Senin, 16 September 2013

I AM A WITCH: Kisah Cinta Sang Penyihir dan Pangeran Iblis (Ally Jane - 2013)

By Luz B.


Penerbit: Ping!! (a.k.a DivaPress)
Editor: Muhajjah
Desain Sampul: Ferdika
Layouter: Violet Vitrya
Tebal: 222 hlm.


Sebelum saia mulai sesi ngomel-ngomel kali ini, saia pengen curhat. Iyah, tukang repiu juga manusia. Boleh dong curhat.

Sejak saia mulai belajar nulis repiu, saia makin sering ditoel oleh penulis fiksi fantasi dari berbagai penjuru Indonesia (skala spasial sangat dilebih-lebihkan,) untuk mencablaki karya mereka. Selain bertujuan untuk promosi di kalangan penikmat fiksi fantasi Indonesia, saia tidak bisa tidak merasa bahwa hal ini juga disebabkan karena mereka adalah para masokhis berbudi luhur. 



Untuk itu, marilah kita semua sejenak mengangkat topi untuk penulis-penulis berbudi luhur macam ini karena telah menyediakan bahan analisis yang bisa dipakai untuk meningkatkan kualitas fiksi fantasi Indonesia. Seandainya di antara penonton ada yang doyan kasih komentar menghina tanpa membawa argumen valid, saia tegaskan, penghormatan ini bukan sarkasme. Berterima kasihlah ada penulis lokal yang rela dan berani karyanya dibedah, dan berharaplah satu saat anda bisa melakukan hal yang sama. 

Oke. Salah satu masokhiswati nan luhur ini adalah Mbak Ally Jane. Beliau telah merelakan karyanya, I am a Witch, dibedah oleh saia. Maka alkisah terjadilah sebuah transaksi mistis pada satu malam Jumat Kliwon, di pojokan salah satu warung remang-remang Pantura, antara seorang penulis dan tukang repiu, untuk melakukan serah terima naskah. 

Ketika buku yang bersangkutan sampai di tangan saia, reaksi saia adalah...

"Ini Twilight: Reloaded ya?"  

Saia paham, praktek mengikuti ketenaran itu ada. Benar juga bahwa meniru-niru/memirip-miripkan elemen suatu karya/komoditi dengan elemen dari karya/komoditi serupa yang lebih dulu terkenal itu nggak dilarang hukum, selama nggak terang-terangan melanggar undang-undang hak cipta, paten, atau merk. 

(Bicara soal melanggar hukum, disclaimer untuk foto sampulnya cuma bilang kalau sumber gambar itu dari DeviantArt. Nggak masalah kalau itu statusnya stock photo/creative commons license dengan ijin penggunaan komersial, tapi tidakkah lebih baik DeviantID-nya disebut?)

Saia percaya sama ungkapan "just because you can, does not mean that you should." Dengan gambar apel dalam genggaman itu, ada kemungkinan pembaca akan melabeli buku ini meniru-niru karya Mbak Stephenie Meyer, bahkan sebelum mereka membuka halaman pertama. 

Dan perlu kiranya kita ingat kalau Twilight adalah suatu karya yang punya status Love It or Hate It. Sampul ini mungkin memancing ketertarikan dari pecinta Twilight, tetapi yang sebaliknya juga berlaku. Pembenci Twilight akan meremehkan isi buku bahkan sebelum membaca, dan bukankah ini akan merugikan penulisnya?  

Saia termasuk kamp kedua, sayangnya. Jadi buku ini nggak memberi kesan pertama yang bagus. Sayang, memang, karena elemen warna lain di sampul sebenarnya nggak jelek. Kombinasi ijo dan kuningnya saia ga keberatan. Paling-paling saia agak pijit kening gara-gara kutipan di sampul yang berbunyi sbb:

Air mataku kembali menggenang. Teringat kembali apa yang dilakukan Edward kepadaku, apa yang dilakukan Jed kepadaku. Itu semua membuat air mataku benar-benar mengalir.

Ooooh... kay. 

Karena saia udah baca bukunya, saia tahu kutipan di atas itu konteksnya apa. Tapi yang nggak tahu barangkali nangkepnya lain. Bisa jadi mereka mendapat kesan bahwa dia yang air matanya menggenang itu adalah korban dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh Edward dan Jed kepadanya. (Bukan untuknya, yang tentunya akan menimbulkan bayangan berbeda.) Perbuatan apa, tergantung imajinasi yang bersangkutan. 

Ini minor sebetulnya, dan bisa jadi saia lagi mode jablaylebay sensidiksi. Tapi saia benar-benar berharap ini cuma kasus nggak sengaja memilih kutipan yang mengakibatkan That Came Out Wrong/Accidental Innuendo, bukannya emang disengaja dipilih untuk menggelitik pembaca dengan premis relationship abuse--atau lebih buruk.  

Mengesampingkan diksi, kalimat yang saia kutip di atas sendiri terasa Narm, alias "maksudnya serius, tapi eksekusinya begitu melodramatis/lebay/keliru/salah tempat hingga malah bikin geli." Kalau itu belum terasa narmtastic buat anda, jangan kuatir. Silakan baca sub judulnya: Kisah Cinta sang Penyihir dan Pangeran Iblis.  

Naaaarm.

Masih belum juga? Sampul belakang mungkin akan membantu. Ijinkan saia membuat kutipan parsial dari apa yang tertulis di sana:

"Setengah mati aku jatuh cinta kepadamu. Hatiku sudah penuh akan dirimu. Bagaimana aku bisa jatuh semakin dalam lagi jika aku sudah sampai di dasarnya?"--Edward

"Bagaimana seseorang bisa jatuh lebih dalam lagi ketika dia sudah sampai di dasar? Kurasa, aku tahu bagaimana rasanya."--Jed

"Bagaimana mungkin aku tidak jatuh cinta kepadamu? Kaulah yang pertama menyentuh dasar hatiku. Bahkan, lebih dalam lagi...."--Rean

Rean tak mampu menolak warna-warni indahnya dunia [...] Mata cokelat milik Jed sama persis dengan mata cokelat hangat milik Edward!

Apa yang sebenarnya terjadi? Apa hubungan antara Jed dan Edward? Mampukah Rean menerima takdirnya sebagai putri keseratus keluarga Alexander yang harus menikah dengan pangeran Iblis?

Cinta segitiga antara Edward [...], Rean [...] Serta Jed di Pangeran Iblis yang dingin dan angkuh terangkum dengan manis dalam roman fantasi yang memikat ini.

Saia tidak punya kata untuk mengungkapkan gejolak rasa hati selain... 


ARM NARM NARM NARM NARM NARM!!!

Narm di halaman terakhir itu sebetulnya bisa dihindari dengan beberapa langkah sederhana. Pertama, nggak perlulah kutipan yang ditampilkan itu tiga berderet mengatakan hal yang sama. Ungkapan "dasar hati" itu lumayan bagus. Tapi kalau diulang tiga kali berderet begitu, dramatisasinya jadi berlebihan.

Kedua, dan cukup satu kata, tolonglah jangan pakai nama EDWARD. Demi Robert Pattinson bercawat macan tutul, kaitkan nama itu dengan apel di cover, maka lengkaplah sudah amunisi untuk berprasangka kalau novel ini mendompleng Twilight. Kalau nama itu nggak bisa diganti, maka sebaiknya janganlah Edward disebut-sebut di sampul.

Singkat kata, cover nggak jelek. Tapi gambar apel dan nyebut-nyebut Edward itu kerasa seperti taktik dagang low-brow untuk menjual buku ini kepada penikmat Twilight. Saia nggak akan memvonis berhasil nggaknya. Yang ingin saia tanyakan adalah, apakah sebegitu sulitnya menonjolkan isi novel itu sendiri, bukannya mengandalkan efek kecipratan tenar novel lain?

Tapi kalau dibandingkan sampul-sampul lain dari penerbit yang sama, saia akui ada perkembangan menggembirakan. Sebelumnya, judul dan teks di sampul-sampul novel penerbit ini cenderung menggambarkan isi buku secara sangat, sangat bombastis. Contoh kasus, Mantra: Rahasia Kitab Malaikat Sebuah Novel Menggetarkan dan Valharald: Kesatria Talismandala dan Pertempuran di Vincha

Untuk melihat dan membaca pembahasan tentang masing-masing sampul novel ybs., silakan klik tautan di atas. Dibandingkan Mantra atau Valharald, sampul I am a Witch bisa dibilang udah nggak terlalu heboh, walau ya itu, agak mirip sama Twilight.

Bab 1 dibuka dengan kalimat sederhana yang ngomongin cuaca, dan tokoh utama yang lagi bergulung selimut di tempat tidur. Eh. Varian yang agak mendingan dari tokoh utama bangun pagi dan terlambat sekolah. (Hal . 5)

Lanjut dengan percakapan di paragraf kedua dan ketiga, saia belum melihat ada yang menonjol. Tapi nggak ada yang terasa mengganggu juga. Prosa sederhana, bersih, dan cukup ekonomis, menceritakan tokoh utama dan salah satu kakaknya. Not a rough start, dan saia sejenak melupakan koneksi sampul novel dengan Twilight. 

Namun, begitu saia sampai di halaman 7... YE GODS! APA INI?


Srsly, saia ga pernah liat format ini di buku yang bukan terbitan DivaPress. No offense.


Setahu saia, boks kutipan macam itu biasa ada di artikel (atau cerita) yang dimuat di koran/majalah yang umumnya diatur dalam bentuk KOLOM. Fungsinya, untuk menarik perhatian pembaca ke kalimat yang keren, atau pada poin penting yang disampaikan oleh tulisan tsb. 

Nah. Tulisan di novel umumnya nggak memerlukan penonjolan demikian. Bahkan, saia berani bilang kutipan ini mengganggu tata letak. Kenapa? Karena novel umumnya nggak diformat dalam kolom, yang memungkinkan penempatan kutipan secara enak. 

Apalagi karena kalimat yang dikutip ternyata bukan kalimat yang patut ditonjolkan. Saia bisa mendapat rasa yang sama dengan dengan membaca narasi. Jadi selama saia membaca, saia nggak memedulikan satu pun kutipan itu. 

Untuk prosa penulis sendiri, saia nggak punya keluhan banyak. Ada pemilihan kata dan situasi yang narm, tapi sebagian besarnya nggak over. Saia suka frase "dasar hati" dan "begitulah cinta bekerja," dan cara frase-frase itu dipakai di dalam dialog pengakuan cinta  yang... mengejutkannya, relatif nggak over-keju buat standar saia. Saia bahkan berani bilang novel ini memenuhi maksud utama penulisannya--yaitu menyampaikan kisah cinta--dengan cukup baik.  

Setelah pembukaan, tokoh utama Clareanne Alexander bercerita. Pertama tentang dirinya sendiri, keluarganya, dan... apa yang saia kita merupakan elemen fantasi utama di buku ini. Ternyata keluarga Alexander adalah penyihir, dan mereka mendirikan semacam komunitas di suatu pulau. 

Informasi ini didapat pembaca dari tuturan Clareanne yang dipanggil Rean. Eh. Sampai di sini saia keganggu. Clareanne/Rean itu nama yang kentara banget sengaja diistimewakan dibanding nama lain di dunia yang sama. Silakan diamati: ayah namanya Daniel, ibu Sara, kakak #1 Dante, kakak #2 Ayrel, kakak #3 Shane, love interest #1 Edward, love interest #2 Jed. Smack-dab di antara nama-nama biasa ini... ada satu Clareanne. Bukan Clare, bukan Anne, tapi harus ♥Clareanne♥

Ooh~ 

Bukannya saia gak suka nama unik. I'm a sucker for those, really. Tapi nama Clareanne ini nggak akan mengganggu kalau misalnya saudaranya yang lain bernama semacam Pietrodante, Ayrellianna, dan Morganshane, misalnya. Yea, saia tau nama-nama yang saia usulkan adalah sampah. Sampah premium tak bersubsidi, bahkan, tapi ngerti kan maksudnya? Satu nama aneh di antara begitu banyak nama biasa bisa mengusik Willing Suspension of Disbelief, dan nggak disarankan kalau konteksnya gak tepat.  

Apalagi, pemendekan namanya juga menguarkan wangi "usaha ekstra" untuk menjadikan karakter ini... ehm, spesial. Sekali lagi, kenapa pemendekan namanya gak Clare atau Anne, yang lebih wajar dan alami? Kenapa harus Rean, yang nggak wajar? 

Dari sini saia lanjut baca. Ternyata keluarga Alexander ini sedikit beda dari keluarga penyihir biasa. Si Bapak punya perusahaan. Kakak #1 kerja di perusahaan tsb. Kakak #2 bekerja sebagai editor buku. Kakak #3 bekerja sebagai pengacara. Dan ibu adalah ibu rumah tangga/manajer perkebunan keluarga. 

Oh yeah. Karena ini ceritanya fiksi fantasi, saia ngarep kalau perusahaannya itu bikin karpet ajaib. Ato kakaknya editor buku mantra. Ato kakaknya yang satu lagi pengacara para pelaku pidana sihir. Dan kebun ibunya adalah kebun... I don't know, kebun magi-juana yang kalau diisap memungkinkan penikmatnya melihat tuyul / genderuwo / babi ngephet? 

Bayangkan betapa banyaknya potensi yang bisa diperah dari premis ini! 

Tapi harapan saia kandas karena potensi ini nggak diolah. Mereka menjalankan perusahaan biasa, menjadi editor buku biasa, pengacara biasa, dan mengolah perkebunan biasa. BIASA, sudara-sudari. Nggak bisa nggak, saia jadi bertanya. Kalau ente-ente pade emang beneran penyihir, kenapa gaya hidup ente semua nggak kayak penyihir? Ngapain ente-ente pada hidup kayak orang biasa?

Lebih membingungkan lagi karena setelah menguraikan itu, Rean bercerita bahwa dia sendiri baru kembali ke tengah keluarganya setelah pergi selama 20 tahun. Ke mana dia selama itu? London. Kenapa dia ada di sana? Salah satunya, karena ingin menjadi manusia biasa. Dia nggak mau melihat orang teleport kesana kemari, nggak mau jadi pusat perhatian karena keluarganya spesial. (Hal. 7 - 8) 

Er, bentar. Keluarga Rean sudah practically hidup seperti orang biasa. Mereka bekerja seperti orang biasa. Jadi kenapa dia harus kabur ke London kalau dia cuma ingin hidup biasa?

Oke, ada masalah teleport-teleport itu. Tapi menurut saia ini alasan yang... agak dibikin-bikin. Rean dibesarkan di komunitas penyihir, jadi kenapa dia nggak bisa MENERIMA hal seremeh teleport? It's not like teleporting killed helpless baby ducklings, isn't it? Apa ortu dan kakaknya nggak pernah ngajarkan kalau itu normal untuk penyihir? Lagipula, nggak ada stigma sosial yang dikaitkan dengan penyihir dan teleport-teleport, jadi kenapa dia harus benci jadi penyihir?

Apalagi, Rean mengaku nggak bisa menerima karena dia diperlakukan istimewa. Sekali lagi, ini diada-adain. Orang SUKA diperlakukan istimewa. Heck, mereka BERUSAHA agar diperlakukan istimewa. Buktinya, banyak orang rela bayar berjuta-juta demi mendapat kursi dalam penerimaan CPNS tanpa harus tes. Orang nggak akan teriak, "Saia diperlakukan istimewa! Oh, my life sucks!" Orang MENIKMATI perlakuan istimewa.

Intinya, saia nggak menemukan masalah nyata pada alasan Rean membenci darah penyihirnya. Tanpa masalah nyata, tokoh berpotensi kelihatan kayak tukang ngeluh. Nyah, saia bahkan akan menyebut ini sebagau Tips Menulis Karakter Fikfan #1: Kalau nggak mau bikin karakter yang suka ngeluh, bikin dia punya masalah yang nyata, bukan masalah yang dibikin-bikin seperti "Oh, aku sempurna sekali! Kenapa aku nggak bisa jadi orang biasa saja?" atau "Oh, aku tidak cukup baik untuk cowok yang sudah terang-terangan naksir aku!" atau, "Oh, masa laluku DARK DARK DARK! Karena itu aku ANGST ANGST ANGST!!!" 

Demi semua dewa lingerie, tolong jangan.  

Tapi ternyata, selain alasan ini, ada alasan lain bagi Rean untuk kabur: Dia akan dijodohkan dengan Raja Iblis.

Pertama kali baca, saia cengengesan sendiri. Setelah saia dihadapkan pada konsep penyihir yang terlalu biasa untuk bisa dipercaya beneran penyihir, Rean langsung menyebut kalau dia kabur karena harus kawin dengan raja iblis. 

Bayangkan kalau suatu hari anda, seorang anak SMA biasa, baru pulang sekolah. Tahu-tahu kakak anda muncul dan bilang, "Eh, Toing, besok loe harus kawin sama raja iblis?" 

Bagaimana reaksi anda? Apakah, 

a. "Oh, Okay," atau, 
b. "Bro, loe abis nenggak?"

Saia pilih b; dan seperti si Toing dalam reaksi itu, saia nggak bisa menganggap narasi Rean tentang masalah kawin-mawin ini adalah perkara genting yang perlu perhatian serius. Setelah saia disuguhi suasana cerita yang begitu biasa, yang ditunjukkan dari oleh keputusan para penyihirnya untuk memilih hidup biasa, tau-tau dunianya jomplang. Mendadak ada Raja Iblis disebut-sebut. Is this some kind of a joke? 

Ada penjelasan sebetulnya, kenapa Rean harus kawin sama Raja Iblis. Para penyihir rupanya bikin perjanjian dengan para Iblis. Tiap berapa keturunan sekali, mereka harus  menyerahkan salah satu anak perempuan mereka untuk dikawinkan sama Raja Iblis. Itu akan meningkatkan kekuatan para iblis dan sebagai balasannya para penyihir akan mendapat bantuan. 

Dan kalau perkawinan itu batal, akan terjadi PERANG antara para Iblis dan Penyihir.

Oke. Membaca itu bikin saia sedikit lebih bisa menyeriusi masalah Rean. Cuma "sedikit," lantaran konsep-konsep ini disajikan sambil lalu. Iblis, penyihir, perjodohan, perang, semua sekadar disebut di dalam narasi selama beberapa halaman pertama, dengan pengolahan yang kurang optimal. Narator seakan nggak peduli pembaca mau percaya apa nggak, dan nggak berusaha membuat mereka percaya. Pokoknya dia terus menuturkan detail. Terserah pembaca mau nangkap pa kagak. Terilhami dari sebuah repiu yang saia baca di Goodreads Indonesia beberapa tahun lalu, saia menyebutnya sink-or-swim worldbuilding.

Akibatnya, saia merasa tidak ada cukup informasi atau bahkan petunjuk tersirat yang memungkinkan pembaca memahami bagaimana sihir bekerja, apa batasannya, atau apa kendala-kendala yang dihadapi seorang praktisi sihir. Apalagi pembaca tidak pernah diperlihatkan beda Iblis yang nambah kekuatan (setelah kawin sama penyihir) dan yang tidak. Karena itu, ga berasa juga bedanya apa kalau Rean kawin atau nggak; dan tanpa adanya stake/pertaruhan/konsekuensi yang muncul karena perbedaan itu, ancamannya jadi nggak berasa riil.  

Indikasi kurang pengolahan berikutnya, sihir ini nyaris nggak diintegrasikan di dalam budaya/keseharian hidup karakternya? Terbukti mereka semua hidup kayak orang biasa. Which is kind of missing the point of being a wizard, really

Memang disebut kalau di dunia ada pemburu penyihir. Kelompok ini bisa jadi alasan kenapa mereka 'menyamar' jadi manusia. Masalahnya, para penyihir ini hidup di pulau terpencil dan membangun komunitas eksklusif di situ. Mereka nggak hidup di tengah manusia mayoritas, dan pemburu penyihir nggak intervensi. Kalau ada manusia di pulau itu, rata-rata udah tau kalau mereka penyihir dan menghormati mereka. Jadi nggak ada alasan kan, kalau mereka harus hidup tanpa make kekuatan?

Akibatnya, unsur fantasi di dalam cerita ini sedikit kurang dari batas yang bisa saia sebut believable. Segel mautnya--petunjuk utama yang menunjukkan kalau integrasi elemen fantasi di dalam cerita ini belum bisa disebut mengena--adalah bahwa keluarga Alexander ini... make sihir terutama buat keperluan-keperluan macam menggulung rambut, main air di pantai, dan membuka baju. 



Vladimir Putin is NOT amused. AT ALL.


Saia ngitung, cuma sekitar sepuluhan kali mereka make sihir. Kecuali pada saat Rean menggunakan kekuatannya untuk melawan seseorang serta penguntitan telepatik yang dilakukan Dante, nyaris semua penggunaan sihir ditujukan untuk hal-hal gak penting seperti saia sebut di atas. Kenapa nggak sihir itu dipake buat keperluan yang lebih mendesak? Bikin alat transportasi hemat energi? Bangun gedung? Menyembuhkan luka? Buka kartel peredaran magi-juana? That would be awesome

Beneran deh, banyak potensi fantasi yang terbuang di cerita ini. Sayang banget, karena saia senang plotnya nggak pretensius. Penulis nggak mencoba nyampein sesuatu yang rumit dan filoso(k)fis. Cuma kisah cinta sederhana yang kadar kejunya nggak sampe mematikan. Kalau tarik ulur antara Rean dan Jedward maap saia kebelet menyingkat nama mereka karena jadinya kayak shipping yaoi couple di tengah buku dikorbankan untuk mengolah konsep, kisah ini bisa lebih mantap sebagai fantasi. Terlebih lagi kalau pengolahan itu dibuat dalam bentuk kejadian-kejadian yang membangun ketegangan menuju pertempuran menjelang akhir buku, bukannya filler piknik di pantai.  

Dan ending? Saia gemas karena Rean seharusnya bisa mengurai misteri Jedward sejak mereka muncul pertama kali, tapi toh itu bukan Boladudud, so nothing to complain here.

Kesan-kesan akhir? Terlepas dari cover apel Twilight dan aroma relationship abuse di sampulnya, saia kira buku ini bisa nyambung dengan pembaca remaja yang mencari kisah cinta. Kalau pembacanya cenderung mencari elemen fantasi dan udah umur kepala 2 kayak saia, ya jadinya ngomel-ngomel kayak gini. Silakan dibaca kalau pengen nyari kisah cinta tanpa pretensi yang nggak terlalu berat di unsur fikfan. Kalau pengen nyari sesuatu yang lebih fantasi, saia mungkin sarankan yang lain. 

Sekarang ijinkan saia permisi untuk apdet blog sebelah yang lama hiatus. Wekekeke ~ ♥




Luz Balthasaar
Underwear... by the moon and the stars in the sky ~ ♥

14 komentar:

Anonim mengatakan...

Akhirnya ada yang baru di sini :D

Anonim mengatakan...

Magi-juana!!

Pas dipake buat giting, kepulan asapnya ngebentuk naga :v

Zenas

Kazzak mengatakan...

gua uda baca novel ini dulu banget sih.

hmmm, sebenernya gua heran kaitannya si apel di kover sama isi ceritanya itu apaan. soalnya enggak ada yang bahas apel dari awal cerita sampek akhir.

dan itu mungkin rule of cool yak, si pangeran (apa raja??) iblisnya pakek jubah bertudung dan wajahnya bener2 ketutup total sampek nggak bisa dilihat wajahnya. kupikir... hoe, sekalipun pakek tudung tapi kalo di dalam rumah yang ada lampunya dan ada orang yang berhadap-hadapan dengannya, wajahnya pasti keliatan lah.

Anonim mengatakan...

Yg sy belajar dari review ini

~ jangan bikin nama yg terlalu mencolok, jadi tkesan norak >,<
~ cerita rumit n filoso(k)fis ndak selalu lebi bagus dr cerita sdrhana @.@
~ kalo ambil tema fantasi-romens, sbaiknya seimbang jgn berat sebelah aj (?) #ehh xD
~ harus ada sebab akibat yg jelas kenapa seseorang jadi negatif, jgn dibuat2

Oia sbg penggemar iblis #ceile sy jd penasaran, apa si kejahatan yg dilakukan raja iblis n komplotannya?? Jangan bilang mau menjatuhkan dunia dalam kegelapan x_x
Trus jangan2 iblisnya cuakep supaya narik perhatian Sean n biar difangirlingin pembaca (uuh, ingat shoujo manga)
Jadi gk ada bedanya iblis sma pangeran tamvan wkwkwk

Aduh, maap sy jdi meracau
Salam kak, sy suka cara kk ngeripiu meski yg bagusnya kayaknya krg ditonjolin hihi.

~AC

Anggra mengatakan...

Setengah repiu ngomelin kovernya :))
Saia juga ga ngerti kenapa Diva keknya hobi masukin kalimat keju di kover sih? Saia malah agak kaget ternyata keju di dalamnya ga sampai kadar mematikan O.o

Luz Balthasaar mengatakan...

@Bu Dok, Iyah, emang kali ini omelan covernya panjang. Bis kejunya itu banyak di cover, dan karena jujur aja, saia merasa cover itu merugikan.

Isinya sih nggak sekeju itu, dan bahkan bagian kisah cintanya bolehlah. Yang sayang adalah, fantasinya kurang keolah.

***

@AC: Nah. Bukankah menyenangkan kalau semua orang komennya gini? "Yang berhasil saia pelajari" alih-alih ikutan memaki-maki penulis?

Terima kasih untuk summary poin-poin pelajarannya. Memang kurang lebih itulah yang ingin saia sampaikan. m(_ _)m

Kalau mau tau soal Iblisnya, mending beli aja bukunya. Bisa kontak penulis atau penerbitnya via FB klo tak salah. Tq...

***

@Kazzak: saia juga mikir begitu soal tudung, dan memang ga ada apel di sepanjang cerita. Ada teman saia di forum lain yang menyebut kalau apel itu bisa jadi simbolisme penyihir, tho. Jadi okelah...

***

@Zenas: Yow! Dari mana aja Om? Ngedarin Magi-Juana?

OctaNH mengatakan...

Sekarang saya kalo denger nama Edward, ingetnya jadi Ian Kasella.... >.< Sepanjang baca review ini dengerin tetangga nyetel Radja. *bakar rumah tetangga*

Mau nanya dong tentang cover dari Deviantart. Itu penerbitnya gak bayar royalti kalo lisensinya kayak gitu?

Elmion mengatakan...

YE GODS! A NEW ENTRY IN FIKFANINDO!

Seperti biasa Luz, review anda membawa seringai di hari yang suram laksana cahaya surya menembus berlapis-lapis awan dengan radiasi yang bisa menyebabkan kanker. Jadinya ngakak melulu.

Kasih keringanan lah soal nama. Kalo kita lihat nama-nama Indonesia generasi baru semuanya funky abis juga kok. Rean dari Clareanne sih masih bisa diterima buat saya.

Dari review ini, sepertinya worldbuilding di fantasi Indonesia masih cetek dan remeh ya. Ini kayak editornya udah males ngurusin terus sepayah apapun dunia fantasinya dibiarin aja.

Terus itu cover yang coba ngikut-ngikut twilight... aduh. Mungkin itu salah penerbit juga, soalnya pada akhirnya mereka yang memutuskan apa yang diloloskan untuk terbit. Apa boleh buat lah, toh pada akhirnya jeleknya buku-buku imitasi bakal ketahuan juga.

Makasih buat reviewnya yang kocak namun tajam. And now that I know you're still alive, the stalking resumes...

Anonim mengatakan...

Suka banget dengan review-review di sini. meskipun terkesan pedes dan judes, tapi bisa jadi pembelajaran bagi saya dalam menulis :)

Okta mengatakan...

Jutek tapi kocak *langsung manggut2* klo dpt poin pembelajaran yg ok.good joob...ngakak guling2 baca repiunya gkgkgkgk

Luz Balthasaar mengatakan...

@Elmion: Yaah, kalau protes saia soal nama berasa lebay, saia sih gak ngerasa begitu, karena namanya jomplang dibanding nama saudaranya yang lain. But feel free to call me an ass if you please. XD XD XD

***

#AzzRule Hazark: Thanks. Maaf agak lama. Seminar saia serem.

***

@Mbak Okta, barusan saia nyelesaikan 1 lagi tuh. Tapi kayaknya yang ini gak terlalu lucu. Banyakan ulasan seriusnya. Hihi~

Natasha mengatakan...

ini bisa banget jadi intropeksi buat diri sendiri supaya bisa buat cerita yang lebih baik :) ternyata banyak plothole di ceritanya, yang pasti ganggu pembaca yang kritis.

emangnya editornya ga menilai ya kak, kalo ceritanya punya plothole?

bagus banget ulasannya kak, sarkastik tapi malah jadi kocak XD apalagi gambarnya.

Anonim mengatakan...

Sy kebetulan mendapati blog ini ketika sedang mencari2 referensi atas fantasi Indonesia.

Bertahun2 lalu, mgk sdh lebih dari 10 tahun, pernah ada Ranter fantasi luar negeri yg cukup terkenal dg ID Limyaael. Membaca komentar maupun cara anda menulis sangat mengingatkan sy pd org tsb. Bahkan pilihan kata anda juga sama.

Jujur, jika topic pembicaraan anda adalah betapa novel ini terlampau mengikuti tropes dan/ atau ketenaran, sy merasa ironis bahwa anda juga mereview dengan cara serupa.

Oh, sy tidak membela novel terkait krn toh sy belum pernah membacanya. Sy hanya melihat adanya direct resemblance antara review anda dan Limyaael shg tergelitik melakukan posting ini.


Soareni S mengatakan...

Tante Melissa Aesthetica/Luz Balthasaar ini emang suka bermulut besar ya. Padahal omongannya cuma plagiat Limyaael, dan kalau
balik dikomentarin karyanya langsung ngeles dan mencak-mencak. Lagian, nerbitin satu buku aja belum pernah.
Kalau nulis sendiri guyonannya jayus, garing, kebanyakan gaya. Bikin guyonan yg lucu dulu minimal sebelum asal komen.
Different for the sake of being different. Kalau ada pendapat yg beda dengannya otomatis dianggap salah. Tipikal jablay.

Pantesan udah umur 40 lebih status FB-nya masih "berpacaran" sampai disinggung bosnya.