seancur apapun, kita bisa menerbitkan album dan dimarket sebagai artis, atau at least, a debutante. So, kalau kita masih inget, di era itu banyak banget kita nemuin 'artis-artis' gak jelas nerbitin album gak jelas. Sebagian mungkin bisa berhasil. Tapi lebih banyak yang 'flop. Sekarang gak tau dah pada kemana dan jadi apa, karir musiknya mungkin tewas sudah.

Paralelistik dengan novel ini? Well, satu hal yang jadi ironi dalam cerita makelar rekam di atas, adalah kematian karir artis wanna be itu, kukira, bukan semata-mata karena lack of talent, atau motivasi yang kurang menggebu-gebu. Saya percaya mereka memilikinya. Tapi satu faktor penting telah terabaikan dalam proses peng-artisan mereka itu, yaitu bahwa somebody in the line, tidak pernah melakukan drilling yang harus dilakukan agar kualitas output mereka bener-bener bisa diterima pasar. Akibatnya, saat barang bener-bener diuji di pasar yang tak mengenal belas kasihan, mereka kena seleksi alam. Nguap deh, tuh nopek tiauw.

Orang-orang yang ngerti industri, tahu standar kualitas, tidak berusaha menerapkan standar itu walaupun mereka ada di sana. Kalaupun ada usaha, tidak akan sekeras bila mereka mengorbitkan artis itu sendiri. Sebabnya jelas, itu uang bukan uang mereka, koq. Uang si artis, atau sponsor si artis. Dan seperti berlaku di mana-mana, Punya uang punya kuasa, gak mudah untuk terima masukan orang lain, apalagi yang sifatnya mengkritik, seberapa baik pun niat si pemberi saran.

Akhirnya, yang muncul adalah sebuah produk tanpa QC.

Itu yang aku takutkan, terjadi di novel Sadra. Memang ini spekulasiku pribadi aja sih. Sebuah spekulasi tanpa bukti, sehingga tidak perlu di-cam-kan 100%, sebab belum tentu juga Sadra atau ortunya, atau sponsornya, ngebayar penerbit untuk nerbitin naskahnya, sehingga cerita Makelar rekam di atas bisa jadi tak bisa apply di sini. Lagi pula, kondisi kurang efektifnya supervisi bisa terjadi karena buanyak hal,..... Tapi paralelisme itu aku rasakan dengan jelas pada hasil akhirnya, sehingga bagiku jadi terasa mengerikan. Tentu saja saya tak ingin bibit pengarang semacam Sadra harus gugur sebelum mencapai kematangannya, seperti yang dialami oleh korban makelar rekam di atas. Tapi, membaca karyanya, saya kembali merasakan bahwa somebody in the line tidak mengerjakan proses drilling itu dengan baik. Novel ini masih terasa begitu mentah, almost seperti draft perdana yang langsung naik cetak.

Atau, kalau tidak demikian, boleh jadi memang standar story-telling editor kita sudah turun, atau tertoleransi. Mungkin terkait tenggat yang pendek atau lainnya, sehingga proses pematangan naskah menjadi terkompromikan. Atau, seperti alasan yang pernah dikatakan oleh editornya Ataka: tidak ingin mengintervensi kreativitas pengarang. Well, mungkin aja, Natural, is the norm, here.

Hasilnya, adalah sebuah karya perdana yang membingungkan akibat penuturan yang terpatah-patah (sindrom penulisan yang belum terlatih cukup). Serta logika sebab-akibat yang kabur (sindrom dari cerita yang dibikin terburu-buru atau kurang didiskusikan bolak-balik). Bahkan penataan struktur sederhana seperti perpindahan adegan antara dua peristiwa berjauhan pun kurang dikelola dengan cermat, sehingga acap tampil hanya berupa pergantian paragraf secara tiba-tiba (sindrom naskah yang gak di proof read oleh editor secara seksama).

Novel ini memiliki susunan plot klasik untuk fantasi, yaitu petualangan tokoh utama (tiga remaja) dalam sebuah dunia fantasi Erasia, yang telah mereka masuki tanpa sengaja dan terlibat dalam intrik-intrik di dalamnya lengkap sampai peperangan. Bila dikatakan "mengingatkan pada Narnia" memang tepat demikianlah adanya.

Dan demikianlah pula saya --di halaman-halaman awal-- berusaha memahami jalan ceritanya dengan kening berkerut tujuh lipatan, berusaha make any sense atas deskripsi maupun dialog yang dibabar oleh pengarang. Kadang asyik dan smooth, kadang kebentur-bentur pertanyaan. Dan tiba-tiba saya sadari bahwa membaca novel ini koq menjadi kerjaan berat buat saya. Gimana buat anak-anak? Tapi jangan-jangan emang saya yang udah lemot, hehehe.

Beberapa bagian sepertinya membutuhkan pendeskripsian lebih detil, terutama mengenai alam fantasi Erasia. Harusnya ini merupakan pakem 'wajib' dalam penulisan fantasy, sebab pengarang menyajikan sebuah dunia baru ke hadapan pembaca. Tanpa itu, pembaca akan lost seperti yang saya rasakan. Pengarang memang sudah berusaha melakukannya. Tapi saya rasakan masih amat kurang, dan saya rasa diskusi dan pendalaman dengan editor harusnya berlangsung intens dalam aspek ini. Dan hasil diskusi yang intens itu akan menampakkan diri berupa kekayaan deskripsi universe Fantasy ciptaan pengarang. Kalau mau contoh, simak proses yang terjadi antara Christoper Paolini dengan Editornya saat mengarang Eragon & Eldest (BTW lanjutannya mana, tuh? Macet, ya?).

Dan kembali, seperti kritik saya untuk karakterisasi di novel Reinhart, anak-anak SMP di novel ini pun tidak bersikap sebagaimana anak SMP. Well,.. Sedikit lebih wajar, sih. Hanya saja begitu mereka bertempur, bayangan anak-anak SMPnya buyar, berganti bayangan jawara-jawara smackdown. Justru tokoh setengah baya seperti Topaz si kurcaci yang berusia 40 tahun, malah bersikap bak anak SMP, hehehe. Karakter-karakter lainnya memiliki basic premise yang sebenernya cukup menarik, tapi sama, tidak tergarap secara meyakinkan. Kelemahannya, kukira terutama pada gaya bicara yang dipakai karakter-karakter tersebut.

Proses 'transfer' dari dunia nyata ke dunia fantasi juga tidak dijelaskan. Tiga anak itu ngumpet di hutan, tahu-tahu mak jleg muncul di dunia fantasi Erasia. Mungkin pengarang menyimpan rahasia perpindahan ini untuk buku ke dua/ ketiga,.. Oh ya, buku ini pun menyimpan problem klasik yang tampaknya lagi jadi trend di kalangan penerbitan genre fiksi-fantasi lokal, yaitu ceritanya gak diselesaikan di buku ini, tapi malu-malu juga untuk declare bahwa ini baru buku satu. I call it: Bokis. Period.

Sejumlah kekurangan harus disisir untuk menemukan permata-permata yang sesungguhnya tersimpan dalam 'materi' novel ini. Dan ketika tersingkap, saya cukup kagum dan timbul juga apresiasi saya terhadap beberapa hal mendasar dari si Pengarang. Yang pertama adalah dalam susunan Plot, yang saya rasakan cukup teratur dan terencana secara baik, bahkan pengarang cukup mampu menyisipkan plot masa lalu yang menjadi dasar sekaligus penjalin peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa kini. Si pengarang cukup berani bereksperimen dengan mengambil POV ketiga tokoh utama dengan POV orang pertama (tokoh AKU) secara khusus di bab-bab tertentu. Lumayan untuk memberi variasi irama, walaupun tampak pengarang belum meng-eksplore teknik itu secara maksimal (masih panjang waktu untuk belajar, maju terus, kawan!). Kemudian ada keteraturan dan wawasan dalam menempatkan makhluk-makhluk mitologis dalam setting cerita, misalnya penerapan kaum Druid, Dwarf, Satyr, Centaurs, Sprites, Fairies, Elf, dan ada kreativitas dengan merubah sedikit penulisannya, misalnya Dwarf menjadi Dhuar'v. Itu memberikan konsistensi yang tak menyusahkan pembaca.

Sayang sekali konsistensi itu agak dirusak ketika pengarang menyelipkan satu ilmu sihir dengan jurus bahasa kilab-kilab (bahasa kebalik, populer di SMA gue dulu) dengan mantera ini: itnehreb tapec harad. Mampuss,... Enggak banget deh! Padahal sebelumnya udah cukup bagus membuat nama sihir seperti Eradikeyt (Eradicate) dan Oblitereyt (Obliterate). Coba hal itu dibikin konsisten, gak susah kan? Makanya, simply apa nggak ada yang ngingetin beliau, sih?

Nah, konsistensi. Ini juga yang membuat saya keheranan. Irama penulisan Pengarang terasa naik-turun, kadang bagus, kadang segitu ‘asal’nya sehingga saya sampai berpikir bahwa jangan-jangan yg menuliskannya bukan orang yang sama,… hehehe. Contoh lain lagi pemunculan istilah Druid (penyihir) atau Dhuar’v (kurcaci/ dwarf), secara aneh tidak muncul pada kesempatan pertama makhluk itu masuk panggung cerita, melainkan beberapa bab setelahnya. Menurut saya, itu aneh, seperti aftertought aja gitu (ditambahin belakangan). Salah satu bagian inkonsistensi lainnya, adalah penggunaan dialog a-la Jakarta untuk percakapan para warga Erasia. Jadi masih muncul kata-kata “Dong, Deh, Sih” dan sejenisnya dalam ucapan mereka. Terus terang ini membuat saya 'terlempar' dari suasana Fantasy.

Untuk metode penamaan, saya masih kurang puas walaupun tidak terlampau terganggu dengan sistem penamaan yang dibikin oleh pengarang. Nama tokoh utama Dani, Satra dan Kairi bagi saya tidak terlalu jelek, walau tidak juga istimewa. Pengarang sempat menyisipkan nama panjang anak-anak itu, sebagai bagian dari pendalaman karakterisasi para tokoh, termasuk sedikit uraian mengenai latar belakang Satra yang ortunya korban Tsunami, dll. Good thing. Ada indikasi kisah cinta antara tokoh yang digambarkan cukup halus dan sesuai untuk usia SMP dimana cinta monyet masih pegang peranan. Ada juga pembahasan keresahan mereka masuk dalam dunia asing itu, yang membuat tokoh tampak manusiawi dan problem mereka menjadi real. Tapi ya itu, konsep dasarnya ‘kena’, tapi pengolahannya masih kurang maksimal, membuat cerita menjadi tidak mengalir lancar.

Alkisah, setelah membaca dengan kening berkerut, napas terengah-engah, kepala memberat dan sound motivasi, “Ayo terus! Bertahanlah! Kamu BISA!! Kamu BISA!! LUAR BIASA!!!” menggelegar di latar belakang, tiba-tiba sebuah ilham terbetik di pikiran saya. Saya menutup buku itu dan kembali memandang ke cover depan, dan mata saya terbentur oleh tulisan dari Siska Widyawati, wartawan dari JIJI Press itu. Siska, dewi penyelamatku, peri sihirku, ternyata telah memberi tahu mantera yang diperlukan untuk membaca buku ini, right from the first time, tapi telah kuacuhkan akibat kesombonganku.

Ingatlah akan Narnia”, begitu message yang terkandung dalam endorsementnya.

Dan ketika saya mematuhi saran itu, tiba-tiba saja tirai itu seperti terbuka secara ajaib.

Ternyata, yang saya perlukan hanyalah menempelkan template dunia Narnia (atau imitasinya whatsoever), ke dalam dunia Erasia ciptaan Sadra. Suddenly, everyhting falls into place.

Suddenly otak saya tidak perlu dikasih tahu lagi kenapa di negeri itu ada kerajaan yang dipimpin oleh seekor Ratu Naga tanpa rakyat naga sebiji acan, dan rakyat dari ratu dimaksud ternyata gabungan dari berbagai makhluk mitologis secara campur sari tanpa sebab, plus adanya perang antar kerajaan yang nggak terlalu kuat ujung-pangkalnya. Okeh, di novel-novel lain, gue PASTI akan mempermasalahkan ini. Tapi di novel ini, my God, ternyata template Narnia-nya really-really works.

Seperti Narnia (at least yg gue liat dalam film, belum baca bukunya, serius!), tak ada pertanyaan kenapa warga Erasia itu sebegitu mudah mempercayai anak SMP memimpin pasukan sebagai jendral, dan seperti juga di Narnia, tak ada yang heran kenapa anak-anak itu bisa bermain pedang, main sihir, melawan ratusan lawan mematikan tanpa latihan yang cukup, dengan stamina Jean Claude Van Damme. For me, I’ll be surely dead in the first minutes of the battle!

Seperti Narnia, gue (dan para tokoh) nggak perlu bingung kenapa ada harimau bisa bicara. Kenapa bisa ada kelompok wolfpack dan harimau putih bisa menjadi pasukan. Gak usah bingung, semua ada di Narnia, man. Kita tinggal refer ke sana, dan cerita pun jalan. Pantas pengarang tidak ‘merasa’ perlu memberikan deskripsi dunia Erasia secara detail. Logis, kan? Kalau kita sudah pasang template yg sama, maka banyak hal tidak perlu lagi dijelaskan.

Seperti Narnia, gue (dan para tokoh) gak perlu panik karena berbulan-bulan terjebak di Erasia tanpa kejelasan status. Gak tahu tuh bagaimana nasib bu Guru Hastari di bab pertama karena kehilangan tiga anak didik dalam darmawisata di hutan. Gue rasa udah tamat digantung Depdikbud, hehehe. Abis gurunya aneh juga sih, udah kasih pengumuman jangan masuk hutan, eh malah ngajak anak-anak main petak umpet di,…. Hutan! Doh!
Perbedaan dengan Narnia? Yah, universe Narnia masih memiliki latar belakang premis, bahwa (sekalipun tak dinyatakan tersurat), bahwa dunia Narnia adalah sebuah dunia Fantasi yang berasal dari perwujudan dongeng-dongeng Fabel tradisional negeri-negeri kuno. Itu premis psikologi klasik Freud. Plot "Masuk ke Lemari" dapat dikatakan merupakan perlambang manusia memasuki 'tempat menyimpan' ingatan-ingatan masa lalu dimana dunia dongeng hidup di dalam benak manusia secara nyata. Latar Belakang dunia Narnia masih lebih kokoh. Latar belakang dunia Erasia agak goyah, sebab meminjam kulit-kulit visualisasi yang terinspirasi oleh Narnia.
Tapi granted, dengan menggunakan template Narnia itu, memang novel ini jadi jauh lebih enjoyable. Mungkin, itu saja lah yang terpenting. Apa gunanya bikin Novel kalo gak bisa dinikmati. Ya gak :) ?

Ah, akhirnya sampailah di penghujung review. Sebuah review yang tidak bijaksana, sebab menghakimi sebuah novel anak dengan kriteria orang dewasa. Tapi benarkah ini novel anak? Menurut saya, cukup gegabah menyatakan sebuah novel berlatar fantasi dengan tokoh remaja SMP sebagai sebuah novel anak. Entah siapa lagi di dalam ‘barisan’ wadyabala penerbit yang telah menisbahkan gelar ini di cover belakang. Apa dia tidak membaca bahwa anak-anak di dalam cerita ini telah melakukan adegan action yang cukup sadis seperti menusuk dan membunuh dengan pedang (ingat sadisme di novel Reinhart), menyihir sampai musuh terbelah dua,… hiiii kejem banget. Berdarah-darah, dan ada penggambaran mutilasi segala. Hmmm,.. jadi wondering, apakah memang standar materi SMP harus ada part-part yang sadistis? Hehehe,… jangan-jangan itulah buah didikan budaya Video Game :-)

So, kesimpulan dari buku ini, adalah raw material (plot, politik dasar, penokohan dasar) yang cukup bagus, tapi diredam oleh pengolahan yang gak maksimal. Atau kalau saya mempertanyakan keseriusan penggarapan, maka saya akan mempertanyakan peran-peran orang industri penerbitan yang seharusnya bisa mengarahkan pengarang agar tercipta karya tulis yang optimal.

Apakah saya expect too much? Entah, tapi mustinya sih enggak, considering effort tak main-main yang kelihatannya sudah dilancarkan penerbit. Untuk buku ini, tak kurang dari adanya posisi Perencana Sampul & Ilustrasi Isi (Catur), Penyunting (Imam R), Pemeriksa Aksara (Nunung Wiyati), dan Penata Aksara (Yan Webe). Yang terakhir itu aku sampai bingung, apa tugasnya, exactly? Menata huruf, atau menata lay-out halaman? Tentunya harapan saya tim yang pastinya terdiri dari insan penerbitan ini berkenan membimbing dan mengasah bakat Sadra secara aktif agar ia berkembang menjadi penulis Fantasy Indonesia masa depan.

Salam,


FA Purawan