Minggu, 06 Juni 2010

DEATH TO COME: Petualangan 3 Penyihir dan Sang Alkemis Mengungkap Rahasia Masa Depan (Tyas Palar - 2009)

by Heinz

Penerbit: Imania
Penyunting: Tantrina Dwi Aprianita
Desain isi: Alia Fazrillah
Desain sampul: Kebun Angan
Jumlah halaman: 351



(Bergabung lagi, satu talent baru reviewer di Fikfanindo, mari kita ucapkan warm welcome buat rekan kita Heinz. Rekan Heinz sendiri sudah tak asing bagi komunitas Fantasy di Goodreads Indonesia, dimana beliau sering wara-wiri sembari meninggalkan jejak review-review yang menarik. Semoga keberadaannya di Fikfanindo dapat menambah keragaman dan kualitas pembahasan novel-novel fantasy lokal di antara kita. Berikut ini adalah review debutnya di Fikfanindo, mari kita nikmati bersama-- FA Purawan)



Death to Come A.K.A.: Mampus Bakalan Datang
Petualangan 3 Penyihir dan Sang Alkemis Mengungkap Rahasia Masa Depan
Novel Pertama dari Trilogi The Search For Merlin

Yup, satu lagi novel lahir untuk memeriahkan jagat per-fiksi fantasi-an Indonesia (udah telat kalee, taun lalu tuh!). Ouch, tepatnya bukan satu novel, tapi satu trilogi. Oleh karena itu sebelumnya, marilah kita memanjatkan doa bersama-sama. Semoga dua saudaranya yang lain boleh terlahir selamat tanpa cacat tanpa perlu di-KB, sebagaimana banyak terjadi di jagat per-fiksi fantasi-an Indonesia. AMIN.

Tidak perlu basa-basi, seperti biasa, mula-mula let’s judge a book by its cover. Ada seorang kakek berjubah merah yang memegang tongkat. Ada pula tiga orang berjubah hitam ala Ringwraith LOTR. Lebih ke belakang lagi tampak latar suatu kota dan menara yang sepertinya terbakar. Sementara di cover belakang tampak lanjutan jubah merah si kakek dan dua bangunan arsitektur kuno Abad Pertengahan. Ga tau tuh bangunan macam apa, yang pasti gak ada Stonehenge.

Ada pula endorsemen yang terpampang di halaman depan dan berbunyi seperti ini: “Kisah dunia sihir Abad Pertengahan. Namun, sihir yang sesungguhnya justru pada referensi dan detail-detail sejarahnya.”

Lalu tepat di atas endorsement tertulis nama sang pengarang: TYAS PALAR. Hehe, langsung inget si cantik Tyas Mirasih deh di Air Terjun Bikini….eh, Pengantin.

But do they sound interesting?

Jujurnya buat aku sih: ga terlalu.

Jujur lainnya: bukanlah alasan cover yang membuatku rela menguras kocek. Alasannya adalah dua kawanku dari 'lautan yang tengah mengalami badai tak berujung', B*B*B (warning: bukan kepanjangan dari Bukan Binatang Biasa!) dan Luz. Kalo dalam rantai MLM, harusnya toko buku G ngasih persenan komisi ke mereka. Yup, mereka berdua begitu rajin mengikuti perkembangan novel fantasi, baca, dan kemudian nyempet-nyempetin nulis repiu singkat di Goodreads. Sementara aku sendiri tipikal picky reader (nyaris bisa dibilang pembaca malez, wkwk). Kalo boleh kukutip sebagian endorsement mereka yang bikin aku bling-bling adalah sebagai berikut:

Ini dari B*B*B:

“Pertama, yang paling aku suka dari kisah ini adalah gaya cerita Tyas yang mengalir banget, dan seperti kata echa, terasa seperti novel terjemahan, mungkin karena beliau udah punya banyak pengalaman menterjemahkan dan bikin artikel.”  (http://www.goodreads.com/review/show/86022662)

Hm, sepertinya si echa ini juga harus diberi persenan. Yang kugarisbawahi adalah NOVEL TERJEMAHAN.

Lalu ini dari Luz:

“Untuk "detail sejarah" yang katanya menjadi poin kekuatan novel ini, aku sepakat bahwa fakta itu menarik, dan bisa memberi pelajaran….Tapi kan ini novel. Pada akhirnya yang kita nikmati adalah ceritanya. Bukan risetnya.” (http://www.goodreads.com/book/show/7391966)

Lha, apa bedanya ama endorsement yang ditulis di cover depan? Bedanya, ini ditulis oleh kawanku yang teruji, terpercaya, dan jelas-jelas emang baca bukunya. Soalnya endorsement suka sesat sih! Nah, di sini yang kugarisbawahi adalah FAKTA SEJARAH. Sejak dulu, aku memang suka sejarah. Apalagi pengetahuanku tentang sejarah Abad Pertengahan pas jaman Dark Age nyaris blank total. Jadi walau ceritanya mungkin ga gitu bagus, tapi minimal boleh belajar dengan cara lebih gaul alias ga belajar dari buku sejarah yang tebel.

Silly emang. Tapi jujur sekali lagi, itulah alasan kenapa novel ini akhirnya turut menghiasi rak bukuku, berdiri tepat di samping Akkadia.

Nah, sekarang mari kita masuk ke dalem. Ayo. Ya, ini rumah tipe minimalis cat putih kelabu yang didesain modern dan nyaman. Tata ruangnya rapi, dua kamar tidur satu kamar mandi. Feng Shui bagus dalam artian aliran udaranya lancar. Lantai sudah keramik. Listrik 1300 W. Ada line telepon…..Wk, ngomong apa aku?

Maksudnya, penuturannya mengalir bagus. Bener-bener seperti NOVEL TERJEMAHAN. Seperti baca Harry Potter made in Indonesia 100%. Penataan layoutnya juga nyaman. Font huruf cukup besar dan gak bikin mata merah. Aku hanya menemukan satu salah ketik dan sama sekali gak mengganggu. Iramanya terjaga dalam arti gag ada yang maksa atau terkesan ujug-ujug. Suer, 350 halaman sama sekali ga kerasa. Ini boleh dijadikan teladan bagus untuk pakem penulisan cerita fantasi yang bertutur ringan. Bravo untuk Tyas Mirasih, eh, Palar!

Ornamen-ornamennya sejarahnya juga memang terbukti diriset serius. Dan bagiku itu sangat mendukung setting bangunan cerita Abad Pertengahan. Obrolan-obrolan para tokohnya jadi terkesan believable . Malah aku seolah terhisap masuk mesin waktu Doraemon untuk ikut nimbrung bersama mereka. Suer! Begitu banyak fakta menarik yang dipaparkan tentang Inggris-Perancis-Wales dan istilah mitologi yang tidak kuketahui. Walau memang banyak yang tidak nyambung ama plot cerita, tapi buatku, fakta-fakta ini membuat suasana menjadi real. Dan aku selalu salut pada para pengarang yang berani meleburkan fantasi dalam sejarah dan berhasil. Setuju deh akhirnya ama si Endorser! Meski harus berhati-hati pula karena suatu novel akhirnya akan dinilai dari ceritanya, bukan deretan fakta risetnya.

Lalu gaya penceritaanya bisa dibilang cukup jenaka. Gimana si Ivar yang melompat-lompat bahagia saat di shopping center. Lalu si Edward yang begitu memegang falsafah “Bersih Pangkal Sehat”. Belum lagi pas si Junda ikutan nimbrung dan ketawa ngakak mulu. Ketawa ngakaknya itu sukses buat aku ikut ketawa juga. Pertama pas dia menyamar jadi TKP (Tenaga Kerja Pria).

“….Orang-orang selalu mengatakan aku lebih pantas jadi pelawak dan penyanyi, tapi tidakkah menurutmu orang gila sebetulnya bisa jadi siapa saja?”

“Ya, kau cocok jadi pembantu seperti aku,” sahut Junda kurang ajar.

Tapi yang paling nempel di ingatanku adalah pas dia ngasih jawaban perihal cermin saktinya pecah:

“Kalau begitu kenapa kau bilang dipatuk ayam?” sergah Ivar kesal

“Karena jawaban yang benar tidak akan membuat siapapun tertawa….”

Nice answer. Karena jawaban yang benar tidak selalu membuat cerita lebih asik. Nih, tokoh tampilannya emang serem. Tinggi, besar, berjenggot pula. Tapi asli doyan ngocol alias wajib gabung dengan Opera Van Java. Ditambah Henry and the Gank, perjalanan panjang ke Lyon benar-benar jadi tidak terasa. Dan jujur aku mau protes keras ama si pengarang. Seharusnya the Gank ini tidak muncul sesingkat itu! Bahkan kalau boleh, munculkan sejak awal!

Penokohannya juga terkonsep matang sehingga gag ada yang terkesan ganjil ato lebay gimana. Bisa jadi aku sependapat ama B*B*B, si Ivar adalah tokoh favorit karena paling manusiawi. Walau agak-agak bego, tapi somehow punya daya tarik untukku. Adegannya yang paling memorable adalah pas uji coba cermin sakti:

“Belajar yang betul, Ivar.”

Wkwkwkwk. Inilah dia cikal bakal satelit pengintai masa kini.

Masalah pembagian keahlian bidang sihir bisa dibilang cukup realistis. Bahwa setiap penyihir punya keahliannya masing-masing. Premis menarik dan cerdas sehingga potensi pengembangan cerita menjadi tak terbatas. Masalah umur para penyihir juga tidak sekedar asal tempel. Jujur awalnya aku bingung melihat tingkah laku si Ivar yang udah bisa dibilang bangkotan tapi kok mirip remaja culun umur 15 taun. Tapi akhirnya aku menemukan alasan logis si pengarang mengapa bisa begitu. Bagus. Meski aku belum cukup mengerti rumus tersirat si pengarang yang menghubungkan umur dan kedewasaan. Ambil contoh kasar begini: umur 100 taun mirip remaja umur 15 taun, umur 600 taun mirip dewasa umur 25 taun. Umur 1500 taun mirip kakek berumur 75 taun. See? Sekali lagi, gak jelas patokannya. Tapi, ya, ‘kan ga semua hal harus dirumuskan secara matematis.

Nah, setelah menjalani tur yang menyenangkan, sayang sekali, aku harus memberitahukan bahwa rumah minimalis nan cantik ini ternyata menyimpan sejumlah rahasia kelam. Menyakitkan memang tapi tetap menarik.

Mari mulai lagi dari Luz:

“Hmm... gimana ya? Ilustrasi Merlinnya tuh kan Merlinnya Disney. *Sigh* kenapa sih harus ngebajak ilustrasi?” (http://www.goodreads.com/book/show/7391966)

Ya, memang pada setiap awal bab selalu nongol seorang kakek berjubah panjang, bertopi tinggi, berjanggut panjang, dan bertampang culun dengan kacamata bulatnya. Kalo ga nyadar si kakek ini siapa, dialah Merlin versi Disney yang kalo ga salah pertama kali show off di film animasi Fantasia taun 1940-an. Tapi ya menurutku informasi ini memang menyesatkan. Pertama tentang pasal piracy. Kedua tentang tampilan si Merlin itu sendiri. Jujur aku sih ngebayanginnya seperti si eyang Gandalf dari LOTR sewaktu belum di-upgrade. Gagah dan abu-abu sih.

Seperti yang kubilang sebelumnya, cerita ini dituturkan dengan gaya yang ringan dan menarik ala novel terjemahan. Sekali lagi, 350 halaman sama sekali gag berasa. Tapi bisa jadi fakta ini bermakna ganda. Soalnya kalo misalnya aku masih memakai seragam putih merah dan Pak guru pelajaran BI berkata: “Anak-anak, ada PR membuat ringkasan novel The Death to Come karya Tyas Palar. Buat yang rapi di kertas folio. Kumpulkan besok di meja Bapak di kantor.”

Eng-ing-eng, apa yang bakal kutulis? Ceritanya simpel banget: pertama si Edward ketemu si Ivar untuk membahas Kilasan Masa Depan. Ternyata hanya Merlin yang punya jawaban dan hanya cermin Junda yang bisa kasih tahu di mana keberadaannya (selaras ama judul Trilogi-nya). Maka dimulailah perjalanan yang menggunakan bumbu sihir. Bertemu Mr. G di jalan tapi sekilas saja. Lalu ketemu si biarawan, sekilas juga. Ketemu makhluk mirip Leprechaun. Akhirnya ada konflik tapi sekilas aja. Dan sekilas-sekilas lainnya hingga akhirnya bertemu Junda. Lalu perjalanan lagi untuk menemui tokoh kunci keempat, yaitu Tariq. Setelah bertemu Tariq, perjalanan lagi. Akhirnya ketemu juga tuh si Merlin. Penyelesaian dan DENG!

Lho, terus 350 halaman isinya apa? Ya, itu: perjalanan. Kenapa kusebut sekilas? Karena memang tidak terlalu ngefek pada premis cerita paling mendasar dari novel ini: Kilasan Masa Depan AKA The Death AKA The Mampus. Walau memang kuakui, kilasan-kilasan itu berguna untuk menguak tabir rahasia salah seorang karakter utama sesuai yang dijanjikan di resensi cover belakang.

Banyak pula karakter yang sekedar numpang lewat. Mulai dari si biarawan, si ksatria Teuton dan saudarinya, si asisten, si tukang ramuan, de el el. Bahkan si alkemis pun bisa dibilang jagoan kesiangan.

Jadi sekali lagi, semua itu hanya sekilas. Gak gitu penting dan sama sekali tidak mempengaruhi jalan cerita utama.

Lalu kalo mo dibikin versi Mind Map, ringkasannya kira-kira bakal jadi kayak begini: Kilasan Masa Depan Ivar – Perjalanan – Junda – Perjalanan – Tariq – Perjalanan – Merlin – Penyelesaian – DENG!

Mungkin bakal ada yang teriak kaya begini: “Woi, repiu-er cupu banget sih lo nulis! Masa cuma gitu aja ceritanya?!”

Mending kalo cuma teriak. Bisa jadi aku dilemparin telor busuk. Tapi sejujur-jujurnya memang cuma begitulah garis besar ceritanya.

“Woi, repiu-er, serius lo! Masa sih ga ada adegan battle yang biasa jadi plot andalan jagat fiksi fantasi Indonesia?”

Yup. Na-da. Telor puyuh.

“Tapi minimal ada ‘kan adegan tarung yang seru?”

Ada sih. Tapi minor banget. Jadi bisa dibilang gag ada. Telor ayam.

Seorang dari kubu teen-lit menyahut, “Tapi ada adegan cinta yang romantis ‘kan?”

Ya, ada. Cinta yang ngenes, tepatnya. Sama sekali ga romantis apalagi erotis. Telor bebek.

Dari kubu feminist ga mau ketinggalan, “Terus emang bener tokohnya semua cowo?”

Ada beberapa tokoh cewe sih tapi perannya kecil banget. Posisi supporting actress-nya juga ga masuk kategori. Telor angsa.

Si feminist langsung duduk cemberut. Dia nggak cukup sadar bahwa pada Abad Pertengahan gerakan feminist belum lahir. Jadi pertimbangan si pengarang boleh dibenarkan. Walau memang pada masa itu sedang trend bakar-bakaran orang yang dilabeli “witch” dan “witch” itu identik dengan cewe jelek ato nenek sihir.

“Yeeeehaaaa, MAHO?!”

Telor buaya. Tapi langsung saja aku manggil security buat menderek keluar si penyusup yang salah masuk ruangan itu.

“Tai banteng lo! Si pengarang udah jelas bilang doyan maen game King of Fighters! Masa gak ada friksi-friksi rivalitas ala Kusanagi-Yagami ato Ryu-Ken ato Goku-Vegeta?”

Baunya sih emang ada. Tapi ga terlalu dikembangin sampe gimana. Telor (mata) sapi.

“Terus ‘kan ini cerita tentang para penyihir! Masa gag ada sihir dahsyat nan edan ala Thundaga Final Fantasy?!”

Cerita tentang penyihir gag harus selalu berhubungan dengan magic-magic killer bervisual indah. Tapi ya, di novel ini bisa kubilang gag ada suatu magic yang membuat imajinasiku terpancing liar. Jadi: telor paus (emang paus bertelor?)

“ARRRRRRRRRGH!”

Yang ini bukan lagi suara salah seorang audiens yang hadir. Mereka sudah diderek keluar semuanya karena ribut tanya ini-itu mulu. Bikin migren. Ini asli suaraku. Suer.

Lalu kenapa pula aku sampai tidak tahu malunya menggunakan toa untuk ber-ARRRRRRRRRGH ria seperti itu di depan panggung? Karena cerita ini bisa dibilang ga punya klimaks atau adegan pamungkas. *berkaca-kaca*.

Juga bisa dibilang gak ada tokoh yang bener-bener antagonis di sini. Saat aku berharap bakal ada pertarungan sihir yang sengit sebagai puncak dari segala kebencian terpendam, eh, ternyata berakhir adem ayem begitu saja. Memang, sih, ada sedikit alasan di balik semua kesulitan yang dialami para protagonis selama perjalanan. Tapi menurutku, gak cukup kuat. Sangat kurang buatku.

….Oooh, apa yang terjadi, terjadilah.
Karena Tuhan penyayang umatnya….

Begitulah lantunan suara merdu Merlin menyanyikan salah satu lagu Golden Hits Indonesia taun 70-an.

Nah, untuk menggambarkan suatu repiu pamungkas spoiler free, coba sekarang elo bayangin ada maling berkostum hitam, bermata merah, berotot kekar, bengis, dan pake CD merk Pierre Cardin di kepalanya. Bau badan pula. Pokoknya lebih menyeramkan dari hibridisasi Mbak Sadako dan si kolor ijo. Tapi thanks God, dari laporan seorang temen agen CIA, elo udah tau bahwa maling itu dalam waktu dekat bakal singgah di rumah elo (Tapi tentu saja buat ngegarong, bukan nongkrong). Dengan kata lain, elo punya keunggulan satu langkah di depan. Nah, apa yang bakal elo lakuin?

1 detik. 2 detik. 3 detik.

Kalo aku sih pasti bakal membangun Great Wall berduri dilengkapi meriam. Terus aku bakal nimbun dinamit, bom molotov, C-4, dan kalo bisa rudal Tomahawk. Belum lagi AK-47 di tangan kanan dan keris Mpu Gandring di tangan kiri. Kamar tidurku juga bakal kumodif jadi tank Panzer. Lalu tepat pada waktunya, aku bakal berteriak: COME AND GET THEM!!!

Memang pada akhirnya semua teknik banting tulangku itu worthless total. Si maling kampret tetep datang juga dan menggasak habis semuanya tanpa sisa. Lha, suratan takdirnya memang begitu. Sudah ketuk palu, gak bisa diganggu gugat. Tapi minimal aku gak mau duduk diam sambil kipas-kipas badan. Aku bakal berusaha sekeras mungkin. Walau yah….semua usaha kerasku itu paling cuma bakal menghasilkan satu paragraf eksyen pendek pada catatan hidupku di rapor akhirat.

….Que sera sera.
Whatever will be, will be….

Lagi-lagi terdengar lantunan suara merdu Merlin menyanyikan satu lagu Western Golden Hits favoritnya.

Kesimpulan, novel fantasi ini asyik. Bahasa dan lay-out sama-sama bagusnya. Apalagi buat author wannabe macam aku yang masih perlu banyak belajar. Bahwa gaya cerita menarik boleh dimiliki setiap penulis yang kreatif dan mau berusaha, bukan hanya monopoli para penulis fantasi beken di luar sana.

Ibarat makanan vegetarian. Tampilannya cantik menggugah selera. Ga keliatan serat-seratnya. Sehat? Ya, kata dokter gaek di iklan TV: serat bagus untuk pencernaan. Bisa ditelan? So pasti, toh kokinya jebolan TV Champion. Seratnya udah diolah selembut sutra. Soal rasa, lidah ga bisa boong. Memang ada yang kurang tapi masih bisa ditolerir. But after taste-nya, uh-oh….

Well written but anticlimactic and lacking in content. But still, it’s worth it.

Kutunggu sekuelnya walau sebagai tipikal picky reader sejati, sepertinya aku harus kembali dipanas-panasi. *melirik ke B*B*B dan Luz*.

15 komentar:

Juno Kaha mengatakan...

PERTAMAX!

Yak, selain mau bilang Pertamax ala Kaskuser padahal bukan Kaskuser sama sekali, gw jg mau menyetujui review Heinz terutama di bagian klimaks cerita.

Gw kebetulan dikasih pinjeman ama temen dan krn gw kebiasaan random page read sblm akhirnya bnr2 baca dari awal sampe akhir runut, gw jadi tahu endingnya gimana dan isi ceritanya (kira2) gimana.

Dan kemarin ini gw baca bab2 awal, agak beda ama Heinz, gw malah merasa bahasanya berat. :| :| Berasa baca Sabriel, berapa kalimat merasa bosan, tutup buku, ntar sehabis ngapa2in gw baru lanjut baca lagi. :| Apa itu cuma gw yah?

OT: Heinz, kemarin pas gw beberes majalah2 lama, gw iseng ngebuka Animonster jadul dan iseng ngeliat nama2 kontributor dan lsg ketemu jreng-jreng tertulis jelas Tyas Palar. :D :D Tapi itu Animons jaman kapaan gitu. :P Geus jadul.

Hehe.

Anonim mengatakan...

Iseng-iseng nyoba bikin repiu dan kupikir repiu model cerpen gini ga cucok nampang di GR. Tapi sori kalo ada salah-salah di sana sini. Masih junior.

Ah, ya, satu lagi yang paling penting. SEHARUSNYA:
by Heinz feat Luz B.
Hehe, maklum si Luz ini boleh dibilang editornya. Dan tentang terjemahan MAMPUS BAKALAN DATANG yang nyeni itu, the credit goes to her.

@juun
Hehe, thx dah mampir jadi yang PERTAMAX. Gaya bahasa berat ya? Ehm, kalau buatku sih agak bergaya HP. Yang pasti lebih ringan dari Akkadia. Bobot ceritanya pun bisa kubilang cukup ringan dan mudah dimengerti. Gada plot yang terlalu rumit gimana gitu.
Hehe, kalo Animonsterku sih udah diloak semua. Tinggal Ultima doang yang masih nyisa.

@bang Pur
Sekali lagi, terima kasih atas ijinnya untuk boleh ikut nampang dan meramaikan.

Heinz.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Juun, Heinz, barangkali karena 'gaya bahasa terjemahan' itu ngenanya nggak ke semua orang.

Aku sendiri menganggap ini lumayan ringan.

Kalau plot, memang iya. Saking ga rumitnya lempeng kayak jalan tol pas lagi ga ujan. O_O

Kekurangan plot itulah yang bikin aku gemes ngelihat risetnya yang bertebaran kiri-kanan tapi banyak yang ga nyambung dengan jalannya plot. -_-

Kalau ngutip Om Kuroyanagi di Yakitate Japan, "Roti melon kamu itu yang enak melonnya, bukan rotinya! Ini kan lomba bikin roti! Harusnya kamu bertarung dengan rotinya!"

Gitu deh.


Luz B.

Juno Kaha mengatakan...

@Heinz: Model review gw kalo di blog ama di forum jg kacau2 bahagia, yg penting yg baca ngerti maksudnya gw doang kok. :P :P

Btw, gw nyoba ngubah metode postingan komen blog gw, kalo mau nyoba lagi. Mudah2an udah gak masalah sih. Skrg gw ubah jadi link ke halaman baru, gak lsg di bawah postingan isi komennya. Di blog Luz yg pake metode komen lsg isi di bawah postingan itu jg kadang2 gw yg udah login aja gak "ke-detect" dan sesudah di-refresh gak jg beres.

Hehe.

FA Purawan mengatakan...

Buat gue, penyelesian plot buku ini memang masalah. Akan ada pembaca yang merasa 'kesal' karena setelah menghabiskan halaman per halaman, di ujungnya gak ada sesuatu yang worthy untuk didapatkan.

Memang masih bisa dimaklumi bila tujuannya untuk bersequel, artinya pembaca bisa berharap ada sesuatu di ujung sana setelah trilogi tergelar.

Tapi untuk situasi macam itu pun, tetap perlu adanya cliffhanger untuk membuat pembaca merasa 'membutuhkan' buku kedua.

Ini pelajaran bagus dalam hal manajemen plot :)

FA Pur

Juno Kaha mengatakan...

AH!

Kemarin beres baca The Death to Come dan akhirnya gw ngerti kenapa buku ini datar2 bahagia, tapi tetep terasa bagus.

Buku ini, ketimbang perjalanan menuju suatu tempat untuk mengalahkan musuh atau berperang, dia lebih ke arah "mencari tahu sesuatu". Gw baru inget kalo gw pernah baca novel yg ceritanya kira2 berpola sama, The Society of S, dan biarpun gw merasa novelnya bagus, gw cuma sampe pada merasa "yaaa begitu deh".

FYI, di The Society of S si karakter utama pergi meninggalkan rumah dan nekat menuju daerah Florida yang asing sama sekali buat dia demi mencari tahu keberadaan ibunya yang menghilang sesaat setelah ia lahir.

Kalo di The Death to Come, Ivar dan Edward pergi mencari Merlin karena ingin mendapat kejelasan mengenai penglihatan yang didapat oleh Ivar.

Di pola cerita kyk S ama Death (dgn lancang menyingkat judul), emang rentan banget jadinya boring dan datar tanpa konflik apapun karena emang gak ada "musuh utama" ato "big bad guy". Kalopun ada, "musuh" tersebut lebih berupa fakta yang sama sekali tak diduga oleh si karakter utama dan cukup bisa membuat shock, at least kaget.

Gw ngebandingin dua judul itu dengan Ring, yg scr garis besar ceritanya tu perjalanan si reporter apes mencari cara melepaskan diri dari kutukan Sadako. Beda dengan S dan Death, di Ring, sepanjang perjalanan ada "musuh" yg membayangi berupa "waktu hidup elu tinggal x hari lagi lhooo".

The Godfather, Musashi, Taiko, sbnrnya termasuk ke arah "cuplikan kisah hidup" yang--kalo gw sih--menggolongkan ke perjalanan juga, tapi bedanya dengan Death dan S, di tengah2 perjalanan mereka ada hambatan yg cukup besar dan kompleks sehingga mau tidak mau harus dihadapi sampai tuntas-tas-tas kalau mau terus ada cerita kisah hidup mereka. Kalo di S dan Death, gak ada yg semacam ini, makanya terasa isinya datar tanpa konflik yang kerasa banget.

Lain lagi kalo The Five People You Meet in Heaven ama The Alchemist (Paulo Coelho). Dua novel itu emang pada dasarnya mau memberikan sebuah "moral of the story", jadi bagian itulah yang ditonjolkan dan si pengarang sukses membuat pembacanya terkesan.

Kalo di Death (ama S), yaah, kalo gw liat emang gak perlu ada konflik dahsyat yang menghambat perjalanan mereka seperti terjebak dalam perang jadi ikutan perang dulu dst. Karena pengarangnya memang men-set demikian (yaak, gw akan ngelempar buku malahan kalo ada perang2an di tengah cerita, krn gw merasa ini perang cuma tempelan biar rame doang) dan memang--mnrt pengamatan gw sbg pembaca--porsi cerita di keduanya nggak pake konflik kyk gitu itu malah lbh ideal. Kekurangannya ya tentu saja jadi datar, tapi daripada tahu2 ada konflik yang gak jelas, sekedar buat ngeramein, gw lbh suka bentuk yang sekarang ini. :D :D

CMIIW pembahasan gw, btw. :D :D

Hehe.

Anonim mengatakan...

@Bang Pur
Yeah, endingnya itu emang agak "bermasalah". Tapi bukan berarti bad juga. Kalo kubilang, ga memenuhi harapan pembaca (aku). Jujur sampe tiga bab terakhir sih masih kubilang OK dan penasaran. Tapi setelah itu, waduh... Jadi deh mulai cari kesalahan sana-sini.

Tentang cliffhanger, ya, aku setuju. Kalo mau trilogi yang case-closed, itu ga pa pa juga. Tapi ya, akan lebih "bijak" jika ada teaser yang serius ato apalah mengingat cerita ini bakal ada lanjutannya.

@juun
Apalah artinya suatu cerita tanpa konflik? Ibarat masak ga pake bumbu ==> basi banget!!!

Kalo di alchemist, kupikir konflik yang hendak ditonjolkan adalah pergulatan moral.

Lalu di Old Man and the sea, konfliknya adalah perjuangan nangkep ikan dan menaklukkan diri sendiri.

Tuesday Morrie belum baca. Tapi dari semua novel yang kubaca selama ini, pas udah setengah buku minimal udah tau arah konfliknya mau dibawa ke mana. Dan tanpa sadar, biasanya aku mulai menebak-nebak dan gag sabar.

Nah kalo di Mampus (lebih enak lagi nih nyingkat), konflik yang harusnya muncul (dan jujurnya sangat kuharapkan) adalah tentang death itu sendiri dan rivalitas E-G. Terserah si penulis mau digimanaken. Gag juga harus dalam bentuk adegan grand duel. Tapi menurutku, eksekusinya terlalu minimalis. Dan after taste yang buruk itu bisa jadi mempengaruhi cita rasa keseluruhannya. Jadi inget salah satu thread di lautan almarhum: Ending buruk (baca: tidak memuaskan), ngaruh ga sih?

Heinz.

Juno Kaha mengatakan...

@Heinz: Teaser di Death mnrt gw udah pas. Terakhir kan dibilang kalo Ed ama Ivar mau pergi lagi ke timur. Org (dgn asumsi gak ada label "buku pertama dari trilogi ...") at least tahu bahwa masih bisa ada cerita lagi dari sana. :D :D

Tuesdays with Morrie itu lbh ke arah menggali makna hidup sih, jadi yang diusung ya moral of the story-nya. Coba deh kapan hari elu pinjem baca The Society of S karangan Susan Hubbard terbitan Gramed (terjemahan bhs Indonesianya) dan bandingin ama Death ini. :D :D Berdua itu yang emang amat sangat mirip dalam hal pola plotnya, IMHO.

Hehe.

Anonim mengatakan...

Nice review, bro! *gambar jempol* Gw jadi tambah pengen baca. Blom sempet beli nih.


Adrian.

Anonim mengatakan...

@heinz,
reviewnya menarik. gw kasi peringkat lucu khusus buat strings-of-telor nya, yg buat gue emang lucu.
btw, paus betina juga betelor kan? infact, semua mahluk betina kan betelor... *grin*

posting dong di gr, atau minimal kasi link ke sini.

-nngs-

Anonim mengatakan...

@adrian
Silakan dicari dan dibaca novelnya. Thx dah mampir.

@nenangs
Thx juga dah mampir.
Dah ditaro link-nya di GR.
Biar situs ini makin seru.

Heinz

Tyas Palar mengatakan...

PERHATIAN: SAYA LEBIH SEKSI DARI TYAS MIRASIH. *KOMENTAR GA PENTING BANGET*

Huahahaha, Mantoel Toeink, makasih banget sudah menuliskan kritik panjang-lebar begini ya. Gue sampe ketawa-ketawa geli sendiri ngeliatnya.

Cuma mau ngomong beberapa hal aja:

1. Soal gambar Merlin itu... AIH. Itu memang benar-benar lepas kendali deh. Gue sama sekali nggak tau itu gambar bakal muncul. Kalau tau pasti juga gue tolak, karena, yup, you're right, bisa kena pasal piracy tuh. Tidak bisa beberkan banyak-banyak soal proses pembuatannya, intinya sampai terakhir gue nggak tahu di layout bakal ada begituan. Kalau tahu juga pasti bakal gue minta hapus. (BTW, Merlin Disney is one of my favourite version of Disney ever! Meski lebih asyik lagi baca 'Sword in the Stone', novel yang jadi dasar Disney bikin film itu.)

2. Lucunya, sebetulnya waktu nulis buku ini, gue nggak mikir 'mau bikin novel fantasi'. Melainkan lebih pada 'kisah yang mengalir antara para karakter, dengan latar belakang sejarah'. Makanya, nggak kepikiran wajib ada adegan tarung dsb. Tapi porsi adegan kekerasan... eh adegan berantem-beranteman/pertarungan memang rencananya semakin meningkat sampai buku ketiga. Buku pertama memang lebih seperti jadi 'dasar' untuk dunia yang bakal pembaca temukan di buku-buku berikutnya. Kalau ini dianggap kekurangan, monggo, gue juga mohon maaf bila kurang memuaskan... (kok omongannya jadi mencurigakan begini?)

3. Ini novel pertama yang berhasil gue selesaikan, dan on hindsight, memang masih banyak kekurangannya. Itu gue jadikan sarana untuk belajar bagaimana menulis lebih baik lagi. Apalagi dengan tanggapan-tanggapan pembaca seperti ini, nah kan jadi tahu apa yang kurang, apa maunya pembaca, dsb.

Semoga buku kedua nanti bisa lebih memuaskan ya.

By the way, mari sundul penerbit biar cepat terbit! Hiyaaa! Sudah ketunda beberapa bulan nih!

Novera Xaliber Reginhild mengatakan...

bagus, ya!

Novera Xaliber Reginhild mengatakan...

aku suka!

Anonim mengatakan...

ahya, buku ini. Saya ambil dari rak taman bacaan karena ngeliat nama pengarangnya, Tyas Palar. saya tertarik karena tahu author adalah kontributor dari majalah anim, hehe. good enough to read, I said =D

tapi sayang, ending ceritanya kurang err, bikin greget. Soalnya saya sempat berpikir : yah, jadi gini dong? (maaf buat Mbak Tyas Palar, hehee). Rasanya mirip-mirip ending HP 7 yang beneran bikin rada kuciwa (om voldemort matinya gampang amat -_-)

terus, menurutku 350 hlm itu kuraaaaanngggg.... I want more! *digetok. Udah gak beli, protes pulak, hahayy. Saya doyannya bata, eh, buku setebel bata sih, hehe.

kemudian karakter Tariq. sebenarnya itu karakter yang menarik, sayang hanya nongol seiprit. semogaaa dia nongol lagi di buku 2 yang belum sempat saya baca.

^^