Jumat, 08 Agustus 2008

ZAURI: Legenda Sang Amigdalus (dian k - 2006)


Data buku:
Penerbit : Grasindo
Editor : Mira Rainayati
As. Editor : Veronica B. Vonny
Penata Isi : Suwarto
Desainer Sampul : Bene
Tebal : 309 halaman

Penghargaan:
- Juara 2 Adhikarya IKAPI 2007
- Nominasi Khatulistiwa Literary Award 2007, kategori Penulis Muda Berbakat.

Nah, ada pemenang award masuk sini :)

Lantas menjadi 'beban' buat reviewer, apa yang harus reviewer tulis? Kalau bikin review kritis, ntar bisa dipertanyakan, "Siape loh?" mengingat orang-orang yang lebih 'ngerti' aja sudah menempatkan buku ini sebagai sebuah karya yang mendapatkan penghargaan (baca: jadinya pasti berkualitas, dongs). Tapi kalo bikin review positif, bagaimana dengan standar yang dimiliki reviewer? Apakah bukan berarti reviewer sudah mengorbankan standarnya demi menyesuaikan diri dengan penilaian sekumpulan juri?

Bingung, yah?

Untung saja aku gak menempatkan diriku sebagai 'reviewer', heheh. Karena aku pakai kacamata pembelajar, apapun akan kuanggap positif, karena dari kondisi apapun kita selalu dapat menarik pelajaran sebagai salah satu 'jalan' menuju peningkatan skill maupun wawasan kita dalam membuat karangan.

Novel Zauri sesungguhnya sudah lama diterbitkan. Saya bahkan sudah sempat berkenalan dengan pengarangnya sebelum saya membaca novelnya. Insya Allah, hal itu tidak membiaskan pembelajaran saya, dah. Novel ini baru saya baca sebab saya baru mendapatkan kopinya dijual di Pameran IKAPI bulan Juli 2008 lalu, sudah lama saya cari-cari di toko buku tak pernah ketemu. Sampai sempat saya pertanyakan pada pengarang, apakah bukunya mengalami masalah distribusi, koq sebagai sebuah karya yang menang penghargaan, tidak mudah dijumpai di toko buku. Padahal sumber pencarian utama saya biasanya toko buku Gramedia, dan Zauri adalah terbitan Grasindo yang nota-bene anak perusahaannya Gramedia!

Clearly, kalo jaringan toko buku Gramedia aja nggak memajang buku ini, bisa berarti stok habis dan belum ada cetakan ulang. Kalau belum dicetak ulang, kemungkinan terbesarnya adalah, novel ini tergolong 'slow moving', alias kurang laku. Nah, pertanyaannya kenapa sebuah buku pemenang penghargaan bisa gak laku? (well, di negeri kita ini, memang antara 'bagus' dan 'laris' itu belum tentu sekutub, hehehe). Tapi kelihatannya ada satu faktor, yaitu desain sampul. Tapi mendingan aku bahas belakangan aja, kali yee,..?

Sekarang mengenai ceritanya dulu. Zauri bercerita tentang petualangan seorang putri raja, Putri Regia, beserta sidekick-nya Nina, yang disihir oleh penyihir kerajaan menjadi seorang gadis amnesia tanpa identitas dan se(orang/ ekor?) peri. Akibat keamnesiaannya itulah, si putri bertualang ke sana-kemari sampai terlibat intrik kerajaan negeri tetangga dan negrinya sendiri.

Dalam petualangannya, sang putri disupport oleh a slew of characters, mulai dari Dios, pemburu/ pendekar muda yang kharismatik; Kid, si pencuri cilik yang 'dewasa' sebelum waktunya; Dainty, si gadis pemilik kedai minum yang cantik, cerdas dan menjadi rival Regia dalam menarik perhatian Dios; Zen, pangeran negeri tetangga yang suppose to be tunangannya Regia (yang nggak diminati oleh Regia), serta sepasang tokoh komikal Mayorka dan Bruno, yang nama aslinya tak saya ketahui sampai cerita berakhir.

Secara umum, pengarang berhasil menciptakan karakter-karakter yang cukup believable, dan masing-masing memiliki ciri yang khas, yang mampu men-drive cerita sesuai plot yang digariskan pengarang. Lihat saja, tanpa perlu penggambaran yang berbusa-busa pun, pembaca langsung bisa menyelami karakter-karakter tersebut. Memang dalam kubu yang ekstrim, orang dapat mengatakan bahwa karakterisasi semacam itu cenderung stereotipe. Menurut saya, sebagai dasar karakter, stereotipe nggak jadi masalah. Toh yang penting adalah bagaimana pengarang memainkan karakter itu selanjutnya, dan kemudian mengembangkan para karakter sesuai universe cerita tersebut. Dan dalam aspek ini, kulihat pengarang sudah cukup berhasil, walau tidak terlampau mendalam. Which is memang konsisten dengan tone dari novel itu sendiri.

Novel Zauri memang memposisikan diri sebagai Roman-Fantasy remaja, dengan tokoh-tokoh yang lebih masuk ke kategori area 'feminin'. Dalam hal ini saya tidak menginterpretasikan tokoh-tokohnya sebagai bertingkah laku 'feminin' (tokoh utama malah justru digambarkan rada tomboy). Melainkan seperti aliran 'shojo' dalam khasanah manga Jepang. Itu semacam aliran menggambar komik dimana tokoh-tokohnya memiliki atribut feminin yg menonjol, biasanya dalam profil wajah, tarikan garis, pilihan kostum, dan umumnya ditargetkan ke pembaca kaum cewek. Membaca Zauri, saya pun merasakan adanya similaritas antara cara bercerita atau cara deskripsi pengarang, dengan cara manga shojo bercerita maupun berdeskripsi.

Nah, entah karena ke-shojo-annya, atau memang demikian gaya penulisan pengarang, Zauri tampil sebagai sebuah teks yang enak dibaca. Demikian 'terang' dan mengalir. Dia tidak sibuk dengan konsep yang kompleks dan jelimet, atau dengan aksi yang bombastis, atau konflik batin bersigi konspirasi multi partai dalam selimut. Simpel aja, sebuah cerita yang enak diikuti dan dengan ramah mengajak pembaca ikut di dalam petualangan Regia, dan mengandung elemen aksi maupun humor yang pas. Kurasa, teknik penulisan yang berpegang pada kesederhanaan kalimat dan deskripsi langsung, merupakan teknik yang telah membuat novel ini menjadi mudah dicerna oleh berbagai kalangan. Dan jika hal itu merupakan nilai plus, kurasa nilai plus semacam itulah yang telah mengangkat posisi Novel ini menjadi layak untuk mendapatkan penghargaan.

Walau tentu saja, akibat dari kesederhanaan itu, jadi cukup banyak aspek yang tak tuntas dibahas dalam 309 halaman. Itu adalah satu sisi lain dari mata uang yg sama. Terus terang saya tidak cukup puas dengan berbagai alasan yang (seharusnya) menjadi latar belakang hubungan sebab-akibat yang terjadi di dalam novel. Banyak hal seolah sudah ditempatkan oleh pengarang secara apa-adanya, dan pembaca yang kritis terpaksa 'terima jadi' ikut mengalir bersama pembaca-pembaca gak kritis ke sungai plot.

Beberapa lubang logika, rasanya sudah disebutkan oleh beberapa review, dan kayaknya saya cenderung menyetujuinya. Saya sendiri menilai lubang logika yang ada tidak terlalu fatal. Hanya sekedar semacam ketidak puasan karena kurang 'lengkap' aja.

Beberapa yang saya rasakan masih kurang memuaskan antara lain:

Status Erica sebagai penyihir istana. Rasanya aneh, aja. Ada seorang penyihir berkekuatan luar biasa (bisa merubah orang menjadi peri) bisa diterima berkeliaran di sebuah istana. Mengapa Raja dan Ratu tidak menganggap orang-orang semacam itu sebagai ancaman? Kurasa bukan cuma Regia yg bisa dibikinkan duplikat, sang Raja sendiri pun dapat dibegitukan oleh Erica, bukan? Ini terutama karena Raja sendiri tidak dikatakan mampu mengimbangi sihir Erica atau sejenisnya, bahkan ketika putrinya sendiri digantikan boneka, ia tidak notice (Ini pasti tipikal Raja yang sangat sibuk sehari-hari di kantornya! :))

Alasan Dios menolong Regia di tengah hutan, sepertinya cenderung klise dan inkonsisten. Tak ada gunanya Dios bersikap dingin atau galak saat menolong seseorang yang tampaknya tersesat di tengah hutan, kecuali bila Dios sudah punya sentimen negatif terhadap orang itu sebelumnya. Karakter Dios sebagai loner tidak cukup kuat untuk menjustifikasi keaseman sikapnya terhadap Regia, yang tak berdasar itu.

Adanya Peri kupikir cukup out of context di dunia tersebut. Di satu sisi sistem kemasyarakatannya tidak terlihat akrab dengan Peri (tidak ada indikasi keberadaan peri di istana, dalam artefak budaya, etc), tapi di sisi lain beberapa warga (misalnya Nenek Luina) tahu adanya Istana Peri di hutan,...ada familiarity dengan peri, tapi tak tampak ada intergrasi budaya. Orang-orang tidak kelihatan asing melihat Mio (wujud peri Nina) terbang berkiter-kiter di dekat Kayla (wujud amnesia Regia), reminiscence of Tinkerbell to Peter Pan. Tapi koq tidak ada peri lain yang ngikut orang lain juga? Dengan tidak adanya integrasi antara budaya manusia dengan budaya peri, kesannya peri itu menjadi setara dengan hewan, atau insignifikan, atau bahasa lugasnya: tempelan dalam bangunan universe.

Berdasarkan keberadaan istana Elgamb yang 'melayang' karena disupport oleh kristal, juga topik utama novel yaitu kristal Zauri yang punya kekuatan dahsyat dan merupakan elemen utama plot novel ini, saya bisa mengatakan bahwa seharusnya novel ini menempatkan Kristal sebagai sentral kebudayaan di dalam novel. Seluruh kehidupan di dalam novel ini bertumpu pada kristal, sebagaimana seluruh kehidupan di Bumi bertumpu pada Minyak Bumi.

Ini masih kurang diolah. Padahal kalau mau diolah, hasilnya akan tumbuh sebuah kebudayaan rekaan yang amat kaya, dan tidak cuma menghasilkan produk budaya berupa kristal penyangga istana/ jembatan, kristal zauri, atau kristal fusan. Ia akan menghasilkan suatu karakter negeri kristal yang melingkupi seluruh aspek kebudayaan di novel Zauri, karena di universe ini, kristal adalah sumber energi yang tak terbatas.

Artinya, peran para Karphatian (sebagai pengendali kristal) bisa lebih sentral. Artinya, akan banyak pengembangan teknologi eksotis yang menggunakan kristal. Artinya, akan banyak kosa kata khas untuk kristal atau hal-hal terkait kristal, yang menunjukkan betapa tingginya posisi benda tersebut dalam tatanan kemasyarakatan di Zauri. Artinya, pengarang akan punya karya cipta berupa sebuah dunia fantasy yang benar-benar unik.

Pertanyaannya, apakah itu perlu? Toh, dengan hanya bermodalkan plot sederhana dengan penokohan standar seperti ini, Novel Zauri sudah mendapat penghargaan, bukan?

Nah, ini terpulang sama pengarang sih, mau jadi penulis yang cepat puas, atau penulis yang terus berkembang menjadi lebih baik. Heheheh,...

Kemudian mengenai penamaan tokoh maupun properti di dalam Zauri. Pengarang punya strategi memberikan nama-nama yang singkat dan mudah diingat, which works seplendedly :) Nama-nama seperti Regia, Kid, Dainty, Dios, Mayorka dan Bruno, rasanya udah cukup 'bunyi' di pikiran secara baik dan 'pantes'. Tapi nama seperti Nina, Kayla, Mio, Zen, Jort, Erica,,.. well,... rasanya nggak terlalu megang untuk dunia Zauri. Juga nama peroperti seperti Fusan, Bubaglob (spelling perlu check), Dahl, Aurgis (spelling perlu check), Mohaz, minuman... (halah, lupa juga nama minumannya, tar dicek dulu! Bukunya keselip dimana lagih?), juga rasanya nggak terlalu menimbulkan excitement. Gimana ya, it's just names, bukan karakter.

Terakhir mengenai ketidak puasan ku adalah mengenai sub judul Novel ini, yaitu "Legenda Sang Amigdalus". Gimana ya, ditaruh di sub judul, tapi keberadaan legenda itu sendiri cuma terasa sebagai sampiran setting, bukan inti cerita. Salah satu parameternya adalah: Sampai akhir cerita pembaca pun masih belum ngeh banget Amigdalus itu apa, kecuali bahwa si Mario, si pemenang Amigdalus award tahun ini, adalah penjahat yang akhirnya dikalahkan Dios berkat bantuan keajaiban kristal Zauri.

Nah, sekarang gimana kalo kita omongin kritik gue yang paling utama untuk buku ini, yaitu desain covernya!

Menurut gue sich,... desain cover Zauri belum tergarap secara memuaskan, dan yang agak berbahaya adalah bahwa desain ini berpotensi menghalau pembaca potensial mengeluarkan buku ini dari buying list mereka. Apa yang kurasa menyebabkan hal itu? Faktor paling menonjol adalah font tulisan Zauri, yang selain sukar dibaca, juga mengesankan ekspresi seram/ horror. Padahal apakah hal itu konsisten dengan karakter kristal Zauri? Apakah ke-horror-an ini konsisten dengan tone Novel yang cenderung ringan dan ramah itu? Lantas apa pertimbangannya menggunakan Font ala Frankestein, itu? Cacat font juga terjadi di sampul belakang, membuat sinopsisnya menjadi susah dibaca secara tak perlu.

Pikir aja deh, dalam membeli buku yang terbungkus plastik, apa yang membuat sebuah buku berpindah dari rak menuju tas belanja? Pertama: Cover, Kedua: Sinopsis/ Endorsement. Dan dua-duanya gak support ke isi buku Zauri. Oh, dan ada Ketiga: Karena gue kenal/ nge-fans pengarangnya,... hehehe.

Jadi sorry aja, walaupun secara teknis desain sebetulnya cover sudah dikerjakan secara bagus, rapih, grafis ilustrasi pedangnya keren (tapi pedangnya terlalu tipis, gak menarik perhatian), Cover itu sendiri gagal mencitrakan isi Novel untuk menarik prospective buyer, atau at least telah menghalau pergi prospective buyer dengan keseraman pencitraan yang tak perlu.

Tapi, apakah tuduhanku ini valid? Hmm,.... susah juga, ya. Ga ada bukti angka yang sahih, semua hanya berdasarkan spekulasi aja. Tapi paling tidak, kalau pun gue mau menyodorkan konsep cover apa yg kira-kira akan 'pas' buat Zauri, mungkin setidaknya gue akan memberi saran perubahan untuk Fontnya aja. Mungkin Font yg lebih intergratif dengan grafis kristal (misalnya huruf A-nya diganti gambar kristal etc), untuk memperkuat imaji negeri Kristal di universe Zauri. Plus, stempel informasi mengenai penghargaan juara II yg diperoleh Zauri, seperti cara novel-novel luar mempromosikan "New York Time's Best Seller" dan sejenisnya itu.
Akankah bakal laku? Well, siapa bisa jamin? Lagian masih ada sejuta masalah dalam distribusi yang menentukan keberhasilan pemasaran sebuah buku. Tapi setidaknya, dengan desain 'manis' novel Zauri akan tampil lebih utuh sesuai dengan harkat dan martabatnya! (Apaaa, siiiih?)

Anyway, buat dian, sekali lagi selamat untuk novel perdananya, selamat buat penghargaan & nominasinya, karya-karya selanjutnya ditunggu, ya!

Salam,



FA Purawan