Kamis, 14 Januari 2010

ILUMINASI (Lisa Febriyati - 2009)


By FA Purawan

Penerbit: Kakilangit Kencana
Editor: Syaffrudin Azhar
Desain Sampul: Circlestuff Desugn
Tata letak: Jeffry
Ilustrator: Damuhbening
Tebal: 433 halaman


Tahun 60-an, suatu 'revolusi' dalam kebudayaan telah terjadi, merubah pandangan umat manusia terhadap konsep 'agama' maupun 'keberagamaan'. Lahirnya 'flower generations' saat itu bukan saja merupakan perlawanan politis masyarakat terhadap kebijakan pemerintah (Amerika, terutama) yang terlalu aktif berperang di sana-sini, namun juga merupakan pendobrakan 'spiritual' terhadap lembaga-lembaga agamawi yang dianggap terlampau dogmatis. Pemberontakan itu antara lain terwujud dalam perilaku ekstrim semacam freesex dan drugs, yang dianggap mampu merepresentasikan simbol-simbol perlawanan terhadap nilai-nilai kemapanan (atau puritan, yang pada saat itu banyak bersumber dari kalangan agama), dan sebagai bentuk kekecewaan bahwa ritual agama yang ada tidak memberikan jawaban atas pencarian spiritual kaum muda pada saat itu.

Setelah bergenerasi berselang, di tahun 2000-an, mulai muncul pembelajaran bahwa freesex dan drugs gak membawa kita kemana-mana, kecuali dapet AIDS dan sakaw, hehehe. Tapi pencarian spiritualnya terus berlanjut, walau tak lagi dicari melalui penggunaan drugs. Dan pemahaman spiritual mulai bergerak dari ranah badaniyah ke ranah internal yaitu pemikiran dan pendalaman terhadap diri. Dalam kebudayaan modern sekarang ini, frasa mengenal 'diri sejati' atau 'mengaktualisasikan diri' menjadi kalimat yang populer, whatever it means.


Walau teteup, sih, proponent freesex gak juga ketinggalan jaman dengan menjual paham baru, dari yang "free to choose your sexual partner", menjadi "free to choose your sexual orientation". Dan ndilalah itu tetap selaras dengan konsep 'aktualisasi diri' berbasis definisinya masing-masing, heheheh. Namanya juga jualan ideologi, bisaaa ajah!

Wait, aku gak lagi ngomongin queerlit, lho, dengan opening ini. Mari kita kembali pada pemahaman spiritual di tahun 2000-an dengan konsep internal 'aktualisasi diri' tadi. Ini pandangan inti dalam spiritualis new age, dimana mereka percaya bahwa puncak spiritualitas manusia ada di dalam dirinya sendiri, dan melalui sebuah proses pencerahan, maka bungkus itu akan tersingkap dan manusia akan memasuki suatu pengertian baru yang menempatkan kita dalam 'maqom' yang lebih tinggi, sampai akhirnya kita semakin mendekati "Sang Pusat" dari segalanya.

Pandangan yang menurut sejarahnya bersumber dari spiritualisme timur macam India yang kemudian menyebar dalam bentuk Buddhisme, Taoisme, Zen, apa lagilah. Metode-metode semacam ini kemudian memasuki alam budaya Barat melalui kaum flower generations yang menekuni tradisi Yoga, meditasi, bahkan Martial Arts. Pada ujungnya, saat mulai diterima oleh masyarakat Barat yang kreatif, mulailah muncul pada produk budaya tertinggi mereka, yaitu Science, Literatur dan Film.

Dewasa ini kita mulai menerima banjir produk budaya bertemakan spiritualisme new age, terutama melalui Film, sebab kita bangsa yang kurang suka membaca dan lebih suka jadi penonton. Tengok film-film seperti Flatliners, Trilogi Matrix, Heroes dan sebagainya.

Particularily, serial Heroes, yang tampaknya secara khusus menjadi inspirasi dari salah seorang pengarang lokal yaitu Lisa Febriyanti, yang menuliskan novel ILUMINASI. To sum up, Iluminasi adalah our take on New Age Spiritual concepts yang mengambil setting mirip dengan serial Heroes. Dan sebagai karya yang berusaha mengangkat isu spiritual dalam bahasa kekinian, rasanya Iluminasi cukup bisa berbicara.

Iluminasi menceritakan keberadaan manusia-manusia "istimewa", the X-Men, manusia super, yang memiliki kemampuan extra-ordinary seperti kemampuan mind-control, levitasi, terbang, bergerak cepat, memancarkan listrik, memanjangkan anggota tubuh (cewek, BTW, so gak usah mikir terlalu jauh:)), meciptakan api, punya sayap di punggung, kemampuan regenerasi sel, dan lain-lain. Setting di Indonesia, dan dalam cerita ini, manusia super itu bergabung dalam dua kelompok: The White Lights (WL) dan The Pure Black (PB). Dan seperti kelompok elit di manapun, keduanya bersikap bermusuhan, dan konon permusuhan itu sudah terjadi sejak beribu tahun lamanya.

Manusia-manusia istimewa ini bisa menjadi istimewa berkat keberhasilan mereka mengejawantahkan potensi istimewa yang sudah terkandung dalam kode genetik mereka, melalui sebuah usaha pencerahan, atau, yup: Iluminasi.

Tokoh cerita, Ardhananeswari atau dipanggil Ar, adalah salah seorang manusia istimewa yang belum terbangkitkan. Dan mengikuti pakem 'the chosen one', si Ar ini menjadi minat dan rebutan bagi dua seteru WL dan PB, karena konon dia menguasai suatu kekuatan yang unik yang sudah dinanti-nantikan oleh para manusia istimewa sejak ribuan tahun. Plot buku ini kemudian mengalir menceritakan proses kebangkitan Ar berikut pendalaman kisah latar belakang para tokoh, saling keterhubungannya dan akhirnya berklimaks di manifestasi kekuatan Ar yang menjadi pusat konflik WL & PB.

Sebuah cerita yang menarik, dan plot yang cukup rapih. Maksud saya, pengarang gak semata-mata niru konsep serial Heroes dan cuma ngambil kulitnya aja seperti banyak dilakukan oleh 'fantasy' writers. Dunia Iluminasi adalah dunia yang punya alasan cukup solid. Para karakter memiliki kekuatan ajaib yang fungsional terhadap karakternya sekaligus terhadap cerita. Dan para karakter ini pun masih sangat terlihat sisi-sisi kemanusiaannya sekalipun mereka bukan 'ordinary' human. Memang ada kemiripan dengan karakterisasi serial Heroes, terutama dalam jenis-jenis kekuatan ajaib yang dimiliki, dan dalam asal muasal kekuatan tersebut, yaitu dari DNA. Tapi karakter-karakter di Iluminasi bergerak, berpikir, dan bertindak dengan cara yang berbeda. Dan itu membuat novel ini tak tampak sebagai copy-cat dari konsep Heroes.

Kemudian pengarang juga meramu ceritanya dengan konsep-konsep new age spirituals, yang walau mungkin terdengar 'baru' dalam khasanah literatur fiksi lokal, tak lagi asing bagi pembaca di Barat. Dalam hal ini karya Fiksi-Spiritual serial Celestine Prophecy karya James Redfield. Ada konsep-konsep yang merupakan adopsi dari Celestine Propjecy, seperti Sinkronitas ('kebetulan' yang mengandung makna), Dimensi-Dimensi yang eksis di 'atas' Dimensi kita, dan lain-lain.

Singkatnya paduan setting yang solid dan plot memikat, membuat buku ini memiliki dasar kualitas yang cukup bagus. Untuk penggemar ide-ide filosofi-spiritualis New Age, buku ini akan cukup diapresiasi berkat kandungan filosofisnya yang cukup tergarap. Masukan adegan-adegan action extra-ordinary yang cukup menghibur dan cukup 'masa-kini', menjadi bumbu yang menarik dan cukup mendatangkan suspense menghibur bagi pembaca.

Lantas apakah menjadi buku yang bagus menurutku? Well, satu aja yang kupikir menjadi aspek minus (walau bisa saja hal ini gak berlaku terhadap pembaca lain), yaitu 'styling', yang meliputi penggunaan (atau revitalisasi, tepatnya) kosa-kata non-umum dalam bahasa Indonesia. Pengarang tampaknya berambisi mengorek-ngorek sudut kamus bahasa Indonesia yang jarang dijamah orang, mencoba menemukan kata-kata baru di balik timbunan debu, dan mencoba memasangkannya di novel untuk membuat bahasa novelnya lebih 'bergaya' (dan nyatanya, pun, ada yang terbeli dengan style ini, sebagaimana endorsemen berikut: ...didukung kekayaan terminologi, perlambang, dan tuturan bahasa yang cantik... -Darminto M. Sudarmo, di cover belakang.)

Apakah aku terbeli? Well, sini aku list-kan dulu sebagian kata-kata 'new age' yang berhasil digali oleh pengarang:

- (air teh) yang hangatnya mulai lindang
- berkelindan
- lindap
- segali jenggut
- ripuh
- repih
- repah
- selingkung energi rindu
- hatinya berpesai-pesai
- asa nya perlina
- rancak yang berganduh pada samsara
- nanap memandang

dan lain-lain yang nggak lagi aku bisa temukan saat ini, hehehe.

Dengan pilihan kosa-kata semacam ini, tentunya teman-teman sudah bisa menduga gaya bahasa seperti apa yang digunakan di novel tersebut. Yak, mengarah ke puitis. Bahkan sampai ke dialog pun, 'puitisasi' itu masih terasa juga, sehingga menurutku beberapa part dialog itu rasanya tak wajar diucapkan di setting sehari-hari, kecuali dalam sinetron yang menggunakan efek kamera soft-focus, dengan suara mendesah, gitu deh. Dan catat, Novel ini masih jauh lebih enak dibaca dibandingkan novel L@n@ng yang --kira-kira-- menerapkan kiat yang sama.

Sorry, kalo pengandaian saya jelek dan gak tepat. Soalnya ga biasa nonton sinetron. Ho-oh, sumpe loh.

Sehingga, semuanya menjadi masalah selera. Tapi untukku, yang jelas jadi masalah koneksi, sebab gaya bahasa itu membuatnya jadi berjarak dengan pikiranku, dunia novelnya jadi kurang bisa kumasuki.

Kemudian aspek styling lainnya yang kurasakan cukup aneh, adalah kenapa pengarang harus menggunakan inisial untuk nama kota yang sebenernya sudah sangat obvious sehingga pembaca udah pasti ngerti kota mana yang dimaksud. Pulau B, Kota J, Kota B,... gue inget ini gaya novel aliran jaman baheula, taun 70-an, kali ya? Atau biasanya di artikel-artikel Oh-Mama-Oh-Papa atau Cerita-Cerita-seru.com (ups...) Entah apa maksud dan tujuan pengarang, sebab gak usah disingkat, tulis aja Pulau Bali, Kota Jakarta, Kota Bandung, pembaca nggak akan protes, koq.

Sementara untuk naming, pengarang malah mencampur Istilah Inggris seperti White-light (tapi pemimpinnya disebut: Kamitua. Ga cucok deh!), Pure Black, Ordinary, dll. Buatku, istilah Inggris di dalam novel ini gak terlalu 'masuk' ke dalam keseluruhan setting, terkesan tempelan untuk membuatnya ber-kekinian aja. Tapi gak parah juga, sih. Nama karakter dibuat singkat --umumnya satu kata, misalnya Shaman, Zero, Pijar, Agni, Speedy-- dengan alasan yang cukup pas, bahwa nama-nama itu merupakan pengganti nama asli mereka, dimana nama baru mengandung pengertian sesuai dengan kekuatan istimewa mereka (yah, gak semua mengikuti aturan itu, sih. Tapi itu adat yang berlaku di kalangan manusia istimewa).

So, nothing too bad, also nothing too special juga. Mengalir dan cukup pas, lah.

Catatan terakhir, adalah mengenai sampul.

Sampul yang di desain Circlestuff Design menampakkan sebuah pohon meranggas dalam kegelapan yang dijatuhi berkas cahaya dari sebuah lubang di langit ("Anjrit! Pakulangit!" gue hampir memaki, hehehe). Seberkas idea mengenai kata 'Iluminasi'. Tadinya aku bersikap netral aja terhadap desain sampul ini. Tapi sewaktu aku membuka sampul dalam dan melihat ilustrasi 'Lompatan 1' (Istilah lompatan digunakan sebagia pengganti istilah BAB, which is interesting), sebuah pendulum yang digambar oleh Damuhbening, aku hampir terlompat beneran. Sh*t! Harusnya lambang ini-nih yang dijadikan cover! Keren banget!

Well, I guess, itu hak prerogatifnya penerbit, aku ga boleh ikut campur. Tapi bagi yang paham kekuatan simbol dalam memasuki alam bawah sadar manusia (baca: konsumen), keberadaan lambang itu mestinya jangan dianggap remeh.

OKEH, jadi kesimpulannya, novel Ilumnasi ini sesungguhnya merupakan perwujudan idea yang keren dan sangat relevan untuk masa kini. Opini saya, kalau saja kemasannya bisa dibuat lebih masa kini --termasuk menyederhanakan dan mengkinikan gaya bahasa puitis dan et cetera itu-- maka novel ini bisa punya posisi yang lebih menohok pasar. Mbak Lisa, selamat atas karyanya. Moga-moga sekuelnya lebih seru!

Salam,


FA Purawan

Senin, 11 Januari 2010

Eurgava: Epos Awal Dunia Sudarot (I Tsu Baskara - 2009)

By Luz B


Pengarang: I Tsu Baskara
Editor: Faiz Ahsoul
Penerbit: Lintang Books
Design sampul : E. Bendung W.
Ilustrasi Isi : I Tsu Baskara
Tebal: 306 halaman


Sejak menyelesaikan review terakhirku sebelum yang ini, aku sudah menghabiskan cukup banyak waktu untuk perawatan intensif di Rumah Sakit Spesialis Korban Fikfan. Akhirnya aku dinyatakan cukup sehat untuk kembali membuat ulasan. Walau tentu saja bapak dan ibu dokter yang budiman/budiwoman di sana berpesan untuk tidak bikin ripiu yang berat-berat dulu. Karena itulah aku memilih sebuah buku yang kelihatannya bukan jenis fikfan uber-njelimet. Judulnya? Eurgava: Epos Awal Dunia MakEro... eh, Sudarot.

Belum apa-apa aku sudah ketularan sifat salah satu karakter di novel ini, yang punya hobi asal nyebut nama. Duh. Tapi soal itu disimpan dulu deh untuk nanti.



Seperti biasa, mari kita mulai dari cover. Gambar dua orang tokoh utama cerita, satu bawa pedang, satu bawa panah. Pewarnaan keren, layout menarik. Usut punya usut, yan g ngerjain ternyata E. Bendung W., sama dengan yang ngerjain ilustrasi untuk Pinissi: Hikayat Orang-Orang Setinggi Lutut oleh Mama Piyo. Buat Bang Bendung, keren! Merah, kuning, putih bercampur jadi kesatuan yang nonjok tapi ga bikin sakit mata. Jujur aku ngambil buku ini salah satunya karena tertarik sama cover.

Balik ke cover belakang, wele, ga ada sinopsis. Ga terlalu ngaruh buat aku sih karena cover depannya sudah win banget. Tapi apa ini? *gasp!* Endorsemen!

Gyaaaaa~! Tidaaaak~!

Aku punya alasan kurang suka sama makhluk satu ini. Endorsemen penting buat marketing, tapi kalau wujudnya berupa janji-janji surga yang kayaknya too good to be true, pastilah aku kepancing ngenye'. Mari kita lihat kutipan sebagiannya di bawah ini...


"...Dunia Sudarot sangat imajinatif dan detail... [penulis] memberikan cerita fantasi yang hidup."

"...petualangan keren untuk remaja!"

"...Ramuan imajinasinya, menjadikan kisah dalam novel ini terasa benar-benar terjadi. Bahasanya mengalir, karakteristik tokoh dan setting begitu kuat, mencitrakan penulis yang begitu lekat akan pemahaman emosi, sosial, analitik, imajinatif yang dilandasi intelektual (ISEAK).


Heh.

Endorsemen pertama dan kedua, lumayan. Wajar dan nggak terlalu bawa-bawa angin surga, walau kedengerannya biasa banget. Udah berapa novel sih yang majang kata "penulis remaja," "detail," dan "imajinasi" buat ngedongkrak nilai jual fikfan?

Endorsemen yang ketiga, waduh. No very deh. Ngerti, kita perlu jualan. Namun, jika kita memang ingin membantu penulis-penulis muda, caranya bukan dengan membebani buku mereka dengan endorsemen yang dibumbui istilah canggih tapi sama sekali ngga membantu mempromosikan isinya. Maksudku, memangnya remaja bakalan beli buku ini karena buku ini mengandung ISEAK? Boro-boro. Peduli ISEAK itu apaan aja belum tentu.

Sekali lagi, para endorser, pleeeeeease kalau kasih endorsemen ke buku bikinlah yang bunyinya tulus dan nggak muluk. (Did you even read the book, BTW?) Biarkanlah urusan kecap-mengecap tetap menjadi kerjaan para politikus.

Baik, mari kita mulai dari halaman pertama. Kata pengantar... dan pengenalan ras serta kota. Hm? Apaan nih? Kebanyakan novel fantasi yang aku tahu glosariumnya di belakang. Tapi ini kenapa di depan ya? Aku jadi kepikiran bahwa salah satu masalah terbesar dalam membuat dunia fiksi fantasi adalah menciptakan dunia yang bisa menarik pembacanya ke dalam buku. Dan deskripsi, tentunya, merupakan salah satu unsur yang potensial dimainkan untuk membuat dunia fiksi fantasi terasa 'hidup'.

Namun, sudara-sudari, untuk bermain deskripsi kita memerlukan kiat dan siasat. salah satu masalah yang sering kualami, deskripsi seringkali memutus aliran cerita. Jadi aku berusaha mencari teknik yang tepat untuk mengintegrasi deskripsi biar cerita gag terasa kayak film yang tiba-tiba di-pause agar penulis bisa menggambarkan apa aja yang ada di layar.

Dan rupa-rupanya pengarang Eurgava punya trik lain untuk mengakali masalah ini: kasih deskripsi dunianya di depan dulu, biar pembaca punya bayangan akan dunianya sebelum mereka terjun ke setting. Jadi nanti di dalam tinggal ngasih cerita, nggak usah musingin deskripsi lagi.

Boleh juga, tapi barangkali nggak akan berhasil untuk semua orang. Problemnya gini: Kalau aku baca cerita, aku peduli sama ceritanya pertama-tama. Nama-nama tempat, ras, dan deskripsi mereka cuma sekumpulan kata-kata dengan susunan huruf aneh sampai aku merasa masuk ke dalam dunia cerita. Mengapa aku harus peduli apa itu Kota G'ufaot, ras Rihd, dan lain-lain, bagaimana bentuknya, bagaimana rupa bangunan dan penduduknya, jika aku belum tahu apa perannya di dalam cerita?

Cerita fiksi, sudara-sudari, bukanlah naskah undang-undang dimana semua istilah harus ditaruh di pasal satu dan kalau anda skip dan kemudian nggak ngerti pasal berikutnya berarti salah anda selaku pembaca. Mengapa? Undang-undang bisa dipaksakan, sedangkan kenikmatan membaca tidak. Dan sementara separuh kenikmatan membaca bergantung pada selera dan cara berpikir si pembaca, kukira adil jika kukatakan bahwa separuhnya lagi bergantung pada teknik si penulis untuk membuat naskahnya bisa dinikmati.

Tapi di sisi lain, kita juga bisa memakai penjelasan di depan itu dengan cara lain. Lewatin aja dan langsung baca cerita. Begitu ketemu istilah aneh, balik lagi ke halaman depan untuk baca deskripsinya: "Oh, jadi yang namanya Kota Tura itu gini loh."

Ujung-ujungnya tetep, aku harus berhenti baca cerita demi balik halaman dan ngelihat deskripsi. Dan kalau udah gini apa bedanya dengan deskripsi mentah, selain bahwa teknik ini lebih bikin capek karena harus balik-balik halaman dulu?

Kesimpulan? Marilah kita semua berusaha untuk terus mengasah cara bercerita. Dan berkaitan dengan ini aku ingin menyinggung soal bahasa. Secara keseluruhan, buku ini lebih bisa dibaca daripada... uh, a certain Epic Fail, tapi kadang-kadang aku menemukan kalimat semacam...


Rupanya telah terjadi percekcokan di antara keduanya yang berakhir dengan leher Jouhdin dicekek...


atau,


Mulut Dohika sudah siap-siap mau nyrocos lagi...



Apakah kita tidak boleh memakai kata yang tidak baku? Boleh saja, tapi ajukan pertanyaan ini sebelumnya:

Pertama, apakah ketidakbakuan itu diperlukan untuk menyampaikan maksud tertentu yang tidak mungkin disampaikan dengan cara baku, atau murni khilaf binti kepeleset?

Kedua, Apakah kalimat/kata tidak baku itu merusak suasana/setting cerita, atau justru menarik pembaca ke dalam dunia cerita?

Contoh penggunaan istilah tidak baku ini barangkali bisa kita ambil dari penggunaan istilah tiarawan/tiarawati dalam buku Xar&Vichattan: Takhta Cahaya oleh Bonmedo Tambunan. Kedua istilah itu jelas nggak ada dalam bahasa Indonesia, tapi cocok dipakai karena tiarawan/ tiarawati di dalam cerita tersebut rupanya adalah suatu kelompok tersendiri yang berbeda dari biarawan/ biarawati.

Berikut, mari kita melihat ceritanya sendiri. Pada dasarnya buku ini adalah bagian pertama dari sebuah Tetralogi. Yang bisa diterjemahkan sebagai: "Cerita ini belom kelar, jadi kalau ada karakter yang kurang dikembangkan, plot yang putus, dan hal-hal yang belum dijelaskan, jangan dikritik dulu, Mbak/ Bang. Tunggu sekuelnya, yang (bisa) keluar nanti (dan bisa juga nggak)."

Entah tren atau gimana, fiksi fantasi Indonesia punya kecenderungan menyajikan cerita nggak selesai yang (katanya) akan diselesaikan di sekuelnya. Entah sudah berapa kali aku denger alasan kayak gini, dan sekuel yang dijanjikan itu pun nggak terbit-terbit karena berbagai alasan. Nggak sepenuhnya salah pengarang, memang, karena dunia penerbitan di Indonesia memang punya alergi menerbitkan buku tebal. Jadilah satu cerita utuh dicacah jadi berlogi-logi.

Untuk satu hal ini nggak adil kalau aku ngenye' lebih jauh, jadi marilah kira berdoa sesuai dengan agama dan agami masing-masing supaya tiga buku lain dari Tetralogi Eurgava tidak menjadi janji semata.

Lalu? Apa yang sudah tersaji pada seperempat bagian tetralogi ini? Aku menangkap dua story arc besar: pertama adalah petualangan Aburo Eurgava Sang Pengawal, bersama para ksatria dari kesatuan White Legions, untuk menangkap seorang pemberontak di Kota G'Ufaot. Dan, kedua, ketika si pemberontak sudah tertangkap, Aburo dan kawan-kawan dikirim ke Kota Tura untuk menyelidiki serangkaian penyerangan terhadap Kelompok Penyihir Sorkrus. Dua cerita besar ini (kelihatannya) nggak berkaitan kecuali oleh kehadiran satu tokoh dari story arc 1 yang bergabung di story arc 2, dan diakhiri dengan ending yang ketebak dari 4/5 bagian cerita.

Singkatnya: Lurus. Plot cuma menceritakan tokoh ini kesini, melakukan ini, berantem dengan si A, si B, si C memakai pedang dan panah dan sihir dengan mantra begini dan begini, sampai akhirnya terjadi ini. Buku-buku ini bener-bener menerapkan rumus standar yang biasa dipakai di media-media fiksi fantasi.

Nggak hanya secara garis besar. Kalau kita lihat satu-persatu, bahkan unsur-unsur cerita juga pake rumus standar ini. Tokoh utama, misalnya, adalah orang yang bermasa lalu agak misterius, chosen one yang punya tanda di badannya. Dan sihir, walaupun ada bermacam-macam, pada intinya cuma sesuatu yang dikeluarkan dengan mengucapkan mantra-mantra aneh. Padahal, untuk menghidupkan suatu novel fantasi, pengarang perlu lebih dari sekedar glosarium penuh kata-kata asing yang susah dieja.

Satu hal yang bikin bingung, Aburo Eurgava si tokoh utama ini digambarkan jauh lebih jago dan kuat dibanding yang lain di dalam tiap pertempuran. Demikiannya kuat sampai ada plot device di dalam cerita ini yang dipakai beberapa kali, dimana para Ksatria White Legions harus melakukan sesuatu, terus gagal, dan Aburo Eurgava tampil sebagai dewa penyelamat.

Lho, apa salahnya dia kuat kalau dia tokoh utama? Nggak salah, cuma bikin bingung karena sebagai kontrasnya para Ksatria White Legion, terutama Dohika, digambarkan terlibat selalu terlibat dalam pertengkaran-pertengkaran anak kecil, konyol, sok tahu, dan suka salah sebut nama.

Loh, apa salahnya (lagi)? Nggak salah (lagi), tapi bikin aku bertanya-tanya bagaimana Dohika bisa masuk White Legions yang (katanya) elit itu, dan mengapa, kalau Aburo lebih kompeten, bukan dia yang direkrut ke dalam White Legions? Mengapa statusnya dia cuma Sang Pengawal, dalam arti, cuma jadi pengawal Dohika? (Dan elit banget Dohika, baru prajurit aja bisa punya pengawal. Gimana kalau udah Jenderal?)

Jangan bilang pliss kalau pertanyaan ini akan dijawab di sekuelnya...

Berikut, aku pengen bicara soal tokoh. Pengarang ini masih remaja, dan saat menciptakan tokoh, seorang pengarang meletakkan sesuatu di dalam dirinya kepada para tokoh itu. Jadi, jika tokoh-tokoh Eurgava masih mencerminkan keremajaan, baiklah, dipahami. Dohika dan Auvii, misalnya, digambarkan berkelahi karena hal-hal kecil semacam ledek-ledekan dan hutang. Tapi pengarang juga bisa membuat tokoh-tokoh yang lebih tua macam Jouhdin dan Bashkra bertingkah dan bicara sesuai usia mereka, walau memang ada 'rasa tinggalan' yang menunjukkan bahwa tokoh-tokoh tua ini diciptakan oleh anak muda.

Masih berhubungan dengan tokoh, tata nama dalam cerita ini menurutku masih kurang. Kesatuan rasa pada nama dan istilah yang menunjukkan ras atau kebangsaan belum terlihat. Dan kalaupun mau pakai nama/istilah yang nggak menunjukkan kebangsaan atau ras, nama-nama yang dipakai masih belum memiliki kesatuan yang menunjukkan bahwa nama itu adalah khas dunia Eurgava. Yang kumaksud kesatuan rasa ini bisa diamati pada marga Batak misalnya, ada Sitorus, Siahaan, Situmorang, Sisingamangaraja. Terasa kan kesatuan rasa yang mengidentifikasi semua itu sebagai nama Batak, yang tentunya bisa dibedakan dari nama Jawa, (Soeroso, Brojonegoro, Barghowo, S*silo B*mb*ng Yudh*y*n*, dst) atau nama Belanda (Marijke, Famke, Willem, Jan Pieterszoon Coen. ;P)

Bahkan barangkali nama-nama tokoh yang ada di dalam buku ini adalah nama teman-teman pengarang yang diutak-atik. Dohika, misalnya, adalah utak-atik dari Andhika. Dhika nya itu loh, kalau ditulis pakai katakana Jepang, kan jadi Dohika. Trus Saputrus... heh. Ada teman yang namanya Saputra, -a nya tinggal diganti -us. Kayak doktoranda dan doktorandus. Dan Bashkra... ini nama pengarang sendiri, ‘kan? Baskara. Heheh.

Kreatif? Ya. Membantuku mendapat 'rasa' dunianya? Belum.

Satu hal yang barangkali ingin kupuji dari buku ini adalah ilustrasinya. Bukan karena sangat "wah," tapi karena ilustrasi ini cukup baik kalau ingat yang bikin ini masih remaja SMU. Caranya mengambil sudut gambar, mengambil momen-momen yang pas untuk diilustrasikan, dan pembagian panel untuk ilustrasi ala manga, semua menunjukkan kalau penulis ini punya potensi lumayan buat jadi komikus. Favoritku adalah ilustrasi komik 3 kotak di halaman 203 yang kayaknya terinspirasi dari yonkoma (walau rada ga nyambung ke cerita.)

Jadi? Is this book a win or a fail? Aku nggak akan bilang jelek, terutama setelah kejadian dengan a certain Epic Fail yang traumatik itu. Ada beberapa poin baik dari karya ini, dan ada juga yang masih terperangkap pada pola-pola standar yang diikuti penulis fikfan pemula yang keranjingan main game: chosen-one-ketemu-sidekick-bikin-party-lawan-musuh. Menjadi gamer/pecinta anime-manga memang bisa menjadi aset untuk membuat fiksi fantasi, tapi hendaknya kita ingat bahwa menulis novel adalah seni yang berbeda dari menonton anime atau main game, dan setiap seni punya 'bahasa' sendiri-sendiri.


Luz Balthasaar