Kamis, 04 Juni 2009

MARRIED WITH A VAMPIRE (Joko D. Mukti - 2009)



Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Editor: N/A
Desain Sampul: Eduard Iwan Mangopang
Foto Sampul: (c) Photostorm/ Shutterstock
Tebal: 338 halaman


Another Vampire Story? Gak aneh.

Di Indonesia? Well, bolehlah, unik.

Bersetting Kota Semarang? What?! Jarang-jarang, tuh?!

Yang nerbitin GRAMEDIA. WHAAAAAT????

Hah, di mana kejutannya? GPU nerbitin sebuah novel Fantasy berlatar Vampir? Hellloooo, masih musim Twilight neh sekarang. Sorry boss, memang topik Vampir bukan topik baru, tapi yang ini lain: Novel Vampire lokal berlatar setting Kota Semarang, terbitan gress GPU tahun 2009.

Judging dari kebiasaan GPU main di wilayah mainstream-pasar, pilihan terhadap materi MWAV karya Joko D. Mukti ini harus diakui cukup,... beda. Beda dan berani!



Karena memang Gramedia cukup jeli ketika memilih. Tema Vampir, okelah lagi naik daun gara-gara kesuksesan Twilight-nya Stephanie Meyer. Tapi saya yakin di antara puluhan tema Vampir yang sempat masuk atau diseleksi Redaksi, materi mas Joko ini memiliki angle paling beda dari biasa. Yang paling menonjol dari keberbedaan itu, adalah: penggunaan setting Kota Semarang sebagai tempat cerita bermain. Unik, sekaligus cerdik karena secara fisik sendiri Kota Semarang memang memiliki unsur-unsur yang mendukung imaji 'dark' yang dibutuhkan.

Semarang adalah salah satu kota tua di Jawa, dan termasuk di antara kota-kota yang memasuki kondisi 'decay' akibat perubahan energi perekenomian di region tersebut (dulu pantai utara Jawa termasuk urat nadi perekonomian utama, sekarang sudah berubah), Maap buat orang Semarang, hehehe. Tapi sudah merupakan kenyataan bahwa Semarang tak secemerlang ibu kota propinsi lainnya di Pulau Jawa, dan,... ada kesan menua. Dan sengaja atau tidak, ini setting yang strategis menguntungkan buat pengarang.

Saya setuju dengan strategi pengarang, Semarang memang setting yang cucok buat cerita Vampire, much like New Orleans buat cerita Vampire atau Voodoo. The vibe is there, it's THE place. Inget aja, that's where the spookiest building ever, "Lawang Sewu", berada. 'Nuff said.

So, mari kita sambut karya yang tak 'biasa' ini.

Married with a Vampire menceritakan kisah petualangan tokoh utama, seorang pemuda bernama Lang, yang dibawa nasib bertemu dengan sesosok Vampir bule cantik legit bernama Princess, dan melalui utak-atik setting yang 'kocak-kocak-gimana' (karena tidak diintensikan sebagai komedi, sebenernya), akhirnya ended-up menikahi si Vampir tersebut. Dia gak rugi, sih, sesungguhnya, soalnya Vampirnya emang cantik dan seksi, gitu lowh.

Yang bikin rugi, karena si Vampir itu 'ngebawa' temen-temennya (walau dalam status bermusuhan) membanjiri Kota Semarang dan menjadikan Semarang sebagai Kota Vampir pertama di Jawa! Yaaay!! My friends, ini baru THE story!

Dalam buku setebal 300 halaman ini, pengarang menjejalkan cukup banyak side-stories, mulai dari latar belakang Lang yang tipikal pemuda-miskin-ikut-boss-kaya-dan-jatuh-cinta-sama-anak-gadis-nya-dan-tentu-saja-cintanya-ditolak-karena-beda-status, pertemuan dan pernikahan Lang dengan Princess si Vampir cantik, dendam Jack si raja Vampir mantan suami (?) Princess, Infestasi Vampir di kota Semarang yang didalangi oleh Jack si Raja Vampir Dunia (wow!), aksi seru si Lang sebagai pahlawan pembasmi Vampir dengan kelompok SANG PEMVASMI (well, believe it. itu singkatan dari: Persatuan Para Anggota Pembasmi Vampir dan Vampirisme di Indonesia. LOL!), yang tentu saja Lang jadi the hero yang menyelamatkan sang boss beserta putrinya, dan si Putri, Svida, jadi jatuh cinta sama lang, terus ada pacar Svida yang --seperti biasa-- nyebelin, and so on, and so on, plus pra-kondisi untuk sekuelnya. Bahkan sedikit imbuhan intrik-politik kaum Vampir yang menjustifikasi alasan kenapa Vampir membanjiri Semarang, sekaligus juga mempengaruhi hubungan cinta Lang dan Princess di akhir cerita. Good, lah.

Dari sisi penceritaan, cukup fresh dan seru walaupun tidak ada yang terlalu istimewa. Gaya bertuturnya juga somehow a bit 'old'. Keistimewaan novel ini justru pada keberanian (dan mungkin keberhasilan?) untuk menghadirkan setting Vampir di Semarang, yang nyaris bisa dipercaya asalkan pembaca mau mengkompromikan situasi sedikit.

Maksudku, ketika Semarang dilanda serangan Vampir, it's really-really believable, asal kita rela meng-contain masalahnya tetap berada di areal Semarang aja, jangan diperluas ke pulau Jawa atau Jakarta (misalnya menjadi masalah Nasional, gitu), sebab gregetnya akan jadi jauh berkurang, dan kita jadi perlu menciptakan berjuta plot device untuk meng-cover lubang-lubang logika yang timbul.

Mungkin sekedar contoh untuk memperjelas, ingat serial game Resident Evil, yang selalu berlangsung di sebuah lokal (kota kecil, precinct) yang terbatas, kagak pernah di kota besar macam New York, gitu. Sebab jika terlalu luas, akan sulit mengelola unsur believabilitynya.

So pembaca harap menganggap Semarang dalam setting MWAV ini adalah sebagai Semarang yang somehow terpisah dari kota-kota lainnya di pulau Jawa. Dan kalo ngebayangin Semarang alone dihantui oleh Vampir di jalanan kota-kotanya, hell, bulu kuduk gue langsung berdiri. Really creepy bener,...

Dan berkat setting yang terbatas ini, rasanya jadi wajar aja menemukan dalam cerita bahwa Polisi 'cukup' kewalahan menangani ancaman Vampirisme (tanpa terlalu kewalahannya hingga terpaksa mengundang campur tangan TNI menyangkut keamanan Nasional), lalu sekelompok Vigilante bisa beraksi membasmi Vampir, dan tokoh kita bisa menjadi hero-selebritas terang-terangan di depan masyarakat kota Semarang. Terus adegan Vampir menyerbu hotel di Simpang Lima yang jadi tempat pengungsian,... Wow, Cool!

Coba kalo kita nggak batasi setting, maka kita akan langsung protes: di tengah serangan Vampir yang menggila kenapa gak diungsiin aja penduduknya ke Kudus atau Solo, atau bagaimana mungkin Vampir bisa merajalela di Semarang aja, gak merembet ke kota-kota lain secara di pulau Jawa ini kota-kotanya literally udah berdempetan!

Jadi malah repot, kan?

Aspek selain dari setting, well, MWAV adalah cerminan dari karya pop masa kini, penuh action hack and slash yang cinematic-keren, gore berdarah-darah (Rating Novel ini adalah Novel Dewasa), dan tentu saja, Seks. Hot, steamy, sex. Ada cukup banyak R rated situations dalam novel ini, antara lain adegan percintaan Lang dengan Princess, adegan Vampir cewek telenji di tengah jalanan, and so on. A bit surprise juga buat gue, agak sedikit di atas garis batasnya Gramed, hehehe. Mau salut, atau mau kalut, it's your own choice(s). Tapi buat para ortu, please consider untuk menunda memberikan novel ini pada putra-putrinya, sampai at least dia udah tujuh belas tahun atau already sudah biasa mengkonsumsi material yang lebih luncah dari ini. He he he.

Well, untuk fair-nya, adegan dewasa dalam novel ini memang diintensikan buat pembaca dewasa, masih memiliki nilai sastra, dan tidak overdone. Jadi gak perlu overreacted juga, sih. Kalo menurut feeling gue, mas Joko juga sedang mendegikkan kepala (semacam penghormatan juga) pada genre Fantasi-Horror-Misteri Nasional seribu-limaratusan perak yang pernah jaya di tahun 80-an dengan pengarang seperti Abdullah Harahap dkk. Genre unik yang nggak pernah mendapatkan apresiasi penerbit utama pada masa itu.

Terus pegarang juga mencoba memasukkan sub-tema filosofi dalam karyanya, mengenai 'kedudukan' konsep Vampir dalam alam berpikir Indonesia melalui sejumlah pertanyaan dan diskusi antara Lang dan Princess. Konsep 'vampirisme' yang boleh jadi berbeda dengan konsep orang barat. Kupikir it's just a nice try, berhasil atau nggaknya masih relatif. Minimal aku ngerasa ada pertanyaan-pertanyaan yang seolah mewakili diri kita (sebagai orang Indonesia) jika suatu kali kita bener-bener ketemu dan ngobrol-ngobrol sama Vampir (halah!)

Sekarang, apa kritikannya?

Gak terlalu banyak. Aspek logika cerita, masih bisa diterima dan masih cukup kuat menopang plot. Bahwa jika areanya diperluas ke luar kota Semarang, logika akan jadi ambrol, itu sudah kukemukakan di atas.

Tapi yang rada parah kurasakan adalah dalam hal penamaan. Untuk nama-nama tokoh lokal, seperti Lang, Svida, Tamam, dll udah cukup pas dan wajar. Tapi nama-nama Vampirnya berasa agak kurang sreg buat gue. Vampir cewek yang usianya udah ratusan tahun, dan punya posisi semacam 'ratu' di kalangan Vampir, cuma punya nama "Princess", atau tokoh lain yang bertatus mirip, namanya "Tante Lidya". Tokoh antagonis Raja Vampir super licik dari New York cuma dipanggil "Jack". Well, nama-nama sederhana semacam itu nggak bisa mengangkat eksotisme dan kekuasaan kaum Vampir yang konon sudah establish selama ratusan tahun! Kalau saja pengarang menambahkan nama lengkap untuk mendampingi nama-nama panggilan di atas, mungkin universe Vampirnya jadi jauh lebih mengesankan. Kalo yg sekarang, terus terang aja gue malah kepeleset jadi inget Vampir ala "Human Drakula"-nya Srimulat jaman taun 80-an (yg biasanya diperankan Oom Paul Polii, dan setiap kali muncul di panggung pasti seru, serem dan ngakak abiss)

Kritik lainnya adalah dalam hal desain sampul. Sorry, dengan pengalaman mendesain cover versi teremahan buat Twilight series yang demikian bagus, kenapa untuk yang ini desainnya kayak Novel-horror-wannabe-kacrut-adaptasi-dari-film macamnya Kuntilanak Beranak atau Kolong Jembatan Casablanca (whatever! What do I care?) gitu? Covernya gak bisa mencerminkan actions ataupun gore, even sex(kalo memang mo jual itu) yang ada dalam buku. Instead, covernya cuma menonjolkan kesan suram rumah tua dengan overblown-Moon serta beberapa codot beterbangan. Gak kelas, kalo buat gue sich, malah paduan dari desain cover seperti itu plus judul "Married With Vampire" justru membuat gue sempat mengira it's just another comedy-sotoy works, atau another kumpulan catatan harian dari seorang blogger pengikut mazhab "Kambing Jantan" yang kebetulan sedikit lebih sakit daripada 'nabi'nya (hehehe). Beruntung ada sinposis di back cover yang sedikit menjelaskan bahwa novel ini 'beda'.

Usul gue? Gak jauh-jauh, dah. Ilustrasi gedung Lawang Sewu dengan style dark/ gothic with empty streets dan rumput meranggas etc, terus seorang laki-laki (Lang) tampak punggung sembari enyeret kampak berdarah atau katana, gitu. It would tell a thousand stories!

Oh iya, dan Font Judul ala tulisan berdarah di halaman-halaman dalam. It's just so yesterday peninggalan jaman Printshop. Satu kata dari gue: Kamse'upay!

Akhirul kata, review ini kututup dengan pembelajaran bahwa unbelievability factor sesungguhnya masih bisa kita manage, atau siasati, dengan cara membatasi lingkup setting di dalam universe kita. Dengan pengolahan semacam itu, kita harapkan pembaca masih dapat terlarut dalam setting yang kita ciptakan dan dapat ikut menikmatinya, alih-alih terganggu atau ngotot merasionalisasikan semuanya.

Buat mas Joko, karyanya keren, boss. Dan saya hanya ingin mengingatkan bahwa anda sudah menjanjikan sekuel dengan judul: Married With A Vampire #2: Bloodlust (background sound: Woooooh,..). Penuhilah janjimu! Awas, ya, kalo gak keren juga! He he he,...

FA Purawan