Jumat, 28 November 2014

BEAST TARUNA: Kebangkitan (Aditya N. W. - 2014)

Review By Luz B.

Editor: Jill Wanda Hamilton
Penata Letak isi: Aditya N.W.
Desain sampul: Markus Diredja, Mukhlis Nur, Jaka Ramadhan
Penerbit: Writing Revo Publishing
Ilustrator: Bening Andyani, Gilang Tamara Kourboutsky, Kurosaki Keroro de Arimasu, Yuuika

Tebal: 294/322 halaman


Ada apa dengan Beast Taruna?
  
Persis itulah pertanyaan saia ketika mendengar buku ini diomongin sama temen-temen yang lebih rajin berkeliaran ke situs Bacaan Baik. Karena penasaran saia akhirnya nitip beli dan baca. Setelah beberapa lama, eh keluar cetakan baru yang ada ilustrasinya. Jadi saia beli lagi dan baca lagi. Ternyata antara kedua itu gak banyak beda,  tapi demi kejelasan, saia nyatakan sekarang kalau saia bikin repiu berdasarkan cetakan baru yang pake ilustrasi.
  
Jadi balik ke pertanyaan semula: Ada Apa dengan Beast Taruna? Saia akan menjawab, “Itu novel Fiksi Fantasi Indonesia pertama yang saia temui mengangkat tema super sentai.” Dan tolong “S”-nya itu jangan diganti “H,” terima kasih.
  
Lame joke aside, Beast Taruna karya Adhitya N. W. ini sangat layak untuk disayat-sayat dibahas. Baik sebagai novel sentai pertama yang saia temui, maupun sebagai kontribusi terhadap perkembangan fiksi fantasi indonesia.  Oleh karena itu, dengan mengucap syukur kepada Batara Cela, dengan ini saia nyatakan nikahnya sah dengan maskawin seperangkat silet emas dibayar tunai pembahasan ini dimulai.
    

    
Sampul buku bikin saia langsung membuat asosiasi-asosiasi sentai. Putih, dengan lima sosok beda warna. Oke. Isi buku tergambarkan dengan baik, meski warna putihnya bikin sampul ini jadi kelihatan setengah jadi. Font yang dipake buat tulisan “Beast Taruna” itu agak cheesy, jujur. Kayak sesuatu yang dibikin ma anak SD yang ngerasa font macem itu keren. Tapi ini novel soal sentai, dan novel sentai punya banyak persamaan dengan pizza ‘MURIKA, dalam hal keduanya terbuat dari keju dan lebay.
  

 Dan salah satunya pake extra topping FREEDOM! dan DEMOCRACY!
   
Pas mulai baca saia saia agak kebanting. Pertama, karena ada quote dari Ahmadolf Hitlerdhani tentang senangnya beristri dua perjuangan. Euh, udah gak relevan Om. Di masa kini kerja keras itu bisa di-outsource, terutama kalau anda punya duwit. Tanya aja ma pizza ‘MURIKA di atas, hehehe. 
   
Masuk ke ceritanya sendiri, saia kebanting x2. Walau kali ini alasannya positif. Pertama, ada ilustrasi-ilustrasi bagus, walau kadang kualitas cetakannya bikin ilustrasi itu jadi buram. Kedua, saia nggak langsung berhadapan dengan trope sentai. Prolognya gak menyodorkan kisah alien mentor datang dari luar angkasa dan memilih lima remaja yang berbeda-beda untuk menjadi pembela kebenaran.  Nope. Saia dikasih cerita tentang seorang pekerja kemanusiaan bernama Elsa Revina yang lagi berusaha menyelamatkan sekelompok pengungsi di Filipina.
   
Terlepas dari beberapa hal yang bisa banget saia protes—seperti yang saia lakukan di reading progress saia, misalnya kenapa penjahatnya harus komunis (lagi) dan kenapa “Filipina” disebut “Filippina” dan kenapa nama mbak Elsa ini kayak nama tokoh Frozen dicampur sama nama seorang tokoh di novel fiksi fantasi Indonesia lain yang kebetulan agak-agak bikin saia nyengir ngenye’—ini pembukaan oke. Pertama, yang diceritakan nggak terlalu bergantung pada konvensi sentai. Kedua, kejadian di dalamnya mudah dibayangkan dan sangat mungkin terjadi di kehidupan nyata. Ini trik bagus untuk menarik believability dari pembaca yang nggak terlalu akrab dengan sentai.
   
Tunggu.
   
Saia mulai dengan memuji terang-terangan?  Batara Cela bisa murka ini.  Untungnya begitu masuk Bagian 1 Bab 1 ada hal yang langsung bisa saia cela.
   
Bagian ini mengenalkan saia kepada Kazuki Yudhistira *nyengir* seorang  anak SMU biasa yang punya adek sakit dan baru saja kena musibah orang tuanya tewas dalam kecelakaan. Udah mulai ada bau-bau klisenya nih.
   
Jadi, setelah kehilangan orang tuanya, Kazuki dan adiknya Karin pindah dari Australia ke Bumiseruni. Yang kayaknya terletak di Kalimantan. Walau Kalimantan belah mananya saia kurang jelas juga.  Jadi karena saia nasionalis ultrapatriotik dan merindukan Kalimantan Bersatu, saia asumsikan Bumiseruni itu letaknya di Kalimantan bagian utara banget-banget-banget, tepatnya di Sarawak atau Sabah yang dalam timeline cerita ini sudah dianeksasi oleh Indonesia. MWAHAHAHAHA.
  
*Ditimpuk duren Malaysia.* 
   
Ahem.
   
Jadi, Kazuki pindah ke sekolah baru. Setelah mengalami beberapa hari kikuk tipikal plot anak-pindahan-di-sekolah-elit,  kita masuk ke inti cerita. Ternyata teman-teman baru Kazuki adalah anggota pasukan sentai yang berperang melawan Angeris si monster kelabang. Seiring cerita bergulir, kita akan mendapati kalau Angeris itu nggak berjuang sendiri. Dia adalah anak buah dari Hawarha, seekor/sesuatu/seoknum makhluk yang sudah sangat tua, yang dari jaman dulu-dulu doyan menyebarkan kejahatan.
  
Aduh gumbiranya saia, melihat klise segini banyak! 
  
Tapi segirang-girangnya, saia harus jujur. Premis ultraklise ala sentai itu sebetulnya dipake untuk bikin plot yang . . . not bad.  Saia nggak akan bocorin macem-macem karena plotnya itu saia rasa bagian paling bagus dari Beast Taruna. Katakan saja itu tipikal hero’s journey di latar sekolahan yang eksekusinya standar, tapi dapat. Solid, gitu. Ada bagian di mana si hero nggak mau make kekuatannya, ada bagian dimana dia kepaksa make dan abis itu ogah lanjut. Ada bagian dimana dia bicara dan dapat support dari true companion dan keluarganya, sampai akhirnya dia bisa terima nasib dan melakukan apa yang harus dia lakukan. Bonus poin karena semua itu selesai dalam 300-an halaman. (294 di buku cetakan awalnya.) 

Saia gak bilang eksekusinya sempurna, ya. Solid, yang artinya for the most part, apa yang terjadi kerasa wajar. Cuma kadang plot cerita keselipan drama yang saia rasa aneh.

Misalnya, bagian Adisty yang nunjukin nasib Raga/Rangga ke Kazuki. Iya, Raga/Rangga itu sial dan selaku kakaknya Adis ngerasa sedih. Tapi jangan mendadak angst gitu ‘napa? Awalnya Adis 'kan bicara tenang, eh tahunya mleduk. Perubahan sikap ini nggak Adis banget, dan berasa kayak diada-adain biar bisa bermuara di adegan dramatis, “Terserahlah kalau kamu melepas tanggung jawabmu! Itu hakmu!”

Kenapa begitu? Karena “penolakan” itu bagian tak terpisahkan dari hero's journey/anime/JRPG/toku/sentai lawas tentang “tokoh biasa dapat kekuatan istimewa.” Itu udah paten dalam formula plotnya, dan tujuan cerita ini adalah menghidupkan formula itu. Jadi ya, saia nggak bisa protes ini klise atau formulaik juga. Hanya saja caranya itu bikin jidat berkerut. Biar bisa menampilkan bagian wajib itu, dialog ma karakter dipaksain bertindak biar plotnya lari ke sana, meski hasilnya rada ga wajar atau bahkan OOC. 

Soal karakter, saia kira ini bagian Beast Taruna yang juga merupakan kekuatan. Rata-rata karakter di sini nggak jelek. Beberapa malah menurut saia oke. Poin bonus karena yang paling oke buat saia itu Om Permana dan istrinya, Tante Selvia. Sementara banyak anime/JRPG/toku/sentai bergantung pada konvensi Adults are Useless, saia senang ngelihat mereka gak digambarkan gitu.

Awalnya si om kesannya kayak bumbling dad sementara si tante responsible homemaker. Tapi ternyata kalau di-combo mereka sama-sama bisa jadi ortu yang baik. Mereka rela buka pintu untuk dua anak yatim-piatu yang dianggap beban oleh keluarga besar, dan ya, mereka ngurus Kazuki dan Karin dengan baik. Walau porsi mereka dikit, peran mereka sebagai jangkar Kazuki ke kehidupan nyata itu kelihatan. Saia suka mereka, meski si Om ini kadang dialognya narm banget.

Setelah mereka ada lagi true companions dan OTP Kazuki. Saia pikir Adis, Sara, dan Galan porsinya cukup. Tapi Senja kurang banget, woi! Masak sampe halaman belakang saia gak dapat ciri/sifat apa-apa lain dari dia badannya gede (dan selalu bawa makanan). Bahkan kedekatan dia ma Sara aja cuman jadi informed attribute: disebut dalam narasi, tapi pada perkembangan cerita saia gak gitu berasa klo mereka akrab, entah sebagai teman biasa, kakak-adik, bash bros, (iya, saia ngitung Sara sebagai “mbakbro”,) atau OTP. Gak terima ah!

Tapi saia terima kasih sama penulis karena satu hal, karena Adis dan Sara cewek nggak ditampilkan menggunakan trope-trope atau indikator jalan pintas yang biasanya dimainkan oleh penulis pemula untuk menunjukkan kalau karakter ini ‘cewek’. Misalnya: diculik, jadi beban tim, nangis-nangis pada momen yang nggak pas, bertindak terlalu berdasarkan perasaan, harus jatuh cinta secara instan sama satu tokoh cowok, marah-marah yang diatribusikan ke PMS, atau, yang paling keju, mengalami pelecehan seksual dan/atau pemerkosaan.

Kalau seorang pengarang harus bergantung pada trope-trope ini untuk menunjukkan kalau satu karakter adalah cewek, saia pikir lebih baik yang bersangkutan belajar lagi.

That being said, saia ulangi lagi, saia gumbira Adis nggak dengan trope-trope ketinggalan jaman itu. Memang dia marah aneh satu kali seperti yang sudah saia sebut, tapi pada kebanyakan waktu dia disorot sebagai manusia, bukan sebagai ‘cewek’ klise. Kalau saia bikin daftarnya: dia seorang kakak sayang adik, pelajar dengan kehidupan sosial lumayan baik, bendahara OSIS, anggota sentai, dan masih sodara jauh dengan Rudol von Stroheim fans GERMAN SCIENCE.


Karena GERMAN SCIENCE IS NUMBER ONE!
 
Dari antara semua karakteristik Adis, mana yang jatuh ke dalam ‘indikator jalan pintas cewek’ seperti saia sebut di atas? Nggak ada. Maksud saia, bisa ‘kan ternyata, bikin tokoh perempuan tanpa menggunakan jalan-jalan pintas yang ketinggalan jaman itu?
  
Nah. Sementara Adis adalah contoh cewek yang lebih masuk ke spektrum girly, Sara adalah kebalikannya. Cewek tomboy, yang juga nggak jatuh ke dalam tipikal karakteristik tomboy yang biasanya, “Girly things are bad rawr! Girls must stronk liek boyz!Nope. Dia bagus sebagai karakter tomboy tanpa harus meledek/merendahkan Adis yang lebih girly atau cewek lain yang mungkin ga sekuat dia secara fisik.  
  
Jadi, dari segi protagonis perempuan, saia kasi pujian untuk Beast Taruna. Saia benernya agak ngarep Sara dan Adis lebih banyak berinteraksi. Dan maksud saia berinteraksi dalam arti karya ini lulus Bechdel Test/Mako Mori Test, bukan girl-on-girl fanservice/token yuri/catfight. Walau saia nggak menyangkal bahwa sedikit fanservice itu dihargai kalau momen, eksekusi, dan porsinya pas.
  
Tunggu. Saia MEMUJI lagi? DAFUQQQQ?
  
Karakter berikutnya, Galan si “pemimpin” tim nggak opisial. Dia ini . . . well, genuinely nice guy meski awalnya dia kelihatan sok kenal sok dekat. Nggak ada yang bisa saia protes dari dia, apalagi karena . . .
  
*buka hal. 116
  
OTP OTP OTP OTP!!!!!! GYAAAAA!
    
Saia gak tahu ini pengaruh Kamerad Panda, atau penulis memang bermaksud buat servis kipas angin. Gambar di atas itu bener-bener teriak OTP OTP OTP buat mereka yang punya tendensi fujo. Apalagi kalau anda baca halaman 120.
   
  
Kazuki tidak sengaja melihat Galan yang melepas kaus. Perut sixpack setengah sempurna rusak oleh bekas luka melintang.
  
“Itu kenapa?”
  
“Apa?”
  
“Lukanya,” ulang Kazuki sembari menunjuk. “Itu kenapa?”
  
   
Dan halaman 159. 
   
  
“Percayalah Galan, aku benar-benar mau melampiaskannya padamu.” Gigi bergemeretak. Mouthguard helm Kazuki didekatkan pada telinga Galan. “Aku bisa memakanmu sekarang.”


Seperti kata Kamerad Ivan R., ini udah bukan subtext lagi. Ini udah text. Kalau ini emang diniatkan sebagai servis, saia pikir ini lumayanlah. Ga kelewat eksploitatif, agak tongue-in cheek, tapi nggak maksa. Tapi barangkali jangan tanya saia doang; untuk urusan ini saia punya bias. Mungkin harus tanya orang lain juga apakah mereka ngerasa risih apa nggak.

Dan setelah saia batal mencela karena penempatan servis itu, akhirnya saia punya bahan celaan karakter. Pertama adalah Kazuki sendiri. Walau ini bukan celaan banget-banget ya. Saia cuma ngerasa pengembangan karakter dia nggak sebagus teman-temannya.

Pertama, dia diperkenalkan dengan Deceased Parents are the Best. Itu bisa diterima di sini karena itu memajukan plot. Namun, itu nggak membuat saia menjadi simpati ke dia.

Kedua, dia tipe oniichan teladan. Aduuuu ~

Ketiga, dia tentu saja cakep. Atlet olahraga bergengsi. Di posisi bergengsi pula.

Keempat, dia terpilh menjadi taruna tapi menolak itu karena ANGST.

Eaaa, mulai bau Gary Stu-nya keluar kan?

Untungnya, dia nggak jatuh ke level Gary Stu. Dia dipilih menjadi salah satu Taruna, bukan SATU Taruna Spesial.  Mengingat dia paling junior, dia juga sering keteteran kalau beraksi. Kazuki memang dapat momen heroik, tapi terjadinya menjelang terakhir banget. Itupun sebetulnya bukan momen dia sendiri. Tiga karakter lain yang selamatkan berhasil melawan pengaruh cuci otak dengan akal mereka sendiri, sebelum ditolong lebih lanjut oleh Kazuki.

Yang banyak memecahkan teka-teki (dan kepikiran markas musuh di mana,) juga bukan dia. Biasanya peran pintar jatuh ke Adis. Atau Galan selaku pemimpin tim. Dunia Beast Taruna nggak berputar di sekeliling Kazuki, dan itu menghindarkan dia dari predikat Gary Stu.

Walau ada satu sifatnya dia yang bikin saia ngakak. Saia nggak keberatan kalau ada cowok yang “suka berdiri di depan cermin dan bernarsis ria mengagumi ototnya,” tapi membaca itu bikin saia membayangkan ini.
    
Goddamnit, Misty.
    
Masalah karakter kedua saia temukan pada Yuki, yang diset menjadi Resident Bitchy Woman standar: pacar gonta-gantilah, suka godain cowoklah, rasislah, elitislah, dll. dsb.  
     
Sementara penulis Beast Taruna ini bagus bikin protagonis cewek, tampaknya untuk antagonis cewek yang bersangkutan masih perlu berkembang. Pertama, karena kehadiran Yuki itu nggak penting. Dia ada cuma untuk melakukan apa yang kelihatan kayak pelecehan seksual ke Kazuki, (supaya yang bersangkutan bisa diselamatkan oleh Adis, tampaknya.) Kehadiran Yuki nggak krusial buat majuin plot, nggak juga buat nyampein elemen cerita apapun. Meski bagian ini menurut saia ada nilai peningkatan kesadarannya (yaitu menunjukkan bahwa cowok juga bisa kena pelecehan, this happens in real life,) balik lagi, saia nggak suka ngelihat pelecehan yang nggak relevan ke cerita. 
   
Lalu Angeris. Musuh utama mereka. Saia nggak punya banyak protes buat karakter ini. Kalau keju di dalam dialognya dibuang, dia akan lebih mengancam. Tapi yang sekarang pun dia sudah cukup efektif sebagai penjahat.
   
Nah terus, kalau plot dan karakter bisa bikin saia memuji . . . kenapa saia cuma kasi tiga bintang di Goodreads? Karena worldbuilding dan gaya tulisannya!
   
Saia memang memprioritaskan plot atau karakter di atas lain-lain elemen cerita. Tapi kalau worldbuilding dan gaya tulisannya terlalu mengganggu, ya saia pusing juga. Bayangkan anda bikin puisi bagus, tapi ditulisnya pake bahasa sandi dan dicetaknya di atas kertas burem bekas ketumpahan kopi.  Mana enak dibacanya? 
   
Kita bahas worldbuilding dulu. Alkisah di dalam cerita ini, Kekaisaran Jepang dan Jerman Nazi menang Perang Dunia II. Setelah itu keduanya membagi sebagian besar dunia menjadi wilayah-wilayah kekuasaan mereka. Menarik, dan ada detail-detail yang lumayan mendukung. Misalnya mengenai apa yang mereka pelajari di kurikulum, akulturasi dalam pertunjukan wayang di mal, dan bagaimana bahasa yang umum digunakan di Bumiseruni adalah bahasa Indonesia dan bahasa Jepang; bahasa Inggris, di dunia Beast Taruna, ceritanya sudah punah.
    
Tapi detail-detail ini kerap gak konsisten. Kalau bahasa Inggris sudah punah, kenapa pihak Jerman menyebut olahraga rugby versi dunia ini sebagai gridiron? Grid dan iron, mengacu pada pelindung muka yang terbuat dari besi dan berbentuk jeruji kotak-kotak? Lalu olahraga parkour kok disebut loris? Ini kerasa aneh dalam dua tataran. Pertama, di dalam dunia Beast Taruna, Perancis masih ada--jadi ga ada alasan bahasanya punah. Kedua, saia ngerti asosiasi hewan lincah sama olahraga efisiensi gerak. Tapi kita nggak menyebut olahraga lari sprint dengan cheetah, kan?

Yang nggak konsisten lagi adalah pemakaian bahasa Jepang. Kazuki sebagai anak pindahan diceritakan nggak lancar berbahasa Indonesia. Tapi kok ternyata sepanjang cerita dia paham-paham aja? Om Permana ngomong apa, dia paham. Temennya ngomong apa, ga masalah. Dia juga bisa kok bicara bahasa Indonesia. Malah bahasa Jepangnya dia yang berantakan.  Halaman 80 misalnya, ketika Adis bilang, "Tenang Kazu! ini aku Adis!" respons Kazuki adalah, "Sore desu." (“Itu.”)
  
 Hah?  
   
Kenapa gak, "Sou ka?" (“Gitu ya?” atau, kalau terjemahannya lebih bebas, “Serius?”) atau kalau menimbang mereka lagi situasi genting, cukup, “HEEEEE?”

Bukan hanya Kazuki. Galan juga make bahasa Jepang berantakan. Misalnya, waktu liat pemandangan indah dia bilang, “Koko wa tenshi desu!” (“Di sini adalah malaikat!”). WTF? Bukannya lebih pas kalau dia bilang, “[Koko wa] tengoku da!” ([Di sini adalah] surga!”)
  
Dear Galan,
   
   

Di dunia ini ada yang namanya broken English atau bahasa Inggris varietas gado-gado macem Singlish, Japlish, dan sebagainya. Jadi wajar kalau penulis mau bikin dunia alternatif yang ada broken Japanese-nya. Tapi Indonesia dalam cerita ini ‘kan menjadi bagian dari Asia Timur Raya. Seperti halnya negara-negara Commonwealth memiliki populasi yang mampu berbahasa Inggris dengan cukup baik, wajarnya bahasa Jepang Galan nggak ngasal. Terutama karena dia teman-temannya masi muda dan punya akses ke pendidikan yang bagus.

Dan itu bahkan belum memperhitungkan kalau bahasa Jepang yang mereka pakai mungkin bukan bahasa Jepang standar, tapi bahasa Jepang informal ala anak sekolah. dalam hal ini saia konsultasi dengan Kamerad Oyabun Shiki yang memang kerjaannya menerjemahkan naskah bahasa Jepang mengingat kemampuan bahasa Jepang saia baru level "cukup buat nanya jalan dan mesen udon". Menurut ybs., beberapa bentuk informal (yang nggak memutilasi tata bahasa) yang bisa digunakan adalah "Kore, tengoku?" ("Ini surga ya?") atau yang agak lebay, "Tougenkyo da!" ("Ini Firdaus!")

Intinya, pemakaian bahasa Jepang di Beast Taruna masih bisa diperbaiki.

Selain gak konsisten soal bahasa, ada beberapa hal yang saia juga gak ngeh gimana asal muasal sebab musababnya. Misalnya saja, pesawat penumpang yang pakai ramjet.
  
Er. Ini . . . gimana bekerjanya?
   
Pengetahuan teknik saia minim sekali. Tapi yang saia tahu, ramjet itu biasanya dipakai untuk meluncurkan misil. Ramjet nggak bisa begitu saja dipakai oleh pesawat biasa, mengingat mesin jenis ini nggak bisa narik udara ke mekanisme pembakarannya. Supaya mekanisme pembakaran ramjet dapat udara—dan bisa bekerja—ramjet itu  harus ‘dibawa’ dulu oleh kendaraan lain, sampai dia mencapai kecepatan tertentu. Prinsipnya kira-kira seperti kalau kita meningkatkan laju mobil supaya kita bisa merasakan terpaan angin yang makin kencang. Begitu udah dapat angin, barulah pembakaran bisa terjadi dan unit ramjet itu bisa bekerja.

Sementara di Beast Taruna, pesawat ramjet ini meluncur lempeng-lempeng aja, ga pake dibawa dulu. Nggak disebut juga dia punya dual engine. Udah gitu meluncurnya sampai LUAR ANGKASA pulak. Woi, dapat oksigen buat pembakarannya dari mana itu?

Beberapa masalah worldbuilding lain juga bikin believability saia ke dunia Beast Taruna sempat goyah.  salah satunya, dan ini masalah klasik, penamaan. Nama senjata terutama, bikin tingkatan narm cerita ini mencuat tinggi. Lihat saja: pedang Dynasha Zwilling, katar Karattar Spiral, palu Agoron Boomer . . . dll.
  
*cringe*
  
Memang keberadaan nama-nama aneh gitu adalah praktek standar toku/sentai.  Sebut saja Sidebassher, Machine Decader, Buroon Booster Double Driver, Lost Driver, Gaia Memory. Tapi kalau dijejerin gini pun, kayaknya nama Beast Taruna masih sedikit lebih tinggi narm-nya.
   
Nomor dua, nama Kazuki Yudihistira itu langsung bikin saia teriak, “WIBU!” Iya, tokoh utama harus punya nama keren. Kazuki itu nama oke. Yudhistira itu nama bagus. Keduanya plausible dipake.

(Buat yang nggak tahu WIBU, ijinkan saia menjelaskan bahwa WIBU = weeaboo = Jepang celup = praktek seorang oknum yang sok make-make unsur Jepang demi menampilkan kesan eksotis padahal pengetahuan Jejepangan ybs. masih dangkal.)

Tapi kalau disatukan, kekerenan kedua nama itu saling mengamplifikasi sampai melampaui level “nama bagus untuk karakter utama,” ke level, “ini karakter kayaknya dianakemaskan banget sama penulisnya sampe dikasi nama super keren ya?”

Saia udah pernah bilang di satu repiu soal ini. Kalau kita kasih seorang karakter nama yang beda sendiri di antara karakter-karakter yang punya nama normal, ada resiko anda kelihatannya mengistimewakan karakter itu banget.

Dan saia denger protes, “Tapi dia kan turunan Jepang! Wajar dong kalau namanya campursari. Buktinya, itu yang main jadi Shun Daimonji di Kamen Rider Fourze kan Australian-Japanese, dan namanya Justin Tomimori! Kenapa kita gak boleh pake Kazuki Yudhistira?”
  
Valid, dan Bang Justin Tomimori ini memang bukti hidup. Tapi fiksi, sudara-sudari, gak selalu ikutan hukum RL.

Kalau ada nama Kazuki di antara Galan, Adisty, Catur, dan Sara, mau gak mau detektor WIBU para fans Jejepangan akan bunyi. Itu kayak gerak refleks, nggak peduli berapapun banyaknya justifikasi atau penjelasan yang anda masukkan.
  
Masalah makin bertambah karena sebagai karakter Kazuki juga nggak sepenuhnya likeable (walau nggak nyebelin). Juga, karena dia tokoh utama. Apalagi karena karakterisasi “gak ngerti bahasa Indonesia” nya Kazuki itu fake, plus karena dia bicara dengan broken Japanese yang jelas-jelas 1000% indikator WIBU, PLUS karena panggilan dia adalah Kazuki, bukan Yudhistira, yang terus-menerus meng-highlight fakta bahwa dia berdarah Jepang dan therefore, SPESIAL PAKE TELOR.
  
Seandainya Kazuki bener-bener nggak ngerti bahasa Indonesia atau bicara dengan proper Japanese, atau kalau nama panggilannya dia “Yudi,” (atau apalah yang rada cupu dikit) dari “Yudhistira,” aroma WIBUnya nggak akan sekuat itu.

Liat maksud saia kan? WIBU, seperti Mary Sue, itu sifatnya kumulatif. Keduanya terjadi karena tumpukan dari berbagai ciri kespesialan di satu karakter. Kalau Kazuki hanya punya satu atau dua ciri dari semua indikator yang saia sebutkan, mungkin dia nggak berasa WIBU amat.
  
Biar lebih jelas, coba bandingkan dia dengan Justin Tomimori. Atau lebih tepatnya, Shun Daimonji di Kamen Rider Fourze. Shun bukan tokoh utama. Bukan juga cowok blasteran spesial. Dia adalah school jock yang suka pamer dan kena banyak masalah karena itu. Dan dia nggak bicara pake broken English, sehingga dia ga berasa sok barat.
  
Atau saia ambil contoh in universe. Sara, yang punya nama panjang  Sarangerel  Aretha.

DAYUM, ini nama bagus. BANGET. *NGILER MAX* *GODDAMN IT KENAPA BUKAN SAIA YANG PAKE NAMA INI AAARGH* *IRI* Sarangerel itu “cahaya bulan” dalam bahasa Mongolia. (Saia tahu sebelum baca penjelasan penulis, karena saia dulu pernah ngintip wiki buat cari nama-nama Mongol.) Tapi kenapa Sara ga kerasa sok Mongol?
  
Karena dia dipanggil Sara. Bukan Sarangerel.
  
Lihat bedanya? Pendek, singkat, enak, sedikit nggak biasa untuk ukuran Indonesia (“bukan Sarah!”), tapi masih wajar. Jadi kesannya, dia nggak diistimewakan karena namanya. Dia juga bukan tokoh utama dan nggak dikasih keistimewaan apa-apa. Ketiga, dia nggak bicara dengan broken Mongolian
  
Keempat, nama dia yang kedua, “Aretha,” relatif biasa. Manis, tapi nggak terlalu megah macam “Yudhistira”. Ini ngasi penyeimbang yang enak untuk nama “Sarangerel” yang nggak biasa. Dan kelima, saia lebih mudah menyukai Sara sebagai karakter dibanding Kazuki.
  
Saia ngaku kalau nama itu preferensi, dan ada unsur selera dalam menentukan nama. Tapi saia juga tahu jawaban “semua itu subjektif, titik,” kedengarannya nyebelin banget. Jadi saia harap contoh ini bisa jadi pedoman awal buat nunjukin nama seperti apa yang kira-kira oke, dan nama macam apa yang bisa bunyiin alarm WIBU dengan cepat. (Dan kalau memang bisa ditambahin siapapun silakan berkontribusi dalam diskusi.) Rule of thumb saia: jangan kasi karakter anda nama yang terlalu mencolok. Justifikasi “ini terjadi di real life!” tetep sulit membantu kalau alarm WIBU udah bunyi.
  
Namun, selain nama Kazuki (dan kedua orang tuanya), saia suka nama-nama tokoh lain. Adisty Kirana, Galan Fadrianis, Senja dan Catur (yang nama panjangnya kayaknya gak disebutin di buku ARGH), Adrian Kemala si Sersan Tokkou di subplot yang baru ketahuan relevansinya di akhir cerita . . . ini nama-nama bagus yang jauh dari narm, serius. Kalau penulis nggak berusaha terlalu keras untuk membuat nama yang spesial, saia kira ybs. benernya punya naming sense yang keren.
  
Faktor kedua yang jadi masalah saia di Beast Taruna adalah gaya menulisnya. Dan barangkali, ini faktor yang berkontribusi paling besar terhadap ketidakrelaan saia ngasih nilai diatas tiga bintang. Saia nggak akan sugarcoating deh: gaya tulisan Beast Taruna ini demikian parah sampai mengubur keunggulan plot dan karakternya.
  
Problem utama gaya bahasa BT ini ada tiga. Pertama, kalimat-kalimatnya itu nggak enak dibaca. Setelah agak lama saia baru nyadar kalau gaya bahasanya ini mirip gaya bahasa narator anime/toku/sandiwara radio lawas. Itu tuh, yang biasanya bawain recap episode terdahulu atau nutup cerita di akhir episode dengan kalimat macam, “Bagaimanakah nasib [masukkan nama tokoh utama] selanjutnya?” Atau kayak kata Kamerad Ivan R. lagi, suara pesan sponsor yang ngomong, “Acara ini disponsori oleh . . . ”
  
Silakan disimak contohnya:


Ia mungkin sudah mendapat jaminan posisi, tapi itu bukan berarti semua selesai. Selama berjam-jam, cobaan datang bertubi-tubi. Kaki membengkak akibat dipaksa lari cepat 20 meter, 40 meter, dan terus sejauh 110 meter sampai ujung lapangan. Tolong beri es pada kaki anak-anak malang itu supaya tidak meledak!


Ugh. You get the idea.

Saia akui satu hal. Setelah menyadari narasi Beast Taruna ini mirip banget sama gaya narator lawas, saia sedikit lebih mudah membaca dan menyadari keunggulan-keunggulan naskah ini. Tapi kembali lagi, nggak semua orang akan nangkep kalau (barangkali) memang begitulah maksud penulis. Gaya ini adalah sesuatu yang dipakai di media lisan atau audio visual. Bukan di media tertulis. Kalau kita mengadaptasinya secara kasar, hasilnya sama kayak masukin dokumen ke Google Translate: KACAU BELIAU.
  
Masalah kedua, majas.  Saia udah berkali-kali membahas di repiu dan ngasih tahu ke siapapun yang nanya-nanya soal draft ke saia: majas itu bisa bikin pembaca ngakak kalau cara makainya salah. Majas yang pas itu bergantung pada suasana, karakter PoV, kesan apa yang ingin kita tampilkan, dan banyak lagi. Majas dipake bukan sekadar karena kata kalimat itu cakep atau (kita pikir) inspiratif. Mudahnya, majas itu kayak bikini atau speedo. Saia yakin banyak dari anda seksi kalau berbikini/berspeedo. Dan itu hal yang bagus karena kebanyakan manusia doyan eye candy. Tapi coba anda pake bikini atau speedo doang waktu menghadiri acara ibadah. Salah, kan?
 
 
Pemakaian majas di Beast Taruna itu kasusnya semacam ini. Ambil contoh majas di bagian pertama, ketika Elsa Revina ketemu sama Akihide Mahendra, suaminya. Ini novel aksi, dan mereka sedang terancam didatangi gerilyawan. Dalam suasana tegang itu tiba-tiba ada kalimat ini:
   
   
"Elsa melepaskan diri dari cengkeraman sang singa."
  
   
Dan “singa” itu merujuk ke Akihide.
  
Er. Ini novel aksi apa romansa Harlequin sih? No, scratch that. Even by romance novel standards, this is awkward. Novel romantis yang bagus umumnya nggak akan memakai perumpamaan seungu ini kecuali mungkin love interest-nya semacam werelion, atau kira-kira gitulah.
  
Contoh lain:
  
  
“Itu normal, Kazu-kun. Saat seperti ini yang membuat kita jadi sinar gamma."
  
   
Hah? Perumpamaan ini maksudnya apa? Kalimat ini diucapkan di tengah peristiwa pemakaman, jadi bagaimana pemakaman dan kesedihan bisa terasosiasi dengan sinar gamma, saia gak ngeh. Baik, ada penjelasan, tapi pernjelasan itu defeats the purpose of using an analogy. Lagipula, perumpamaan itu kayak guyonan: kalau anda berhasil memakainya, anda nggak perlu ngasih penjelasan supaya orang paham.
  
Dan ketiga, tolong, tolong, TOLONG jangan pake deskripsi karakter/metafora maksa/ciri/sinonim yang berganti-ganti sebagai ganti nama karakter atau kata ganti. Ini menjengkelkan, dan tampaknya bukan sesuatu yang subyektif; saia mendengar keluhan serupa dari beberapa orang. 
  
Senja, misalnya, disebut berganti-ganti sebagai “si badan besar” atau “beruang grizzly.” Kazuki “Si anak baru,” “si atlet yoroikyuu,” dan sebagainya. Konsisten, plis. Saia bukannya terlalu bego untuk tahu siapa adalah siapa, tapi ini nyebelin. Saia jadi ngerasa penulis entah mau bergenit-genit dengan deskripsi karakter tapi gak punya skill untuk memasukkannya dengan mulus, atau kehabisan trik untuk membuat kalimatnya nggak repetitif.
  
Belum lagi kalau kata sandangnya dihilangkan, atau kalau subyek kalimatnya berubah jadi benda mati atau bagian badan tanpa dipadankan dengan kata sandang atau kata ganti untuk memperjelas, seperti ini:
  
    
Bekas luka memanjang dari dahi hingga pipi kiri menjadi bukti tidak terbantahkan. (Hal. 71)
  
   
Atau ini,
  
   
Atlet yoroikyuu bahkan tidak berkeringat di akhir pertandingan. (Hal. 184)
   
   
Dan ini,

  
Mata hitam kembali terbuka seperti kapsul tajam yang melindungi. (Hal. 217)

(Srsly, ini maksudnya apa sih?)
    
    
Kalau ada yang protes, “Tapi ini benar secara tata bahasa!” saia akan balas, yes meises Ceres, itu nggak keliru secara tata bahasa. Sayangnya, patuh tata bahasa bukan satu-satunya syarat agar tulisan anda bagus. Melesapkan kata sandang itu bikin kalimat anda jadi unnecessarily dramatic, atau rancu. Ambil contoh kalimat “Atlet yoroikyuu bahkan tidak berkeringat di akhir pertandingan.” Oke, jadi apa semua atlet yoroikyuu nggak berkeringat di akhir pertandingan, atau Kazuki aja? Jadi kecuali anda memang pengen bikin prosanya lebih ungu dan lebih ajaib daripada terong melankolis, STAHP.
    
Saia jadi ingat kalau di Goodreads ada seseorang yang mengulas Eragon. Dan ybs komplen karena Christopher Paolini itu sepertinya nggak bisa makai kata “said.” Selalu, selalu saja “said” itu diganti dengan aneka variasi seperti, “admonished,” “roared,” “growled” dan sebagainya dan sebagainya pada saat itu nggak perlu dilakukan.
  
Menurut yang bersangkutan, alih-alih menunjukkan kita kreatif memakai kata, praktek ini adalah indikator jelas bahwa kita masih amatiran. Kalau kita sudah jago, kita nggak akan perlu memakai segala macam deskripsi/ciri/metafora maksa/sinonim untuk membuat kalimat yang enak.
  
Dan saia mengamini yang bersangkutan setelah membaca ini halaman 63:
  
“Sedang apa kamu kemari Adisty?” tanya Yuki geram. Ratu Ular mendesis.

Hum. Yuki = Ratu Ular . . .
   
  
     

Uh, NOPE.

Intinya Beast Taruna bikin saia ngerasa amat sayang. Potensinya banyak, tapi lebih dari separuh potensi itu kebuang karena gaya bahasanya yang amat nggak bersahabat. Worldbuilding lumayan menarik meski agak keteteran. Karakter oke. Plot oke. Tapi semuanya itu susah dinikmati karena gaya bahasanya yang kacau beliau. Baik facepalm, faceplant, maupun tactical facepalm udah nggak cukup untuk menggambarkan rasa frustrasi saia terhadap gaya bahasa ini, jadi saya kira saia perlu menciptakan kategori baru.
   
   
Balalala~!
    
Sementara gaya bahasanya nggak berantakan 4L@y atau steril membosankan, penulis sepertinya masi perlu mengasah diri dalam hal penggunaan majas, deskripsi, dan kata ganti. Gaya bahasa memang sering diberi prioritas yang lebih rendah dibanding plot atau karakter. Tapi nggak berarti itu sah diabaikan sama sekali; atau lebih parah, disengaja cakep atau unik tapi hasilnya malah bikin suatu karya jadi susah (banget) dibaca.
   
Terlepas dari semua itu, saia masih akan beli Beast Taruna kalau ada lanjutannya. Atau spinoff-nya. (Asal ada yang rela ngirimin ke saia aja, karena saia suka males nyari ke tobuk.) Meski gaya bahasanya mengecewakan, plot dan karakternya menarik saia untuk nyimak. Apalagi karena di bagian terakhir ada plot twist Stupid Jetpack Hitler yang kayaknya bakalan wow keren dan cheesy sekaligus. Persis yel-yel “IKE, GANBATTE, KATSU!” di pertarungan puncak, yang bikin saia pengen berdiri tepuk tangan padahal pipi saia udah berlinang air mata keju.




  
Luz Balthasaar
IKA, KOROKKE, KATSUDON!  *NOMNOMNOMNOMNOMNOM*

36 komentar:

FA Purawan mengatakan...

Somehow plot nya mengingatkan pada Garuda Riders,...

Wait,..RATU ULAR???.

Luz Balthasaar mengatakan...

Beda kok Om. Garuda Riders kan ada wanara. Ini murni urban fantasy kok.

(Dan ya, itu gaya bahasa Ratu Ularnya emang sesuwatu.) >_<

Juno Kaha mengatakan...

Kalo Catur, sempat disebutin namanya sama si Senja: Catur Hadian.

Apakah Senja menggunakan nama belakang "Hadian" juga ato nggak, itu entahlah.

Hehe.

Luz Balthasaar mengatakan...

Ah oke, makasih. Kayaknya saia miss itu nama. T_T

Juno Kaha mengatakan...

Dengan gaya penulisan yang kita kadang bingung sama siapa/apa yg dimaksud di kalimat, wajar deh kayaknya lost track lagi ngomongin siapa.

Ntar kalo gw buka2 lagi dan nemu nama lengkapnya Senja, gw kasih tahu deh.

Hehe.

Mas Imam mengatakan...

ampir 1 tahun bolak balik buka blog ini akhirnya ada review novel fantasi lokal lagi

Luz Balthasaar mengatakan...

Maav lama Mas Imam. Pelan-pelan saia coba kasih apdetan yang teratur lagi yak. :3

Mizuki-Arjuneko mengatakan...

Mbaaak di satu sisi aku ngakak. Di sisi lain alarm-ku buat naskahku sendiri jadi berdering kencang setelah baca ini

Luz Balthasaar mengatakan...

@ Mizuki Asssik. Cepet terbit ya dek, biar bisa saia bantay! >:D

Anonim mengatakan...

Sempet kecewa karena ini yang dibahas bukan beautiful red world. Tapi kekecewaan saya tertutupi. Batara Cela pasti tersenyum bangga dengan ripiew ini :-P

Soal gaya bahasa, justru saya sebagai pambaca lihat ini dulu. Kalo saya ga suka gaya bahasanya saya ga nerusin bacanya walau kata orang bagus banget. Khatam bab 1 aja enggak.


Adrian

Luz Balthasaar mengatakan...

Beautiful saia mulai tulis senin deh, walau tayangnya ngkali nggak di sini.

Dan kalau sebagai pembaca anda langsung gak selera melihat gaya, sepenuhnya bisa dimengerti. Karena saia statusnya repiuer, saia harus bisa ngelihat nggak hanya dari gaya. Kalau saia pembaca murni ya gitu juga kali.

Jadi ini masukan buat semua aspiran penulis novel fikfan Indonesia: watch your style. Kalau terlalu parah, efeknya bisa jelek bagi beberapa pembaca, sekalipun aspek lain novel anda oke.

Anonim mengatakan...

Ooooo ternyata banyak aspek yang harus d perhatikan, bukan hanya karakter, penamaan, plot, worldbuilding tapi gaya bahasa juga aspek penting....#mikir_sambil_makan_gorengan#
Gaya bahasa...??? Mbak luz, gmana cara biar ane tau tipe dari gaya bahasa ane sendiri..???? Jangan jangan gaya bahasa ane gaya Kroncong_punk_rock_metal. Mohon penjelasannya.
# Sukses selalu buat suhu suhu Fikfaninfo

Filiargo

Mr.X mengatakan...

Reviewnya seru :D

minta celaannya juga mbk kalau berkenan, ini bisa dicela tiap minggu :3 hehe
Salam :D

RAION

Mizuki-Arjuneko mengatakan...

Hiiiii XD Iya Mbak, salah satu alasan aktif di GWP buat nyelesaiin naskah ya biar bisa diterapi di sini hihihihi


Everyday Adventure juga diulas dong Mbaaak XD Aku smpat ngulas dikit sih di blogku. Pasti lebih menyeluruh kalau Mbak yg bantai eh kritik eh terapi XD

Luz Balthasaar mengatakan...

Fufufu, baru bisa balik langsung dikasi bahan cela. Saia akan coba baca RAION. Nggak janji bisa mencela tapinya, karena saia lagi diminta baca cerita lain.

^^

Alamanda mengatakan...

Wah, nice review gan, keep on good writing ya. Happy blogging ^^

Aisha Rasyidila mengatakan...

Saya sebenarnya udah lama ngikutin blog ini, tapi baru pertama kali ngepost comment. Setiap kali baca blog ini, saya selalu ketawa-ketiwi dan jadi introspeksi diri sama gaya penulisan sendiri (hehe, saat ini saya lagi coba-coba nulis naskah novel).

Kebetulan adik saya beli buku ini. Meskipun banyak adegan cheesynya, memang ternyata plotnya cukup menarik. The review is well done, Mbak. Batara Cela pasti tersenyum di atas sana ;)

Anonim mengatakan...

Hora hora. Ternyata saya kurang berjelajah di internet tentang novel fantasi. Baru nemu sekarang repiewer kaya gini. Nice lah. Aku bukmak ya? Soalnya aku mau menempuh jalur fantasi yang terjal ini. Nice blog that you have sis :)

Unknown mengatakan...

ampuun gan, reviewnya asik. Ngakak pas ada pict.nya ratu Ular zaman 90-an ;D

Istiana Fadilah mengatakan...

Kece-kece reviewnya, hahaha. Jadi "menyadarkan" sekaligus "menghibur" hihihi. Kalo cerita fantasi yang selfpublish bisa direview juga nggak nih?

Kus Abi Lana mengatakan...

Thank a lot mbak Luz, mencerahkan. Terinspirasi utk buat Novel yang bisa mbak hajar neh....tapi kapan ya?

Haris Firmansyah mengatakan...

Ini blog yang saya sering kunjungi sewaktu masih sekolah. Ayo dong sering-sering update. :D

Anonim mengatakan...

Wah, ngeri juga. Apalagi gaya bahasaku yang khas novel persilatan banget.

Eum, tapi ini kok gak ada yang terbaru yah?

Ahran Efendi mengatakan...

Dari blog ini saya belajar nulis fantasi mulai dari gaya bahasa yang bagus sampe logika cerita (termasuk gimana seharusnya kerajaan, dsb). Saking ngefans-nya saya antusias bgt kalo ada update terbaru walau selama ini jd silent rider aja.

Mbak Luz, update lah ... hehe, kan sekarang banyak novel fantasi Indonesia yg terbit. Misal Winterflame, kn bagus jga kalo direview :3

FaishalBlog mengatakan...

jagoan -jagoannya kayak Satria series ciptaannya om Reino Barack ya kayak bima satria garuda samapai bima x

D. Dalmation mengatakan...

Reviwnya sukses membuat saya jungkir balik. x'D

FA Purawan mengatakan...

Maaf-maaf banget rekan-rekan sekalian, updating blog kami memang sedang agak luammmbaaaaat luar biasa.

Bukannya sudah gak cinta sama fantasi, terutama karya fantasi lokal.

Apadaya, tarikan dunia nyata lebih besar, untuk memenuhi kebutuhan hidup di tengah suasana yang tidak menentu #lebaymodeon

Yeah, dalam kondisi sibuk mempertahankan karir dan periuk nasi, beberapa kesenangan terpaksa harus menunggu. Sesuatu yang amat dicintai seperti blog ini pun, terpaksa menyisih sedikit, duduk di bawah pohon rindang menanti sentuhan.

Jujur, sudah membaca cukup banyak fantasi lokal terbaru, dan sudah sangat geregetan untuk menulis reviewnya. Dan mengejutkan bahwa tidak banyak evolusi terjadi di antara masa aktif fikfanindo terakhir dengan sekarang. Berarti, Fikfanindo sedikit banyak ikut menggelindingkan pembaruan fantasi lokal pada saat itu. Jadi semakin merinding aja mengingat bahwa ada beban tanggung-jawab, jika ternyata pembaruan itu berhenti di tengah jalan akibat kami berhenti di tengah jalan.

Rasanya kami tak ingin membiarkan hal itu. Fantasi lokal harus bangkit (lagi).

Rekans, dimohon bersabar. Pada saatnya kami akan aktif lagi. Untuk sementara waktu, tetaplah mengunjungi kebun ini dan nikmatilah aneka tanaman di dalamnya. Anggaplah kami para tukang kebun sedang mengasah pisau dan gunting tanaman, untuk beraksi lagi. Semoga dalam waktu tak lama mendatang.

Salam fantasi lokal :)

Dewa Poker Gratis mengatakan...

Saya suka dengan perkembangan fantasi saat ini. Termasuk pula game-game fantasi, dari poker fantasi sampai daily fantasy sport.

Defin mengatakan...

Hai. Yuk Cek blog aku. Bakalan ada cerbung genre Sci-fi, Fantasy. Check this link--> http://definalodie.blogspot.co.id/2016/08/vision-of-earth.html

Thanks<3

Unknown mengatakan...

baca cerita saya juga yah mas / mbak bro

http://gwp.co.id/master-weapon/

Admin mengatakan...

cerpenronim.blogspot.com

perfumemories mengatakan...

kok nggak pernah update lagi yah? :(

Unknown mengatakan...

Ayo update lagi dong. Saya rindu dengan kritikan pedas dari para kritikus di blog ini

dejongstebroer mengatakan...

Sudah lama waktu berlalu..

Soareni S mengatakan...

Tante Melissa Aesthetica/Luz Balthasaar ini emang suka bermulut besar ya. Padahal omongannya cuma plagiat Limyaael, dan kalau balik dikomentarin karyanya langsung ngeles dan mencak-mencak. Lagian, nerbitin satu buku aja belum pernah.
Kalau nulis sendiri guyonannya jayus, garing, kebanyakan gaya. Bikin guyonan yg lucu dulu minimal sebelum asal komen.
Different for the sake of being different. Kalau ada pendapat yg beda dengannya otomatis dianggap salah. Tipikal jablay.

Pantesan udah umur 40 lebih status FB-nya masih "berpacaran" sampai disinggung bosnya.

Sentient Potato mengatakan...

Sudah lama ya blog ini gk update, padahal sy kangen kritik judes dari om FA Purawan sama mbak Luz B wkwkwk

Btw @Soareni S, anda butthurt sebegitunya kah? Buat apa sampai nyerang personal life gitu?