Pengarang: Rudiyant
Editor: Felicia Suwardini
Penerbit: Cyan Publisher
Design sampul dan layout: Haridesign
Tebal: 390 halaman
Sebenarnya, beberapa rekan di Forum Fiksi Fantasi Dalam Negeri di Pulau Penulis sudah lama meminta aku untuk menulis tentang novel satu ini. Dan sekali lagi, sudara-sudari segala agama dan agami, reaksi pertamaku adalah... meremehkan.
Harap maklum, untuk urusan remeh-meremehkan aku memang susah tobat. Apalagi sekarang udah bukan musimnya segala sinetron hidayahiyahtantowiyahyah yang mengajak kita kepada kebaikan tapi menggambarkan hukuman dari Yang Maha Pengasih dan Penyayang dengan cara yang nyaingin kesadisan ilustrasi psycho manga.
Mengapa aku meremehkan buku ini? Pertama, covernya yang kelihatan dibikin ngasal. Warna merah, ungu, dan item dan gambar dari berbagai sumber diulek seenaknya tanpa diolah menjadi kesatuan yang menarik. Di cover depannya ada naga, background hutan, petir dan foto seorang oknum yang kayaknya pengarang, (tapi bisa juga bukan,) masang pose dan ekspresi yang (dia pikir) keren. Dan si oknum ini nangkring di belakang judul dengan Font Harry Potter: Summonster: Ancaman dari Kegelapan.
Sampai disini ada bagian diriku yang langsung mencap bahwa si pengarang ini narsis sekali. Namun, mari kita bahas cover ini secara adil. Foto itu bisa yang bersangkutan, dan bisa jadi bukan. Dan kalaupun benar foto pengarang, sebetulnya bisa diterima.
Pertama, karena itu haknya dia. It's his book.
Dan kedua, karena paling tidak foto si pengarang itu asli ide, buatan, dan muka dia sendiri! Bandingkan dengan apa yang terjadi di cover belakang: Dengan terang-terangannya si desainer cover menempelkan gambar karakter Vivi Ornitier dari Final Fantasy IX. Ya amplop...
Aku tahu negeri tercinta kita kurang memperhatikan hak kekayaan intelektual, tapi ini? Terang-terangan mencomot gambar dari sebuah game yang cukup dikenal untuk tujuan komersil bisa diterjemahkan sebagai permintaan untuk dihujat oleh penggemar game itu. Jadi, pengarang dan desainer cover yang terhormat, kalau ada hujatan berkenaan dengan cover yang menyayat-nyayat hati anda, nggak usah jejeritan kayak orang-orang caper baru masuk infotainment. Anda sendiri yang minta didzolimi.
Lepas dari pembajakan yang benar-benar tidak tahu malu itu, aku disambut oleh sinopsis yang ditulis dengan font ultra-ruwet yang bikin malas baca. Sebagai servis untuk para pembaca Fikfanindo, ini aku copaskan...
Ini adalah cerita besar yang akan aku torehkan dengan pedang di tanganku. (Sekarang aku ngerti kenapa font itu sedemikian ruwet. Nulisnya pake pedang getoh!) Penuh kemelut dan intrik yang aku sendiri ragu. Karena tanpa sadar aku telah terseret masuk jauh ke dalamnya. Bahkan akhirnya aku takut, bisakah aku kembali ke jalanku.
Para Summoner, pemilik makhluk suci satu persatu tewas mengenaskan. Sumont-Sumont menjadi liar ketika berada di tangan yang salah. Kehancuran alam dan dunia terasa sedekat kerlipan mata. Kitab aneh yang dapat memanggil dan menghidupkan kembali arwah para petarung legendaris muncul. Kekacauan akibat dendam dan ambisi saling tumpang tindih. Belum lagi dendam para ras Black Centaur, urusan para Elf, Dwarf, Mermaid dan Black Magioch. Semua terlihat kisruh.
Bersama keempat sahabatku, kami harus bisa menyelesaikannya dan kembali pulang untuk menjalani kehidupan normal yang sesungguhnya. Walau aku yakin ini akan sulit. Sebab cerita legenda ini, aku yakin akan menjadi kenangan abadi di benak semua orang. Atau paling tidak dapat menjadi dongeng orangtua kepada anaknya sebelum terlelap." (Hmm... orang tua macam apa yang mendongeng soal dendam, memanggil arwah, dan kehancuran dunia pada anaknya yang mau tidur?)
Sinopsis diatas disusul dengan pencantuman endorsement dengan font yang jauh lebih mudah dibaca. Endorsement ini diberikan oleh oleh oknum anonim dengan bunyi sebagai berikut:
Rudiyant benar-benar mampu menerbangkan imajinasi ke Negeri Khayalan di batas tertingginya. Semua terlihat rumit pada awalnya, terlalu banyak urusan dan kepentingan. Belum lagi jumlah karakter yang memiliki karakteristik aneh, unik, konyol dan terhitung hebat-hebat dengan berbagai persoalannya. Rudiyant sosok penulis berkelas!
Lagi-lagi pernyataan yang ngasih beban berat ke si pengarang dan si buku bahkan sebelum cerita dimulai. Aku nggak ngerti kenapa banyak kecenderungan begini dalam buku-buku fiksi fantasi, tapi baiklah...
Penulis berkelas.
Statemen ini kuterima sajalah. Perkara kelas apa--kelas terbang, kelas bantam, kelas bulu, kelas welter, kelas berat, kelas satu es-em-a, kelas kambing--silakan anda putuskan sendiri setelah menelaah buku ini.
Hal berikutnya yang bikin aku ngeremehin buku ini adalah ukurannya. Nyaris seukuran buku saku, dengan tebal 390 halaman. Dikit. Jadi kukira aku pasti bisa menghabiskan buku ini dalam waktu kurang dari 3 hari. The Hunger Games yang jauh lebih tebal saja bisa kuselesaikan kurang lebih 5 jam.
Makanya, ketika seorang teman di FFDN bilang "nggak kuat baca buku ini," aku langsung berkata pada yang bersangkutan, "Kirim sama aku aja, tar aku yang baca dan nulis repiu!"
Dan aku nyeseeel berat nggak mendengarkan nasihat teman dan nyuekin wangsit ghoib berupa tindak pembajakan superpicis di sampul, hanya karena aku ingin menjadi anak baik yang tidak menilai buku dari sampul belaka.
Sungguh, Summonster nggak bisa dibilang "jelek," karena naskah "jelek" sekalipun seharusnya bisa membuatku ketawa nelangsa lewat plothole ngaco atau dialog konyol atau klise menggelikan. Namun, Pakcik dan Makcik, naskah satu ini rupa-rupanya sudah demikian teruk hingga sulit mencari hal yang menarik di dalamnya. Tingkah polah tokohnya bikin kesal, bolong-bolong dalam plotnya alih-alih lucu malah bikin males baca, dialognya so stoopid it will probably scar your brain, seperti berikut ini, ketika dua tokoh cerita ketangkep lagi ngupingin kawanan Black Centaur:
Viron garuk-garuk rambut kepalanya yang tidak gatal, dia berpaling ke Nadiav, "Orang itu ngomong apa Nad...?"
"Katanya kita mengikuti pasukan mereka sejak kemarin...!"
"Ah, mereka bisa saja. Memangnya mereka pikir kita ini kurang kerjaan, apa?" Viron memperlihatkan wajah kurang setuju atas tuduhan pada dirinya. "Memangnya mereka mau kemana sih, kok sampai menyangka kita mau mengikutinya?"
Nadiav menggeleng, "Mana kutahu? Jangan-jangan rombongan mereka ini mau kondangan kali ya...?"
See? Ini sebabnya aku perlu hampir 1 bulan untuk membaca buku ini.
Maka biar kusimpulkan pelajaran yang kudapat dari kebandelanku kali ini: some things can get beyond ugly. Sampai sekarangpun aku masih bertanya-tanya kekuatan tak manusiawi macam apa yang dimiliki pengarang hingga bisa menghasilkan sesuatu seluarbiasa ini.
Mari kita mulai dari plot. Bab 1 langsung memasuki inti permasalahan: Bahwa di dunia Summonster dikenal keberadaan sumont, "arwah suci yang mendekam di dalam spirit crystal yang bisa dipanggil oleh seorang Summoner untuk bertempur." Dalam bahasa Final Fantasy, tergantung dari dialek yang digunakan, Sumont ini kiranya bisa diterjemahkan sebagai Esper/ Summon/ Guardian Force/ Eidolon/ Aeon/ Totema.
Dan alkisah, Di sebuah pondok terpencil, Kakek Ibranz menerima berita bahwa salah satu dari Sumont ini dicuri, dan memperkirakan bahwa si pencuri akan memakai sumont tersebut untuk bertempur pada semacam perang akbar yang akan terjadi pada tanggal 10 bulan 10. Bagaimana ia tahu akan ada peristiwa 10/10? Dari ramalan gurunya yang disampaikan 3 bulan sebelum cerita dimulai.
Maka, logis kiranya jika kakek Ibranz langsung mengirimkan dua protagonis kita, Viron dan Nadiav, untuk menemui gurunya demi menanyakan apa kiranya yang akan memicu pertarungan besar itu.
Hmm... kemaren pas dikasih tahu soal ramalan itu kenapa gag sekalian yah nanyain penyebabnya? Oh well. Ini bisa dijelaskan dengan apa yang kusebut sebagai Postulat Plot Klise Fiksi Fantasi #1: Yang namanya ramalan selalu always itsumo benar. Sebab itulah orang-orang di dunia fiksi fantasi nggak pernah merasa perlu bertanya kalau mau memulai perang atau membunuh seseorang. Mereka selalu menempatkan akalbudi dan pikiran sehat di nomor sekian setelah ramalan.
Cerdas sekali.
Dari titik awal ini, plot berkembang. Aneka pihak/ grup/ organisasi rupanya memutuskan untuk berpartisipasi pada perang akbar 10/10: Kerajaan Valion, Kelompok Red Death, Pasukan Ratu Iblis, Bangsa Mermaid, Black Centaur, grup Black Magioch. Kecuali Kerajaan Valion, semua pihak ini ceritanya berperang karena menginginkan Devdilbook, sebuah kitab yang bisa membangkitkan orang mati, entah untuk dihancurkan atau dipakai membangun pasukan demi memenuhi Motif Penjahat Klise Fiksi Fantasi #1: Menguasai Dunia.
Dan turut terjebak di dalam peperangan ini adalah lima pemuda-pemudi yang terbawa dari dunia kita, terpisah, lalu bertemu kembali di dalam peristiwa 10/10 setelah mengalami nasib yang berbeda-beda.
Apa plot ini bisa menjadi kisah yang menarik? Kukira bisa, walaupun ya... ini plot fikfan standar. Mengingat aku juga kurang mengerti kekuatan misterius apa yang membuat plot ini sama sekali tidak menghibur--dalam arti bahkan tidak membuatku ketawa nelangsa karena kekliseannya-- aku menebak bahwa masalah pertama terletak pada pilihan suasana dan cara bercerita.
Curhat sedikit: Saat menulis, aku selalu merasa bahwa salah satu bagian paling sulit adalah menentukan suasana cerita. Apakah cerita ini akan muram dan gelap dan bikin depresi atau kocak cerah ceria? Dan misalnya suasana cerita ini berubah-ubah, bagaimana menampilkannya agar cerita itu tetap punya satu "rasa" tersendiri, alih-alih menjadi tambalsulam dari berbagai cerita/game/komik/film yang sudah ada?
Kukira penulis salah satunya tersandung di sini. Yang bersangkutan membuat cerita tanpa bisa memutuskan apakah cerita ini mau jadi fantasi serius macam Harry Potter, Narnia, His Dark Materials, atau fantasi komedi ala Discworld-nya Terry Pratchett. Oleh karena itu, mari kita lihat naskah ini dari dua sisi.
Pertama, sebagai fantasi komedi, humor dalam cerita ini terlalu sedikit. Dan sekalinya ada, yang paling lucu pun cuma bikin aku ketawa garing 3 detik. Nih kukutip contohnya:
Ibranz tersenyum kepada muridnya yang terhitung masih sangat belia itu, "kamu pikir untuk apa aku memberikan pedang itu padamu? Kalau cuma untuk berdiam diri ditempat ini kurasa kamu tidak membutuhkan pedang. Untuk latihan sehari-hari kurasa pedang kayu saja cukup untukmu...!"
Mendengar kalimat terakhir Ibranz, si gadis langsung tersenyum. "Jadi kamu masih menggunakan pedang kayu dalam latihan...?" ejek Nadiav. "Payah sekali! Asal Kamu tahu ya, sejak setahun yang lalu guruku sudah memperbolehkanku menggunakan senjata betulan dalam latihan...!"
Ibranz Tersenyum, "kamu itu belum tahu siapa Viron, Nadiav...? Dia itu... pegang pisau aja kepotong, apalagi kalau pegang pedang?"
Para pembaca yang terhormat, apakah anda ketawa saat membaca tiga paragraf diatas? Ada orang yang bilang aku kurang memahami fantasi "ancur", demikian istilah rekan-rekan forum Fiksi Fantasi Dalam Negeri untuk fantasi komedi. Tidak begitu, sebenarnya; untuk menjadi bisa disebut komedi, ada satu syarat utama yang harus dipenuhi suatu karya, yaitu--seperti penampilan TeamLo di Inbox pagi SCTV--ia mengandung kelucuan yang cukup memuaskan selera umum. Itu aja.
(Walau tentu akan lebih baik lagi kalau mereka mau cerdas dan lucu seperti Project Pop.)
Nah, aku paham bahwa penulis ini punya track-record Juara II cerita konyol Gramedia 2008 dan pernah menerbitkan buku humor, tapi buku ini sendiri buatku sama sekali nggak ada lucu-lucunya. Lucu garing aja nyaris nggak, apalagi lucu beneran.
Namun, tentunya valid kalau kita katakan bahwa lucu itu relatif, jadi jika anda meragukan penilaian ini, fair enough. Silakan beli atau pinjam Summonster dari teman anda dan sampaikan pendapat anda setelah membacanya sendiri. Aku tunggu di reply loh, heh, heh, heh...
Nah, kedua, kalau Summonster ini mau jadi fantasi serius, sebetulnya lebih masuk akal, dan kukira penulis juga niatnya sebetulnya kesini. Terbukti dari sinopsis di sampul bahwa cerita ini banyak menggambarkan perang, kehancuran, darah, pemanggilan arwah. Masalahnya, dengan latar semacam itu, joke-joke garing crispy yang diselipkan si penulis jadi mengurangi keseriusan dan kelarutan pembaca di dalam dunia cerita. Ditambah lagi kesukaan penulis untuk menggambarkan dan menjelaskan dunianya dengan istilah-istilah role-playing game semacam...
"Itu Potion, sangat berguna untuk mengembalikan staminamu!"
atau...
"Mp-ku habis ketua! Aku tidak sanggup lagi!"
atau...
Di api, untuk level awalnya berupa bola api, yaitu Fire. Tapi untuk level keduanya bernama Flame, serangan api sebesar kerbau dewasa yang bisa dibayangkan seperti apa kobaran apinya?
Benar-benar mengerikan...!
Ini tiga element dari beberapa element... Konon, puncak serangan element api adalah Hell Grab, Lautan Api Neraka, yang pastinya membutuhkan banyak Mp untuk melakukannya!
Aduh, banget.
Pembaca yang terhormat, ijinkan aku bertanya, apa alasannya seseorang mau baca novel seharga 30k perak yang dibuat seolah-olah RPG kalau dia punya akses ke console (minimal main PS2 dirumah temen) dan bisa main RPG beneran (kaset bajakan dijual 10-15k rupiah?)
I can think of several reasons, actually:
1. Dia nggak punya jari untuk mencet gamepad, (tapi kalau gini ya dia nggak bisa balik halaman buku juga kan... kecuali ada yang balikin.)
2. Dia buta, jadi dia nggak bisa lihat TV (dan ga bisa baca buku juga, kecuali ada yang bacakan untuk dia, atau buku itu ditulis dengan huruf braille, atau dibuat jadi audiobook; pula, di Indonesia ini ada kok kasus orang tunanetra yang hobi bermain game... uhuk*Ramaditya*uhuk...)
3. Dia mati otak/tidak punya IQ yang cukup untuk bisa main game (dan kalau begini toh kemungkinan besar dia ga bisa baca buku juga.)
Dengan logika sederhana ini kita bisa melihat bahwa novel yang dibuat seperti RPG hanya menarik untuk 1) orang yang nggak punya jari dan punya teman yang mau balikin halaman buku untuk dia, dan 2) orang tunanetra yang namanya bukan *uhuk*Ramaditya*uhuk* dan punya teman yang mau bacakan cerita itu.
Dan... oh ya, tentu saja, pasar bisa diperbesar untuk 3) kaum tunanetra yang penasaran dan rela memboroskan waktu mereka, kalau cerita ini diterbitkan dalam audiobook/edisi braille.
Baiklah, perhitungan diatas barangkali berlebihan, tapi maksudku tentunya tersampaikan: Nggak ada gunanya kita memakai deskripsi ala RPG di dalam sebuah novel fantasi yang serius. Itu nggak membuat novel menjadi lebih menarik atau lebih mudah diterima oleh gamer. Jangankan di dalam novel yang dibuat ala-RPG; di dalam RPG sungguhan aja, pernahkah anda menemukan FMV/cutscene seperti yang terjadi di bawah ini...?
"Cloud! Tolong! MP-ku menipis! Aku tidak bisa lagi memakai Summon Bahamut zero!"
Mendengar namanya dipanggil, si pemuda pirang meluncur turun dari kepala Midgar Zolom sambil menggoreskan Buster Sword di sepanjang punggung ular raksasa itu.
"Hiaat! Terimalah ini! Command Materia 2xCut!"
Gelombang tenaga Materia 2xCut yang menyeruak dari pedang besar si pemuda dengan cepat menyebabkan tubuh lawannya terbelah dua. "Tidaaaak!" si monster berteriak. "Aku punya 15.000 HP! Tidak mungkin... sedemikian mudahnya... kalah! Aaaaargh!"
Tanpa menghiraukan erang kesakitan makhluk buas, si pemuda lalu melompat. Ia mendarat mantap, membelakangi tubuh lawannya yang tumbang menjadi dua potongan yang menghempaskan debu di kiri-kanannya. Lalu ia mengulurkan tangan pada gadis yang memanggil namanya tadi.
"Jangan takut Tifa! Aku masih punya Potion! Ini--ambillah!"
Tifa melotot. Kesal. Tiba-tiba saja limit break gauge-nya terisi penuh. Langsung saja ia melakukan serangkaian tendangan dan pukulan yang diakhiri Limit Break terkuatnya, Final Heaven. "Bodoh!" teriaknya sambil terus menghajar Cloud. "Potion itu untuk memulihkan HP, Bukan MP! Elo kan jagoannya. Kok yang geto aja gag mudeng seeeeh?! MAMPUSSSSS!!!! Hiaaattt!! Tendangan Kincir Berputar!!!"
Mohon maaf untuk seluruh penggemar Final Fantasy VII yang membaca artikel ini. (Siapa bilang aku nggak bisa menikmati fantasi komedi? Heh, heh, heh...)
Baik. Ehem. Setelah melihat plot dan suasana cerita yang kacau, mari kita tinjau karakter dan dunia itu sendiri. Aku nggak akan ngebahas satu persatu karakter maupun tempat-tempat ataupun benda di dalam dunianya, karena kayaknya ga ada yang bisa kita pelajari kalaupun kita bedah semuanya satu-satu. Yang menarik dari karakter-karakter dan benda-benda dan dunia Summonster hanyalah satu: naming konyol yang kayaknya mengatakan "Aduhh, jadiin gue sasaran plesetan/cela dong plissss..."
Baca sendiri deh...
1. King Dradont. Oh no you don't.
2. Jenderal Watduks. "What?" *duks* Kayak sound effect orang yang lagi gubrak ke lantai karena guyonan gag lucu.
3. King Vadeworth. Hmm... Darth Vadeworth.
4. Ratu Dsaustet. Sounds like Ratu Santet.
5. Kitab Devdilbook, yang suka diplesetin sebagai kitab Devilgoblok oleh salah satu tokoh. Not that it is funny, though.
6. Difficult Jungle. Hutan yang sulit dilalui karena dipenuhi monster kuat-kuat. Oh yeah, jenius. Kreatif banget penamaannya.
7. Big Croakodille. Croaking crocodile kali yah? Nggak lucu ah.
8. Sumont Gurithae... yang rupanya berbentuk, surprise, surprise, gurita raksasa.
Nama-nama ini mungkin lucu untuk suasana fiksi fantasi komedi, tapi untuk fikfan serius, kukira terang-terangan salah tempat. Sekali lagi, ngocol hendaknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Selain itu perlu diperhatikan tipe humor yang sesuai dengan cerita. Kalau tone cerita dark, cobalah humor dark/sarkastis/sadis. kalau tone cerita memang komedi, slapstick atau humor-humor sugestif mungkin tepat. Jangan humor slapstick dipakai untuk cerita serius di suasana serius pula. Ya jelas gag kena dunk.
Pembaca yang terhormat, sebetulnya aku ingin lebih dalam menelaah buku ini dalam usaha untuk memulung apa-apa yang masih berguna sebagai pelajaran. Sayangnya, aku cuma manusia yang HP-nya terbatas, sementara buku yang awalnya kuremehkan ini ternyata merupakan lawan yang lebih parah daripada boss-boss rahasia semua RPG. Untuk itu biar kusimpulkan sari dari reviewku kali ini: Jangan membajak gambar game untuk cover atau ilustrasi, jangan menulis fantasi serius dengan deskripsi teknis-RPG, dan kalau mau ngocol pertama-tama pastikan dulu kalau anda itu lucu.
Untuk Bang Rudiyant, kuucapkan selamat: (Sum)monster Anda adalah mahkluk pertama yang sukses ses ses ses menghabiskan HPku! Beruntung aku masih punya persediaan Phoenix Down dan Megalixir untuk memulihkan diri.
Luz Balthasaar
Harap maklum, untuk urusan remeh-meremehkan aku memang susah tobat. Apalagi sekarang udah bukan musimnya segala sinetron hidayahiyahtantowiyahyah yang mengajak kita kepada kebaikan tapi menggambarkan hukuman dari Yang Maha Pengasih dan Penyayang dengan cara yang nyaingin kesadisan ilustrasi psycho manga.
Mengapa aku meremehkan buku ini? Pertama, covernya yang kelihatan dibikin ngasal. Warna merah, ungu, dan item dan gambar dari berbagai sumber diulek seenaknya tanpa diolah menjadi kesatuan yang menarik. Di cover depannya ada naga, background hutan, petir dan foto seorang oknum yang kayaknya pengarang, (tapi bisa juga bukan,) masang pose dan ekspresi yang (dia pikir) keren. Dan si oknum ini nangkring di belakang judul dengan Font Harry Potter: Summonster: Ancaman dari Kegelapan.
Sampai disini ada bagian diriku yang langsung mencap bahwa si pengarang ini narsis sekali. Namun, mari kita bahas cover ini secara adil. Foto itu bisa yang bersangkutan, dan bisa jadi bukan. Dan kalaupun benar foto pengarang, sebetulnya bisa diterima.
Pertama, karena itu haknya dia. It's his book.
Dan kedua, karena paling tidak foto si pengarang itu asli ide, buatan, dan muka dia sendiri! Bandingkan dengan apa yang terjadi di cover belakang: Dengan terang-terangannya si desainer cover menempelkan gambar karakter Vivi Ornitier dari Final Fantasy IX. Ya amplop...
Aku tahu negeri tercinta kita kurang memperhatikan hak kekayaan intelektual, tapi ini? Terang-terangan mencomot gambar dari sebuah game yang cukup dikenal untuk tujuan komersil bisa diterjemahkan sebagai permintaan untuk dihujat oleh penggemar game itu. Jadi, pengarang dan desainer cover yang terhormat, kalau ada hujatan berkenaan dengan cover yang menyayat-nyayat hati anda, nggak usah jejeritan kayak orang-orang caper baru masuk infotainment. Anda sendiri yang minta didzolimi.
Lepas dari pembajakan yang benar-benar tidak tahu malu itu, aku disambut oleh sinopsis yang ditulis dengan font ultra-ruwet yang bikin malas baca. Sebagai servis untuk para pembaca Fikfanindo, ini aku copaskan...
Ini adalah cerita besar yang akan aku torehkan dengan pedang di tanganku. (Sekarang aku ngerti kenapa font itu sedemikian ruwet. Nulisnya pake pedang getoh!) Penuh kemelut dan intrik yang aku sendiri ragu. Karena tanpa sadar aku telah terseret masuk jauh ke dalamnya. Bahkan akhirnya aku takut, bisakah aku kembali ke jalanku.
Para Summoner, pemilik makhluk suci satu persatu tewas mengenaskan. Sumont-Sumont menjadi liar ketika berada di tangan yang salah. Kehancuran alam dan dunia terasa sedekat kerlipan mata. Kitab aneh yang dapat memanggil dan menghidupkan kembali arwah para petarung legendaris muncul. Kekacauan akibat dendam dan ambisi saling tumpang tindih. Belum lagi dendam para ras Black Centaur, urusan para Elf, Dwarf, Mermaid dan Black Magioch. Semua terlihat kisruh.
Bersama keempat sahabatku, kami harus bisa menyelesaikannya dan kembali pulang untuk menjalani kehidupan normal yang sesungguhnya. Walau aku yakin ini akan sulit. Sebab cerita legenda ini, aku yakin akan menjadi kenangan abadi di benak semua orang. Atau paling tidak dapat menjadi dongeng orangtua kepada anaknya sebelum terlelap." (Hmm... orang tua macam apa yang mendongeng soal dendam, memanggil arwah, dan kehancuran dunia pada anaknya yang mau tidur?)
Sinopsis diatas disusul dengan pencantuman endorsement dengan font yang jauh lebih mudah dibaca. Endorsement ini diberikan oleh oleh oknum anonim dengan bunyi sebagai berikut:
Rudiyant benar-benar mampu menerbangkan imajinasi ke Negeri Khayalan di batas tertingginya. Semua terlihat rumit pada awalnya, terlalu banyak urusan dan kepentingan. Belum lagi jumlah karakter yang memiliki karakteristik aneh, unik, konyol dan terhitung hebat-hebat dengan berbagai persoalannya. Rudiyant sosok penulis berkelas!
Lagi-lagi pernyataan yang ngasih beban berat ke si pengarang dan si buku bahkan sebelum cerita dimulai. Aku nggak ngerti kenapa banyak kecenderungan begini dalam buku-buku fiksi fantasi, tapi baiklah...
Penulis berkelas.
Statemen ini kuterima sajalah. Perkara kelas apa--kelas terbang, kelas bantam, kelas bulu, kelas welter, kelas berat, kelas satu es-em-a, kelas kambing--silakan anda putuskan sendiri setelah menelaah buku ini.
Hal berikutnya yang bikin aku ngeremehin buku ini adalah ukurannya. Nyaris seukuran buku saku, dengan tebal 390 halaman. Dikit. Jadi kukira aku pasti bisa menghabiskan buku ini dalam waktu kurang dari 3 hari. The Hunger Games yang jauh lebih tebal saja bisa kuselesaikan kurang lebih 5 jam.
Makanya, ketika seorang teman di FFDN bilang "nggak kuat baca buku ini," aku langsung berkata pada yang bersangkutan, "Kirim sama aku aja, tar aku yang baca dan nulis repiu!"
Dan aku nyeseeel berat nggak mendengarkan nasihat teman dan nyuekin wangsit ghoib berupa tindak pembajakan superpicis di sampul, hanya karena aku ingin menjadi anak baik yang tidak menilai buku dari sampul belaka.
Sungguh, Summonster nggak bisa dibilang "jelek," karena naskah "jelek" sekalipun seharusnya bisa membuatku ketawa nelangsa lewat plothole ngaco atau dialog konyol atau klise menggelikan. Namun, Pakcik dan Makcik, naskah satu ini rupa-rupanya sudah demikian teruk hingga sulit mencari hal yang menarik di dalamnya. Tingkah polah tokohnya bikin kesal, bolong-bolong dalam plotnya alih-alih lucu malah bikin males baca, dialognya so stoopid it will probably scar your brain, seperti berikut ini, ketika dua tokoh cerita ketangkep lagi ngupingin kawanan Black Centaur:
Viron garuk-garuk rambut kepalanya yang tidak gatal, dia berpaling ke Nadiav, "Orang itu ngomong apa Nad...?"
"Katanya kita mengikuti pasukan mereka sejak kemarin...!"
"Ah, mereka bisa saja. Memangnya mereka pikir kita ini kurang kerjaan, apa?" Viron memperlihatkan wajah kurang setuju atas tuduhan pada dirinya. "Memangnya mereka mau kemana sih, kok sampai menyangka kita mau mengikutinya?"
Nadiav menggeleng, "Mana kutahu? Jangan-jangan rombongan mereka ini mau kondangan kali ya...?"
See? Ini sebabnya aku perlu hampir 1 bulan untuk membaca buku ini.
Maka biar kusimpulkan pelajaran yang kudapat dari kebandelanku kali ini: some things can get beyond ugly. Sampai sekarangpun aku masih bertanya-tanya kekuatan tak manusiawi macam apa yang dimiliki pengarang hingga bisa menghasilkan sesuatu seluarbiasa ini.
Mari kita mulai dari plot. Bab 1 langsung memasuki inti permasalahan: Bahwa di dunia Summonster dikenal keberadaan sumont, "arwah suci yang mendekam di dalam spirit crystal yang bisa dipanggil oleh seorang Summoner untuk bertempur." Dalam bahasa Final Fantasy, tergantung dari dialek yang digunakan, Sumont ini kiranya bisa diterjemahkan sebagai Esper/ Summon/ Guardian Force/ Eidolon/ Aeon/ Totema.
Dan alkisah, Di sebuah pondok terpencil, Kakek Ibranz menerima berita bahwa salah satu dari Sumont ini dicuri, dan memperkirakan bahwa si pencuri akan memakai sumont tersebut untuk bertempur pada semacam perang akbar yang akan terjadi pada tanggal 10 bulan 10. Bagaimana ia tahu akan ada peristiwa 10/10? Dari ramalan gurunya yang disampaikan 3 bulan sebelum cerita dimulai.
Maka, logis kiranya jika kakek Ibranz langsung mengirimkan dua protagonis kita, Viron dan Nadiav, untuk menemui gurunya demi menanyakan apa kiranya yang akan memicu pertarungan besar itu.
Hmm... kemaren pas dikasih tahu soal ramalan itu kenapa gag sekalian yah nanyain penyebabnya? Oh well. Ini bisa dijelaskan dengan apa yang kusebut sebagai Postulat Plot Klise Fiksi Fantasi #1: Yang namanya ramalan selalu always itsumo benar. Sebab itulah orang-orang di dunia fiksi fantasi nggak pernah merasa perlu bertanya kalau mau memulai perang atau membunuh seseorang. Mereka selalu menempatkan akalbudi dan pikiran sehat di nomor sekian setelah ramalan.
Cerdas sekali.
Dari titik awal ini, plot berkembang. Aneka pihak/ grup/ organisasi rupanya memutuskan untuk berpartisipasi pada perang akbar 10/10: Kerajaan Valion, Kelompok Red Death, Pasukan Ratu Iblis, Bangsa Mermaid, Black Centaur, grup Black Magioch. Kecuali Kerajaan Valion, semua pihak ini ceritanya berperang karena menginginkan Devdilbook, sebuah kitab yang bisa membangkitkan orang mati, entah untuk dihancurkan atau dipakai membangun pasukan demi memenuhi Motif Penjahat Klise Fiksi Fantasi #1: Menguasai Dunia.
Dan turut terjebak di dalam peperangan ini adalah lima pemuda-pemudi yang terbawa dari dunia kita, terpisah, lalu bertemu kembali di dalam peristiwa 10/10 setelah mengalami nasib yang berbeda-beda.
Apa plot ini bisa menjadi kisah yang menarik? Kukira bisa, walaupun ya... ini plot fikfan standar. Mengingat aku juga kurang mengerti kekuatan misterius apa yang membuat plot ini sama sekali tidak menghibur--dalam arti bahkan tidak membuatku ketawa nelangsa karena kekliseannya-- aku menebak bahwa masalah pertama terletak pada pilihan suasana dan cara bercerita.
Curhat sedikit: Saat menulis, aku selalu merasa bahwa salah satu bagian paling sulit adalah menentukan suasana cerita. Apakah cerita ini akan muram dan gelap dan bikin depresi atau kocak cerah ceria? Dan misalnya suasana cerita ini berubah-ubah, bagaimana menampilkannya agar cerita itu tetap punya satu "rasa" tersendiri, alih-alih menjadi tambalsulam dari berbagai cerita/game/komik/film yang sudah ada?
Kukira penulis salah satunya tersandung di sini. Yang bersangkutan membuat cerita tanpa bisa memutuskan apakah cerita ini mau jadi fantasi serius macam Harry Potter, Narnia, His Dark Materials, atau fantasi komedi ala Discworld-nya Terry Pratchett. Oleh karena itu, mari kita lihat naskah ini dari dua sisi.
Pertama, sebagai fantasi komedi, humor dalam cerita ini terlalu sedikit. Dan sekalinya ada, yang paling lucu pun cuma bikin aku ketawa garing 3 detik. Nih kukutip contohnya:
Ibranz tersenyum kepada muridnya yang terhitung masih sangat belia itu, "kamu pikir untuk apa aku memberikan pedang itu padamu? Kalau cuma untuk berdiam diri ditempat ini kurasa kamu tidak membutuhkan pedang. Untuk latihan sehari-hari kurasa pedang kayu saja cukup untukmu...!"
Mendengar kalimat terakhir Ibranz, si gadis langsung tersenyum. "Jadi kamu masih menggunakan pedang kayu dalam latihan...?" ejek Nadiav. "Payah sekali! Asal Kamu tahu ya, sejak setahun yang lalu guruku sudah memperbolehkanku menggunakan senjata betulan dalam latihan...!"
Ibranz Tersenyum, "kamu itu belum tahu siapa Viron, Nadiav...? Dia itu... pegang pisau aja kepotong, apalagi kalau pegang pedang?"
Para pembaca yang terhormat, apakah anda ketawa saat membaca tiga paragraf diatas? Ada orang yang bilang aku kurang memahami fantasi "ancur", demikian istilah rekan-rekan forum Fiksi Fantasi Dalam Negeri untuk fantasi komedi. Tidak begitu, sebenarnya; untuk menjadi bisa disebut komedi, ada satu syarat utama yang harus dipenuhi suatu karya, yaitu--seperti penampilan TeamLo di Inbox pagi SCTV--ia mengandung kelucuan yang cukup memuaskan selera umum. Itu aja.
(Walau tentu akan lebih baik lagi kalau mereka mau cerdas dan lucu seperti Project Pop.)
Nah, aku paham bahwa penulis ini punya track-record Juara II cerita konyol Gramedia 2008 dan pernah menerbitkan buku humor, tapi buku ini sendiri buatku sama sekali nggak ada lucu-lucunya. Lucu garing aja nyaris nggak, apalagi lucu beneran.
Namun, tentunya valid kalau kita katakan bahwa lucu itu relatif, jadi jika anda meragukan penilaian ini, fair enough. Silakan beli atau pinjam Summonster dari teman anda dan sampaikan pendapat anda setelah membacanya sendiri. Aku tunggu di reply loh, heh, heh, heh...
Nah, kedua, kalau Summonster ini mau jadi fantasi serius, sebetulnya lebih masuk akal, dan kukira penulis juga niatnya sebetulnya kesini. Terbukti dari sinopsis di sampul bahwa cerita ini banyak menggambarkan perang, kehancuran, darah, pemanggilan arwah. Masalahnya, dengan latar semacam itu, joke-joke garing crispy yang diselipkan si penulis jadi mengurangi keseriusan dan kelarutan pembaca di dalam dunia cerita. Ditambah lagi kesukaan penulis untuk menggambarkan dan menjelaskan dunianya dengan istilah-istilah role-playing game semacam...
"Itu Potion, sangat berguna untuk mengembalikan staminamu!"
atau...
"Mp-ku habis ketua! Aku tidak sanggup lagi!"
atau...
Di api, untuk level awalnya berupa bola api, yaitu Fire. Tapi untuk level keduanya bernama Flame, serangan api sebesar kerbau dewasa yang bisa dibayangkan seperti apa kobaran apinya?
Benar-benar mengerikan...!
Ini tiga element dari beberapa element... Konon, puncak serangan element api adalah Hell Grab, Lautan Api Neraka, yang pastinya membutuhkan banyak Mp untuk melakukannya!
Aduh, banget.
Pembaca yang terhormat, ijinkan aku bertanya, apa alasannya seseorang mau baca novel seharga 30k perak yang dibuat seolah-olah RPG kalau dia punya akses ke console (minimal main PS2 dirumah temen) dan bisa main RPG beneran (kaset bajakan dijual 10-15k rupiah?)
I can think of several reasons, actually:
1. Dia nggak punya jari untuk mencet gamepad, (tapi kalau gini ya dia nggak bisa balik halaman buku juga kan... kecuali ada yang balikin.)
2. Dia buta, jadi dia nggak bisa lihat TV (dan ga bisa baca buku juga, kecuali ada yang bacakan untuk dia, atau buku itu ditulis dengan huruf braille, atau dibuat jadi audiobook; pula, di Indonesia ini ada kok kasus orang tunanetra yang hobi bermain game... uhuk*Ramaditya*uhuk...)
3. Dia mati otak/tidak punya IQ yang cukup untuk bisa main game (dan kalau begini toh kemungkinan besar dia ga bisa baca buku juga.)
Dengan logika sederhana ini kita bisa melihat bahwa novel yang dibuat seperti RPG hanya menarik untuk 1) orang yang nggak punya jari dan punya teman yang mau balikin halaman buku untuk dia, dan 2) orang tunanetra yang namanya bukan *uhuk*Ramaditya*uhuk* dan punya teman yang mau bacakan cerita itu.
Dan... oh ya, tentu saja, pasar bisa diperbesar untuk 3) kaum tunanetra yang penasaran dan rela memboroskan waktu mereka, kalau cerita ini diterbitkan dalam audiobook/edisi braille.
Baiklah, perhitungan diatas barangkali berlebihan, tapi maksudku tentunya tersampaikan: Nggak ada gunanya kita memakai deskripsi ala RPG di dalam sebuah novel fantasi yang serius. Itu nggak membuat novel menjadi lebih menarik atau lebih mudah diterima oleh gamer. Jangankan di dalam novel yang dibuat ala-RPG; di dalam RPG sungguhan aja, pernahkah anda menemukan FMV/cutscene seperti yang terjadi di bawah ini...?
"Cloud! Tolong! MP-ku menipis! Aku tidak bisa lagi memakai Summon Bahamut zero!"
Mendengar namanya dipanggil, si pemuda pirang meluncur turun dari kepala Midgar Zolom sambil menggoreskan Buster Sword di sepanjang punggung ular raksasa itu.
"Hiaat! Terimalah ini! Command Materia 2xCut!"
Gelombang tenaga Materia 2xCut yang menyeruak dari pedang besar si pemuda dengan cepat menyebabkan tubuh lawannya terbelah dua. "Tidaaaak!" si monster berteriak. "Aku punya 15.000 HP! Tidak mungkin... sedemikian mudahnya... kalah! Aaaaargh!"
Tanpa menghiraukan erang kesakitan makhluk buas, si pemuda lalu melompat. Ia mendarat mantap, membelakangi tubuh lawannya yang tumbang menjadi dua potongan yang menghempaskan debu di kiri-kanannya. Lalu ia mengulurkan tangan pada gadis yang memanggil namanya tadi.
"Jangan takut Tifa! Aku masih punya Potion! Ini--ambillah!"
Tifa melotot. Kesal. Tiba-tiba saja limit break gauge-nya terisi penuh. Langsung saja ia melakukan serangkaian tendangan dan pukulan yang diakhiri Limit Break terkuatnya, Final Heaven. "Bodoh!" teriaknya sambil terus menghajar Cloud. "Potion itu untuk memulihkan HP, Bukan MP! Elo kan jagoannya. Kok yang geto aja gag mudeng seeeeh?! MAMPUSSSSS!!!! Hiaaattt!! Tendangan Kincir Berputar!!!"
Mohon maaf untuk seluruh penggemar Final Fantasy VII yang membaca artikel ini. (Siapa bilang aku nggak bisa menikmati fantasi komedi? Heh, heh, heh...)
Baik. Ehem. Setelah melihat plot dan suasana cerita yang kacau, mari kita tinjau karakter dan dunia itu sendiri. Aku nggak akan ngebahas satu persatu karakter maupun tempat-tempat ataupun benda di dalam dunianya, karena kayaknya ga ada yang bisa kita pelajari kalaupun kita bedah semuanya satu-satu. Yang menarik dari karakter-karakter dan benda-benda dan dunia Summonster hanyalah satu: naming konyol yang kayaknya mengatakan "Aduhh, jadiin gue sasaran plesetan/cela dong plissss..."
Baca sendiri deh...
1. King Dradont. Oh no you don't.
2. Jenderal Watduks. "What?" *duks* Kayak sound effect orang yang lagi gubrak ke lantai karena guyonan gag lucu.
3. King Vadeworth. Hmm... Darth Vadeworth.
4. Ratu Dsaustet. Sounds like Ratu Santet.
5. Kitab Devdilbook, yang suka diplesetin sebagai kitab Devilgoblok oleh salah satu tokoh. Not that it is funny, though.
6. Difficult Jungle. Hutan yang sulit dilalui karena dipenuhi monster kuat-kuat. Oh yeah, jenius. Kreatif banget penamaannya.
7. Big Croakodille. Croaking crocodile kali yah? Nggak lucu ah.
8. Sumont Gurithae... yang rupanya berbentuk, surprise, surprise, gurita raksasa.
Nama-nama ini mungkin lucu untuk suasana fiksi fantasi komedi, tapi untuk fikfan serius, kukira terang-terangan salah tempat. Sekali lagi, ngocol hendaknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Selain itu perlu diperhatikan tipe humor yang sesuai dengan cerita. Kalau tone cerita dark, cobalah humor dark/sarkastis/sadis. kalau tone cerita memang komedi, slapstick atau humor-humor sugestif mungkin tepat. Jangan humor slapstick dipakai untuk cerita serius di suasana serius pula. Ya jelas gag kena dunk.
Pembaca yang terhormat, sebetulnya aku ingin lebih dalam menelaah buku ini dalam usaha untuk memulung apa-apa yang masih berguna sebagai pelajaran. Sayangnya, aku cuma manusia yang HP-nya terbatas, sementara buku yang awalnya kuremehkan ini ternyata merupakan lawan yang lebih parah daripada boss-boss rahasia semua RPG. Untuk itu biar kusimpulkan sari dari reviewku kali ini: Jangan membajak gambar game untuk cover atau ilustrasi, jangan menulis fantasi serius dengan deskripsi teknis-RPG, dan kalau mau ngocol pertama-tama pastikan dulu kalau anda itu lucu.
Untuk Bang Rudiyant, kuucapkan selamat: (Sum)monster Anda adalah mahkluk pertama yang sukses ses ses ses menghabiskan HPku! Beruntung aku masih punya persediaan Phoenix Down dan Megalixir untuk memulihkan diri.
Luz Balthasaar
23 komentar:
dibilang berapa kali pun kalau Summonster garinkk, tapi tetep aja waktu baca review ini aku ngakak2.. hahahahaha!! terutama yang bagian devilgoblok itu *mati ketawa
Penulis novel ala FF groupies.
Komentator juga dengan gaya FF-isme.
Pembaca yang terbius oleh FF-....apa ya...
Asik. Sangat menghibur.
Salam, Heinz.
Sebenernya ada beberapa humor yang bagi gue cukup orisinal dan lumayan bikin gue tersenyum.
Misalnya ada adegan si pangeran dari dimensi Summonster mau meminjam "Endikem" pada lima tokoh dari dimensi Indonesia. Mulanya gue juga baffled, apa maksudnya? Ternyata maksudnya "Handycam".
Kepolosan semacam ini menurut gue merupakan salah satu indikasi 'kejelian pengamatan' si pengarang, yang dengan pengolahan lebih baik akan membuatnya mampu menghasilkan karya berkualitas.
Cuma ya itu, musti ati-ati dengan logika bodong yang banyak bertebaran sampai bingung gimana membenahinya, musti overhaul besar-besaran, kurasa.
Soal sampul, gue setuju bahwa penampilan pengarang sebagai model sampul bukunya sendiri itu juga gak salah. Kulihat memang cukup konsisten dengan 'niatan' bahwa penulisan novel ini pun sebagai salah satu marketing tools untuk menjual si person pengarangnya sendiri sebagai seorang penulis serba-bisa.
So, sebagai novel fantasy, ini emang epic Fail (banget). Tapi sebagai 'self promotion', belum tentu.
(Good, kita jadi belajar satu hal baru lagi, nich)
FA Pur
memang bandel si pengarangnya Bos....
Wa kenal deket wong tetanggaan. wa udah jelasin soal istilah, dan terutama... Karakter!
sampai akhir masih ga jelas kecuali ke 8 karakter utamanya.
gila karakter utama aja 8!
Kalo soal lulus penerbit sih.... dia mah self publishing
Kayaknya memang aku harus (sedikit) mengakui kalau selera humorku terlalu berkiblat ke The Joker ^^*
"Why so serious?" Hehehehehe...
Nyaah, tapi itu tetep nggak menjustifikasi novel ini sebagai novel ngocol yang berhasil ngocol. Sebagai self-promotion, okelah, sepakat dengan Om Pur, yang bersangkutan berhasil menjual imej dirinya sebagai penulis serba bisa (bisa ngebajak artwork FF IX buat cover, maksudnya!)
Bicara soal bijak bajak, Aku ke sitenya Ivan dan baca novelnya, ternyata ada juga konsep yang kayaknya more-less sama dengan Summonster, namely soal ras Feral/Ferral. Apa novel itu dikembangkan di latar dunia yang sama dengan Summonster?
Luz Balthasaar
Awalnya sih buku saya yg itu rangkum 1 tahun sebelum dia niat bikin summonster....
terus karena dia udah ada nama dia pengen bgt re-edit dengan gaya dia...
aku nolak-nolak-nggak tapi akhirnya dia make setting universeku doang...!
kata Immortize ku diganti dengan summont.
Energi sihir yang rumit dipersingkat dengan MP.
dan Ras diperbanyak oleh dia!
Ivan
Tapi kupikir-pikir lagi, penulisan ala: "Nih, potion! Makan!" atau "Sial, MP-ku habis!", rasanya ini yang perdana.
Walau emang ga terdengar smooth dan terlalu gaya FF, tapi ide ini agaknya fresh.
Salam lagi, Heinz.
@heinz...
Bener sih, ini yang perdana di Indonesia. Dan ini suatu gagasan yang workable. Tapi tetep aja Heinz, suasana ceritanya gag cocok untuk penggambaran ala RPG ini. Bayangin deh kalau pertarungan-pertarungan di novel serius kayak Eragon atau Tanril digambarin pake HP dan MP. Rusak kan suasananya?
Lain perkara kalau penggambaran ala RPG itu dipakai di cerita konyol, atau cerita itu memag terjadi di dalam game, seperti .hack. Kalau .hack sih udah bukan pake HP-MP lagi, malah ampe pake icon e-mail muncul di atas kepala. Tapi kita bisa menerima karena memang setting dan suasananya cocok.
Luz B
Kedengerannya jelek banget dan ga berarti sama sekali.
Tapi aku lumayan ketawa waktu baca review ini kok.
...
Sial, berarti novel ini jelek BANGET.
wahaha....
Ini bisa jadi bahan renungan buat penulisnya n penulis2 fiksi fantasi yang laennya.
Konsep ceritanya juga masih ngikut sama fiksi fantasi luar.
Apa gak ada yang berani ngusung konsep yang baru!!
Btw, mampir ke blog (belom jadi) gw yay!! ^^
altarisword.multiply.com
""Itu Potion, sangat berguna untuk mengembalikan staminamu!"
atau...
"Mp-ku habis ketua! Aku tidak sanggup lagi!"
atau..."
OMG! I thought you were joking when you mentioned this. It's really in the book? o_O
@ deetopia.
Nggak Mbak, nggak bercanda. Itu beneren ada di bukunya.
Shoot me.
Ugh.
Barangkali novel ini emang dimaksudkan buat jadi plesetan, buat jadi bahan celaan, makanya seancur ini?
Tapi klo yang kayak gini jadi wajah fantasi Indonesia, aku juga nolak abis2an. Tidaaaaaakkkkk.... jangan rusak genre favoritkuuuu!!!
Klo aku perhatiin, dialognya banyak pakai eliptical sign (tanda titik 3 kayak gini ... ) ya? Klo di luar negeri, it's a big no-no. Naskah kamu bisa langsung ditolak editor klo ada eliptical sign nya. Lagian klo dibaca juga bikin flow cerita jadi nggak lancar.
Wah, klo self-publishing kayak gini bisa nembus Gramedia, aku jadi pengen nanya gimana tips-tipsnya, biar bisa kupraktekkin buat bukuku sendiri.
Jenderal Watduks... what's up duks?
Ga tau mau nangis atau mau ketawa guling2 di lantai baca ripiu ini...
baru berkunjung ke blog ini, setelah ketemu mas Pur-nya langsung di diskusi klub baca buku Goodreads Indonesia siang tadi (14 Maret 2010)
....lalu tak sengaja memilih baca ripiu-nya Luz pada Summonster ini, karena beberapa kali ke tokbuk saia terperangah melihat kaper novel ini...sumpah, nggak banget
....untunglah bisa baca ripunya Luz (skalian ngakak) jadi nggak ada alasan lagi buat nuker rupiah saia dengan buku ini.
Makasih Luz...kmu sudah menyelamatkanku....:)
@Mas Ijul/Yono/July/Jul-Yon...
Hahaha, sama-sama Mas. Tapi sebenernya kalau mau beli, beli ajalah. Hitung2 sedekah, gyahahaha...
Luz B.
waduh, novel kayak gini aja udh dinilai 'gagal', gimana novel bwtnq?? O.O *hanccuuurrr*
hohohohohoho... :D
Hmm,,, q nyari buku ni di toko2 buku tpi gx ketemu, pengen nyoba beli sieh,,,, :3
nuansa *check*
character *check*
setting? *check*
dialog *check*
rasa-rasanya dia dah kena Checkmate ini... kasian bener ampe kena repiuw kek gini.
.
bagian endorsenya. hiks... itu bukannya semacam ironi yang bilang "Maaf ya, gw ga ngerti apa maksud lu. cuma karena kita teman baik, jadi gw beri kata-kata indah dan njelimet gw."
.
tapi review ini jadi warning juga buat gw nih. masih banyak yang harus dipelajari berarti... terutama nuansa *sigh*
.
[.Re]
King Dradont, Jenderal Watduks, King Vadeworth, Ratu Dsaustet, Kitab Devdilbook, Difficult Jungle, Big Croakodille, Gurithae
buat gue kedengarannya kayak plesetan2 :
Dragon, Watzap Doc, Exhausted, Gurithae <-- agak latin ya?
Kalo anda merasa bisa buat karya yang lebih baik..jangan hanya mengomentari... karya anda apa bisa lolos di penerbit..? apa ada yang mau di gramedia.. paling sminggu terbit ditarik.. karena nggak ada yang beli dan tertarik.
novel rudiyant sudah banyak yang terjual dan memiliki fans yang sangat banyak pula... dan sangat banyak yang memuja karyanya..
buktikan kalo anda bukan hanya besar omong saja... buktikan dengan karya..
setelah bisa buktikan baru bisa ngomong seenak jidat anda..
@anon: saya percaya kok novel rudiyant pasti ada yang terjual. Tapi saya lebih yakin bahwa UFO itu ada daripada apa yg anda bilang bahwa rudiyant punya banyak fans dan banyak yang memuja karyanya.
kalau nggak percaya buka aja fanspage
detektif konyol
bang rudiyant
order ovel rudiyant
disitu banyak kok yang suka sama novelnya..
sekarang pembuktian dari anda..
bisa nggak nulis satu novel aja, yang di publish dan disukai orang..
kalau nggk bisa ya.. tong kosong nyaring bunyinya.
wakakaka...
jangan sampe dikatain pecundang..
Atas saya si penulis ya? Ya atau bukan, saya gak peduli, tapi ada yang saya ingin tahu dari komentar anda.
Anda bilang novelnya Rudiyant punya ribuan fans? Dipuja-puji umat manusia? Kalau emang perkataan anda benar, dan gak ada pemakaian hiperbola, saya ingin nanya, apa punya banyak fans sama dengan bagus bagi anda?
GAK. Punya banyak fans bisa berarti anda berduit. Bisa berarti anda aktif ngemis. Tapi gak ada yang bilang novel anda 'benar-benar' bagus. Tolong perhatikan tanda petiknya.
Satu lagi. Ini diskusi novel. Bukan diskusi jumlah fans. Kalau anda malah menyinggung kalimat murahan kek jumlah fans Rudiyant disini, saya malah berpikir anda tak cukup pintar untuk mendebat lawan bicara dengan lebih intelek.
Jadi, kalau anda percaya novel rudiyant bagus karena punya fans sebanyak kutu, tolong buang kepercayaan itu. Itu namanya menipu diri.
Makasih.
Hai aku dari 2023
Posting Komentar