Senin, 25 Oktober 2010

VALHARALD: Kesatria Talismandala dan Pertempuran di Vincha (Adi Toha - 2010)

By Luz B

Penerbit: DIVA Press
Editor: Nisrina Lubis
Tata Sampul: Gobaqsodor
Tata Isi: S. Lestari
Jumlah Halaman: 411


Valharald.

Kalau mendengar itu, apa yang pertama-tama terbayang di kepala anda? Nggak ada? Bingung? ngawang-ngawang? Iyah, sama. Oleh karena itu aku ngeriset dikit untuk menemukan apa itu Valharald dengan memakai metode guru Pendidikan Kewarganegaraan waktu mendefinisikan bahwa "demokrasi terdiri dari kata demos dan kratein."

Valharald terdiri dari kata "Valhalla" dan "Harald". Jika diterjemahkan dengan sangat, sangat, sangat bebas, kedua kata ini masing-masing berarti "Pub Surgawi" dan "Gembong Viking." Lengkapnya, silakan agar tautan-tautan yang kukasih diklik saja.
  
 
Dari definisi kedua kata dimaksud, kita bisa menyimpulkan bahwa Valharald = Pub Surgawi + Gembong Viking. Dan apa yang terjadi kalau Gembong Viking ketemu Pub? Mabuk. So, Valharald kiranya dapat diterjemahkan sebagai "Gembong Viking Mabuk."

SWT. Translation cacad alert. Don't try this at home, Kids. Kalau ada penerjemah sungguhan yang barangkali ngebaca tulisan ini, mohon agar terjemahanku diedit, thanks.

Tapi aku yakin bahwa Valharald memang portmanteau antara Valhalla dan Harald, yang kedengaran keren sebagai judul, dan membuatku langsung ngebayangin epik bersetting daerah Eropa Utara/bertema Viking macam The Sea of Trolls karya Nancy Farmer. Tapi ngelihat covernya kok... ga cucok? Mana lautnya, mana drakkar-nya, mana berserker-nya...? 

Yang ada malah ksatria medieval dan putri yang natap ke kota di background, lengkap dengan elang-elang beterbangan. Belum lagi di bawah putri itu ada dua orang. Satunya putri lain dan satunya lagi... OMG!! It's JERAGORN!!! 

Yes, that particular guy looks like an unholy mutant fusion of J*s*s and Aragorn. Click the cover picture to enlarge it, and you'll understand what I mean.

Ahem.

Jika aku menyingkirkan baik Jeragorn maupun harapanku akan sebuah novel viking, cover ini benernya nggak jelek. Aku suka kota dan elangnya. Nah, andai saja kutipan kecil (plus endorsemen geje) dan stempel merah itu nggak ada, aku yakin aku akan lebih suka. Kenapa? Bunyi kutipan yang dipilih itu, berikut stempelnya, menurutku nggak banget. Servis buat pembaca: 

Bunyi kutipan plus endorsemen:


"Jika saatnya telah tiba, kita akan berikan mereka pertempuran yang sesungguhnya. Dan, bila pun harus memberikan nyawa kepada mereka, jangan biarkan mereka menerimanya dengan sangat mudah. Dasar makhluk-makhluk keparat!"
  
"Sebuah dongeng yang akan mengajarkan anda apa arti keberanian sesungguhnya!" 


dan bunyi stempel; 


Sebuah NOVEL yang akan membuatmu GEMETAR! 


What the Bleep, Dude? 

Aku udah sering ngasih komentar soal endorsemen dan stempel di buku. Dan capek deh rasanya ngulang-ngulangin terus. Jadi aku akan kutip sahaja apa yang pernah dikatakan Om Soto(y) di repiu buku lain yang diterbitkan oleh penerbit yang sama: jangan overpromise kalau nantinya malah underdeliver.

Akan tetapi, sebagai pembelaan kepada Gobaqsodor, yang ngedesain cover, ijinkan aku berkontemplasi sedikit. Gunanya gambar di cover itu apa? Menarik pembeli. Itu sebabnya di cover-cover yang bagus, tulisan judul selalu dibuat sedemikian rupa hingga menjadi kesatuan dengan gambar. Menonjolkan kekerenan cover dengan menaruh sesedikit mungkin kata adalah tindakan yang jauh lebih efektif daripada menaruh berbagai tulisan. Pasalnya, in most humans, visual cues come first. Itu alasannya waktu kecil banyak dari kita lebih suka baca komik daripada baca novel. 

Apabila kita memakai penalaran terbalik, bisa jadi alasan penerbit menaruh banyak tulisan itu adalah karena dia nggak yakin visual cue-nya cukup menjual. Apabila aku diijinkan memakai parafrase yang lebih sadis, aku akan menuduh bahwa penerbit ini ga pede. 

Oke. Lanjut. 

Balik ke belakang. Ada sinopsis tentang VarchLand yang damai mendadak terancam oleh serangan bangsa Vomorian. Sialnya, semua senjata di negeri itu disembunyikan di dalam ruang rahasia yang juga disegel dengan sangat rahasia, dan kuncinya dibagi-bagi ke 12 orang. Orang yang memegang kunci itu disebut Ksatria Talismandala. 

Begitu baca ini aku langsung merumuskan Dalil Klise Fiksi Fantasi #6, a.k.a Postulat Lumpur Birokrasi Nusantara: Segala prosedur harus dibuat serumit mungkin, nggak peduli rakyat bakalan modar kalau prosedur itu tahu-tahunya macet. 
  
Ini menuntun kita pada pertanyaan: kenapa sih kunci itu nggak bisa kunci biasa aja? Kenapa harus dibikin prosedur agar kunci itu dibagi-bagi ke 12 orang? Pake diwarisin secara turun-temurun pulak! Apalagi kayaknya perpindahan kepemilikan kunci itu nggak dicatat sama Valharald maupun Raja Hallvard. Bukankah ini justru menyusahkan jika sewaktu-waktu kunci itu diperlukan?

Gosh. Administrasi birokrasi Indonesia sudah mengekspor praktek-praktek mereka ke VarchLand rupanya.

Maksudku gini. Lihat nggak di gedung-gedung yang desain ketahanan bencananya bener? Kapak, selang, dan APAR (Alat Pemadam Api Ringan) selalu tersedia dekat-dekat andai terjadi kebakaran. Sama halnya dengan kasus senjata yang disegel ini. Kalau ada bahaya mengancam, seharusnya kunci itu diletakkan dekat-dekat, supaya prajurit bisa langsung ambil senjata dan berantem.

Tindakan ngebagi kunci jadi 12 dan membiarkannya berpindah kepemilikan macam ini sama aja bikin gedung, tapi nitipin kapak, selang, dan APAR-nya sama dua belas mobil dinas pejabat yang sibuk mondar-mandir sana-sini. Pas kebakaran, yang terjadi adalah, "Dul, Dul, itu si Toing sopirnya Pak Fuad ke mana ya? APAR-nya di doi tuh. SMS-in doi dong biar datang. Pantat ane udah kebakar nih! GYAAAA~!"

You get the point. Premis ini nggak believable buatku. Tapi dalam rangka membela pengarang, kalau nggak gini, nggak akan ada cerita. 

Sekalipun premisnya aneh, aku bisa bisa menerima kalau ceritanya ternyata menarik. Jadi mari kita lihat, apakah ceritanya "sangat seru dan menarik" seperti klaim endorsemen di akhir sinopsis cover belakangnya? Hmmm... secara struktur, ya. Cerita ini punya struktur yang menarik karena tidak biasa. Dimana tidak biasanya? Alih-alih memakai alur maju, pengarang memutuskan untuk menceritakan riwayat para Ksatria Talismandala serta perjalanan mereka satu persatu, sampai akhirnya mereka semua ketemu di tempat di mana seharusnya mereka membuka kunci.

Sang pengarang memulai cerita pada satu bab, yang diberi judul sesuai dengan nama karakter yang diceritakan pada bab itu. Bab 1, misalnya. Judulnya "Valharald Cadwaladir," menceritakan tentang petualangan sang title character Valharald Cadwaladir, yang sibuk mencari dua belas Ksatria Talismandala.

Setelah dia, giliran Cuchulainn, seorang pemuda liar yang kisah hidupnya ternyata nggak ada nyambung-nyambungnya sama kisah namesake-nya, yaitu Cu Chulainn, (bacanya "ku-hu-lan," BTW,) pahlawan Keltik yang diceritakan di dalam kisah epik Tain Bo Cualinge ("toyn bo ku-linya").

Setelah mereka berdua, giliran Fionn d'Arthfael dan Urias d'Eoghain. Lalu Gwyneira dan Eira Olwydd... terus... sampai ksatria terakhir, Gavin Mor.

Sedikit catatan, meskipun banyak nama mencomot dari mitologi Keltik, cerita ini sama sekali nggak ada budaya Keltiknya. Cuma cerita tipikal hack and slash medieval tanpa spesifikasi geografi yang jelas. Buktinya, artikel "d'" dalam tata nama ini bukannya berasal dari budaya Keltik, tapi Perancis. Bahkan Keltiknya sendiri nggak jelas Keltik mana, seperti yang dibilang seorang teman. Nama Fionn adalah Keltik-Irlandia, sementara nama Cymrodor adalah Keltik-Welsh. Aku merasakan kecewa yang sama dengan ketika ngebaca nama Valharald dan mengharapkan ada sedikit urusan pervikingan. Tapi baiklah, dikesampingkan saja. Toh nggak ada yang salah dengan mencomot nama dari mitos. Lanjut.
 
Begitu riwayat Mr. Gav selesai, cerita sudah sampai bab 8 dari 10 bab yang ada di buku. Maka dalam dua bab sisanya diceritakanlah para karakter itu ketemu di Vincha, ikut perang gede, dan... kelar. Dengan potensi sekuel, tentunya. Para pemampir setia blog ini pasti sudah mafhum bahwa dalam slangku, "potensi sekuel" adalah bahasa halus untuk "penyakit ending gantung, gilak!" 
 
Again, Dude, What the Bleep? 
 
Struktur seperti ini menimbulkan banyak protes dari beberapa orang yang kukenal. Salah satunya adalah The Great Om Soto(y) himself, yang bilang bahwa buku ini cerita pengenalan karakternya kebanyakan. Gara-gara cerita pengenalan karakter ini, alur Valharald baru maju setelah 8/10 bab. Protes semacam ini bisa kumengerti. Tapi aku juga bisa mengerti alur pikiran pengarang untuk memperkenalkan karakternya dan memajukan cerita lewat riwayat para karakter.

Pemakaian alur seperti ini di dalam novel bukannya yang pertama kali. Beberapa orang di antara anda barangkali pernah membaca novel kolaborasi berjudul Puing, yang salah satu penulisnya adalah Bondan Winarno sang pemilik Kopitiam Oey itu. (The novel itself is interesting, although it wasn't that good. But that's not the point anyway.)

Yang ingin kubilang adalah bahwa mengungkap cerita suatu novel melalui riwayat karakter bukan haram. Bahkan, itu bisa berhasil. Dalam kasus Puing, novel ini berhasil memajukan alur melalui cerita para karakternya. Mengapa? Barangkali karena variasi. Setiap karakter diceritakan oleh pengarang yang berbeda dengan cara dan gaya yang berbeda. Namun, temanya sama, yaitu tentang kehidupan-setelah-mati. Baru setelah itu para karakter ini ketemu, maka dimainkanlah babak gong puncak yang mengakhiri kisah tersebut.

Karena dikerjakan oleh tangan yang berbeda ini, tiap kali aku mulai membaca bab baru yang bercerita tentang karakter baru, rasanya segar. Ada karakter yang pecatur, ada yang sutradara, ada yang dokter, dan perbedaan di antara mereka terasa nyata. Ibaratnya nonton festival film. Tontonannya banyak, kisahnya banyak, tokohnya ada banyak dengan karakter yang berbeda. Dan tiap tokoh jelas dimainkan oleh aktor-aktris yang berbeda pula.

Nah, Valharald kurang lebih menerapkan teknik cerita yang sama. Bedanya, semua karakter diceritakan dengan cara yang sama dan gaya yang sama. Variasi penokohannya pun nggak tinggi. Ada yang anak raja, ada yang anak desa, tapi perbedaan di antara mereka berdua tipis sekali. Bahkan kedua tokoh utama perempuannya pun, meski riwayatnya lain, karakternya sama. Mereka ini kayak dibikin dari satu template hero/heroine tipikal fiksi fantasi yang dilain-lainin dikit. Memang tiap orang punya riwayat yang berbeda, tapi perbedaan riwayat itu nggak berimplikasi signifikan ke penokohan mereka.

Sekali lagi memakai perumpamaan festival film, aku ngerasa kalau film yang ditampilkan itu memang berbeda, dengan cerita berbeda, tapi semua tokohnya dimainkan oleh artis yang sama, dengan penjiwaan yang sama, dan sutradara yang sama. Semua tokoh utama cowok yang masih muda dimainin sama Christian Bale. Semua tokoh utama cowok yang agak tua dimainin sama Sir Ian McKellen. Semua tokoh utama cewek dimainin sama Aishwarya Rai. Semua tokoh sampingan baik yang cowok dimainin sama Rupert Grint. Semua tokoh sampingan cewek yang baik dimainkan oleh Tera Patrick. Semua tokoh jahat manusia dimainkan oleh Aming, dan semua monster dimainkan oleh grafik komputer.

Kisah para tokoh ini memang beda. Tapi penokohannya gitu-gitu aja.

Tambah lagi pertempuran di Vincha yang seharusnya jadi gong itu pun berakhir antiklimaks plus ga tuntas. Aku merasa sia-sia setelah selesai baca. Kayak makan masakan Padang yang nggak pake cabe. Atau kayak ke Wakatobi tapi nggak jajal diving. Atau ibarat lagi jalan-jalan keliling Eropa, tau-tau dipanggil pulang sebelum ngunjungin dua negara. Atau makan jeruk tapi yang dilahap kulitnya doang. Aku berharap sebuah klimaks memberi titik, bukannya koma. Perkara apakah setelah titik itu ada kalimat lain, udah urusan buku kedua.

Untuk gaya bercerita sendiri, aku nggak akan banyak mengeluh. Jelas, dan emosinya ada. Tapi urusannya beda kalau digabung dengan masalah karakterisasi copy-paste yang kusebut sebelumnya. Mereka cukup hidup, tapi tidak membuatku cukup peduli.

Dialog mereka sendiri terkadang terjangkit virus K3jU dengan berbagai strainnya.

Strain pertama adalah Strain K4w4n yang sesekali menggangguku. Gejalanya adalah:
     
    
"Benar, Kawanku. Ayah Owain bernama Azkhara..."  

"Kita istirahat dahlulu disini, Kawan-kawan!" kata Fionn, "bagaimana?"  

"Hei... hei, tenang saja, Kawan! Ada apa ini?"
  
  
Hei, Kawan, apakah kau tidak tahu, Kawan, bahwa menyebut "Kawan" di akhir kalimat seperti ini itu menjengkelkan, kawan?

Strain kedua adalah Strain 3ms1. Gejalanya gini: 



"Sungguh aku menyesal telah membuatmu mengalami semua hal itu, Anakku. Baiklah, malam sudah larut..."
 
 

Kapan kalimat ini dikatakan? Ketika Eira baru saja menceritakan kisah sedihnya di depan ayah yang tidak ditemuinya bertahun-tahun. Rasanya keliru jika seorang ayah, setelah mendengar anaknya nyaris diperkosa, tiba-tiba mengalihkan pembicaraan dengan gaya MC trainee mau nutup pesta.

Strain berikutnya adalah strain p3tu4h. Contohnya:


"Hari ini kau adalah pemimpin Beelk. Aku menganggapmu sudah dewasa dalam memutuskan mana yang bisa kau percayai dan mana yang tidak. Kau sudah bisa melihat mana kebenaran dan mana kepalsuan dan bagaimana kau harus bersikap terhadap keduanya. Aku tidak ingin kau menyalahkan orang tuamu yang selama ini membesarkanmu. Aku juga tidak ingin kau menyalahkan kakekmu. Aku tidak ingin kau menyalahkan siapa-siapa. Semua lingkaran kejadian ini sudah terjadi. Kau tidak bisa menyangkal bahwa ini tidak terjadi." 


Trus ada lagi, 


"Tidak usah takut, Eira. Kau sekarang sudah aman. Tidak seorang pun yang akan mencelakaimu lagi. Aku akan mencoba menjadi cahaya bagimu, bukan cahaya yang sementara. Laki-laki tua yang kau ceritakan itu benar. Kita bersaudara, meskipun kita terlahir dari orang tua yang berbeda, kita memiliki tugas yang sama untuk membawa cahaya, menerangi kegelapan."


Blah blah blah blah blah. Oh my crap. 
 
Sebelum aku mulai membaca Valharald pun sebetulnya sudah ada yang bilang kalau buku ini penuh dengan kata-kata 'bijak' dan petuah-petuah. Dan penulisnya sendiri pun mengakui kalau dia memang mau menyelipkan petuah-petuah. Kebetulan sekali, aku benci petuah/kuliah. Aku benci kalau baca buku dan si penulis ngasih kuliah eksplisit tentang sesuatu yang dia tahu, atau tentang sikap, moral, dan pandangan hidup yang menurutnya ideal.

Sekali lagi nggak masalah kalau penulis mau menyampaikan apa yang dia percaya, tapi ya jangan khotbah/makalah mode on, dong? Integrasikanlah pandangan anda ke dalam tindak-tanduk tokoh atau plot cerita. The story and the characters should not preach the ideal; the story and the characters should live the ideal. Bukankah begitu?

Tapi di sisi lain, petuah-petuah Valharald nggak semenjengkelkan kuliah di banyak buku lain yang kubaca. (Termasuk di antara yang menyebalkan ini adalah penjelasan 2 halaman teori chaos di Jurassic Park oleh Ian Malcolm pas dia sekarat.) Tiap kali muncul panjangnya cuma satu-dua paragraf. Nggak berhalaman-halaman, dan nggak dikasih bermacam-macam footnote. Nggak separah yang kubayangkan, dan kadarnya masih bisa ketelen, meski nggak nikmat.

Bagian terakhir yang mau kukeluhkan dari Valharald ini adalah sikap yang diambil penulis dalam memperlakukan para tokohnya. Kurasa penulis disini terlalu maksa. Ini terutama tampak dari riwayat Eira dan Raja Heremon. Eira diculik dari kecil sampai besar dengan tujuan mau dijadikan budak. Di banyak kisah fantasi, kalau budaknya cewek, pasti larinya ke budak untuk tujuan yang dalam bahasa Pos Kota disebut urusan arus bawah.

Tapi katanya, karena campur tangan Kuasa Yang Lebih Tinggi, selama sekian belas tahun Eira "tetap mempertahankan kesuciannya." It is, of course, probable, but highly unbelievable. Apalagi untuk orang yang tiap hari lihat berita sedih para TKW. Jadinya kelihatan banget pengarang itu nggak tega, dan karena nggak tega itu, bikin alasannya maksa.

Tapi sekali lagi membela pengarang, memang ngangkat topik arus bawah di dalam sebuah karya itu nggak gampang. Tendensi pengarang--terutama pengarang Indonesia--biasanya dua. Entah dia ngeles seperti pengarang ini, atau sebaliknya, lebay, dalam arti dia memunculkan topik itu seseronok mungkin tanpa kegunaan ke plot keseluruhan, tanpa ngukur kadar yang cocok dengan ceritanya, dan tanpa eksekusi yang mumpuni.

Jalan manapun akan bikin aku nepok jidat. Tapi pengarang Valharald tidak mengulang-ulang soal urusan arus bawah ini di sepanjang cerita dan ngeles every time. Artinya, yang bersangkutan mengerti soal takaran, dan itu sesuatu yang kuhargai.

Berikutnya, cerita Raja Heremon. Dia pacaran sama cewek, dan selama pacaran itu dia nyamar jadi pengembara. Ketika cewek itu hamil, dia ngelamar, tapi ditolak sama ortu si cewek karena dia pengembara miskin. Jadilah dia ninggalin si cewek.

Pada poin ini dia bisa dia ngasih tahu kalau dia sebenernya raja, dan lamaran itu bakal langsung dioke-in. Tapi alasannya dia nggak ngasih tahu itu nggak banget deh. In His Majesty's Own Word, "...namun aku takut, jika gadis itu mengetahui siapa sebenarnya aku, dia malah akan menjauhiku. Dia mencintaiku yang seorang pengembara, bukan seorang raja." 

This guy is either overly melodramatic, or just plain retarded. 

Kalaupun waktu nyamar jadi pengembara lamaran dia diterima, pas kawin nanti ujung-ujungnya kan ketahuan juga kalau dia raja? Kalau gitu, apa bedanya dia ngaku sekarang dan ngaku nanti?

Plus, kalau dia ngaku, katanya ada kemungkinan tuh cewek pergi pas ketahuan. Tapi kalau dia nggak ngaku, tuh cewek sudah pasti nggak akan bersama dia. Antara ada kemungkinan dan sama sekali nggak ada kemungkinan, pilihannya jelas, 'kan?

Lagian, kalau perempuan bersedia mengandung anak seorang laki-laki--apalagi laki-laki pengembara miskin--tanpa paksaan atau imbalan, bukankah itu artinya dia benar-benar cinta sama laki-laki itu, terlepas dari profesi si laki-laki?

Dan kalau si laki-laki tiba-tiba bilang bahwa dia sebenernya lebih kaya daripada kelihatannya, cewek normal bukannya bakalan ninggalin. Dia malah akan bersyukur karena dia nggak perlu mencemaskan masa depan finansial anak yang akan ia lahirkan. Bukan aku bilang perempuan adalah makhluk matre, but normal women do think a lot about the future of their children. Dari mana logikanya seorang perempuan waras menjauhi laki-laki yang dia cintai, yang juga mencintai dia, dan bisa memberi dia jaminan finansial? Dari Hongkongnya Nenek Gue!

Oleh karena daripada itu, aku menyimpulkan kalau karakter Raja Heremon ini dipaksa bikin keputusan dudud oleh pengarang demi kelangsungan plot.

Akhirnya, the verdict. Definitely not enjoyable, but not exacty unreadable, either. Buat yang penasaran sama Valharald tapi kantong cekak, disarankan sangat untuk meminjam. Preferably dari orang yang terlanjur beli tapi ternyata nggak suka buku ini. Kalau setelah baca sampai tengah Bab 3 anda nggak merasa ada masalah--atau bahkan suka--silakan agar buku tersebut diembat saja. Dengan senang hati saia akan membantu memanjatkan doa kepada Kuasa Agung manapun yang mengurusi keperawanan Eira, agar tindakan anda dicatat sebagai amal karena telah membuat pengarang, pembeli, dan diri anda sendiri berbahagia. Amin.




Luz Balthasaar

47 komentar:

Unknown mengatakan...

masih diperbaiki kah?
kok berasa loncat2 reviewnya?

Unknown mengatakan...

lho, sekarang kumplit?
*garuk2 perut*

Unknown mengatakan...

hmm...sadis...whahahaha...

FA Purawan mengatakan...

Virus K4w4n!

Wakakakakak! Bener tuh,....

Ada setting yg menurutku agak aneh, rumah pohon yang dibuat di atas SEPASANG pohon. Konstruksinya harus lentur banget tuh rumah,...:)

Luz Balthasaar mengatakan...

@Om Pur: Selamat malam, Sobat. Akan bicara tentang apa kita malam ini, Sobat?

Gyaaaaaa~! *Headdesk*

Ini varian dari strain k4w4n, yaitu strain s0b4t. Lebih nyebelin lagi kayaknya ya?

Maksud Sobat, rumahnya Cuchulainn? Bisa aja sih kalau pohonnya dekat, dan rancangannya memungkinkan, Sobat.

*Glekh*

FA Purawan mengatakan...

Gak mungkin, sobat. Pohon kalau kena angin akan goyang ke arah yang tak selalu bisa diseragamkan, sobat :)

Jadi inget fenomena ice-box (pembuat es dalam kulkas), kan kalau mau ngelepasin es-nya, kita mesti men-twist kotak plastik itu sedemikian rupa.

Kalau rumah itu mau bertahan, dia harus dibuat dar bahan yang lentur. KULIT!! Yea! A Leather Hut!

Keren.... wkwkwkwk

Luz Balthasaar mengatakan...

@Sobat: Oh, maksudnya kalau pohonnya lentur gitu ya, Sobat?

Iya juga sih. Tapi kalau pohonnya kokoh, atau memang tempatnya nggak berangin, ya bisalah, Sobat.

Tapi ide leather hut itu kok asik dibayangkan ya, Sobat? Wkwkwkwk...

Gah. This sobat thing is killing me.

Danny mengatakan...

Tumben review yang satu ini banyak pembelaannya. XD

Ceritanya pendek juga ya? Isinya cuman 10 bab. Ato 10 bab itu panjang2 banget isinya? Hmm... bisa ngganggu alur mbaca ga ya?

Tapi teknik "karakter diceritain satu2 sampe ngumpul di akhir" itu kayanya menarik. Boleh ni kayanya novel ni dibaca.

btw, ada yang mau minjemin ga? :D

Fenny Wong mengatakan...

ahahaha, enjoyable as always, tapi somehow merasa mbak Luz lebih pemaaf daripada biasanya. karena abis dari hamamatsu kah? hehehehehhehe.

Juno Kaha mengatakan...

@Danny: Betul, betul, betul. Memang cuma 10 bab. *memberikan testimoni untuk di-cross-examination*

@Wong: Gw jg merasa begitu. Tapi review ini bukannya dibuatnya sblm ke Hamamatsu yah? Hrsnya bukan pengaruh Hamamatsu-nya dong.

*psst, yg belakangan ini jd lbh kyk Luz yg dulu kok malah empunya blog ini yakh? Or it's just me?*

Hehe.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Danny, Wong, Juun, kali aja memang lagi baik karena baru pulang dari Hamamatsu dan ketemu banyak CoGan.

Tapi Om Nenangs aja bilang itu masih sadis. Entah karena mabuk sake/unagi atau apa, aku juga ngerasa pas ngetik naskah asli repiu ini kok sadiz abis. Saking sadiznya jadi ga lucu lagi. Makanya kukurangi.

Dan tumben Om Pur ngelolosin sesuatu macam si Jeragorn...

Anonim mengatakan...

PERTAMAX komen di fikfanindo!

Ini Vomorian ada hubungannya ngga ama Fomorian yang dari dongeng Irlandia? Kalo ngga salah sejenis Orc, cuma dia di laut

Oh urusan arus bawah ya? Seingetku Aspirasi Urusan Bawah...he he

Masalah strain itu, klo "anak muda" ngeganggu ga ya?
Mis. "Jangan kau sentuh pedang itu, anak muda?"

Zenas

Juno Kaha mengatakan...

Unagi?! MUGGGAAAA!!! *cinta mati ama unagi, jd gila cuma krn denger di sana Signora makan unagi*

@Zenas: Oh, memang diceritainnya si Vomorian itu bentuknya kyk orc sih ...

Hehe.

Anonim mengatakan...

Hey, kawan! Curhat, eh salah, review yang menarik, kawan! Saya jadi ketawa-ketiwi sendiri, kawan! :D

*digampar bolak-balik*

:-P

Adrian

Anonim mengatakan...

Entertaining as always.

Heinz

Dewi Putri Kirana mengatakan...

Gaya penceritaan tiap tokohnya mungkin lebih bagus kalo pake alur maju ya, jadi karakter A ngelakuin suatu hal, karakter B hal lain, tapi nantinya apa yang mereka lakuin itu terkait satu sama lain di klimaksnya. Contohnya kayak jalinan cerita di film Crash gitu.

Menurutku, kalo kayak gitu bisa lebih menarik minat pembaca untuk nerusin baca, karena penasaran kapan si A ketemu si D, atau konflik apa yang muncul kalo si B ketemu si E, and so on.

Aku juga nanya hal yang sama ama Danny, itu satu bab panjangnya berapa halaman ya? Kok satu buku cuma 10 bab?

Danny mengatakan...

[quote]@Danny: Betul, betul, betul. Memang cuma 10 bab. *memberikan testimoni untuk di-cross-examination*[/quote]

*Press*

Beneran cuman 10 bab? Panjang tiap babnya jadi berapa halamanan tuh? Sama ga tiap babnya? Kalo emang hasilnya jadi panjang2, sempet kerasa capek ga bacanya?

*sengaja kasih berondongan pertanyaan*

Fenny Wong mengatakan...

@juu:
hahaha, iyaaa bener bangettttt, *lirik2 om pur*

Juno Kaha mengatakan...

@Danny: Hmm, seinget gw sih panjang tiap bab gak selalu sama, krn ada bab yg nyeritain ttg 2 org Kesatria Talismandala sedangkan di bab lain cuma satu orang. Bosen? Hmm, kalo krn panjangnya mah gak bosen, lbh bisa dibilang bosen krn datarnya karakteristik tiap karakter.

Hehe.

FA Purawan mengatakan...

@Luz, Jeragorn, sepertinya mmg ga penting mengingat standar 'kolase' foto utk cover yg sering dipakai penerbit saat ini. Paling2 sekedar penasaran aja itu boleh comot dari film apa.

Yg problem malah baju zirah templar nya tuh, sepertinya lain jaman.

One note dr gw, penamaan tempat, banyak pakai huruf V ya? It's like the V land universe :) kebayang the people must have thick lips, hehehe

Luz Balthasaar mengatakan...

@Om: apa kali Jeragorn itu dari Kingdom of Heaven? Langsung mencurigai itu setelah tiba-tiba ngomong soal Templar.

Tapi apa itu memang baju zirah Templar? Nonton Kingdom of Heaven yg katanya abad 12, kayaknya Templar make chain mail. Kalau armor full-plate gitu bukannya baru ada setelah jaman mereka?

Tambah pusing @_@.

FA Purawan mengatakan...

Hehehe, ngapain dipusingin. Sejak awal pembuat cover kan mmg ga punya maksud utk berakurasi. :)

Gue pikir dengan komposisi grafis yg seperti itu, udah cukup bagus dan purna, tugas penata cover. Especially gue suka font Valhalard-nya.

BTW Biru Indigo udah jadi tuh. Gue posting di november aja ah, nanggung kan tinggal bbrp hari :)

Juno Kaha mengatakan...

Tinggal besok tuh udah ganti bulan (Happy Halloween, semuanya~).

@Mas Pur: Jgn ganti judul novel org, ui. Yg bener Valharald, bukan Valhalard. Siapa itu Valhalard ... jgn2 kembarannya Valharald.

@Signora Luz: Pas baca kerasa ada yg aneh gak dgn si Valharald di chapter Gavin? (iseng kroscek)

Hehe.

FA Purawan mengatakan...

Sorry Juu, typo (kekekekek). *kabur dari Kang Adi Toha*

Luz Balthasaar mengatakan...

@Juu: maksudnya aneh di tokoh Gavinnya apa di tokoh Valharaldnya?

Kalau yang kayak kasus maling buah di repiu kamu, memang bener. Di repiu ini pun aku bilang para tokoh itu kadang tindakannya dipaksa sama pengarang.

Karena itulah Valharald yang 'bijak' itu dipaksa bertingkah kayak maling di bagian si Gavin for no apparent reason selain untuk majuin plot.

Tapi aku lebih suka ngambil contoh 'maksa' dari kasus raja Heremon dan Eira. Habis itu yang paling narik perhatianku sih.

FA Purawan mengatakan...

Yang Marketplace Brawl itu ya? Yah, pertanyaan gue: itu pasar kaget apa pasar rutin? Gavin si raksasa customer tetap atau customer dadakan?
Wajarnya pedagang udah kenal siapa Gavin, apalagi para centeng pasar. Kalo pasarnya pasar malam yg baru sekali buka di tempat itu, lain cerita.

Perkara Valharald nyamar jadi pencuri buah demi menguji nyali, kekuatan, sekaligus belas kasihan si Gavin, gue sih bisa nerima, walau tak yakin apakah bagi pemegang kunci perlu berlaku seleksi semacam itu.

Juno Kaha mengatakan...

@Mas Pur: Eh? Memangnya Valharald pura2 yah di bagian sana? Gw sama sekali gak terpikir kalo dia pura2, apalagi mengingat pas ke Cuchulainn dia lsg percaya2 aja kok. Padahal daripada Gavin, Cuchulainn kyknya lbh patut dipertanyakan kelayakannya lha wong hidupnya ansos aka anti-sosial begitu (di hutan sendiri, jomblo pulak =)))

@Signora Luz: Justru yg bagian raja gw malah gak ngeh. Kyknya ini efek buruk kebanyakan konsumsi drama reality, yg kyk gitu jd gw tolerir.

Hehe.

FA Purawan mengatakan...

Juu, tafsiran gue sih pura-pura, soalnya pas ninggalin Gavin kan dia tampak tak lagi seperti pengemis tua-renta gitu, kan.

Juno Kaha mengatakan...

Hmm, pas udah ditolong malah seinget gw dia bersikap agak kasar seolah2 jaim ... CMIIW. Tapi kalo bener ingatan gw, kalo dia bersikap kyk gitu malah gak gitu mengindikasikan bahwa dia nyamar, apalagi dia baru ngomong soal Kesatria Talismandala pas ngeliat kalungnya Gavin, gak lsg setelah dia ditolong.

Again, CMIIW. Bukunya udah gak di tangan gw sih (pinjaman).

Hehe.

Luz Balthasaar mengatakan...

Aku bisa sepakat dengan Om Pur kalau dia cuma nguji, meski aku ngerasa aneh juga waktu dia baru kelihtan on setelah lihat kalung Om Gav.

Sayangnya kalaupun kuasumsikan dia nguji, aku nggak lihat apa gunanya selain untuk majuin plot dengan cara yang lebih berwarna dari sekedar datang dan ngerekrut.

Sama dengan yang kayak Juu bilang, apa gunanya Gav diuji, toh Cuchulainn ga diuji?

FA Purawan mengatakan...

Yup, keperluan 'Ujian' mmg agak ngga konsisten dengan konsep kesatria pemegang kunci.

Makanya, seperti Luz persoalkan pertama kali, what the bleep dengan ulah memecah kunci jadi selusin dan menyebarkannya sembari menutup mata (maksudnya, filosofi mecahnya apa, supaya sulit dilacak dan dikumpulkan, bukan?) Makanya siapa pewaris kunci juga harus dicari-cari, kan?

Lha dalam proses ini, kenapa mengetahui seperti apa pemegang kuncinya menjadi penting alih-alih menemukan kunci itu sendiri? Untuk membuka ruang senjata, perlu orangnya atau perlu kuncinya?

Konsep kesatria Talismandala ini berhubungan dengan ability untuk berperangnya (means ilmu turunan 500 tahun), atau sekedar pewaris kunci-kuncinya?

Menurut gue sih, emang rada mixed di situ. Mungkin pinjam istilah Luz, pengarang agak maksain implementasinya.

Juno Kaha mengatakan...

Kalo soal kunci dipecah sih gw masih menolerir alasan keamanan. Kalo kuncinya satu utuh, ntar begitu diambil/dicuri org kan gawat tuh, apalagi kalo pencuri/pengambilnya org tidak bertanggung jawab.

Tapi yg gw rasa flaw tu kuncinya dibagi2 seolah2 secara random oleh satu org "mantan" kesatria. Ngebagi2 secara random, IMHO, lbh susah buat tahu org yg dikasih kunci itu bisa dipercaya ato nggak. Kalo dikasih ke org2 tertentu ato diwariskan turun temurun oleh keluarga para kesatria terdahulu, mnrt gw itu lbh masuk akal. Plus, malah bisa ada konflik tambahan misalnya salah satu keturunan kesatria tu ternyata sifatnya "gak baik" (entah dia gak lg peduli ama pentingnya kunci tersebut, terlalu ceroboh hingga kuncinya hilang, dst).

Kyknya flaw ini terjadi krn pengaruh cerita game RPG ato semacamnya. :-?

Hehe.

FA Purawan mengatakan...

@Juu, sebenernya G-5.2 juga punya plot "Pecah Kunci", tapi diback-up oleh alasan-alasan dan latar belakang pendukung yang cukup ketat.

Kunci itu berfungsi sebagai penyegel untuk sesuatu yang SAMASEKALI tidak dapat dibuka kembali karena keberbahayaannya, walau di sisi lain akan bisa menjadi senjata yang menggiurkan.

Kunci dipecah jadi 17 dengan tujuan agar probabilitas segel dibuka menjadi jauh mengecil.

Kemudian kunci didistribusikan pada pihak-pihak yang saat itu memiliki kekuasaan untuk mempertahankan, tak hanya dari pihak lain, tapi juga antara sesama pihak pemegang kunci (Balance of power).

Konflik terjadi saat ada yang berusaha mengumpulkan kunci kembali untuk menyalahgunakannya, versus pihak-pihak yang berusaha menjaganya.

Dalam hal ini, flaw yang ada di Valharald kupikir karena premisnya ngga sekuat contoh di atas. Untuk apa kunci dipecah 12? Ngga cukup kuat alasan, karena yang disimpan adalah senjata pertahanan negara.

Sehingga yang dikunci adalah sesuatu yang sewaktu-waktu -by nature- akan diperlukan LAGI, gak seperti case G-5.2.

Dan karakteristik pemegang kunci juga nggak kelihatan fungsi 'guardian'nya atau apa. Sebenernya akan lebih make-sense kalau misalnya 12 kunci dibagi di antara 12 kastil yang saat itu berkuasa, etc. Dan oleh karenanya pun, mencari pewaris terakhir tak akan sedemikian sulit, kan? Tinggal tiup peluit, eh baron-baron, lord-lord, ayo kumpuuul mo ada perang neh!

Terus soal mixed-up antara 12 kunci dengan 12 ksatria pembawa kunci. Untuk kunci-nya, gue ngeiat hanya fungsi ritual. Kumpulin 12 kunci dalam satu-kesatuan, ucapkan mantera-jampi-nyanyian-pidato whatever, and... open sesame! (biasanya kan gitu?)

Untuk ksatrianya, jelas. Jadi jendral perang langsung pimpin pasukan. And for that kagak butuh kunci kan sebenernya?

Jadi pas dua fungsi itu disatuin, kita jadi bingung untuk 'menciptakan' alasan masuk-akal-nya.

Juno Kaha mengatakan...

Yg di G-5.2 apa yg disegel itu gak bisa sekalian diancurin dari awal2 sehingga gak perlu disegel ...?

Kembali ke Valharald, kalo mnrt gw sih, senjata yg disimpan dan disegel dgn 12 kunci itu potensial jd berbahaya apabila penggunaannya disalahgunakan. Coba liat, Draach itu kan salah satu senjata. Liat betapa imba-nya dia di medan pertempuran. Dgn show-off kemampuan si Draach, gw merasa senjata2 lain pasti gak kalah berbahayanya dan penggunaannya gak wajib org khusus makanya supaya tidak disalahgunakan jadinya disegel dan kuncinya dipecah, supaya kalo emang ada yg berniat menggunakan senjata rahasia utk kepentingan jahat hrs repot dulu ngumpulin kuncinya.

Menurut gw sih begitu. :D :D Alasan mecah kunci jadi ada kan? Yg alasannya sangat blur justru, mnrt gw, sistem pewarisan kunci tersebut.

N.B.: Gw sepenuh hati menyatakan diri benci ama karakter yg ngebagi2 kunci di novel ini ... :| :| Kesan sok misteriusnya agak dipaksakan ...

Hehe.

Luz Balthasaar mengatakan...

Pendapatku mengenai masalah segel dan pecah kunci:

1. Kalau benda itu memang niatnya nggak akan digunakan kembali, ngapain disegel? Musnahin aja sekalian!

2. Kalau benda pada butir 1 nggak bisa dimusnahin, segel, terus kuncinya musnahin!

3. Kalau niatnya untuk suatu saat dipakai kembali, segel. Sampai disini pecah kunci opsional. Tapi kalau dia pecah kunci, seharusnya ada cara untuk melacak kunci itu biar nggak kelimpungan kalau mau dipakai lagi.

Kalau yang di G-5-2 niatnya samasekali untk ga bisa dipakai lagi, harusnya 1 atau 2. Nggak usah pecah kunci.

Kecuali, kunci itu dimusnahin dengan cara dipecahin sampe berkeping-keping kecil, dan disebar ke seluruh penjuru Dunia. Si baik kira itu sudah akhir masalah, tapi ternyata si pihak jahat punya cara untuk merekonstruksi kunci itu.

Juno Kaha mengatakan...

*uhuk*

Sbnrnya itu yg mau gw sampaikan ke Mas Pur, poin 1 dan 2 dari komen Signora Luz. Tp krn rasanya kok gw gak tahu apa2 semena2 bgt kalo lsg bilang soal hancurin aja, gw nanya soal bisa nggaknya dihancurin. Kdg2 ada benda yg gak bisa dihancurin kan (tapi Signora Luz udah membeberkan solusi kalo gak bisa dihancurkan itu kok)

Kalo di Valharald, statusnya emg senjata tsb dipersiapkan utk keadaan gawat di masa yg akan datang, IMHO, makanya gak dihancurin malah disimpan baik2. Logikanya bener sampe sini.

Hehe.

FA Purawan mengatakan...

Jadi nyelipin pembahasan G-5.2 di sini... Wkwkwkwk

Menjawab Luz:
1. Ga bisa dimusnahin (surprise! Not. Heheheh). You know, eternal demon etcetera, bla-bla-blah.

2. Segelnya dimusnahin? Yah, sama aja ngelepas yang tersegel kembali ke luar dongs?

3. Pecah kunci juga berfungsi sebagai political insurance. Dengan memegang salah satu kunci, satu pihak bisa nyaman hati bahwa pihak lain gak 'secretly' re-opening the seal.

Jumlah kunci yang banyak juga untuk political insurance bahwa akan butuh usaha banyak dan sulit untuk merebutnya satu per satu dr tangan msg-msg 'guardian' itu.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Om:

Segel, lalu musnahkan kunci yang diperlukan untuk buka segel itu. Sama kayak kunci pintu, terus hancurkan anak kuncinya. Voila. Pintu/Segel ga bisa kebuka.

Bukannya segel, terus rusak segelnya. It's obviously pointless.

Soal political insurance, katanya ini baik mau mencegah kunci terkumpul vs jahat mau ngumpulin. Kalau premisnya plain gini, political insurance dari sisi mana?

Valharald mengatakan...

sejujurnya, saya ketawa ketiwi sendiri membaca repiu ini, sambil mulut bergantian mengucap huruf-huruf vokal.. a i u e o..

secara pribadi, saya berterima kasih kepada Luz dan para komentator, terutama yang sudah berkenan membacanya, yang belum membaca, silahkan membaca, dan menemukan sendiri pandangannya terhadap Valharald, karena beda mata, tentu saja beda kepala..

mas Pur, jangan khawatir, mas. saya juga tidak bisa melafalkan Valharald dengan benar, kedengarannya selalu saja Valhalald..

*Duh, kenapa malah menciptakan tokoh yang pengarangnya sendiri susah melafalkannya ya...

terima kasih buat semuanya..

FA Purawan mengatakan...

@mbah Valharald, selamat datang and u welcome. Mangga diliat liat siapa tahu ada yg mau di refute, mumpung reviewernya sering keliaran koq :)

@Luz, sebenernya daku sangat tergoda utk ngebahas 17 kunci di G-5.2 ini, tapi let's keep it until draft novelnya udah berada di tangan lo kelak! Heheheh

Jojo mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
FA Purawan mengatakan...

@Elmion di atas,

Maaf, posting kamu terpaksa saya hapus, sebab kepanjangan ke kanan tanpa putus, mengakibatkan layout lainnya jadi berantakan.

Trims untuk pengertiannya, next time, please bantu kita mempercantik tampilan blog ini dengan memerhatikan estetika postingan.

Salam kompak,

FAPur

Langit buku mengatakan...

Bagus resensinya mas...
Alurnya menggoda untuk terus dan terus membuka bukunya...
keep on writing

obat herbal glaukoma kronis mengatakan...

ceritanya menarik
obat herbal kanker hati

obat herbal alzheimer paling ampuh mengatakan...

bagus
obat herbal alzheimer paling ampuh

obat tradisional selulit mengatakan...

semoga bermanfaat
obat tradisional selulit

obat gendang telinga pecah mengatakan...

salam sukses, semoga berhasil
obat gendang telinga pecah