Kamis, 12 Juni 2008

LEDGARD: Musuh Dari Balik Kabut (WD. Yoga - 2005)





Finally.

Apanya yang 'Finally'?

Finally untuk banyak hal. Tapi yang pertama kali bangeeet, adalah Finally akhirnya aku selesaikan membaca Novel ini, di Senin pagi 9 Juni 2008 dalam perjalanan bermobil dari rumah menuju kantor. Dan jika mengingat bahwa saya sudah membelinya sejak pertama kali terbit tahun 2005, maka bisa dikuak kenyataan bahwa saya perlu waktu tiga tahun untuk membaca sebuah novel!

Wow. Lama banget? Tentunya jadi lama, bukan karena novelnya segitu panjang ('cuma' 579 halaman, koq. Standar, lah). Tapi karena proses membacanya yg on-off, bahkan sempat dua tahunan nggak disentuh (belum juga lewat setengah buku), baru sejak sebulan belakangan saya terusin dengan niat: finish it! Supaya bisa saya masukin review di blog ini. Bisa lama gak disentuh? Tentu ada sebabnya, yang akan saya ulas nanti.

Finally kedua, adalah akhirnya aku menemukan sebuah Novel yang sudah dikerjakan secara well-done, dengan proses yang well-done, dan hasil akhir yang bisa kukatakan well-done!

Finally ketiga, bahwa akhirnya aku bisa menemukan sebuah Novel yang sedikit banyak bisa dijadikan role model untuk sebuah Novel Fantasy lokal, khususnya bagi para aspiran penulisan cerita fantasy.

Finally keempat, akhirnya aku bikin juga review novel ini, sedikit terlambat sebetulnya, mengingat review sejenis pastilah sudah bertebaran di Internet, secara udah banyak banget yg baca dan nge-review, udah tiga tahun overdue. Tapi, rasanya tak apa terlambat tiga tahun, mengingat Novel ini memang pantas mendapatkan ulasan yang mendalam, lagi, lagi dan lagi,... hehehe,...

Yeah. Ledgard, memang segitu bagusnya. Walaupun saya tidak akan menobatkannya sebagai novel yg sudah 'sempurna' dalam pandangan ideal saya, setidaknya Ledgard dapat saya anggap sebagai yang terbaik di antara karya-karya lokal bergenre Fantasy yang ada saat ini.

Mari kita mulai.

Seperti biasa, tentang pengarang. WD Yoga, sebagaimana menurut beberapa sumber di Internet, adalah pengarang berusia 24 Tahun yang sudah cukup dikenal publik, walaupun konon beliau memilih bergaya misterius. Susah, hehehe. Satu situs menyebutkan bahwa beliau adalah mahasiswa Pasca Sarjana UGM, sementara situs lain menyebutkan nama aslinya sebagai 'Mas Ganjar' (Ganjar Widi Yoga), konon mantan Ketua Forum Lingkar Pena Yogyakarta. Well, so much for being misterious,.. hehehe. Ga papa, lah. I think mas Yoga deserves to be famous, koq, untuk sumbangannya yang sangat bernilai bagi khasanah penulisan Fiksi-Fantasy di Indonesia. Sekaligus sebagai pertanggung-jawaban: BOZ, MANA LANJUTANNYA?? Hehehe,..

Apalagi, tanggapan publik pembaca Fantasy terhadap Ledgard memang cukup positif. Saya sendiri ikut menanggapi positif dalam perspektif yang agak berbeda. Buat saya, keunggulan Ledgard sebagai karya atau WD Yoga sebagai penulis ada dalam proses pengembangan dan pembuatan karya novel itu sendiri. Disebutkan bahwa dalam membangun Universenya, WD Yoga banyak meminta pendapat dan masukan dari sesama penggemar genre Fantasi dalam sebuah milis. Berdasarkan masukan-masukan inilah penulis kemudian menyempurnakan setting dan kisah dalam Novelnya.

Berikut adalah kutipan dari Rumah Buku Liliput (http://liliput.wikidot.com/sas-sus):




Yoga, yang lahir di Yogya pada 11 Mei 1981, melahirkan cikal bakal Ledgard: Musuh dari Balik Kabut di mailing list Fantasi Indonesia. Komentar, kritik, dan masukan dari anggota milis menjadi bahan untuk perubahan dan perbaikan yang terus-menerus dilakukannya.




Nah, proses inilah, teman-temanku, yang SEHARUSNYA ada dalam setiap penulisan Novel terutama yang bergenre Fantasy. Alasannya sangat sederhana. Dalam Fantasy, "We create Worlds", dan tugas untuk membuat sebuah universe lengkap sangatlah tidak ringan. Oleh karenanya kita pasti butuh pembanding-pembanding atau mata-mata yang mengamati setiap sudut, setiap aspek, dalam dunia ciptaan kita agar kita dapat membangunnya secara believable sehingga dapat dinikmati oleh pembaca sebagai suatu dunia yang utuh. Dengan mengumpulkan masukan dari orang lain, kita dapat membangun 'insight' yg lebih baik mengenai universe yg sedang kita susun. Dan menurut saya, itulah inti keberhasilan dari Ledgard.

Bottomline,.... Keseriusan.

Dan selaras dengan jurus "Judge by The Cover", keseriusan pengarang (beserta team penerbitannya) sudah muncul sejak Cover depan. Penggarapan grafisnya serius. Dengan cover berwarna dark blue bergambar pedang berlatar belakang arena pasca perang dan sepasang mata biru (mata felis?) memandang tajam. Indah. Beberapa pembaca berkomentar bahwa covernya kurang relevan terhadap cerita. Kalau menurut saya, cover itu sudah dengan tepat menggambarkan konsep "Musuh dari Balik Kabut" sesuai tema novel. Walaupun, kegelapan dark blue-nya memang mengesankan kesuraman membayang untuk seluruh halaman novel, seolah angle penceritaan novel ini akan gelap juga. Untuk jaman sekarang (2008), mungkin konsep yang lebih menjual adalah ilustrasi cover yg lebih 'grande' dengan imaji pertempuran menggunakan kapal-kapal 'melayang' yang merupakan fitur unik dunia Ledgard. Tapi granted, untuk bikin artwork kayak gitu (secara pantas), di kita belum ada yg mampu.

Keseriusan selanjutnya termaktub di halaman-halaman pertama, dimana pengarang mempampangkan ilustrasi para tokoh dalam novel Ledgard, mulai dari Nash, tokoh utama, Rhavi, Deedek, Vasthi dan seterusnya, termasuk Doggorin, binatang langka Ledgard yg ngga ada gunanya ditampilkan, kecuali mungkin sebagai penghargaan pada ilustrator Catur Ari yang sudah susah payah melukisnya,.. hehehe,... (dan memang detail sekali, bo!)

Untuk ilustrasi Catur Ari ini, saya acungkan enam jempol centaur :), eksekusinya sangat rapi-jali, seperti inilah seharusnya sebuah ilustrasi Fantasy dikerjakan. Namun bukan berarti tidak ada kritik. Kritik saya tertuju pada interpretasi atas sosok Nash, yg menurut saya kurang mengena. Tapi sejujurnya saya tidak terlampau menyalahkan ilustrator, sebab penggambaran karakter Nash oleh pengarang pun menurut saya memang kurang 'pas', sehingga wajar bila ilustrator pun nggak 'dapet'. Untuk tokoh-tokoh lainnya, saya rasa Ilustrator udah cukup 'dapet' deh. Selain itu, ada kritik mengenai desain kostum. Saya merasa keseluruhan kostum dalam ilustrasi itu masih kurang terolah. Saya merasa masih melihat mode/ fashion yang standar rekaan ilustrasi ala Indonesia, yg nota bene minim relevansi ke arah setting novel.

(Apa, sehhh, maksoed loe,...???)

Gini. Coba nonton DVD Lord of The Rings, yang Extended version. Setel bagian "Behind the Scene". Buat aspiran Fantasy, ketahuilah bahwa di bagian-bagian itulah the culture is being built. Salah satu yg membuat saya terkesan adalah interpretasi para filmmaker terhadap penggambaran konsep budaya Rohan (kaum penunggang kuda), bagaimana kultur Penunggang Kuda itu terpatri dalam bentuk-bentuk arsitektur sampai dengan busana dan detail ukir-ukiran baju perang, bendera, dan lain-lain. Lengkap sampai hal-hal kecil. Sehingga, semua 'bentuk' yang ada di dalam budaya tersebut senantiasa memiliki latar belakang kenapa sampai pada bentuk seperti itu. Contohnya busana Princess Euwyn dari Rohan digambarkan terbuat dari bahan yang melambai, ternyata berakar dari kekaguman para Rohirrim terhadap surai kuda yang dengan indahnya melambai saat kuda berderap di padang rumput Rohan. Tidak sekedar mengadopsi bentuk-bentuk kuda, tapi juga filosofi yang terkait dengan sifat kuda yaitu kekuatan yang berpadu dengan kelenturan.

Genre Fantasy sesungguhnya punya 'tugas' sampai ke sana. Saat pengarang menciptakan Dunia, ia juga menciptakan budaya, dan ia pun menciptakan segala perangkat di dalamnya, termasuk busana, dan,.... praktikalitas busana terhadap kehidupan budaya bersangkutan.

Dalam hal ini, penulis kita maupun ilustrator kita (Indonesia), masih harus banyak-banyak ngobrol dan belajar. Untungnya (atau ruginya, karena kita gak pernah lakukan/ peduli ?) kita punya referensi terkaya di dunia, terutama sekali kalau kita mau belajar melalui sejibun artefak budaya yang dimiliki oleh Nusantara. Pernah lihat wadah tempat obat suku Batak? Bentuknya bisa dari perak atau perunggu, berbentuk kerucut melengkung seperti terompet kecil. Memakainya digantungkan di pinggang. Dari situ aja kita seharusnya bisa bicara banyak mengenai kehidupan suku Batak pada masanya, kenapa bisa muncul wadah obat seperti itu, dan seterusnya.

Kembali pada ilustrasi Ledgard, kulihat hal ini lah yg masih kurang terolah. Bagaimana harusnya rancangan kostum seorang prajurit Ifarett? Bagaimana seorang prajurit Ifarett bisa berkelahi sebagaimana yang dilukiskan dalam novel, dengan komposisi pakaian yang seperti itu? Bagaimana fungsionalitas kostum seorang L'Darisai yang katanya prajurit elite? Kostum Ae-Sirri, koq kayak pakaian sutera pendekar China, sementara gaya perang Ae-Sirri lebih brutal mirip Indian. Sebagai prajurit dengan spesialisasi pelempar pisau terbang, saya tidak melihat kantong atau sabuk atau apalah, tempat pisau-pisau itu disimpan. Malah adanya semacam terompet di pinggang (wadah obat Batak? Ups!). Saya nggak mikirin kostum Ae-Sirri harus seperti pasukan wanita Amazon, gitu. Tapi setidaknya semakin dekat jarak pertarungan, harus semakin defensif lah pakaian yang dikenakan. Mungkin semacam seragam tempur dari kulit yang dikerjakan secara indah akan sangat cocok untuk Ae-Sirri. Cantik, tapi menggiriskan, dan memampukan penggunanya bergerak tanpa suara.

Terus-terang saja, bagi saya desain kostum yang digambarkan ilustrator masih tak jauh dari kostum ala tokoh-tokoh negeri dongeng di majalah Bobo. Artinya, belum dipikirkan secara mendalam. Dan sebagai akibatnya, kostum-kostum ini nggak berhasil memancarkan 'excitement' sebuah kisah fantasi sebagus yang sudah dituliskan pengarang di dalam Ledgard.

Hmm,... tugas yang berat buat ilustrator, heh? Terus-terang, iya. Pasalnya, hare gene mana ada ilustrator yg mikir sampe ke sana? Berapa harga jasa ilustrasi buku di negeri dengan budaya adiluhung seperti Indonesia, ini? Tragis. Oleh karenanya, kitapun terpaksa harus maklum se maklum-maklumnya. Toh, yang sudah dihadirkan oleh Catur Ari itu sudah bagus sekali, koq. Sekalipun saya yakin mas Catur bisa saja melakukan eksplorasi sebagaimana yang dilakukan para kreator LOTR, penghargaan terhadap jerih payah itu tidaklah sepadan. So, ada kualitas, ya ada harga, donk,.... hihihi,...

Keseriusan selanjutnya, adalah dalam hal PLOT. Bagus. Plot tertata dengan apik, dengan keunggulan komparatif yang melampaui karya-karya lainnya, khususnya dalam bidang politik. Pengarang dengan fasih mempertemukan berbagai ras dengan kecenderungan politiknya masing-masing, diramu dalam ketegangan politik antar ras di tengah penyerbuan bangsa misterius dari balik Kabut. Bahkan pertarungan politik internal di kalangan bangsa antagonis (yg ternyata tidak homogen) juga tersaji dengan mantap, sekalipun pengarang masih banyak menahan diri untuk menggambarkan bangsa apa mereka dan bagaimana latar belakangnya. Simpang-siur hasrat berkuasa antara tokoh-tokoh prominen di dalam novel ini telah memberikan setting situasi yang 'benar' untuk menjadi alasan peperangan maupun konflik yang terjadi dalam bangunan plot Ledgard. Siapa beraliansi dengan siapa karena apa untuk tujuan apa, semuanya dapat dijalin secara rapih.

Kalau mau dibilang ada kelemahan, mungkin konsep pertarungan kebaikan vs kejahatan yang klasik untuk kisah fantasy, malah cenderung nggak kelihatan. Di Ledgard, perang ya perang, dan yang lebih kuat yang menang. Penyisipan mengenai nilai-nilai 'kemanusiaan' (sub-plot Sicah), juga ngga jelas maunya apa, dan berefek apa pada cerita. Tapi dengan politicking yg terolah baik sebagai napas cerita, saya pikir ga jadi masalah. Susunan Plot cenderung linear. Tapi bumbu politicking-nya itu yang membuat cerita menjadi sangat bergizi. Kayaknya pengarang ini kuliahnya di FISIP, deh :)

Karakterisasi juga menduduki posisi plus, terutama untuk tokoh-tokoh pendamping. Sementara tokoh utamanya, dalam hal ini saya maksudkan Nash dan his object of Interest, Vasthi, menurut saya kurang memuaskan. Ada banyak hal yang membuat saya kurang puas, dan akan saya elaborasi setelah ini. Sekarang saya bicara mengenai konstelasi aktor-aktor lainnya aja dulu. Yang artinya, gak bisa lepas dari membicarakan konstelasi rasial yang ada di setting Ledgard.

Dunia Ledgard telah dengan gemilang menghadirkan beragam ras mitologis, yang saling berinteraksi secara meyakinkan. Ada manusia, ada ras Felis yang merupakan evolusi dari kucing (hehehe, sort of), Centaur yang punya nenek moyang kuda, Latlian yang saya pikir mungkin campuran amfibi/ ikan (?), dan ras dari balik Kabut yang kelihatannya keturunan Lizard. Juga ada pembagian negara-bangsa (sub kerajaan), serta ada kelas masyarakat magi (di sini istilahnya Esvath) yang menguasai 'Kekuatan' (a.k.a The Force) melalui berbagai unsur: Air, Tanah, Udara, Api, Jiwa, Raga.

Yang menarik, disebutkan adanya perbedaan penguasaan Kekuatan antara pihak Ledgard dengan pihak penyerbu, di mana pihak penyerbu memiliki kaum Magistra yang hanya bisa menguasai Kekuatan melalui medium tertentu. Menurut saya latar belakang ini cukup lengkap dan solid, dan terbukti mewujud secara sempurna dalam taktik pertempuran antara dua pihak. Semua keajaiban dapat dijelaskan secara logis dengan menggunakan penguasaan Kekuatan ini. Misalnya bagaimana kapal-kapal laut musuh bisa terbang di angkasa, menciptakan meriam energi dan lain-lain. Perwujudan Kekuatan di tangan Esvath, muncul melalui ilmu-ilmu Esvath Angin, Esvath Air dll yang juga konsisten bahkan sampai pada relasi antara aliran Esvath dengan karakter person yang mendalaminya. Rancak, dan rapih. Kagak asal-asalan.

Ada tokoh-tokoh yang mencerminkan stereotipe masing-masing ras, yang berhasil diolah cukup baik oleh pengarang untuk berfungsi secara strategik dalam mengantarkan plot.

Kemudian adegan action. Keren. Pengarang telah berhasil menghadirkan adegan-adegan peperangan secara detail dan never miss a spot. Action hadir dimana perlu, dengan efek excitement yang kuat dan menimbulkan rasa kepahlawanan. Nilai tertinggi bisa saya sematkan pada adegan-adegan pertempuran yang melibatkan kemampuan/ ilmu-ilmu Esvath, di situlah pengarang paling bersinar. Kembali, kurasa karena setiap kelebihan Esvath itu tidak dibuat-buat atau asal hocus-pocus aja. Kemampuan daya serang selalu berbanding terbalik dengan konsumsi daya yang dimiliki setiap aliran. Perhatikan saat Karra, si Esvath air mengundang 'kekuatan laut dalam' (sebangsa Jin kali yee?), ternyata ada harga yang harus dibayar.

Hanya saja ada sedikit glitch, pada adegan pertempuran klimaks Novel. Pengarang memenangkan pihak Ledgard berkat kehadiran bantuan 'pasukan' Esvath yang terdiri dari dua lusinan lebih Esvath, versus tiga atau empat kapal musuh yang diisi ribuan prajurit, dalam sebuah adegan save by the bell yang seru, mengingatkan pada adegan kejutan Gandalf membawa pasukan Rohan di klimaks Two Towers. Memang, sih, sedikit aja Esvath yang dibutuhkan untuk melancarkan serangan-serangan ajaib yang dahsyat. Tapi dengan kekuatan begitu tinggi, posisi kaum Esvath jadi terasa canggung berada di tengah-tengah percaturan politik Ledgard. Bayangin aja ada kumpulan orang-orang dengan kemampuan destruktif demikian dahsyat yang berpusat di Puri Pualam. Either menjadi harusnya mereka menjadi penguasa tunggal, atau dibenci/ dicurigai rame-rame, kan?

Tampaknya pengarang harus lebih meng-establish kembali posisi kaum Esvath terhadap warga dunia Ledgard lainnya. Karena posisi yang sekarang kayaknya koq masih kurang begitu 'fit'. Atau, memang ini bakal jadi issue yang berkembang dalam buku sekuel.

Action lain yang seru adalah para prajurit wanita Ae-Sirri dengan pisau-pisau terbang dan teriakan "YIYIYIYYIYI!". Very cool.

Untuk penggambaran aksi prajurit berupa duel pedang maupun kontak fisik, saya merasa ada yang kurang 'dapet'. Rasanya koq ada pakem fisiologis yang terlanggar, apabila saya menyimak deskripsi pertarungan fisik dari pengarang. Misalnya ada adegan menyodok lawan pakai lutut, yang saya rasakan jadi canggung atau mustahil bila saya membayangkan posisi tubuh yang bersangkutan dari gerakan-gerakan sebelumnya. Entah, apakah memang saya yang kurang teliti membaca, telah salah menyimak, atau memang pengarang tidak begitu menguasai olah jurus secara fisik. Tapi secara keseluruhan tidak mengganggu, sih.

Nah, puas bicara komplimen, sekarang mari bicara kritik.

Pertama-tama soal nama. Nash, Rhavi dan Deedek, adalah nama-nama paling 'gak megang' di antara seluruh nama yang ada di Ledgard. Pertama kali baca aja, saya udah merasa 'ogah'. Ga tau kenapa. Yang paling parah, ya Nash itu. Tetep, gue juga ga tau kenapa. Mungkin sekedar teriakan alam bawah sadarku, bahwa 'Nash' doesn't sound like a hero to me, dan too bule. Rhavi, juga sounds like nama anak tetangga sebelah. Entah. Nggak jelek juga, sih. Cuma gak megang, aja. Nama-nama tokoh lain kurasa lebih bagus, dan lebih ada konsistensi. Paling bagus adalah nama-nama bangsa Felis.

Selain namanya gak 'pas', penggambaran karakter Nash juga kurang 'megang' (Ini lagi, gue banyak menggunakan term 'megang' di sini, untuk mengekspresikan 'rasa' yang terasa nggak pas. Karena sesungguhnya secara de-facto pengarang gak melakukan kesalahan apapun!). Berdasarkan input yang diterima pembaca, yang juga sudah diarahkan di halaman ilustrasi tokoh, Nash adalah seorang pemuda yang berpostur langsing tegap, punya kharisma dan tampaknya jago diplomasi. Konon dia juga prajurit Ifarett dengan pangkat pemimpin regu (setara kapten, lah).

Dari tutur kata yang dipilihkan oleh pengarang untuk tokoh ini, saya menangkap karakter Nash sebagai seorang yang politically correct. Segalanya berlaku by the book, bicara juga sopan / formil, sebagai seseorang yang mengedepankan diplomasi sebelum otot. Di sisi ini penggambaran karakter cukup konsisten. Tapi konsekuensinya dalam bayangan saya, Nash tidak cocok sama sekali menjadi seorang prajurit tempur. Paling banter sebagai polisi penjaga keamanan. Buat saya, seorang prajurit tempur, apalagi kelas infanteri yang langsung beradu pedang dengan musuh, harus memiliki semacam kebuasan dalam dirinya, semacam instink survival primitif, just to keep staying alive in the battle. Karakter yang penuh pertimbangan tidak akan selamat lebih dari lima menit di medan darah. Apalagi postur tubuhnya terlalu 'cemen' untuk mengadu pedang. He should be more brawnier, kalo memang mau dikedepankan sebagai prajurit. So, penggambaran Nash bertempur melawan Sicah di akhir Novel, bagi saya udah keluar dari karakter. Di benak saya, Nash tidak memiliki kemampuan tempur sekuat itu. Tadinya saya pikir karakter Nash lebih tepat digambarkan sebagai seorang negosiator, yang mungkin tergabung di keprajuritan dalam fungsi semacam itu. Atau sebagai semacam librarian.

Nash, jadinya merupakan sebuah karakter yang ngga koheren, dan menimbulkan kesan canggung. Padahal dialah Lead-Actor dari Novel ini. Udah gitu, relasinya dengan Vasthi pun bisa dikatakan demikian 'frigid', alih-alih disebut romantis sebagaimana diintensikan oleh pengarang. Dan sialnya, tokoh Vasthi sebagai tokoh protagonis utama pun memiliki karakter yg sama 'plastik'nya, sehingga relasi antara dua tokoh ini menjadi kurang 'menggairahkan' di mata pembaca. Saya tahu, pengarang memposisikan interaksi keduanya sebagai 'malu-malu tapi mau' yang supposedly menggemaskan, tapi jujur saja saya tidak terkesan.

Ada satu contoh adegan sebagai berikut:


Nash memerhatikan sekitarnya. Hampir seluruhnya ditumbuhi pohon-pohon besar. Rumput liar menutupi permukaan tanah dan rumpun bunga-bunga liar tumbuh di sana sini. Sekilas Nash bisa melihat serumpun mawar liar tumbuh di bawah pohon oak raksasa. Beberapa langkah ke kirinya ada beberapa rumpun jejak merpati dan beberapa langkah lagi ada armila hutan. Vasthi berhenti di hadapan sebatang pohon raksasa. Tingginya sampai beberapa tombak dan dahannya membentang lebar, membentuk payung hijau yang menutupi hampir separuh jalan menuju gerbang. Ia meletakkan tangannya di batang pohon tersebut dan membelainya lembut sebelum kembali berjalan.



Perhatikan hal-hal berikut ini:




  • Paragraf ini isinya all deskripsi, just point out the fact

  • Hanya ada 1 frasa yang memiliki konotasi emosi, yaitu 'membelai lembut'

  • Setelah paragraf itu tidak jelas makna yang diintensikan pengarang terhadap adegan ini. Harusnya ada hubungannya dengan Nash yang kebetulan sedang 'malu' untuk mengutarakan sesuatu kepada Vasthi.
Padahal, mungkin saja ini adegan yang cukup emosional bagi para tokoh. Vasthi, dia pulang ke perguruan tanah, dimana ia belajar menjadi Esvath Tanah. Mungkin saja pohon itu punya kenangan khusus atau something. Terus perasaan hati Nash yang maju-mundur itu juga mestinya lebih bisa dikaitkan dengan adegan tersebut. Sayang aja pengarang tidak memberikan sentuhan relevansi dalam adegan ini.

Sampai di sini, adalah waktu yang tepat untuk menjelaskan kenapa aku sampai meletakkan buku ini selama dua tahun lebih.

Di luar Plot Buildingnya yang tertata baik, Novel Ledgard memiliki kelemahan besar dalam hal manajemen tempo bercerita. Saya pernah mengekspresikan kesan saya membaca novel Ledgard sebagai laksana bersepeda dari Bogor sampai Ancol, yang artinya terasa FLAT (datar). Hal itu saya rasakan banget pada paruh pertama buku (bahkan sebelum mencapai paruh pertama, saya sudah merasa bosan). Saya merasa pengarang menyeret-nyeret saya untuk suatu journey tanpa excitement. Mungkin saja dalam perjalanan itu sang Pengarang menunjukkan beberapa detail yang mempesona, landscape yang mengagumkan, memperkenalkan saya dengan orang-orang baru yang menarik, tapi saya tidak bisa terus-menerus berkonsentrasi pada seseorang yang bicara secara monoton, betapapun menarik topik yang dibicarakannya.

Saya berharap menemukan kejutan-kejutan menyenangkan atau menggairahkan di sini-situ, yang bisa membuat saya keep going on. Itu yang tidak ada pada paruh pertama Ledgard. However, separuh menjelang akhir, baru deh excitementnya melonjak. Itu pun hanya saya rasakan dalam adegan-adegan pertempuran. Begitu jeda dari pertempuran, secara membahayakan tempo bergerak kembali ke arah boring-state, yang untungnya tidak berlangsung lama. Tapi dari sini saya bisa membuat pembandingan bahwa flatness ini merupakan penyakit kronis di Ledgard, yang hanya bisa ditolong oleh kehadiran adegan aksi. Lantas, apa yang membuat adegan-adegan non-aksi terasa datar dan membosankan saya?

Ketika saya mencoba menganalisis, saya hanya mampu menemukan hal ini sebagai jawaban faktor flatness dari Ledgard: Gaya Bercerita. Lihat lagi contoh di atas. Tampaknya, pengarang agak bersikap tertib atau steril dalam berkisah. Nah, mungkin saya udah masuk ke ranah teknik bertutur, yang di satu sisi merupakan ciri pengarang. Jadi apakah saya boleh mengkritisi hal ini? Itu juga menjadi pertanyaan relatif. Tapi dari apa yang saya rasakan sebagai pembaca, Pengarang cenderung memilih cara bertutur deskriptif tanpa emosi. Seperti seorang ilmuwan yang menjelaskan suatu fenomena secara apa-adanya, dengan pilihan kalimat yang 'benar'. Padahal, bila yang kebagian bercerita adalah seorang ilmuwan 'gila', maka hukum gravitasi Newton pun bisa terasa begitu heboh. Mungkin saja pilihan inilah yang menyebabkan Ledgard menjadi begitu membosankan dan akhirnya saya meletakkannya selama dua tahun.

Kan sayang, bila akibatnya, saya kehilangan 'the real juicy part' yang berada di bagian akhir buku? Untung aja saya kemudian memutuskan untuk menghabisinya,.. hehehe. Jadinya, flatness itupun terbayar sudah.

Tapi setidaknya, dari pengalaman flatness ini saya jadi bisa mencoba belajar membandingkan. Apa teknik yang digunakan oleh J.K. Rowling dalam mengarang Harry Potter, sehingga saya bisa melibas halaman demi halaman tanpa merasai waktu? Atau di ujung ekstrim lainnya, bagaimana J.R. Tolkien bisa tetap memukau sementara detail yang ia sajikan jauh lebih rumit dan berlarat-larat, sehingga saat saya menutup buku adalah bener-bener saat mata saya sudah lelah. Bukan karena bosan. Rahasia itu, kawan-kawan yang baiknya kita temukan, agar kita pun bisa mengarang Fantasy sebaik mereka.

Jadi, biarpun endorser mengatakan bahwa gaya bercerita WD Yoga mirip JR Tolkien, please, jangan terlalu diambil hati. WD Yoga memang belum secanggih Tolkien, walau dia sudah memiliki kecemerlangannya sendiri dalam serial Ledgard ini. Dan dari base setting yang sudah dia pondasikan kuat-kuat melalui buku pertama, saya yakin dia dengan relatif mudah dapat membuahkan kisah yang lebih fleksibel di buku-buku selanjutnya (kalo pun berhasil diselesaikan, hahaha).

Ayo, mas Ganjar, buktikan bahwa you bukan one time wonder sebagaimana trend novelis Fantasy kita belakangan ini.

Dan buat para endorser maupun calon endorser, please stop comparing karya-karya ini dengan karya lain apalagi yang kualitasnya jauh di atas. Alih-alih memuji, endorsemen semacam itu malah dapat bermakna seperti olok-olok. Gak rela deh, gue!

Salam,


FA Purawan