Kamis, 24 Desember 2009

TANRIL 2: The Siege of Krog Naum (Nafta S. Meika - 2009)

By FA Purawan

Penerbit: AKOER
Editor: Aries Rayaguna Prima
Tata letak isi: Ibenk Bonanno
Fotografi: Andry Photography
Tebal: 236 halaman

Sebenernya, apa sih alasan untuk eksistensi sebuah SEKUEL?

Mungkin saja kita tak pernah memikirkannya terlampau dalam, mungkin sudah jadi sekedar sebuah kebiasaan. Kalau di era keemasan Kho Ping Hoo, dulu, sebuah sekuel dibikin karena pembaca terbiasa dengan span cerita yang panjang-panjang, mulai dari Sang Master Pulau Es yang punya murid dari piyik sampai jadi Master lagi, terus punya murid piyik lagi sampai jadi Master lagi, Murid piyik-Master-piyik-Master demikian bergenerasi. Dan hebatnya, sidang pembaca/ penggemar pun sampai bisa merunutkan silisah para pendekar itu sampai ke garis-garis suheng, sute, suci, sumoi, supek dan kawan-kawan termasuk sampai silsilah musuh-musuhnya!


Dunia penerbitan punya motivasi yang lebih pragmatis soal sekuel. Sekuel dibikin karena sebuah franchise akan selalu memberi napas panjang buat bisnis, dan lebih sedikit kapital dibutuhkan untuk mengedukasi pasar. Sehingga akhirnya sekuel acap dibikin dengan dasar pemikiran bahwa: ya memang harus dibikin sekuel, aja. Mumpung lagi on demand.

Atau mungkin alasan lebih hakiki, bahwa ceritanya memang simply belum selesai, karena pengarang belum sampai pada keutuhan pemaparan missi karangannya.

Atau sebaliknya justru alasan bombastis, "Woi, aku ngarang EPIK, dan bukan epik namanya kalle, kalo cuma selesai satu edisi". (Ngaku sendiri, diriku pun diam-diam punya menyimpan waham semacam ini dalam pikiranku).

Apapun itu.

Tapi pernahkah kita, berhenti sejenak dari megalomania-sekuelaria, dan bertanya pada pembaca: apa sih yang menyebabkan anda mau menunggu sebuah sekuel (selain dari alasan 'cerita yang belum finish')?

Dan kuimajinerkan, jawaban paling sederhana tapi mendasar justru seperti ini, "Aku hanya ingin kembali pada 'momen' itu lagi".

Yup. Momen. Maksudnya tentu momen bacaan, sesuatu dalam karanganmu yang telah menekuk ruang dan waktu real menjadi ruang dan waktu personal-kekal di dalam taman pikiran pembaca, tempat ia berendam dalam gelora kenikmatan yang kau hadirkan melalui larik-larik tulisan dalam karya mu.

They just want to re-live the moment.

Aku mengambil buku Harry Potter edisi berikutnya, sebetulnya bukan karena aku betul-betul care sama si-yang-bertahan-hidup itu dengan segala masalah heroismenya, gak sepenuhnya. Aku ngambil buku tebal itu, menepuk-nepuk bantal mencari posisi paling nyaman hanya karena aku ingin 'tersihir' oleh pena pengarang dan memasuki Dunia Hoghwarts with all it's splendor dan kehidupan sekolah sihir itu secara 'nyata' dalam imajinasiku sekali lagi.

Saya menganggap ini 'rule of thumb' pertama dalam penciptaan sekuel. Sesuatu yang harus ditemukenali oleh pengarang dan dipegangnya semasa ia mengkreasikan sekuelnya. Sebabnya wajar saja. Pengarang cenderung melupakan ini di saat benaknya dipenuhi kerangka-seting-plot-sambungan-whatever-grandeur yang ada di kepalanya. Bagi pengarang, jajaran jilid 1,2,3, dst adalah jalan menuju cita-cita tertingginya (garis finish kisah, the ever mega climax, mission deliverance dan gazillions of other prima causa kenapa dia menulis novel itu). Terlalu mudah kita melupakan kebutuhan pembaca saat kita memikirkan hal-hal besar itu.

Lantas apa itu, momen? Ini yang lebih susah. Buat satu pembaca, mungkin setting yang memesonanya. Buat pembaca lain, mungkin debar-debar kisah cinta yang belum juga bertaut. Buat pembaca lain, misteri sengkelat-sengkelit yang mengusik pikiran. Masih banyak lagi. Pengarang pasti akan mengalami kesulitan kalau mau melayani semua kemungkinan. Dia hanya bisa punya satu sikap yang paling aman: mempertahankan adonan orisinal sambil mengembangkan sekuelnya dengan menambahkan sedikit-demi-sedikit bumbu pengembangan (plot development) yang dituju. Dalam bahasa manajemennya: Konsistensi.

Fiuhhh, there, I've said it.

Panjang nian pembukaan ini sebelum aku benar-benar masuk ke pembahasan Tanril 2: The Siege of Krog Naum, sebuah sekuel dari mahakarya Nafta S Meika yang sempat menghebohkan khalayak pecinta buku dan penggemar baca (that's it, tertulis di cover belakang), dan sempat dinobatkan sebagai karya Fantasi terbaik di Fikfanindo pada review di sini.

Well, ini caraku untuk memulai menyatakan bahwa Tanril 2 punya issues di area tersebut. Secara umum saya akan mengatakan bahwa mulai titik awal sekuel, pengarang sepertinya mulai terbuai oleh rencana besar penggarapan sekuel (multi jilid, kalo gak salah sudah mencapai lebih dari 6 buku--dalam pikiran pengarang). Udah gitu, seperti pernah diinformasikan oleh pengarang sendiri, ia menyusun naskah orisinalnya dalam bahasa inggris (!). Well mungkin aja si pengarang memang person jenius (gue pikir emang begitu, jujur!). Tapi hukum alam berlaku, even for geniuses, bahwa begitu kita mencoba mengangkat keranjang apel yang lebih besar, maka sedikit apel akan mulai terjatuh berceceran.

Apa saja konsistensi yang tercecer di Tanril 2? Sesungguhnya tidak banyak. Tapi ibarat bendungan, mendingan keretakan kecil segera diinformasikan dan ditambal secepatnya, bukan?

Yang paling penting bagi saya, adalah konsistensi universe Benua Biru Tanril. Dimulai dari yang paling simpel aja. Bangsa Telentium (yang sejarahnya mulai dipaparkan secara ciamik dalam edisi ini), pada prinsipnya terdiri atas mixing kebudayaan besar Clem dan Zirconia. Okay, dan tidak ada pengaruh dari budaya Anglican di sisi manapun. So, nyaris ga ada alasan munculnya istilah-istilah berbahasa Anglic (Anglish, or English, if you still not get it) yang semakin merasuk dalam teks bahkan sampai ke dialog (panggilan "Sir", istilah "Lord" dll). Menurut saya, kadarnya sudah mulai breach dalam setting dan bukan lagi masalah kepraktisan penggunaan istilah. Saya tidak tahu apakah hal ini disebabkan karena naskah orisinal dalam bahasa inggris diterjemahkan ke bahasa Indonesia sehingga meninggalkan masalah semacam itu. Tapi penyisipan istilah bahasa inggris di dalam Tanril 2 mulai saya rasakan mengganggu.

Lalu formatting (dengan mengesampingkan pen-formatan halaman yang masih aja masalah!). Sebagian besar Bab, kalau tidak semuanya karena saya malas menghitung kembali, dibuka dengan penulisan beberapa baris puisi... (kebetulan) dalam bahasa Inggris. Ini format yang baru dikenalkan pada Tanril 2. Dan walaupun tak salah, tetap terasa mengganggu. Tapi bisa saja karena saya memang bukan penikmat puisi dan gak bisa 'membaca' puisi. Makanya saya nggak bisa menemukan kaitan interpretatif antara puisi pembuka bab tersebut dengan isi bab-nya. Makanya kemudian bagi saya puisi-puisi itu akhirnya hanya menjadi waste of page space aja.

Cukup dua hal itu aja, yang gue identifikasikan. Tapi dua hal (kecil) itu udah cukup untuk menghalangi gue menikmati unverse Tanril sebagaimana buku pertama. Apalagi... dengan masih hadirnya ulah gak jelas penerbit yang masiiiih aja menuliskan halaman-halaman Tanril dengan sistem paragraf yang nggak ngikutin standar, font kecil, serta penulisan dialog dengan huruf italic.

Tuh layouter tahu nggak sih, efeknya menulis dialog huruf italic, bagi pembaca?

Itu seperti dialog dalam sunyi, tau gak? Dialognya telepati yang menggunakan benak (Atau, dialog antara Nalia, Jie Bi Shinjin dan Wander yang menggunakan isyarat jari-jemari. Itu baru penerapan italic yang tepat). Dan bagi benak pembaca, itu sangat mengganggu.

Saya masih bisa mengapresiasi sebuah kiat kreatif, apabila kiat itu memang didesain untuk memenuhi tujuan tertentu yang saya selaku pembaca bisa connect. Saya pernah membaca satu novel yang font-nya sengaja dibedakan, menyesuaikan pada POV tokoh dalam novel itu. Penerapan font sedemikian rupa berhasil memperkuat karakter yang dikisahkan dalam novel. Itulah kreativitas yang smart --mendekatkan pembaca pada tujuan pengarang. Tapi kalo yang di Tanril ini, karena pembaca malah terganggu dan dibawa menjauh dari missi pengarang, penerapan nyeleneh malah ga jadi kreativitas. Saya menyebutnya 'ketololan', terutama karena sudah dikritik masih ngotot pula, pointlessly. Sorry.

Kenapa sih, saya blingsatan segini rupa?

Karena saya merasakan sendiri betapa jalinan kisah dan plot apik yang sesungguhnya tertuang dalam Tanril 2 menjadi jatuh ke level yang tak-bisa-dinikmati oleh pembaca. Seperti disuruh nonton film Avatar (yg konon sedang 'in' sebagai film dengan CGI terbaik) melalui TV hitam putih yang gambarnya kemeresek. The Beauty is lost in the statics. Sedihnya, bukan karena nasib, melainkan karena ignorance belaka.

Bicara keapikan buku ini, apalagi yang musti kubicarakan? Masih konsisten sebagus buku pertamanya! Pengarang dengan piawai memperkenalkan karakter-karakter baru yang unik, mengembangkan relasi para tokoh terdahulu sampai pada taraf yang menarik dan manusiawi. Saya paling happy dengan pengembangan karakter Jie Bi Shinjin yang semakin dalam. Di buku ini, bisa dibilang dialah bintangnya. Satu tokoh menarik lain adalah jendral Allen, jendral dengan pilihan karakter yang 'so unlikely', dan suppose to be merupakan lawan yang 'seimbang' bagi Sulran? (I cannot wait to see their showdown!). Si Kucing Tua juga melakukan come-back yang ditunggu-tunggu pembaca (tambahan juga hadir satu tokoh baru yang kayaknya ada sisi Trivial-nya: tokoh ini sepertinya merupakan personifikasi diri si pengarang dalam universe Tanril, hehehe, asyik juga). Everything was done right. Tastefuly.

Lantas tibalah kita pada pertanyaan terakhir, "Bagaimana buku ini setelah dibelah dua?".

Mungkin ada yang belum ngerti konteksnya. Jadi gini. Aslinya: Tanril 2 dibuat kira-kira setebal Tanril 1. Tapi kemudian dengan aneka pertimbangan, akhirnya dipotong menjadi dua jilid terpisah, sehingga bisa dikatakan bahwa buku ini adalah tanril 1,5 dan yang 0,5-nya lagi akan nyusul entah kapan. Entah, apakah disebabkan pertimbangan cost, masalah artistik, atau masalah komersial.

Secara wajar tentunya akan timbul pertanyaan bagaimana reading experience pembaca dengan buku yang dipotong setengah, itu kan artinya klimaksnya berhenti di tengah-tengah?

Well, harus kuakui, paduan komposisi antara penulisan teks yang melelahkan mata dan alur yang memang cukup padat (banyak background diceritakan, terutama dalam bab-bab depan), membuat porsi yang dipilihkan oleh penerbit terasa jadi 'pas'. Pendapatku sih, kalau bukunya dibuat setebal Tanril 1, biarpun ceritanya 'dapet' bagusnya, teteup akan dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan bacaannya. Takutnya dengan problem font ancur begitu, malah bukunya gak pernah diselesaikan oleh pembaca kalau terlalu tebal. So, yeah, the publisher's kind of on a right track, there, untuk satu alasan yang I bet gak terpikir seperti di itu di benak mereka! Hahahah.

So, selamat datang Taril 2. Buat Nafta, again, keep up the good work! You've got my symphaty :-)



FA Purawan

Senin, 21 Desember 2009

SUMMONSTER: Ancaman dari Kegelapan (Rudiyant - 2009)

By Luz B

Pengarang: Rudiyant
Editor: Felicia Suwardini
Penerbit: Cyan Publisher
Design sampul dan layout: Haridesign
Tebal: 390 halaman


Sebenarnya, beberapa rekan di Forum Fiksi Fantasi Dalam Negeri di Pulau Penulis sudah lama meminta aku untuk menulis tentang novel satu ini. Dan sekali lagi, sudara-sudari segala agama dan agami, reaksi pertamaku adalah... meremehkan.

Harap maklum, untuk urusan remeh-meremehkan aku memang susah tobat. Apalagi sekarang udah bukan musimnya segala sinetron hidayahiyahtantowiyahyah yang mengajak kita kepada kebaikan tapi menggambarkan hukuman dari Yang Maha Pengasih dan Penyayang dengan cara yang nyaingin kesadisan ilustrasi psycho manga.

Mengapa aku meremehkan buku ini? Pertama, covernya yang kelihatan dibikin ngasal. Warna merah, ungu, dan item dan gambar dari berbagai sumber diulek seenaknya tanpa diolah menjadi kesatuan yang menarik. Di cover depannya ada naga, background hutan, petir dan foto seorang oknum yang kayaknya pengarang, (tapi bisa juga bukan,) masang pose dan ekspresi yang (dia pikir) keren. Dan si oknum ini nangkring di belakang judul dengan Font Harry Potter: Summonster: Ancaman dari Kegelapan.

Sampai disini ada bagian diriku yang langsung mencap bahwa si pengarang ini narsis sekali. Namun, mari kita bahas cover ini secara adil. Foto itu bisa yang bersangkutan, dan bisa jadi bukan. Dan kalaupun benar foto pengarang, sebetulnya bisa diterima.

Pertama, karena itu haknya dia. It's his book.

Dan kedua, karena paling tidak foto si pengarang itu asli ide, buatan, dan muka dia sendiri! Bandingkan dengan apa yang terjadi di cover belakang: Dengan terang-terangannya si desainer cover menempelkan gambar karakter Vivi Ornitier dari Final Fantasy IX. Ya amplop...

Aku tahu negeri tercinta kita kurang memperhatikan hak kekayaan intelektual, tapi ini? Terang-terangan mencomot gambar dari sebuah game yang cukup dikenal untuk tujuan komersil bisa diterjemahkan sebagai permintaan untuk dihujat oleh penggemar game itu. Jadi, pengarang dan desainer cover yang terhormat, kalau ada hujatan berkenaan dengan cover yang menyayat-nyayat hati anda, nggak usah jejeritan kayak orang-orang caper baru masuk infotainment. Anda sendiri yang minta didzolimi.

Lepas dari pembajakan yang benar-benar tidak tahu malu itu, aku disambut oleh sinopsis yang ditulis dengan font ultra-ruwet yang bikin malas baca. Sebagai servis untuk para pembaca Fikfanindo, ini aku copaskan...

Ini adalah cerita besar yang akan aku torehkan dengan pedang di tanganku. (Sekarang aku ngerti kenapa font itu sedemikian ruwet. Nulisnya pake pedang getoh!) Penuh kemelut dan intrik yang aku sendiri ragu. Karena tanpa sadar aku telah terseret masuk jauh ke dalamnya. Bahkan akhirnya aku takut, bisakah aku kembali ke jalanku.

Para Summoner, pemilik makhluk suci satu persatu tewas mengenaskan. Sumont-Sumont menjadi liar ketika berada di tangan yang salah. Kehancuran alam dan dunia terasa sedekat kerlipan mata. Kitab aneh yang dapat memanggil dan menghidupkan kembali arwah para petarung legendaris muncul. Kekacauan akibat dendam dan ambisi saling tumpang tindih. Belum lagi dendam para ras Black Centaur, urusan para Elf, Dwarf, Mermaid dan Black Magioch. Semua terlihat kisruh.


Bersama keempat sahabatku, kami harus bisa menyelesaikannya dan kembali pulang untuk menjalani kehidupan normal yang sesungguhnya. Walau aku yakin ini akan sulit. Sebab cerita legenda ini, aku yakin akan menjadi kenangan abadi di benak semua orang. Atau paling tidak dapat menjadi dongeng orangtua kepada anaknya sebelum terlelap." (Hmm... orang tua macam apa yang mendongeng soal dendam, memanggil arwah, dan kehancuran dunia pada anaknya yang mau tidur?)


Sinopsis diatas disusul dengan pencantuman endorsement dengan font yang jauh lebih mudah dibaca. Endorsement ini diberikan oleh oleh oknum anonim dengan bunyi sebagai berikut:

Rudiyant benar-benar mampu menerbangkan imajinasi ke Negeri Khayalan di batas tertingginya. Semua terlihat rumit pada awalnya, terlalu banyak urusan dan kepentingan. Belum lagi jumlah karakter yang memiliki karakteristik aneh, unik, konyol dan terhitung hebat-hebat dengan berbagai persoalannya. Rudiyant sosok penulis berkelas!

Lagi-lagi pernyataan yang ngasih beban berat ke si pengarang dan si buku bahkan sebelum cerita dimulai. Aku nggak ngerti kenapa banyak kecenderungan begini dalam buku-buku fiksi fantasi, tapi baiklah...

Penulis berkelas.

Statemen ini kuterima sajalah. Perkara kelas apa--kelas terbang, kelas bantam, kelas bulu, kelas welter, kelas berat, kelas satu es-em-a, kelas kambing--silakan anda putuskan sendiri setelah menelaah buku ini.

Hal berikutnya yang bikin aku ngeremehin buku ini adalah ukurannya. Nyaris seukuran buku saku, dengan tebal 390 halaman. Dikit. Jadi kukira aku pasti bisa menghabiskan buku ini dalam waktu kurang dari 3 hari. The Hunger Games yang jauh lebih tebal saja bisa kuselesaikan kurang lebih 5 jam.

Makanya, ketika seorang teman di FFDN bilang "nggak kuat baca buku ini," aku langsung berkata pada yang bersangkutan, "Kirim sama aku aja, tar aku yang baca dan nulis repiu!"

Dan aku nyeseeel berat nggak mendengarkan nasihat teman dan nyuekin wangsit ghoib berupa tindak pembajakan superpicis di sampul, hanya karena aku ingin menjadi anak baik yang tidak menilai buku dari sampul belaka.

Sungguh, Summonster nggak bisa dibilang "jelek," karena naskah "jelek" sekalipun seharusnya bisa membuatku ketawa nelangsa lewat plothole ngaco atau dialog konyol atau klise menggelikan. Namun, Pakcik dan Makcik, naskah satu ini rupa-rupanya sudah demikian teruk hingga sulit mencari hal yang menarik di dalamnya. Tingkah polah tokohnya bikin kesal, bolong-bolong dalam plotnya alih-alih lucu malah bikin males baca, dialognya so stoopid it will probably scar your brain, seperti berikut ini, ketika dua tokoh cerita ketangkep lagi ngupingin kawanan Black Centaur:

Viron garuk-garuk rambut kepalanya yang tidak gatal, dia berpaling ke Nadiav, "Orang itu ngomong apa Nad...?"

"Katanya kita mengikuti pasukan mereka sejak kemarin...!"

"Ah, mereka bisa saja. Memangnya mereka pikir kita ini kurang kerjaan, apa?" Viron memperlihatkan wajah kurang setuju atas tuduhan pada dirinya. "Memangnya mereka mau kemana sih, kok sampai menyangka kita mau mengikutinya?"


Nadiav menggeleng, "Mana kutahu? Jangan-jangan rombongan mereka ini mau kondangan kali ya...?"


See? Ini sebabnya aku perlu hampir 1 bulan untuk membaca buku ini.

Maka biar kusimpulkan pelajaran yang kudapat dari kebandelanku kali ini: some things can get beyond ugly. Sampai sekarangpun aku masih bertanya-tanya kekuatan tak manusiawi macam apa yang dimiliki pengarang hingga bisa menghasilkan sesuatu seluarbiasa ini.

Mari kita mulai dari plot. Bab 1 langsung memasuki inti permasalahan: Bahwa di dunia Summonster dikenal keberadaan sumont, "arwah suci yang mendekam di dalam spirit crystal yang bisa dipanggil oleh seorang Summoner untuk bertempur." Dalam bahasa Final Fantasy, tergantung dari dialek yang digunakan, Sumont ini kiranya bisa diterjemahkan sebagai Esper/ Summon/ Guardian Force/ Eidolon/ Aeon/ Totema.

Dan alkisah, Di sebuah pondok terpencil, Kakek Ibranz menerima berita bahwa salah satu dari Sumont ini dicuri, dan memperkirakan bahwa si pencuri akan memakai sumont tersebut untuk bertempur pada semacam perang akbar yang akan terjadi pada tanggal 10 bulan 10. Bagaimana ia tahu akan ada peristiwa 10/10? Dari ramalan gurunya yang disampaikan 3 bulan sebelum cerita dimulai.

Maka, logis kiranya jika kakek Ibranz langsung mengirimkan dua protagonis kita, Viron dan Nadiav, untuk menemui gurunya demi menanyakan apa kiranya yang akan memicu pertarungan besar itu.

Hmm... kemaren pas dikasih tahu soal ramalan itu kenapa gag sekalian yah nanyain penyebabnya? Oh well. Ini bisa dijelaskan dengan apa yang kusebut sebagai Postulat Plot Klise Fiksi Fantasi #1: Yang namanya ramalan selalu always itsumo benar. Sebab itulah orang-orang di dunia fiksi fantasi nggak pernah merasa perlu bertanya kalau mau memulai perang atau membunuh seseorang. Mereka selalu menempatkan akalbudi dan pikiran sehat di nomor sekian setelah ramalan.

Cerdas sekali.

Dari titik awal ini, plot berkembang. Aneka pihak/ grup/ organisasi rupanya memutuskan untuk berpartisipasi pada perang akbar 10/10: Kerajaan Valion, Kelompok Red Death, Pasukan Ratu Iblis, Bangsa Mermaid, Black Centaur, grup Black Magioch. Kecuali Kerajaan Valion, semua pihak ini ceritanya berperang karena menginginkan Devdilbook, sebuah kitab yang bisa membangkitkan orang mati, entah untuk dihancurkan atau dipakai membangun pasukan demi memenuhi Motif Penjahat Klise Fiksi Fantasi #1: Menguasai Dunia.

Dan turut terjebak di dalam peperangan ini adalah lima pemuda-pemudi yang terbawa dari dunia kita, terpisah, lalu bertemu kembali di dalam peristiwa 10/10 setelah mengalami nasib yang berbeda-beda.

Apa plot ini bisa menjadi kisah yang menarik? Kukira bisa, walaupun ya... ini plot fikfan standar. Mengingat aku juga kurang mengerti kekuatan misterius apa yang membuat plot ini sama sekali tidak menghibur--dalam arti bahkan tidak membuatku ketawa nelangsa karena kekliseannya-- aku menebak bahwa masalah pertama terletak pada pilihan suasana dan cara bercerita.

Curhat sedikit: Saat menulis, aku selalu merasa bahwa salah satu bagian paling sulit adalah menentukan suasana cerita. Apakah cerita ini akan muram dan gelap dan bikin depresi atau kocak cerah ceria? Dan misalnya suasana cerita ini berubah-ubah, bagaimana menampilkannya agar cerita itu tetap punya satu "rasa" tersendiri, alih-alih menjadi tambalsulam dari berbagai cerita/game/komik/film yang sudah ada?

Kukira penulis salah satunya tersandung di sini. Yang bersangkutan membuat cerita tanpa bisa memutuskan apakah cerita ini mau jadi fantasi serius macam Harry Potter, Narnia, His Dark Materials, atau fantasi komedi ala Discworld-nya Terry Pratchett. Oleh karena itu, mari kita lihat naskah ini dari dua sisi.

Pertama, sebagai fantasi komedi, humor dalam cerita ini terlalu sedikit. Dan sekalinya ada, yang paling lucu pun cuma bikin aku ketawa garing 3 detik. Nih kukutip contohnya:

Ibranz tersenyum kepada muridnya yang terhitung masih sangat belia itu, "kamu pikir untuk apa aku memberikan pedang itu padamu? Kalau cuma untuk berdiam diri ditempat ini kurasa kamu tidak membutuhkan pedang. Untuk latihan sehari-hari kurasa pedang kayu saja cukup untukmu...!"

Mendengar kalimat terakhir Ibranz, si gadis langsung tersenyum. "Jadi kamu masih menggunakan pedang kayu dalam latihan...?" ejek Nadiav. "Payah sekali! Asal Kamu tahu ya, sejak setahun yang lalu guruku sudah memperbolehkanku menggunakan senjata betulan dalam latihan...!"


Ibranz Tersenyum, "kamu itu belum tahu siapa Viron, Nadiav...? Dia itu... pegang pisau aja kepotong, apalagi kalau pegang pedang?"

Para pembaca yang terhormat, apakah anda ketawa saat membaca tiga paragraf diatas? Ada orang yang bilang aku kurang memahami fantasi "ancur", demikian istilah rekan-rekan forum Fiksi Fantasi Dalam Negeri untuk fantasi komedi. Tidak begitu, sebenarnya; untuk menjadi bisa disebut komedi, ada satu syarat utama yang harus dipenuhi suatu karya, yaitu--seperti penampilan TeamLo di Inbox pagi SCTV--ia mengandung kelucuan yang cukup memuaskan selera umum. Itu aja.

(Walau tentu akan lebih baik lagi kalau mereka mau cerdas dan lucu seperti Project Pop.)

Nah, aku paham bahwa penulis ini punya track-record Juara II cerita konyol Gramedia 2008 dan pernah menerbitkan buku humor, tapi buku ini sendiri buatku sama sekali nggak ada lucu-lucunya. Lucu garing aja nyaris nggak, apalagi lucu beneran.

Namun, tentunya valid kalau kita katakan bahwa lucu itu relatif, jadi jika anda meragukan penilaian ini, fair enough. Silakan beli atau pinjam Summonster dari teman anda dan sampaikan pendapat anda setelah membacanya sendiri. Aku tunggu di reply loh, heh, heh, heh...

Nah, kedua, kalau Summonster ini mau jadi fantasi serius, sebetulnya lebih masuk akal, dan kukira penulis juga niatnya sebetulnya kesini. Terbukti dari sinopsis di sampul bahwa cerita ini banyak menggambarkan perang, kehancuran, darah, pemanggilan arwah. Masalahnya, dengan latar semacam itu, joke-joke garing crispy yang diselipkan si penulis jadi mengurangi keseriusan dan kelarutan pembaca di dalam dunia cerita. Ditambah lagi kesukaan penulis untuk menggambarkan dan menjelaskan dunianya dengan istilah-istilah role-playing game semacam...

"Itu Potion, sangat berguna untuk mengembalikan staminamu!"

atau...

"Mp-ku habis ketua! Aku tidak sanggup lagi!"

atau...

Di api, untuk level awalnya berupa bola api, yaitu Fire. Tapi untuk level keduanya bernama Flame, serangan api sebesar kerbau dewasa yang bisa dibayangkan seperti apa kobaran apinya?

Benar-benar mengerikan...!

Ini tiga element dari beberapa element... Konon, puncak serangan element api adalah Hell Grab, Lautan Api Neraka, yang pastinya membutuhkan banyak Mp untuk melakukannya!


Aduh, banget.

Pembaca yang terhormat, ijinkan aku bertanya, apa alasannya seseorang mau baca novel seharga 30k perak yang dibuat seolah-olah RPG kalau dia punya akses ke console (minimal main PS2 dirumah temen) dan bisa main RPG beneran (kaset bajakan dijual 10-15k rupiah?)

I can think of several reasons, actually:

1. Dia nggak punya jari untuk mencet gamepad, (tapi kalau gini ya dia nggak bisa balik halaman buku juga kan... kecuali ada yang balikin.)

2. Dia buta, jadi dia nggak bisa lihat TV (dan ga bisa baca buku juga, kecuali ada yang bacakan untuk dia, atau buku itu ditulis dengan huruf braille, atau dibuat jadi audiobook; pula, di Indonesia ini ada kok kasus orang tunanetra yang hobi bermain game... uhuk*Ramaditya*uhuk...)

3. Dia mati otak/tidak punya IQ yang cukup untuk bisa main game (dan kalau begini toh kemungkinan besar dia ga bisa baca buku juga.)

Dengan logika sederhana ini kita bisa melihat bahwa novel yang dibuat seperti RPG hanya menarik untuk 1) orang yang nggak punya jari dan punya teman yang mau balikin halaman buku untuk dia, dan 2) orang tunanetra yang namanya bukan *uhuk*Ramaditya*uhuk* dan punya teman yang mau bacakan cerita itu.

Dan... oh ya, tentu saja, pasar bisa diperbesar untuk 3) kaum tunanetra yang penasaran dan rela memboroskan waktu mereka, kalau cerita ini diterbitkan dalam audiobook/edisi braille.

Baiklah, perhitungan diatas barangkali berlebihan, tapi maksudku tentunya tersampaikan: Nggak ada gunanya kita memakai deskripsi ala RPG di dalam sebuah novel fantasi yang serius. Itu nggak membuat novel menjadi lebih menarik atau lebih mudah diterima oleh gamer. Jangankan di dalam novel yang dibuat ala-RPG; di dalam RPG sungguhan aja, pernahkah anda menemukan FMV/cutscene seperti yang terjadi di bawah ini...?

"Cloud! Tolong! MP-ku menipis! Aku tidak bisa lagi memakai Summon Bahamut zero!"

Mendengar namanya dipanggil, si pemuda pirang meluncur turun dari kepala Midgar Zolom sambil menggoreskan Buster Sword di sepanjang punggung ular raksasa itu.

"Hiaat! Terimalah ini! Command Materia 2xCut!"


Gelombang tenaga Materia 2xCut yang menyeruak dari pedang besar si pemuda dengan cepat menyebabkan tubuh lawannya terbelah dua. "Tidaaaak!" si monster berteriak. "Aku punya 15.000 HP! Tidak mungkin... sedemikian mudahnya... kalah! Aaaaargh!"


Tanpa menghiraukan erang kesakitan makhluk buas, si pemuda lalu melompat. Ia mendarat mantap, membelakangi tubuh lawannya yang tumbang menjadi dua potongan yang menghempaskan debu di kiri-kanannya. Lalu ia mengulurkan tangan pada gadis yang memanggil namanya tadi.

"Jangan takut Tifa! Aku masih punya Potion! Ini--ambillah!"

Tifa melotot. Kesal. Tiba-tiba saja limit break gauge-nya terisi penuh. Langsung saja ia melakukan serangkaian tendangan dan pukulan yang diakhiri Limit Break terkuatnya, Final Heaven. "Bodoh!" teriaknya sambil terus menghajar Cloud. "Potion itu untuk memulihkan HP, Bukan MP! Elo kan jagoannya. Kok yang geto aja gag mudeng seeeeh?! MAMPUSSSSS!!!! Hiaaattt!! Tendangan Kincir Berputar!!!"


Mohon maaf untuk seluruh penggemar Final Fantasy VII yang membaca artikel ini. (Siapa bilang aku nggak bisa menikmati fantasi komedi? Heh, heh, heh...)

Baik. Ehem. Setelah melihat plot dan suasana cerita yang kacau, mari kita tinjau karakter dan dunia itu sendiri. Aku nggak akan ngebahas satu persatu karakter maupun tempat-tempat ataupun benda di dalam dunianya, karena kayaknya ga ada yang bisa kita pelajari kalaupun kita bedah semuanya satu-satu. Yang menarik dari karakter-karakter dan benda-benda dan dunia Summonster hanyalah satu: naming konyol yang kayaknya mengatakan "Aduhh, jadiin gue sasaran plesetan/cela dong plissss..."

Baca sendiri deh...

1. King Dradont. Oh no you don't.

2. Jenderal Watduks. "What?" *duks* Kayak sound effect orang yang lagi gubrak ke lantai karena guyonan gag lucu.

3. King Vadeworth. Hmm... Darth Vadeworth.

4. Ratu Dsaustet. Sounds like Ratu Santet.

5. Kitab Devdilbook, yang suka diplesetin sebagai kitab Devilgoblok oleh salah satu tokoh. Not that it is funny, though.

6. Difficult Jungle. Hutan yang sulit dilalui karena dipenuhi monster kuat-kuat. Oh yeah, jenius. Kreatif banget penamaannya.

7. Big Croakodille. Croaking crocodile kali yah? Nggak lucu ah.

8. Sumont Gurithae... yang rupanya berbentuk, surprise, surprise, gurita raksasa.

Nama-nama ini mungkin lucu untuk suasana fiksi fantasi komedi, tapi untuk fikfan serius, kukira terang-terangan salah tempat. Sekali lagi, ngocol hendaknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Selain itu perlu diperhatikan tipe humor yang sesuai dengan cerita. Kalau tone cerita dark, cobalah humor dark/sarkastis/sadis. kalau tone cerita memang komedi, slapstick atau humor-humor sugestif mungkin tepat. Jangan humor slapstick dipakai untuk cerita serius di suasana serius pula. Ya jelas gag kena dunk.

Pembaca yang terhormat, sebetulnya aku ingin lebih dalam menelaah buku ini dalam usaha untuk memulung apa-apa yang masih berguna sebagai pelajaran. Sayangnya, aku cuma manusia yang HP-nya terbatas, sementara buku yang awalnya kuremehkan ini ternyata merupakan lawan yang lebih parah daripada boss-boss rahasia semua RPG. Untuk itu biar kusimpulkan sari dari reviewku kali ini: Jangan membajak gambar game untuk cover atau ilustrasi, jangan menulis fantasi serius dengan deskripsi teknis-RPG, dan kalau mau ngocol pertama-tama pastikan dulu kalau anda itu lucu.

Untuk Bang Rudiyant, kuucapkan selamat: (Sum)monster Anda adalah mahkluk pertama yang sukses ses ses ses menghabiskan HPku! Beruntung aku masih punya persediaan Phoenix Down dan Megalixir untuk memulihkan diri.


Luz Balthasaar