Minggu, 05 Januari 2014

BOTS: Kami Tak Berhati (Ahmad Alkadri – 2013)


18464871
Review By Luz B.

Penyunting: Sobandi Wiguna
Penata Letak: Sobandi Wiguna
Desain sampul: Maulina Septiarie
Penerbit: Orenz Press
Tebal: 359 halaman
PIN Count: 58/354


Oke. Di awal tahun 2014 ini Fikfanindo kedatangan satu lagi penulis fiksi spekulatif Indonesia yang gagah berani dan rada maso. Namanya Bang Ahmad Alkadri. Alkisah, setelah membaca repiu Ayam Sandwich beberapa bulan lalu, beliauwan menghubungi saia dan menawari saia untuk mengulas nopel indie karyanya. 

Perlu juga disampaikan kalau Bots ini sebetulnya science fiction. Fiksi ilmiah. Bukan fiksi fantasi. Ini rada-rada menyulitkan saia sebagai tukang cela spesialis fiksi fantasi. Jadi saia melakukan upaya ekstra untuk ngubek-ubek buku ini. Saia bikin sebuah protap yang barangkali akan saia pakai seterusnya untuk merepiu buku-buku lain. 



Protap saia adalah SBY . . .  eh, SBB: 

Pertama, saia baca buku satu kali dari awal sampai akhir. Tentunya sambil kebelet nahan celetuk tiap kali nemu bagian yang saia rasa entah janggal atau sekadar enak jadi sasaran nitpicking


Kedua, saia akan baca ulang buku tersebut bersenjatakan ini:



Yep. Behold, le Post-It Note! Tiap kali saia nemu bagian yang kayaknya menggatalkan untuk dipertanyakan/dikomentari/disemena-menai, saia akan tempelkan satu atau dua Post-It berisi omelan, seperti berikut:



Maaf tulisan saia jelek. Maklum waktu TK nilai menulis indah saia cuma 40.
  
Pada banyak kasus, makin banyak Post-It yang saia pake berarti makin banyak hal yang menurut saia layak dikomplen. Walau, harap sudara-sudari ingat, suatu karya itu bisa saja dodol luar binasa sekaligus asik luar binasa. Case in point:



Seriously, Pacific Rim is dumb. But I still can’t wait for the sequel.

Nah. bagaimana dengan Bots? Nilai PIN (Post-It Note) Count buku ini adalah . . . 58 dari 354 halaman cerita.

Bots adalah buku pertama yang saia repiu pake PIN Count. Jadi saia nggak bisa membandingkannya dengan buku lain. Tapi kalau dihitung saia menghabiskan 58 Post-It Note untuk ngomentarin cerita 350an halaman, berarti saia tsukkomi satu kali tiap baca 6 halaman. Bayangkan diri anda lagi baca buku. Tiap 6 halaman sekali anda nyeletuk, “Ini kok gini yah?” sampai 350 halaman lewat. Silakan pertimbangkan sendiri apakah itu termasuk banyak atau sedikit.

Meski begitu, celetukan pertama saia untuk buku ini adalah pujian. Sampul bukunya itu lho. Sederhana, low-key, bahkan bisa dibilang plain kalau mengikuti naluri ngenye’ yang banyak dilimpahkan kepada saia oleh Batara Cela. Tapi kalau diperhatikan baik-baik, judulnya jelas. Nama pengarang jelas. Kombinasi item-putihnya enak di mata. Bentuk robot stylized di latarnya pun ngasi standar, kayak apa robot-robot yang ada di dalam cerita ini. (Tentunya terlepas dari permasalahan bahwa yang jadi bahasan utama sebenarnya para android, bukan para robot.) Bahkan rusuk bukunya juga enak dilihat.  Font? kontras hitam putih, sans-serif seragam. Nggak ada gambar boleh nilep. Nggak ada kombinasi 3-4 font berbeda dengan warna tabrakan yang bikin saia bertanya-tanya, “Ini cover buku, tenda warung pinggiran, apa poster kampanye partai gurem?”

Jadi, cover-nya oke. Mbak Maulina Septiarie, selamat, anda layak dapat pisang.


Lanjut ke belakang, ada blurb yang diuraikan lebih dalam di prolog. Ada kejanggalan latar—itu saia simpan buat nanti—tapi pada dasarnya prolog ini berhasil ngasih worldbuilding awal dalam dua halaman. Tanpa bertele-tele penulis udah ngasih latar terjadinya cerita. Nice. Mana layout-nya enak pula, dan sampai belakang, bener-bener bersih typo. Mas Sobandi Wiguna selaku editor merangkap layouter ini jago deh. Please, have some more banana.
   

  
Cerita di prolog juga nyambung dengan apa yang diceritain di bab 1. Walau sampai halaman 20-an saia gak ngeh kalau Andri itu cewek (yang dikisahkan bangun di prolog). Deuh. Saia gak anti nama genderbender, tapi klo mau kasih nama macam itu—ke tokoh utama apalagi—mbok ya pliss eksplisit sebutkan dia itu perempuan. Lain kalau poinnya adalah memang untuk bikin viewer gender confusion, tapi saia nggak nangkep niat begitu dari cerita ini.
  
Sampai bagian ini nafsu ngenye’ udah gede banget. Tokoh utama bangun tidur dan pergi sekolah. Kurang klise apa coba? Tapi saia berusaha keras menjalankan protap dan tutup bacot sampai saia khatam baca setidaknya satu kali. Inti plotnya, Andri adalah seorang remaja yang hidup di Bogor menjelang abad 22.  Di masa ini android hidup berdampingan dengan manusia, sampai masa tiga bulan sebelum cerita dimulai. Entah karena masalah apa banyak dari mereka mendadak hilang di sekitar alur waktu tersebut. Pada suatu hari Andri pulang malam dan nyaris diperkosa sama preman. Tapi untunglah dia ditolong oleh Rho, penjaga sekolahnya yang ternyata android. Rho kemudian dihukum karena menyerang manusia. Tapi Andri memutuskan untuk menolong Rho bersama Pen . . . ahem, maksud saia Diki, seorang cowok yang tampaknya telah banyak dibuli karena . . . erm . . . kecanggihan selera orang tuanya dalam memberi nama.

Duh, cheesy gak sih? Iya deh, dan kali ini saia gak tahan untuk gak bersuara. Mereka yang kenal dekat saia akan tahu betapa saia benci kalau pelecehan seksual, apalagi (percobaan) pemerkosaan dipake sebagai plot device sekadar buat nambahin drama. Mungkin ada yang protes. Rape happens. Normal dong kalau pemerkosaan itu dipake sebagai plot device di dalam cerita? Yes. Rape happens, but it is NOT SUPPOSED to happen. So by God, stop exploiting it so casually as if it was as trivial as football games.

Pemerkosaan adalah kejahatan serius yang, beda dari kejahatan lain, kerap kali memberikan hukuman sosial kepada korbannya lewat persepsi kolektif masyarakat.  Kalau Bots adalah novel 18 tahun ke atas—atau pr0n non-consent—mungkin saia bisa memaklumi walau tetap mempertanyakan beberapa hal. Masalahnya, ini novel remaja. Akan lebih bijaksana kalau (percobaan) pemerkosaan ditampilkan nggak eksplisit, misalnya sebagai backstory, seperti yang dipakai di Ink Exchange karya Melissa Marr. Atau kalau mau eksplisit (meski nggak grafis), ditunjukkan bahwa itu kejahatan serius. Saia menemukan ini dalam Kana di Negeri Kiwi karya Rosemary Kesauly, sebuah teenlit lama yang sayangnya saia nggak punya copy-nya. Saia akan sangat berterima kasih kalau ada yang mau menjual buku ini ke saia dengan harga pantas.
  
Masalah saia nambah lagi ketika saia menyadari kalau eksploitasi pemerkosaan itu gak cuma sekali. Ternyata di masa lalu, Andri juga pernah nyaris diperkosa. Hah? Bukan cuma dia nyaris diperkosa dua kali (hal. 82, hal 226), tapi situasi sampai terjadinya kedua nyaris-pemerkosaan itu sama persis. Ini kenapaan sih? Kekurangan ide yak?

Lebih kacau lagi, Andri ternyata berani menolong Rho yang dipenjara di Nusakambangan, yang di masa itu udah jadi maximum security prison. Kalau dipikir bener-bener, menembus maximum security prison sangat mungkin melibatkan perkelahian. Atau matahin leher beberapa orang dan membantai drone guard. Jadi kalau Andri berani ke Nusakambangan, dia seharusnya bisa membela diri kalau diserang. Atau parkour. Atau stealth sneaking deh, minimal. Tapi beberapa hari sebelumnya, ketika Andri akan diperkosa, dia . . . lari dan nangis?

Implikasi dari inkonsistensi ini nggak sepele, lho. Walau saia yakin tidak disengaja, pesan yang disampaikan pengarang ke pembaca adalah, “perempuan boleh kuat dan berani, tapi begitu dia dipegang di standard female grab area dan mau diperkosa, dia harus menyerah, jadi lemah, atau nangis.”

Saia harus jujur juga kalau problem ini nggak eksklusif di Bots. Rata-rata fiksi fantasi Indonesia protapnya begini. Kalau ada seorang perempuan yang punya skill bela diri atau kemampuan khusus apapun gitu, dan ada bagian plot dimana dia (nyaris) diperkosa, biasanya pada saat itu dia tau-tau dibikin nggak berdaya. Minimal sampai (percobaan) pemerkosaannya selesai. Atau supaya tokoh cowok bisa menyelamatkan dia. Uh-huh, okay. Tampaknya konvensi kalau perempuan—yang bisa bela diri sekalipun—harus pasrah diperkosa itu sudah tersebar lebih luas dari yang saia kira.

Saia akan berhenti membahas pemerkosaan di sini. Tapi yang barusan saia sampaikan itu nggak main-main. Para penulis dan calon penulis fiksi fantasi sekalian, terutama yang menyasar pembaca remaja, tolong jangan mengeksploitasi pemerkosaan cuma demi nambah-nambah drama. Apalagi kalau reaksi korban terhadap pemerkosaan itu inkonsisten dengan karakterisasinya.

Nah. Selepas menyampaikan masalah terbesar nomor satu saia dengan buku ini, saia lanjut baca. Harus saia akui saia cukup gumbira setelah tiba di akhir. Plot cerita ini jelas, rapi, nggak bertele-tele, nggak cop-out atau belok mendadak dari premis tanpa foreshadow memadai. Format dua-bagiannya terutama membantu kejelasan. Bagian pertama bercerita tentang apa yang terjadi pada Andri sebelum dan saat dia menolong Rho. Bagian kedua terjadi setelah Andri menolong Rho. Dia menemukan rahasia tentang dirinya dan memutuskan untuk mencari seseorang. Pada akhirnya dia menemukan seseorang itu dan . . . 

 . . . sori buat para Masbro, Mbaksis, Massis, dan Mbakbro sekalian. Kali ini saia gak akan kasih sop iler. Beli bukunya dong.

Saia cukup puas sama cara pengarang mengemas ending/sequel hook. Walau alasan yang menyebabkan situasi Andri jadi ngarah ke sequel hook alih-alih menyelesaikan masalah saia kira rada-rada ogeb. Saia gak peduli Andri kaget karena baru saja lihat orang ditembak, tapi kalau orang yang dia tahu bunyiin alarm minta ijin pergi, pake bawa barang lagi, kok dilepasin? (Hal. 331)

Serius. tuh orang bener-bener minta ijin sama Andri. Sambil bawa tiga paket seukuran peti mati. And she let him go. Ogeb? Sangat, dan tampaknya orang yang minta ijin itu pun tau Andri lagi ogeb. Kalau nggak, apa iya ada orang pake permisi untuk KABUR, setelah melihat temennya ketembak di depan hidungnya? Ada juga dia langsung lari.

Bolong plot lain saia lihat pas Andri dan Diki berangkat ke Nusakambangan untuk membebaskan Rho. Nggak berlebihan barangkali kalau saia bilang keseluruhan perjalanan ini adalah plothole platter. Pertama, Andri bikin rencana untuk menyatroni sebuah maximum security prison (hal. 123) Ini masih terkait dengan masalah pemerkosaan yang saia sebut di atas. Beberapa hari sebelum dia diajak bobol penjara, dia itu nangis dan pasrah ketika nyaris diperkosa. Kalau dia bisa berkelahi, dia harusnya nggak lari dan pasrah saat itu. Tapi katakanlah asumsi saia salah dan Andri memang nggak bisa berkelahi. Itu berarti, dia seharusnya mikir beberapa kali sebelum bikin rencana pergi ke Nusakambangan! 

Inkonsisten, inkonsisten.

Perlu disebut barangkali kalau di tengah pelarian Andri mendapati dirinya punya kemampuan untuk memerintah robot (hal. 163, dan penjelasan yang diberikan di halaman 213 lumayan bisa diterima). Jadi oke, Andri ternyata punya sesuatu yang memungkinkannya membobol penjara. Tapi waktu bikin rencana ke Nusakambangan, dia kan belum tahu dia punya kemampuan itu?

Kedua, Andri dan Diki bikin rencana untuk membebaskan Rho melalui jalur laut ke . . . Australia (hal. 131).

W00t? Mereka bahkan bilang mereka perlu perahu. Tapi mereka nggak mikir nyarinya dimana. Beruntung mereka ketemu orang yang ternyata bisa nyediain perahu (hal. 145). Tampaknya Andri dan Diki dah dapat wangsit dari pengarang kalau mereka nanti bakalan dikasih perahu ke Australia. Makanya mereka pede aja jalan naik bus angkutan umum tanpa persiapan apa-apa selain baju yang nempel di badan. Dan tablet. Dan PDA. But why would they need PDAs when they already have tablets?  

Bolong ketiga, meski minor: di bus umum itu ada dua orang gaje yang bawa-bawa biohazard material tanpa pake baju hazmat. Wajarnya, bahan-bahan biohazard ‘kan diangkut secara khusus untuk menghindari kontaminasi? Gak ada penjelasan mengapa begini, jadi saia cuma bisa bilang, daaaamn, we Indonesians are hardcore.

Bolong keempat terjadi setelah mendapat kapal. Mereka diberi instruksi untuk pergi ke Nusakambangan dalam time frame yang sangat ketat dan pendek, dengan mengoperasikan perahu spesial yang baru pertama kali mereka lihat. Dari mana belajar? dari internet (hal. 152).

W00t lagi? Bisa gitu saia belajar nyetir kapal bak pelaut ahli, untuk menjalankan misi dalam rentang waktu super mepet, cuma dengan modal Mbah Gugel? Kalau gini mah kita gak perlu ujian SIM dan special forces di jajaran militer.   

Masalah kelima berkaitan dengan masalah keempat. Meski di halaman 152 Diki bilang akan mencari informasi di internet untuk mengemudikan perahu Arsene. Maka googling-lah dia. Tapi di halaman 192, Diki bisa nggak ngeh kalau Arsene itu akronim dari Air-Ship Generator. (Yang bikin saia bingung. Ini perahu apa generator kapal udara, sih, sebenarnya?) Atau bahwa perahu itu bisa berubah mode menjadi hydrofoil.  

Keenam, Andri mendadak tahu password untuk mematikan sistem keamanan di Nusakambangan adalah “albion.” Ga ada hujan, ga ada kentut (hal 172).

Tapi selain dari di dua bagian ini, saia nggak nemu terlalu banyak plothole. Kalau bolong worldbuilding, lain cerita. Jadi saia kira dari sudut kerapihan dan kejelasan, Bots mungkin lebih baik dari beberapa novel young adult terbitan luar yang saia baca akhir-akhir ini, semisal Burn Bright karya Marianne de Pierres yang juga pake format dua-bagian. Kejelasan plot ditunjang oleh gaya bahasa yang nggak boros dan nggak lebay. Gaya penulis sepertinya sudah cukup matang. Kalimat-kalimatnya efektif, minim permainan kata atau perumpamaan, tapi nggak jadi steril atau membosankan.

Untuk gaya, saia cuma punya masalah dengan pemilihan kata untuk beberapa istilah. Misalnya, cynism dan FMA. Nggak ada hubungan sama Fullmetal Alchemist.

Cynism ini dipakai sebagai sinonim untuk CNO atau Cybernetic Nano Organism, sel-sel robotik yang dipakai untuk membentuk android. Yup. Idenya bagus, bahwa android itu dibangun dari tingkatan sel, bukan dari bagian-bagian yang dirakit.

Belakangan saia ngerti, barangkali cynism ini akronim dari Cybernetic Nano Organism. Tapi tetep aja, saia kagok. Di kepala saia, selain organism, apapun yang akhiran “–ism” itu selalu menunjukkan sesuatu yang berkaitan dengan paham. Communism, paham komunis. Liberalism, paham liberalis. Cynicism, paham sinis. Nah, cynism ini jadinya kebaca kayak “paham cy-is,” buat saia, whatever that is. Kesannya istilah ini nggak merujuk ke organismenya, tapi ke paham yang menciptakan organisme itu. Karena alasan ini, CNO dan cynism terasa janggal kalau dipakai sebagai sinonim.  Lagian kenapa harus dua istilah, itupun bukan dalam bahasa yang berbeda? CNO aja ‘kan nggak masalah?

Yang kedua, FMA. Find My Android, nama suatu sistem yang dipakai untuk mencari android. Bahkan Diki bilang kalau nama itu konyol (hal. 120). Namun, lampshade hanging—apalagi yang datang dari tokoh yang punya Unfortunate Name—rasanya nggak cukup buat saia. Apa nggak bisa pake nama yang lebih kedengaran profesional? Search, penelusuran, pencarian, pelacakan?

Apalagi karena nama pilihan lain di menu situs informasi android itu tampak lumayan pro: Serial Number, Security Terms, Control, Environment (hal. 119). Eh tau-tau terakhirnya ada Find My Android. Dafuq? Perancang situsnya sapa ini?

Atau barangkali saia nggak perlu bertanya begitu. Cukup saia menyimpulkan bahwa para orangtua di dunia Bots memiliki naming sense yang kadang bikin eswete. Bayangin, nama android pertama adalah . . . Ali. Hah?

Saia bukannya mau menghina orang bernama Ali di seluruh dunia, mengingat om saia adalah salah satunya. Itu nama yang wajar dipake—buat manusia. Kalau kita membuat tokoh android, normalnya kita ingin ada sesuatu yang menunjukkan otherness. Sesuatu yang lain dari manusia. Sesuatu yang tidak manusiawi, yang jadi sumber konflik cerita. Kalau mereka dikasih nama yang terlalu manusiawi, otherness itu jadi kabur. Meski dalam cerita mereka disebut android, mereka tetap kerasa sebagai manusia, barangkali dengan sedikit kespesialan.

Lagipula memberi android nama manusia tampaknya bukan praktek standar di dunia Bots. Terbukti android yang nolong Andri namanya siapa? Rho. Nah. Bisa, ‘kan, mereka dikasih nama yang nunjukin otherness itu?
  
Mungkin bisa dikasih alasan kalau pencipta Ali menamai Ali berdasarkan nama anaknya yang meninggal. Secara alasan internal cerita, bisalah diterima. Tapi permasalahan teknis yang mengaburkan otherness itu tetap terjadi. Untuk itu, saia pengen nunjuk satu contoh yang memakai naming organisme buatan dengan bagus: Trilogi Xenosaga.

Di dunia Xenosaga dikenal kaum realian, yang kira-kira sama dengan android di Bots: mereka organisme buatan yang dibikin dari level seluler. Meski mungkin perlu saia sebutkan kalau mereka biologis, bukan sibernetis. Mereka dikenali dari nomor seri, bukan nama. Tapi kalau mereka dimiliki oleh seseorang—biasanya untuk pekerjaan domestik yang menyebabkan mereka harus hidup di tengah manusia—atau kalau mereka custom made, biasanya mereka dikasih nama.

Nama itu pun biasanya bukan nama yang lazim buat manusia. Sejauh yang saia dapatkan, nama realian diambil dari nama tempat atau kata latin (Canaan/Lactis), minuman beralkohol (Kirschwasser), nama santa yang jarang kedengaran (Febronia), atau nama orang yang sebenernya singkatan (MOMO, yang merupakan singkatan dari Multiple Observative Mimetic Organism or something. Saia lupa dan malas ngecek.)  Yang terakhir itu dibikin untuk menggantikan anak si pencipta yang mati, dan anak yang bersangkutan itu namanya bukan Momo.

Kelihatan, ‘kan, maksud saia? Nama itu bukan sekedar nama. Nama itu bisa dipake sebagai alat untuk membuat batasan-batasan subtil, misalnya membedakan antara manusia dan bukan-manusia.

Dan di sinilah terletak masalah besar kedua saia dengan Bots. Cerita ini bermaksud mengangkat tema perbedaan android dan manusia dan menjadikan itu sumber konflik. Tapi bagaimana tepatnya android berbeda dengan manusia di cerita ini, saia nggak ngeh. Perbedaan mereka bahkan begitu kabur sehingga menimbulkan masalah di worldbuilding. Atau barangkali kebalik; masalah worldbuilding menyebabkan perbedaan mereka kabur. Tapi konsekuensinya sama.

Pertama, dah disebutkan kalau android itu sangat mirip dengan manusia, tapi nggak bisa dibedakan dari manusia secara selintas, karena mereka bahkan bisa menua. Ini nyumbang banyak banget dalam bikin batasan manusia-android tambah kabur, karena kualitas mesin yang paling sering dimainkan adalah bahwa mereka tidak mengalami proses-proses yang dialami manusia.

Kedua, bahwa mereka sempat terintegrasi di dalam kehidupan manusia dengan baik dan bekerja di bidang pendidikan, hukum, bahkan politik (hal. 9). Tapi anehnya, meskipun katanya terintegrasi dengan baik, mereka nggak punya hak dan dianggap sebagai barang. Terbukti ketika ada masalah, mereka nggak dikasih proses peradilan. Pertanyaan saia, how come?

Kalau android dianggap barang, mereka harusnya nggak terintegrasi ke dalam struktur sosial. Mereka wajarnya dianggap budak, atau gadget, dan diperlakukan sebagai properti seseorang. Mereka juga nggak bisa bekerja di bidang hukum atau politik. Kenapa? Karena seperti yang dikatakan sendiri oleh pengarang, mereka bukan entitas hukum. Selain itu, sebagai budak, mereka juga wajarnya nggak punya hak politik.

Tapi kalau mereka terintegrasi dan memang bekerja di dalam segala bidang seperti itu, mereka seharusnya punya hak-hak dan nggak diperlakukan seperti properti. Mereka seharusnya mendapat proses peradilan. Jadi yang mana nih yang bener?

Saia cenderung percaya skenario kedua. Kenapa? Sebelum terjadinya insiden percobaan pemerkosaan Andri #1 yang akhirnya menyebabkan pemberontakan android, mosok iya nggak satu kali pun ada insiden di mana android protes karena mereka dihukum tanpa peradilan? Mereka hidup bersama manusia selama dua puluh tahun. Masak selama itu adem ayem aja? Mustahil. Pasti ada masalah, dan masalah itu akan menciptakan preseden-preseden hukum maupun konvensi sosial yang mengatur relasi manusia dan android.  Dengan kata lain, kalau manusia dan android sempat hidup berdampingan secara damai selama 20 tahun, susah dipercaya mereka memperlakukan android cuma sebagai properti.

Tapi kayaknya dunia Bots ini memilih yang pertama. Android itu budak, dan mereka nggak punya hak. Dan seperti robot, mereka dikendalikan oleh “logika dasar” yang membuat mereka tidak boleh melukai manusia (hal. 73). Oke, tapi ternyata aturan ini nggak kedap-ngaco juga, karena di hal. 267 ada robot yang menawarkan diri untuk membunuh manusia dan di hal. 330 ada manusia yang ditembak robot. Eaaaa, inkonsisten lagi ‘kan?

Kalaupun logika dasar ini konsisten, klausul “tidak melukai manusia” ini akan jadi permasalahan besar kalau android mau bekerja di bidang hukum dan politik. Bayangkan ada android anggota polisi yang nggak bisa nembak tersangka pelaku kejahatan yang kabur, hanya karena si tersangka adalah manusia. Gimana, coba? Atau politisi yang nggak bisa memutuskan apakah akan mendahulukan program dana bantuan atau program jaminan kesehatan, karena memilih salah satu bidang berarti melukai rakyat di bidang lain. It just does not make sense.

Kemudian ada argumen yang bilang, “Oh, tapi nggak ada yang tahu pasti bagaimana android berpikir,” dan semua inkonsistensi yang saia temukan membuat saia gatal tsukkomi. “Well duh, sebetulnya gampang aja menebak pola pikir android. Mereka akan akan terima-terima saja ditabokin manusia. Tapi kalau Andri mau diperkosa, berserk switch mereka bakalan jalan serentak, dan mereka akan menyulut perang.

Contoh kasus? Rho. Dan Ali. Dan semua android yang memberontak setelah Ali dihukum karena menggebuki preman yang kepengen memperkosa Andri. Seriously, Profesor Faishal (pencipta Ali dan Andri) agaknya sangat protektif terhadap . . . er . . . urusan arus bawah Andri. Apa alasannya, I can only guess.

Beberapa bolong worldbuilding lain juga patut saia sebutkan. Yang ini nggak terlalu bermasalah ke cerita keseluruhan, dan sebetulnya bisa diperjelas dengan edit sederhana. Pertama, NATO bukan persemakmuran (hal. 132). NATO itu pakta pertahanan.  Apa bedanya? Secara sederhana, persemakmuran itu ditujukan untuk meningkatkan kemajuan ekonomi dan sosial negara-negara yang tergabung di dalamnya. Sementara itu, pakta pertahanan ditujukan untuk menjaga diri dari serangan musuh; kalau ada negara yang berani menyerang salah satu negara yang termasuk di dalam pakta pertahanan, dia sah digempur keroyokan oleh seluruh negara yang masuk di dalam pakta pertahanan tersebut. 

Kedua, dan ini salah paham yang kerap saia temui entah di novel atau di draft naskah, PBB bukan lembaga supranasional. PBB nggak bisa memerintah negara untuk menghentikan penebangan liar di wilayahnya (hal. 40). Lagipula, percuma aja hutan nggak ditebangin kalau emisi gas rumah kacanya tetep kenceng. Kalau PBB ternyata udah berevolusi menjadi lembaga supranasional, kenapa PBB melarang Indonesia dan India menebangi hutan, tapi nggak nyuruh Amerika mengerem emisi gas rumah kaca? Kenapa PBB nggak melarang Republik Rakyat Tiongkok menebang hutan sekaligus memintanya mengerem emisi? 

Berikutnya, pemakaian plat untuk menyimpan ebook. Di masa ini kayaknya buku disimpan di plat, semacam media penyimpan yang berukuran 7,5 x 7,5 cm. Satu plat bisa menampung tujuh e-book (hal. 42). Kenapa begini? Karena di masa ini, cloud storage katanya mahal, jadi perpustakaan digital itu sulit dibikin.

Saia langsung bingung. Cloud storage mahal? Gimana bisa? Cloud storage itu gratis, sudara-sudari. Dan kalau memang kasusnya cloud storage mahal, untuk bikin intranet perpustakaan, mosok iya harus pake cloud storage? Pake server biasa aja ‘kan bisa. Lebih masuk akal kalau masalahnya adalah hak kekayaan intelektual dan ketakutan akan pembajakan buku. Memang disebut kalau ada pembatasan peredaran e-book, tapi nggak disebut kalau ini dilakukan untuk menghentikan pembajakan. Lagipula, pembatasan nggak akan menghentikan pembajakan. Orang akan nemu cara-cara untuk bikin crack.

Lagipula, satu plat cuma bisa menyimpan tujuh e-book? Ini degradasi teknologi banget, mengingat seluruh koleksi e-book saia yang berjumlah ratusan muat di dalam sebuah micro SD berukuran 1 x 1 cm. 

Yang terakhir, mengenai terorisme dan separatisme. Katanya, sempat ada gerakan teroris sekaligus separatis di Padang yang mencoba mengambil alih seluruh provinsi dengan membuat Padang jadi medan perang. (hal 30). Ini . . . susah saia percaya.

Teroris dan separatis itu dua hal berbeda. Suatu gerakan separatis biasanya bukan teroris, setidaknya bukan di wilayahnya sendiri. Kenapa? Karena tujuan gerakan separatis adalah memperoleh wilayah dan pengakuan politik sebagai negara merdeka. Nggak menguntungkan kalau mereka melakukan aksi teror di wilayah yang ingin mereka kuasai. Kenapa? Rakyat jadi benci mereka. Singkatnya, untuk sukses jadi separatis, salah satu syaratnya adalah rakyat dan dunia internasional harus bersimpati pada mereka.

Kecuali, kalau mereka somehow bisa melakukan aksi teror di wilayah mereka sendiri lalu setelahnya menyalahkan aksi itu kepada pihak lain, dan dunia internasional percaya itu.

Kalau terorisme, nggak masalah mereka bikin aksi teror. Yang mereka sasar adalah ideologi, bukan wilayah secara langsung. Mereka ingin menciptakan ketakutan dan keraguan di masyarakat. Harapannya adalah agar masyarakat yang ketakutan bergerak menekan pemerintah yang mereka persepsi nggak bisa melindungi mereka. Kalau pemerintah collapse, mereka bisa menjadi penguasa de facto, nggak peduli dunia memaki-maki. 

Tambah lagi di hal. 31 disebutkan kalau gerakan ini udah berpuluh tahun ada di Sumatera. Lhaaa, kalau gerakan teroris dah duduk berpuluh tahun di sana, kenapa nggak ditumpas? Kenapa dibiarin tidur? Mosok iya BIN nggak kerja dan Densus 88 dibubarin?

Akhir kata, omelan saia mungkin ngasih kesannya kalau ada banyak aspek yang saia omelin dari Bots. Tapi saia udah bilang di awal, banyak ngomel nggak berarti saia nganggap suatu karya jelek. Saia sekadar tipe orang yang doyan nyeletuk kalau ada bagian yang mengusik pikiran saia, bahkan untuk karya-karya yang saia suka. Kalau anda bisa mengabaikan beberapa plothole serta inkonsistensi di dalam worldbuilding, Bots ini lumayan banget. Layout, editing, dan cover-nya bisa jadi standar untuk penerbitan indie. Gaya menulisnya pun bagus, walau kadang ada pemilihan nama dan penjelasan istilah teknis yang saia rasa nggak tepat. Saia cuma berharap anda sepaham dengan saia dalam hal tidak menyukai eksploitasi (percobaan) pemerkosaan sebagai bumbu drama, walau setelah membaca repiu ini mungkin ada yang nyari Bots cuma karena kepo soal satu hal itu.

Buat mas Ahmad Alkadri, makasih atas kesediaannya nyumbang materi ulasan yang bisa dibedah panjang lebar kayak gini. Moga-moga karya berikutnya lebih keren! 
  


  
Luz B.
AWESOME DUMB ROBOT MOVIE!

20 komentar:

Juno Kaha mengatakan...

Pertamax gak yah ini~?

Impulsif buka link dari apps Goodreads yg ada di tablet, lalu gak bisa buka semua highlight-nya. orz

Anyway, soal googling menggoogling, ini masih mending kyknya googling cara nyetir perahu. Awak pernah baca protagonis yg googling cara menjinakkan bom nuklir ato bom atom.

What's "protap", anyway?

Hehe.

Luz Balthasaar mengatakan...

Protap: Prosedur Tetap.

:3

Anonim mengatakan...

Akhirnya ada lagi yang baru di sini setelah sekian lama :D

~ Dhia Citrahayi ~

Anonim mengatakan...

akhirnya...something new here :D
looking toward ur next riview

by: fikfanindo secret follower

RedRackham mengatakan...

Oh shyet. Ini bikin saia ngakak sekaligus merinding, soalnya saia juga lagi (berjuang) bikin cerita Speculative Fantasy kayak beginian (-__-)'a

Tapi di sisi lain, kalau cerita saia itu sampai nongol disini, itu artinya novel saia (akhirnya) terbit (^o^)

Anggra mengatakan...

Ide post it itu bagus juga.
Makasih sis :D

FA Purawan mengatakan...

Saya setuju sciience fiction masuk dalam kategori Fantasy (atau Speculative Fiction).

Dasarnya karena dalam science fiction tetap digunakan hukum-hukum alternate (bisa teoritis atau bisa pseudo teoritis), yang memengaruhi setting secara berbeda dari kehidupan nyata.

FA Purawan mengatakan...

Setelah baca review, menurut gue sih flaw tentang cloud computing itu agak fatal.

Persoalannya seperti sudah disinggung Luz, cloud storage itu saat ini aja sudah gratis, maka satu abad ke depan, mestinya lebih dari gratis :).

Sesuai dengan hukum Moore, perkembangan teknologi IT dan kapasitas penyimpanan data tumbuh secara akselerasi, dan setiap pengembangan memerlukan waktu semakin pendek, maka jangka waktu 100 tahun itu bisa berarti perkembangan yang luar biasa.

kemudian flaw ini sangat fatal buat konsep android/ robot. Salah satu syarat terjadinya sebuah sistem berkecerdasan semacam android adalah tersedianya computation power yang tinggi, termasuk data storage yang besar, yang mampu ditampung dalam volume yang portable (kecil).

Artinya, justru kemampuan mengakses cloud computing adalah salah satu unsur yang memungkinkan android eksis. Oleh karenanya snagat nggak beralasan bila dibuat setting cloud computing sebagai sesuatu yang unreachable.

However, pembatasannya masih bisa dikreasikan dari sisi politik. Tapi kalau kita memodel kehidupan abad 21 pun, siapa sih yang bisa membatasi internet 100%? Artinya perlu political restrain yang sangat kuat dan sangat luas, bisa-bisa harus bikin dystopian society.

Ini, enaknya, ngebahas sci- fi,.. hehehehe

Anonim mengatakan...

Kalau 100 tahun lg, jangan2 dunia internet bakal kayak di anime accel world. Pasti seru kalau indonesia inetnya kecepatan mahadewa gt :D:D

Kalau baca repiu mbak luz ini, aku jadi ngerasa kalau settingnya sekarang, hanya di ceritanya ditulis 100 thn kemudian.

-Dhia-

Luz Balthasaar mengatakan...

Enaknya Sci-Fi . . . Saia kira ini sekalian juga nggak enaknya. Sci-Fi lebih gampang diprotes karena sebagian hukum dunianya berakar di hukum dunia beneran.

Kalau penulisnya bikin dunia yang aturannya kejauhan dari aturan dunia nyata, biasanya pembaca agak susah diajak percaya.

BTW yang dibahas di Bots itu cloud storage, bukan cloud computing. Walau memang benar keduanya memerlukan kapasitas penyimpan besar dan prosesor kuat. Kalau dua hal ini nggak ada, ya mustahil ada robot canggih. Makanya medium plat yang cuma muat tujuh e-book tetap bikin believability retak.

Tapi saia rasa ini bukan kesalahn fatal, soalnya masalah plat tsb. disebutkan di dalam dua baris kalimat saja. Tinggal potong, selesai masalah. Nggak usah ada perbaikan besar-besaran.

Soal "setting 100 tahun yang berasa masa sekarang," saia nggak akan mempermasalahkan. Perkembangan teknologi bisa melambat atau mandeg karena kekurangan resource. Jadi kalau 100 taun lagi kita masih kayak sekarang kecuali pada beberapa aspek, bukannya ga bisa. Asal konsisten antara teknologi yang mandeg dengan implikasinya. Jangan teknologi prosesor mundur, tapi robotnya pada drone yang punya advanced AI semua.

Serba Serbi Pengetahuan mengatakan...

OK mampir balik ke http://ceritathefiksi.blogspot.com karya fiksi ku ada disitu, cpa tau suka

izky mengatakan...

maaf klo saya nyelonong dan salah ruang untuk komentar di sini. Tetapi saya masih bingung dengan istilah fiksi fantasy itu sendiri, apa fiksi fantasy itu udah beda ya dengan fiksi sureal (contohnya : Kumcer Sepotong senja untuk pacarku dan Negeri Senja karyanya Seno Gumira Ajidarma)?

Anonim mengatakan...

Hue he he

Ini ya mba susahnya bikin scifi. Bener mba, setting scifi di dunia nyata jadi believability musti lebih kenceng dari fantasi.

Waktu saya baca judul ripwewnya dan paragraf awal saya kira ini tentang berdebatan filosofis (saaaah) tentang batas robot dan manusia.

Soal ini sih dah abis dibahas sama mbah Isaac Asimov dan the three laws of robotics-nya. Ini pun dapet banyak kritik karena sebagian orang menganggap ini cuma perpanjangan dari Frankenstein complex. Jadi Robot buatan manusia bisa menyerang penggunanya sehingga perlu hukum tersebut. Itupun bukan hukum yang bagus karena di cerita2 asimov selalu tentang cara hukum itu dibengkokkan.

Selain Frankenstein complex, ada Pinocchio complex di mana robot/android pengen jadi manusia. Ini kayak Data di serial star trek next generation. Atau bicentennial man si mbah asimov.

Di kedua contoh di atas teteup robot/android dianggap barang/benda/budak yang ga punya hak.

Saya pernah baca juga kalo orang jepang lebih berhasil mengeksplor tentang robot/cyborg. Contohnya ghost in the shell. Mereka ga terikat di frankenstein atau pinocchio complex.

Ini saya sukanya scifi. Sebenernya eksplorasi filosofis (saaah) tentang dampak kemajuan teknologi terhadap psikologi dan sosial. Seperti kata L. Ron Hubbard yang bilang dia nulis scifi bukan nulis tentang roket dan komputer tapi tentang manusia.

Hue he he maap saya jadi geje gini. Nais repiew mba :D

Adrian

Anonim mengatakan...

Untuk clud storage, saya mungkin bisa ngasih sedikit bahan untuk dipikirkan...

Agak berbeda dengan apa yang dipikirkan Mbak Luz, cloud storage sekarang itu gratis. Dan untuk ke depannya, cloud storage pasti akan berbayar. Kenapa? Karena bikin + maintenance server itu mahal dan ada banyak pertimbangan geografi yang macam-macam. Plus, darimana penyedia server cloud storage itu dapet duit kalau nggak minta jatah dari penggunanya?

Emang sih, tujuh ebook per plat itu... ridiculously small, and an outrage. Saya yakin di masa depan sistem storage bakal mengalami perkembangan eksponensial dalam penyediaan kapasitas, jadi pasti ada storage yang free, untuk pengguna yang menggunakan cloud storage secara ringan aja (light user). Tapi saya bayangkan nanti ada layanan freemium, yaitu nambah kapasitas storage kalo mau lebih gede. Itulah, mungkin, yang bakal jadi sumber pemasukan para penyedia server itu.

Maaf ini ga penting, tapi saya pengen ngeluarin uneg-uneg aja. Sekian dan terima kasih atas perhatiannya :))

-Inri

Luz Balthasaar mengatakan...

@Inri, true, ada yg gratis dan ada yang berbayar klo mau plus kapasitas. Tapi intinya, yang gratis itu ada, seperti yg saia tulis.

Dan gratisnya itu gak pelit, setau saia. Sebagai pelanggan cloud storage gratisan, saia dapat tambahan gratis tiap kali referral, dan dapat bonus 50 giga karena saia beli gadget dari perusahan yg ada kerjasama sama mereka.

My point is, kalau sekarang aja gratisan ada, susah membayangkan harga cloud storage naik sampe pada titik dimana sebuah institusi nggak bisa bayar untuk menggunakannya. Kenapa?

Pelanggan layanan IT yang paling potensial bayar itu institusi. Bukan perorangan kek saia, yang sukanya gratisan.

"Institusi ga mampu bayar," inilah yang terjadi di Bots. Dan ini layak dipertanyakan. Maintenance server mungkin mahal, dan pelanggan premium pasti di-charge. Tapi mestinya selalu ada skema yang dilakukan penyedia layanan untuk membuat produknya dikenal dan affordable. Kalau mereka cuma bisa menaikkan harga sampai harga itu nggak terjangkau oleh konsumen mereka yang paling mampu bayar, what's the point of doing business?

---

@adrian, nah ini. Akhirnya ada yg bisa merangkumkan trope-trope yg bisa dipake kalau ada robor di antara manusia. Frankenstein, pinocchio, atau GiTS? Atau yang lain lagi?

Saia juga merasa awalnya Bots mencoba menulis soal Frankenstein complex, tapi ternyata otherness-nya nggak terlalu tampak; they might as well be superhumans, not androids.

Mungkin benernya ada potensi dibawa ke yang ketiga, yaitu Interaksi manusia robot yang nggak dipake di dua yang lain. Hun. Kita tunggu lanjutannya saja, karena menurut penulis ada sekuelnya ini.

---

@Izky, gimana ngebedain antara fantasi, surealisme, dan sci-fi? Saia punya patokan pribadi, tapi patokan itu nggak sama untuk penggemar fikfan lain--di indonesia, paling tidak.

Kalau saia payung besarnya adalah fiksi spekulatif. Surealisme beda dari fantasi, dalam hal surealisme biasanya mempertahankan believability bukan dengan membuat "aturan" seperti yang dilakukan Fantasi. Surealisme membuat kontras tertentu, pola tertentu, sehingga keanehan dunianya bisa diterima tanpa penjelasan. Ada overlap di antara keduanya, dan ada juga karya-karya yang mengambang di batas antara keduanya.

Saia belum pernah baca karya yang anda sebutkan, sayangnya, tapi moga-moga suatu saat saia berkesempatan.

Anonim mengatakan...

Saya baru inget mba. Soal android yang mirip banget sama manusia tapi ga punya perasaan/emotion itu pernah dibikin mbah Philip K. Dick, di novelnya Do Androids Dream of Electric Sheep?. Novel ini pernah dijadiin film Blade Runner.

http://en.wikipedia.org/wiki/Do_Androids_Dream_of_Electric_Sheep%3F

Di sana android bener2 mirip manusia sampe ke organ tubuh, tapi ga punya perasaan karena mereka artifisial/fabricated. Dianggap cuma mesin.


Adrian

Anonim mengatakan...

Salam kenal..

Review mbak luz emang unik, ngak hanya mengedepankan point plus dari pengarang namun sisi ancur juga di bedah abis.
komennya garing diluar , pedas membakar d dalam..
tapi komen seperti ini yang banyak membantu penulis-penulis mula biar gak jatuh ketimpa tangga, kepala bocor
, anemia truzzz gak tau arah dan tujuan ceritanya..
Ntar klo saya buat buku fikfan (mengharap)saya rela buku saya dibedah, dicincang dan dipotong potong dadu, kemudian dicampur dengan rempah pedas dan di tumis dengan cebe ijo...wah pasti enak tu..

*Wooopps ngomong gak jelas*
sukses buat suhu suhu d fikfanindo.

Filiargo.

Aii mengatakan...

Sebut saja saya ketinggalan jaman krn baru tau ada blog semacam ini seumur hidup saya. I just found this blog since 2 days ago! dan udah hampir selesai baca review'annya semua. Dan setelah baca semua reviewan itu, saya baca semua tulisan saya dan ngerasa tulisan saya sampah semua. Hahahaha! Serius.
Yah, mungkin ini nilai positifnya saya nemu blog ini. Saya jd lbh hati-hati lagi buat nulis sebuah cerita. Dan gak jadi penulis egois tanpa mikirin perasaan si pembaca. Walau aslinya.. Saya sendiri gak begitu memperhatikan setiap detail yg ada dlm sebuah cerita. saya bukan reviewer. Dan cuma pembaca biasa. Jadi agak terperangah juga saat baca reviewan yang ada di sini. Teliti bingiiitss.. Salute!
Bahkan Nibiru yang udah tamat saya baca sejak beberapa tahun lalu gak lewat dr kritikan para reviewer. Padahal di mata saya itu novel udah perfect banget. Tapi ya gitu.. Sekali lagi, saya bukan pengamat yg detail kyak mas2 dan mbak2 reviewer di sini T^T
Yaaa.. Terlepas dr cara mengkritik yang agak jleb jleb jleb gitu, kita jd tahu kalau jd penulis itu memang hrs hati2 dlm menulis.
But after all.. Mba Luz Balthashaar (nama ini mau gak mau ngingetin saya sama salah satu malaikat di serial Supernatural), you are my favorite!

Salam kenal semuanya!

Anonim mengatakan...

Ni review berikutnya keknya setaon lagih ya om pur/mbak luz? Hehehe *mulailumutan* #nunggudilalerin :p

-tom-

Unknown mengatakan...

Guys, liat blog gua donc...