Minggu, 13 Juni 2010

THE CHRONICLES OF WILLY FLARKIES: Petualangan Memasuki Dunia Upside Down (Satrio Wibowo - 2010)


by FA Purawan

Penerbit: Imania
Penyunting: Wijdan Aljufry
Penerjemah: Dian Guci
Desain Sampul: Kebun Angan
Desain Isi: Dini Handayani
Tebal: 448 halaman.


Uhm, The Tough Case of Willy Flarkies Chronicles, atau mungkin tepatnya: The Chronic Case of (Disorderly Written) Willy Flarkies (and His) Upside Down World, or Downside World, Which One Is Correct, Anyway, And Oh So Upsidedownsidewayupdownrightdull Storytelling.

Serem amat, judul ini.

Yah, pada kenyataannya tidak seseram itu. Novel dengan judul panjang di atas sesungguhnya merupakan fenomena menarik, setidaknya untuk menggambarkan kesempatan dan kemungkinan luas yang (masih) ada di dalam ranah kepenulisan novel-novel Indonesia. Ada banyak possibilities yang bisa dieksplorasi oleh para aspiran penulis, aspiran penerbit, bahkan (sesuatu yang cukup 'baru' di sini:) aspiran agen literasi.

Agen literasi? Mari kita bicarakan itu setelah ngebahas novelnya dulu.

Novel berjudul unik ini, pada awalnya tak saya lirik, saat saya seperti biasa browsing di toko buku Gramedia. Tak aneh, sebab saya memang khusus hanya memburu novel-novel Fantasy lokal, dan si novel Willy Flarkies, awalnya, dengan judul inggris, tokoh-tokoh bernama barat dan ilustrasi cover ala novel terjemahan, membuat saya mengira buku ini hanyalah salah satu dari sekian banyak terbitan fantasy terjemahan yang latah dengan fenomena Harry Potter. Apalagi dengan endorsemen pak LKH yang tercantum di halaman depan yang nyata-nyata mengatakan bahwa ini novel terjemahan (dari bahasa Inggris).

Saya memang melihat nama lokal: Satrio Wibowo. Saya kira nama penerjemahnya.

Lalu satu kali saya menemukan buku yang tak berplastik. Saya buka halaman depan, saya temukan pula nama Dian Guci sebagai penerjemah. Makin kuat vonis bahwa ini novel terjemahan. Tapi jadinya ada fakta yang nggak masuk logika: Kalau ini novel terjemahan dan nama penerjemahnya Dian Guci, lalu siapa nama Satrio Wibowo di sampul depan? Dan yang membuat saya terbelalak adalah ternyata Satrio Wibowo adalah benar-benar nama pengarangnya.

Lho, ada novel lokal yang terjemahan? Siapa juga pasti garuk-garuk kepala.

Minggu, 06 Juni 2010

DEATH TO COME: Petualangan 3 Penyihir dan Sang Alkemis Mengungkap Rahasia Masa Depan (Tyas Palar - 2009)

by Heinz

Penerbit: Imania
Penyunting: Tantrina Dwi Aprianita
Desain isi: Alia Fazrillah
Desain sampul: Kebun Angan
Jumlah halaman: 351



(Bergabung lagi, satu talent baru reviewer di Fikfanindo, mari kita ucapkan warm welcome buat rekan kita Heinz. Rekan Heinz sendiri sudah tak asing bagi komunitas Fantasy di Goodreads Indonesia, dimana beliau sering wara-wiri sembari meninggalkan jejak review-review yang menarik. Semoga keberadaannya di Fikfanindo dapat menambah keragaman dan kualitas pembahasan novel-novel fantasy lokal di antara kita. Berikut ini adalah review debutnya di Fikfanindo, mari kita nikmati bersama-- FA Purawan)



Death to Come A.K.A.: Mampus Bakalan Datang
Petualangan 3 Penyihir dan Sang Alkemis Mengungkap Rahasia Masa Depan
Novel Pertama dari Trilogi The Search For Merlin

Yup, satu lagi novel lahir untuk memeriahkan jagat per-fiksi fantasi-an Indonesia (udah telat kalee, taun lalu tuh!). Ouch, tepatnya bukan satu novel, tapi satu trilogi. Oleh karena itu sebelumnya, marilah kita memanjatkan doa bersama-sama. Semoga dua saudaranya yang lain boleh terlahir selamat tanpa cacat tanpa perlu di-KB, sebagaimana banyak terjadi di jagat per-fiksi fantasi-an Indonesia. AMIN.

Tidak perlu basa-basi, seperti biasa, mula-mula let’s judge a book by its cover. Ada seorang kakek berjubah merah yang memegang tongkat. Ada pula tiga orang berjubah hitam ala Ringwraith LOTR. Lebih ke belakang lagi tampak latar suatu kota dan menara yang sepertinya terbakar. Sementara di cover belakang tampak lanjutan jubah merah si kakek dan dua bangunan arsitektur kuno Abad Pertengahan. Ga tau tuh bangunan macam apa, yang pasti gak ada Stonehenge.

Ada pula endorsemen yang terpampang di halaman depan dan berbunyi seperti ini: “Kisah dunia sihir Abad Pertengahan. Namun, sihir yang sesungguhnya justru pada referensi dan detail-detail sejarahnya.”

Lalu tepat di atas endorsement tertulis nama sang pengarang: TYAS PALAR. Hehe, langsung inget si cantik Tyas Mirasih deh di Air Terjun Bikini….eh, Pengantin.

But do they sound interesting?

Jujurnya buat aku sih: ga terlalu.

Jujur lainnya: bukanlah alasan cover yang membuatku rela menguras kocek. Alasannya adalah dua kawanku dari 'lautan yang tengah mengalami badai tak berujung', B*B*B (warning: bukan kepanjangan dari Bukan Binatang Biasa!) dan Luz. Kalo dalam rantai MLM, harusnya toko buku G ngasih persenan komisi ke mereka. Yup, mereka berdua begitu rajin mengikuti perkembangan novel fantasi, baca, dan kemudian nyempet-nyempetin nulis repiu singkat di Goodreads. Sementara aku sendiri tipikal picky reader (nyaris bisa dibilang pembaca malez, wkwk). Kalo boleh kukutip sebagian endorsement mereka yang bikin aku bling-bling adalah sebagai berikut:

Ini dari B*B*B:

“Pertama, yang paling aku suka dari kisah ini adalah gaya cerita Tyas yang mengalir banget, dan seperti kata echa, terasa seperti novel terjemahan, mungkin karena beliau udah punya banyak pengalaman menterjemahkan dan bikin artikel.”  (http://www.goodreads.com/review/show/86022662)

Hm, sepertinya si echa ini juga harus diberi persenan. Yang kugarisbawahi adalah NOVEL TERJEMAHAN.

Lalu ini dari Luz:

“Untuk "detail sejarah" yang katanya menjadi poin kekuatan novel ini, aku sepakat bahwa fakta itu menarik, dan bisa memberi pelajaran….Tapi kan ini novel. Pada akhirnya yang kita nikmati adalah ceritanya. Bukan risetnya.” (http://www.goodreads.com/book/show/7391966)

Lha, apa bedanya ama endorsement yang ditulis di cover depan? Bedanya, ini ditulis oleh kawanku yang teruji, terpercaya, dan jelas-jelas emang baca bukunya. Soalnya endorsement suka sesat sih! Nah, di sini yang kugarisbawahi adalah FAKTA SEJARAH. Sejak dulu, aku memang suka sejarah. Apalagi pengetahuanku tentang sejarah Abad Pertengahan pas jaman Dark Age nyaris blank total. Jadi walau ceritanya mungkin ga gitu bagus, tapi minimal boleh belajar dengan cara lebih gaul alias ga belajar dari buku sejarah yang tebel.

Silly emang. Tapi jujur sekali lagi, itulah alasan kenapa novel ini akhirnya turut menghiasi rak bukuku, berdiri tepat di samping Akkadia.

Nah, sekarang mari kita masuk ke dalem. Ayo. Ya, ini rumah tipe minimalis cat putih kelabu yang didesain modern dan nyaman. Tata ruangnya rapi, dua kamar tidur satu kamar mandi. Feng Shui bagus dalam artian aliran udaranya lancar. Lantai sudah keramik. Listrik 1300 W. Ada line telepon…..Wk, ngomong apa aku?

Maksudnya, penuturannya mengalir bagus. Bener-bener seperti NOVEL TERJEMAHAN. Seperti baca Harry Potter made in Indonesia 100%. Penataan layoutnya juga nyaman. Font huruf cukup besar dan gak bikin mata merah. Aku hanya menemukan satu salah ketik dan sama sekali gak mengganggu. Iramanya terjaga dalam arti gag ada yang maksa atau terkesan ujug-ujug. Suer, 350 halaman sama sekali ga kerasa. Ini boleh dijadikan teladan bagus untuk pakem penulisan cerita fantasi yang bertutur ringan. Bravo untuk Tyas Mirasih, eh, Palar!

Ornamen-ornamennya sejarahnya juga memang terbukti diriset serius. Dan bagiku itu sangat mendukung setting bangunan cerita Abad Pertengahan. Obrolan-obrolan para tokohnya jadi terkesan believable . Malah aku seolah terhisap masuk mesin waktu Doraemon untuk ikut nimbrung bersama mereka. Suer! Begitu banyak fakta menarik yang dipaparkan tentang Inggris-Perancis-Wales dan istilah mitologi yang tidak kuketahui. Walau memang banyak yang tidak nyambung ama plot cerita, tapi buatku, fakta-fakta ini membuat suasana menjadi real. Dan aku selalu salut pada para pengarang yang berani meleburkan fantasi dalam sejarah dan berhasil. Setuju deh akhirnya ama si Endorser! Meski harus berhati-hati pula karena suatu novel akhirnya akan dinilai dari ceritanya, bukan deretan fakta risetnya.

Lalu gaya penceritaanya bisa dibilang cukup jenaka. Gimana si Ivar yang melompat-lompat bahagia saat di shopping center. Lalu si Edward yang begitu memegang falsafah “Bersih Pangkal Sehat”. Belum lagi pas si Junda ikutan nimbrung dan ketawa ngakak mulu. Ketawa ngakaknya itu sukses buat aku ikut ketawa juga. Pertama pas dia menyamar jadi TKP (Tenaga Kerja Pria).

“….Orang-orang selalu mengatakan aku lebih pantas jadi pelawak dan penyanyi, tapi tidakkah menurutmu orang gila sebetulnya bisa jadi siapa saja?”

“Ya, kau cocok jadi pembantu seperti aku,” sahut Junda kurang ajar.

Tapi yang paling nempel di ingatanku adalah pas dia ngasih jawaban perihal cermin saktinya pecah:

“Kalau begitu kenapa kau bilang dipatuk ayam?” sergah Ivar kesal

“Karena jawaban yang benar tidak akan membuat siapapun tertawa….”

Nice answer. Karena jawaban yang benar tidak selalu membuat cerita lebih asik. Nih, tokoh tampilannya emang serem. Tinggi, besar, berjenggot pula. Tapi asli doyan ngocol alias wajib gabung dengan Opera Van Java. Ditambah Henry and the Gank, perjalanan panjang ke Lyon benar-benar jadi tidak terasa. Dan jujur aku mau protes keras ama si pengarang. Seharusnya the Gank ini tidak muncul sesingkat itu! Bahkan kalau boleh, munculkan sejak awal!

Penokohannya juga terkonsep matang sehingga gag ada yang terkesan ganjil ato lebay gimana. Bisa jadi aku sependapat ama B*B*B, si Ivar adalah tokoh favorit karena paling manusiawi. Walau agak-agak bego, tapi somehow punya daya tarik untukku. Adegannya yang paling memorable adalah pas uji coba cermin sakti:

“Belajar yang betul, Ivar.”

Wkwkwkwk. Inilah dia cikal bakal satelit pengintai masa kini.

Masalah pembagian keahlian bidang sihir bisa dibilang cukup realistis. Bahwa setiap penyihir punya keahliannya masing-masing. Premis menarik dan cerdas sehingga potensi pengembangan cerita menjadi tak terbatas. Masalah umur para penyihir juga tidak sekedar asal tempel. Jujur awalnya aku bingung melihat tingkah laku si Ivar yang udah bisa dibilang bangkotan tapi kok mirip remaja culun umur 15 taun. Tapi akhirnya aku menemukan alasan logis si pengarang mengapa bisa begitu. Bagus. Meski aku belum cukup mengerti rumus tersirat si pengarang yang menghubungkan umur dan kedewasaan. Ambil contoh kasar begini: umur 100 taun mirip remaja umur 15 taun, umur 600 taun mirip dewasa umur 25 taun. Umur 1500 taun mirip kakek berumur 75 taun. See? Sekali lagi, gak jelas patokannya. Tapi, ya, ‘kan ga semua hal harus dirumuskan secara matematis.

Nah, setelah menjalani tur yang menyenangkan, sayang sekali, aku harus memberitahukan bahwa rumah minimalis nan cantik ini ternyata menyimpan sejumlah rahasia kelam. Menyakitkan memang tapi tetap menarik.

Mari mulai lagi dari Luz:

“Hmm... gimana ya? Ilustrasi Merlinnya tuh kan Merlinnya Disney. *Sigh* kenapa sih harus ngebajak ilustrasi?” (http://www.goodreads.com/book/show/7391966)

Ya, memang pada setiap awal bab selalu nongol seorang kakek berjubah panjang, bertopi tinggi, berjanggut panjang, dan bertampang culun dengan kacamata bulatnya. Kalo ga nyadar si kakek ini siapa, dialah Merlin versi Disney yang kalo ga salah pertama kali show off di film animasi Fantasia taun 1940-an. Tapi ya menurutku informasi ini memang menyesatkan. Pertama tentang pasal piracy. Kedua tentang tampilan si Merlin itu sendiri. Jujur aku sih ngebayanginnya seperti si eyang Gandalf dari LOTR sewaktu belum di-upgrade. Gagah dan abu-abu sih.

Seperti yang kubilang sebelumnya, cerita ini dituturkan dengan gaya yang ringan dan menarik ala novel terjemahan. Sekali lagi, 350 halaman sama sekali gag berasa. Tapi bisa jadi fakta ini bermakna ganda. Soalnya kalo misalnya aku masih memakai seragam putih merah dan Pak guru pelajaran BI berkata: “Anak-anak, ada PR membuat ringkasan novel The Death to Come karya Tyas Palar. Buat yang rapi di kertas folio. Kumpulkan besok di meja Bapak di kantor.”

Eng-ing-eng, apa yang bakal kutulis? Ceritanya simpel banget: pertama si Edward ketemu si Ivar untuk membahas Kilasan Masa Depan. Ternyata hanya Merlin yang punya jawaban dan hanya cermin Junda yang bisa kasih tahu di mana keberadaannya (selaras ama judul Trilogi-nya). Maka dimulailah perjalanan yang menggunakan bumbu sihir. Bertemu Mr. G di jalan tapi sekilas saja. Lalu ketemu si biarawan, sekilas juga. Ketemu makhluk mirip Leprechaun. Akhirnya ada konflik tapi sekilas aja. Dan sekilas-sekilas lainnya hingga akhirnya bertemu Junda. Lalu perjalanan lagi untuk menemui tokoh kunci keempat, yaitu Tariq. Setelah bertemu Tariq, perjalanan lagi. Akhirnya ketemu juga tuh si Merlin. Penyelesaian dan DENG!

Lho, terus 350 halaman isinya apa? Ya, itu: perjalanan. Kenapa kusebut sekilas? Karena memang tidak terlalu ngefek pada premis cerita paling mendasar dari novel ini: Kilasan Masa Depan AKA The Death AKA The Mampus. Walau memang kuakui, kilasan-kilasan itu berguna untuk menguak tabir rahasia salah seorang karakter utama sesuai yang dijanjikan di resensi cover belakang.

Banyak pula karakter yang sekedar numpang lewat. Mulai dari si biarawan, si ksatria Teuton dan saudarinya, si asisten, si tukang ramuan, de el el. Bahkan si alkemis pun bisa dibilang jagoan kesiangan.

Jadi sekali lagi, semua itu hanya sekilas. Gak gitu penting dan sama sekali tidak mempengaruhi jalan cerita utama.

Lalu kalo mo dibikin versi Mind Map, ringkasannya kira-kira bakal jadi kayak begini: Kilasan Masa Depan Ivar – Perjalanan – Junda – Perjalanan – Tariq – Perjalanan – Merlin – Penyelesaian – DENG!

Mungkin bakal ada yang teriak kaya begini: “Woi, repiu-er cupu banget sih lo nulis! Masa cuma gitu aja ceritanya?!”

Mending kalo cuma teriak. Bisa jadi aku dilemparin telor busuk. Tapi sejujur-jujurnya memang cuma begitulah garis besar ceritanya.

“Woi, repiu-er, serius lo! Masa sih ga ada adegan battle yang biasa jadi plot andalan jagat fiksi fantasi Indonesia?”

Yup. Na-da. Telor puyuh.

“Tapi minimal ada ‘kan adegan tarung yang seru?”

Ada sih. Tapi minor banget. Jadi bisa dibilang gag ada. Telor ayam.

Seorang dari kubu teen-lit menyahut, “Tapi ada adegan cinta yang romantis ‘kan?”

Ya, ada. Cinta yang ngenes, tepatnya. Sama sekali ga romantis apalagi erotis. Telor bebek.

Dari kubu feminist ga mau ketinggalan, “Terus emang bener tokohnya semua cowo?”

Ada beberapa tokoh cewe sih tapi perannya kecil banget. Posisi supporting actress-nya juga ga masuk kategori. Telor angsa.

Si feminist langsung duduk cemberut. Dia nggak cukup sadar bahwa pada Abad Pertengahan gerakan feminist belum lahir. Jadi pertimbangan si pengarang boleh dibenarkan. Walau memang pada masa itu sedang trend bakar-bakaran orang yang dilabeli “witch” dan “witch” itu identik dengan cewe jelek ato nenek sihir.

“Yeeeehaaaa, MAHO?!”

Telor buaya. Tapi langsung saja aku manggil security buat menderek keluar si penyusup yang salah masuk ruangan itu.

“Tai banteng lo! Si pengarang udah jelas bilang doyan maen game King of Fighters! Masa gak ada friksi-friksi rivalitas ala Kusanagi-Yagami ato Ryu-Ken ato Goku-Vegeta?”

Baunya sih emang ada. Tapi ga terlalu dikembangin sampe gimana. Telor (mata) sapi.

“Terus ‘kan ini cerita tentang para penyihir! Masa gag ada sihir dahsyat nan edan ala Thundaga Final Fantasy?!”

Cerita tentang penyihir gag harus selalu berhubungan dengan magic-magic killer bervisual indah. Tapi ya, di novel ini bisa kubilang gag ada suatu magic yang membuat imajinasiku terpancing liar. Jadi: telor paus (emang paus bertelor?)

“ARRRRRRRRRGH!”

Yang ini bukan lagi suara salah seorang audiens yang hadir. Mereka sudah diderek keluar semuanya karena ribut tanya ini-itu mulu. Bikin migren. Ini asli suaraku. Suer.

Lalu kenapa pula aku sampai tidak tahu malunya menggunakan toa untuk ber-ARRRRRRRRRGH ria seperti itu di depan panggung? Karena cerita ini bisa dibilang ga punya klimaks atau adegan pamungkas. *berkaca-kaca*.

Juga bisa dibilang gak ada tokoh yang bener-bener antagonis di sini. Saat aku berharap bakal ada pertarungan sihir yang sengit sebagai puncak dari segala kebencian terpendam, eh, ternyata berakhir adem ayem begitu saja. Memang, sih, ada sedikit alasan di balik semua kesulitan yang dialami para protagonis selama perjalanan. Tapi menurutku, gak cukup kuat. Sangat kurang buatku.

….Oooh, apa yang terjadi, terjadilah.
Karena Tuhan penyayang umatnya….

Begitulah lantunan suara merdu Merlin menyanyikan salah satu lagu Golden Hits Indonesia taun 70-an.

Nah, untuk menggambarkan suatu repiu pamungkas spoiler free, coba sekarang elo bayangin ada maling berkostum hitam, bermata merah, berotot kekar, bengis, dan pake CD merk Pierre Cardin di kepalanya. Bau badan pula. Pokoknya lebih menyeramkan dari hibridisasi Mbak Sadako dan si kolor ijo. Tapi thanks God, dari laporan seorang temen agen CIA, elo udah tau bahwa maling itu dalam waktu dekat bakal singgah di rumah elo (Tapi tentu saja buat ngegarong, bukan nongkrong). Dengan kata lain, elo punya keunggulan satu langkah di depan. Nah, apa yang bakal elo lakuin?

1 detik. 2 detik. 3 detik.

Kalo aku sih pasti bakal membangun Great Wall berduri dilengkapi meriam. Terus aku bakal nimbun dinamit, bom molotov, C-4, dan kalo bisa rudal Tomahawk. Belum lagi AK-47 di tangan kanan dan keris Mpu Gandring di tangan kiri. Kamar tidurku juga bakal kumodif jadi tank Panzer. Lalu tepat pada waktunya, aku bakal berteriak: COME AND GET THEM!!!

Memang pada akhirnya semua teknik banting tulangku itu worthless total. Si maling kampret tetep datang juga dan menggasak habis semuanya tanpa sisa. Lha, suratan takdirnya memang begitu. Sudah ketuk palu, gak bisa diganggu gugat. Tapi minimal aku gak mau duduk diam sambil kipas-kipas badan. Aku bakal berusaha sekeras mungkin. Walau yah….semua usaha kerasku itu paling cuma bakal menghasilkan satu paragraf eksyen pendek pada catatan hidupku di rapor akhirat.

….Que sera sera.
Whatever will be, will be….

Lagi-lagi terdengar lantunan suara merdu Merlin menyanyikan satu lagu Western Golden Hits favoritnya.

Kesimpulan, novel fantasi ini asyik. Bahasa dan lay-out sama-sama bagusnya. Apalagi buat author wannabe macam aku yang masih perlu banyak belajar. Bahwa gaya cerita menarik boleh dimiliki setiap penulis yang kreatif dan mau berusaha, bukan hanya monopoli para penulis fantasi beken di luar sana.

Ibarat makanan vegetarian. Tampilannya cantik menggugah selera. Ga keliatan serat-seratnya. Sehat? Ya, kata dokter gaek di iklan TV: serat bagus untuk pencernaan. Bisa ditelan? So pasti, toh kokinya jebolan TV Champion. Seratnya udah diolah selembut sutra. Soal rasa, lidah ga bisa boong. Memang ada yang kurang tapi masih bisa ditolerir. But after taste-nya, uh-oh….

Well written but anticlimactic and lacking in content. But still, it’s worth it.

Kutunggu sekuelnya walau sebagai tipikal picky reader sejati, sepertinya aku harus kembali dipanas-panasi. *melirik ke B*B*B dan Luz*.