Minggu, 24 Februari 2008

Beberapa Covers,....


Ada beberapa Cover Novel Fiksi Ilmiah/ Fantasy yang saya punya, semua sudah dibaca, tapi sejak dulu belum sempat saya tuangkan reviewnya. Aniway, saya taruh sini saja sekedar reminder, siapa tahu kapan-kapan ada waktu,.. hehehe

Jumat, 22 Februari 2008

REINHART: Titisan Lima Ksatria Agung Eirounos (Hendra Surya - 2007)

Sekali lagi, novel fiksi-fantasi Indonesia, yang bikin aku tergelitik buat komentar setelah Hozzo yang bikin aku kenalan sama pengarangnya (walaupun akhir-akhir ini beliau agak 'dingin', mungkin masih sakit hati sama ulasanku yang dianggapnya terlalu 'pedes',... hehehe. Gak papa, itulah bukti bahwa aku memang cinta sci-fi/ fantasy, dan nggak mau main-main sama sci-fi/ fantasy!).

Saya lihat buku ini terpajang di salah satu toko buku sepi di Kalibata Mall. Rasanya belum pernah menemuinya di Gramedia. Entah karena memang udah nggak masuk masa pajang/ edar di toko buku utama Indonesia itu, atau memang oleh penerbitnya ngga dimasukkan ke sana. Dengan desain sampul bergambar "manga" style lima orang remaja berkostum gak jelas, saya sempat terkecoh mengiranya sebagai salah satu buku fiksi-islami a la Mizan, terutama karena ada tatto bintang dan bulan sabit itu.

(kupikir akan ada hubungan tatto 'islami' dengan plot cerita, ternyata gak terlalu substansial. Keseluruhan novel ini sama sekali bukan novel bergenre Islami).

Membuka lembaran pertama dan seterusnya, kali ini sudah dengan sikap berjaga-jaga, expect the worst mengingat perkembangan penulisan sci-fi lokal memang masih belum banyak kemajuan setelah lepas era Djokolelono. Apalagi terus terang saja desain sampulnya "enggak banget" buat saya.

Dan ekspektasi itu cukup terbukti, sebetulnya. Bisa dibilang buku ini jauh berada di bawah standar saya. Tapi ada beberapa aspek yang membuat buku ini menjadi 'layak' untuk saya komentarin. Hehehe,.. bukannya komentar gue berharga tinggi kayak komentar dewa, tapi komentar gue memang senantiasa gue niatkan untuk mengembangkan penulisan genre sci-fi/ fantasy di Indonesia, sehingga apapun yang bisa kita manfaatkan untuk mengembangkan diri, rasanya layak untuk kita ulas. Dan buku ini memuat cukup banyak contoh bahwa tidak sedikit hal yang bisa diperbaiki atau dipelajari guna meningkatkan kualitas kepengarangan sci-fi/ fantasy di tanah air.

Dan kalaupun komentar ini jadi pedes,.. mohon jangan dilupakan bahwa memang saya cukup mudah 'gemes' terhadap sesuatu yg di mata saya kurang 'pas' dan seharusnya dapat di 'pas'kan. hehehe,... Tapi sekali lagi, gemes itu tandanya sayang (apa siiih).

Pertama-tama, mungkin dari hal dasar yang amat mendasar. Kalo mo bikin cerita sci-fi/ fantasy di jaman sekarang ini, apa angle yang sebaiknya kita gunakan? Apa style yang bisa kita pilih?

Koq nanya begitu? Jujur aja, saya masih terheran-heran dengan wawasan pengarang kita, atau mungkin juga wawasan penerbit sekaligus wawasan para pembaca kita. di jaman milenium ini, generasi milenium Indonesia sudah terpapar dengan sedemikian gencar film2/ buku fiksi ilmiah dengan berbagai gaya 'story telling'. Untuk belajar menulis kisah fiksi ilmiah, tinggal belajar melalui membaca buku-buku fiksi ilmiah atau fantasi yang patut dijadikan referensi. Memang buku2 itu jarang di jual di tanah air, plus jarang diterjemahkan. Tapi rasanya kemampuan kita membaca literatur berbahasa Inggris di jaman sekarang udah cukup memadai, lah. Dan buku-buku itu sebagian masih bisa kita dapatkan di Internet dalam bentuk e-book. Jadi jangan bilang kalau ga ada akses lagih!

Dari internet kita juga bisa bergabung dengan milis atau forum penggemar sci-fi, yang tentunya bisa memperkaya wawasan kita dalam menulis sci-fi atau fantasy (ini dua genre yg unik, sebab seutuhnya pengarang yang ciptakan dunia/ universe di dalamnya!). Atau at least, kita bisa mengobservasi bagaimana pengetahuan para fans karya-karya sci-fi ini terhadap isi-perut karya-karya tersebut, contohnya sampai ada perkumpulan pengguna bahasa Klingon segala!

Tapi kenapa, oh kenapa, sekalinya kita bikin novel sci-fi, maka yg muncul gaya-gaya Flash Gordon,... melulu (BTW Flash Gordon itu kan buatan tahun enam puluhan?).

Novel Reinhart, dikarang oleh Hendra Surya, seorang Konselor, Marketing Manager & HRD & PR (bukan pengalaman yg sedikit, itu!), yg sebelumnya sudah mengarang sembilan buku bertemakan psikologi dan pendidikan, tapi novel sci-finya jatoh-jatohnya ngga jauh dari nuansa flash gordon tahun enam puluhan. Dan sebagai sebuah sci-fi, maka karya ini sayangnya terlalu miskin riset dan miskin wawasan. Saya sedikit kecewa, walaupun harus manggut-manggut memaklumi bahwa kecenderung itu sangat lazim di dunia penulisan Sci-Fi kita. Boleh dibilang, hingar-bingar literasi sci-fi/ fantasy di luar negeri seolah ga berdampak pada kita.

OK, let's see the story. Kisah novel Reinhart: Titisan Lima Ksatria Agung Eirounos ini basicallly adalah sebuah space opera yang mengetengahkan kejagoan lima remaja berusia 15 tahun, yang somehow merupakan keturunan dari Mahapatih Gajah Mada, yang mendapatkan tugas untuk membasmi kejahatan di planet jauh, Acrotus yang (masih terletak dalam galaksi Bima Sakti, tapi oleh pengarang dikesankan berada di sebuah galaksi tetangga kita). Dan ternyata mereka adalah "Titisan" berdarah murni dari Lima Ksatria Agung Eirounos, the Legendary Heroes di planet Acrotus. Seterusnya cerita berlangsung linear mulai dari trip ke planet, perang lawan musuh, menang, dan balik lagi.

Cara menjalin plot, masih menunjukkan kelemahan. Kemungkinan pak Hendra Surya sudah berpengalaman dalam membuat buku non-fiksi, tapi masih belum begitu fasih bicara karya fiksi. Sebagian besar pengadeganan berlangsung secara deskripsi. Terasa kekurangan aksi, dialog, atau narasi sebagaimana novel. Plot juga luancar-luancar aja maju tanpa konflik yang berarti, dan terkesan spirit novel ini cuma sekedar sebagai pemuas ego khayali seorang bocah remaja SMP.

Sebenernya oke-oke aja. Waktu SMP aku juga punya khayalan sebagai jagoan tak terkalahkan senyum So, part itu sebenernya bisa menjadi kekuatan novel ini. Hanya saja, kekuatan tanpa pengolahan yang tepat tidak akan menghasilkan materi berkualitas.

Kelemahan terbesar novel ini, bagi saya terletak pada logika yang kedodoran serta kurangnya riset untuk memahami 'dunia' yang diciptakan dalam novel, serta kurang concern-nya pengarang terhadap kekuatan bahasa dialog dalam penulisan novel.

Logika, saya sebut kedodoran. Pertama mengenai penokohan lima remaja SMP berusia 15 tahun, yang dalam halaman-halaman pertama saja sudah memunculkan inkonsistensi yang membingungkan. Mulai dari sosok utama (Reinhart) seorang remaja 15 tahun yang digambarkan memiliki tinggi badan 170-an (cm,... emang sih anak sekarang bodynya gede-gede, tapi kalo elo tarok seorang anak bertinggi 170 cm di SMP mana aja di jakarta, guaranteed, elo akan dapetin anak 'jangkung' ini sebagai seorang remaja minder, ketinggian, bo!), ganteng, punya pandangan tajam, pemikir, cuman agak pendiam tapi bijaksana (hal 2); Dari penjabaran singkat itu saja sudah kelihatan kontradiksinya. Remaja SMP umumnya belum terbentuk karakter se'dalem' itu. Dan di sekujur cerita, tingkah laku dan pemikiran bocah 15 tahunan ini digambarkan jauh dari usianya, sehingga justru menjadi unbelievable. Buat saya sosok rekaan pengarang ini akan jauh lebih masuk akal jika diceritakan berusia antara 17 atau 18 tahun.

(Tunggu, setelah selesai membaca novel, saya makin kuat menduga bahwa para tokoh sesungguhnya didesain berusia 17-18 tahun, tapi kemudian diturunkan oleh pengarang, mungkin dengan pertimbangan target-market yang ingin dicapai oleh novel ini).

Sederet dodor logika lainnya silih berganti menghancurkan kenikmatan membaca dan menggoyahkan sendi-sendi 'believability' novel ini. Mulai dari pemilihan nama tokoh yang bikin saya ingin ketawa: Reinhart, Benhart, Leinhart, Kenhart, daan,.. Jesica (apa-apaan ini? Keluarga 'Hart" dari Swiss?) dan kenyataan bahwa mereka bukannya sederet sodara kandung melainkan sodara sepupu, juga membuat pembaca bingung memikirkan kenapa ortu-ortu mereka sampai kompakan bikin nama-nama konyol untuk anaknya. Lebih konyol lagi ketika saya tahu nama kakek mereka yang misterius tinggal di atas gunung, yaitu Gadjah Biru (GEDUBRAK DOT COM). Soal ancur-ancuran bikin nama, coba simak nama-nama ini: Tequilla, Trulla, Drilla, Karlla, Zarlla, Firlla, Sarlla, Drulla, Birlla, ini bukan nama sembilan bersaudara kurcaci pemain sirkus Acrotus senyum melainkan sembilan anggota pasukan pengawal raja pilihan yang entah kenapa harus dibikinin nama seragam seolah-olah mereka baru keluar dari ruangan kloning.

Mungkin saja buku ini memang ditujukan buat dibaca anak-anak SMP (Kenapa harus sesederhana itu? Apakah memang terpatri paradigma bahwa sci-fi/ fantasy hanyalah konsumsi remaja? Memangnya Tolkien bikin LOTR untuk elementary and middle school of London?). Tapi saya kira bahkan anak SMP sekalipun harus sudah kita bina dengan material yang logis dan koheren.

Kemudian pengetahuan si kakek akan arti tanda lahir (tanda tatto misterius yang muncul di kulit para jagoan), tidak jelas si kakek tahu dari mana. Cuma sekedar bahwa "cucu-cucu gue itu spesial sebab turunan dari Gadjah Mada, yang punya darah satria". Kakek seperti tahu beberapa hal luar biasa, tapi sumber pengetahuannya gak jelas, bahkan ketika tamu-tamu dari planet, yg membawa informasi detail, hadir di Bumi, si kakek juga nggak menunjukkan bahwa ia pernah berinteraksi sebelumnya etc. Jadi kesan nya, si kakek itu tahu 'mak-jleg' begitu aja! (Hasil Meditasi?) udah gitu perannya ya cuma selesai di situ (Doh!). FYI, ternyata tatto unik itu merupakan hasil pancaran elektromagntis yang menembus galaksi dan beresonansi dengan DNA yang cocok, akan menimbulkan ruam kulit berbentuk bulan sabit dan bintang, yang sering terasa panas. Kalau sampai lima belas tahun menderita kelainan seperti itu para tokoh belum juga ke dokter, jangan tanya sama saya.

Lantas pula mengenai konsep "titisan darah murni",... ini apaaa sih?? Wong anak-anak itu sama sekali gak ada hubungan darah dengan Lima Ksatria Agung Eirounos 150 tahun yg lalu, unless Gadjah Mada sebagai kakek moyang definitif anak-anak itu sempat melancong ke Acrotus dan beranak pinak di sana. Oh iya mengenai keturunan Gadjah Mada sampai ke kakek Gadjah Biru dan lima sodara sepupu Reinhart itu, gimana yah? Soalnya berdasarkan referensi novel lain, Mahapatih Gajah Mada dinyatakan tidak kawin sebagai konsekuensi mengucapken sumpah Palapa! Hayoo mana yang bener?

Sebenernya masih banyak logika kedodoran menghiasi sekujur novel. Tapi kalo aku ceritain semua, jadinya malah gak napsuin, hehehe. Yg jelas, logika kedodoran juga disebabkan karena sang pengarang kurang riset untuk membuat dunianya lebih masuk akal.

Penerbangan antar planet, mungkin udah menjadi impian umat manusia sejak dulu. Dan itu juga yang mendasari munculnya genre-genre space-novel. Oleh karenanya dalam dunia penulisan sci-fi, konsep-konsep 'interstellar travel' ini seolah sudah harus didiskusikan (dimatangkan) lebih dulu, sebelum pengarang mulai bikin cerita. Kenapa? Sebab pada akhirnya 'moda transportasi' akan menjadi ruh seluruh kebudayaan yang diciptakan dalam universe sci-fi/ fantasy tersebut.

Hendra Surya, seperti juga banyak pengarang "Sci-fi" lokal, terjebak pada paradigma 'asal tempel' dalam mendesain kendaraan ruang angkasa, maupun kendaraan terbang intra atmosfer semacam "flying skateboard" (kadang disebut sebagai "skate-tempur" oleh pengarang). Ngga ada dasar teorinya, gitu. Ini combustion engine, atau magic engine? Juga ada hibrida antara Teknologi (sabuk Terranos) berinteraksi dengan spiritual (kekuatan Aura), secara begitu aja tanpa pertimbangan matang (atau penjelasan yang setidaknya believable). Bener-bener ala Dongeng majalah Bobo.

Kecenderungan untuk membangun universe cerita secara kolase (potong tempel) sangat tampak di sini, dan celakanya karena tidak ditunjang riset, hasilnya adalah "gigantic logical mess", kekacauan logika. Contohnya antara lain planet Acrotus yang terdiri atas kerajaan-kerajaan, ngga berhasil terjelaskan bagaimana kehidupan kerajaan itu bisa menghasilkan kendaraan-kendaraan "canggih" sekaligus sudah tercipta "Space-Fare" culture (ngga merasa asing dengan penerbangan antar planet, walaupun tampaknya pesawat luar angkasa bukan merupakan benda yang sering diparkir di alun-alun kerajaan), ada mobil (walau deskripsi bentuknya nggak dijelaskan), tapi penggambaran alam maupun landscapenya terasa nyomot dari LOTR (Lord of The Rings), yang notabene menggunakan transportasi kuda atau jalan kaki. (Dalam novel, bahkan sempat muncul pula komentar, "Wah, persis seperti di film Lord of The Rings!" nangis, sedih banget

Harusnya ada sistem ekonomi yang sesuai nalar, untuk dapat terciptanya kehidupan ber-antariksa. Mungkinkah masyarakat agragris bikin pesawat luar angkasa? For what?? Sistem masyarakat agragris adalah sustainable income, dia nggak perlu ekspansi untuk mempertahankan hidup, beda dengan masyarakat nomaden. That's why suku-suku Mongol dulu berekspansi ke wilayah lain. Logika yg sama juga dapat diterapkan pada kehidupan antar planet. Kenapa menciptakan pesawat luar angkasa? Karena ada kebutuhan untuk menjajah planet lain, merebut sumber dayanya. Kemudian seharusnya ada sistem bahan bakar yang menggerakkan perekonomian, menggerakkan perang, memotivasi konstelasi politik planet. Mirip efek minyak di bumi, lah. Harusnya ada logistik, rantai makanan/ support dalam sebuah pertempuran, harusnya sudah bertaraf perang modern, bukannya barisan tentara a-la LOTR yang berbondong-bondong keluar dari sarang. Artinya, bikin sci-fi pun harus memperhitungkan berbagai cabang ilmu.

Well, referensi LOTR memang tampak di sana-sini, baik berupa landscape, bangunan maupun suasana peperangannya (Raja-raja mengungsikan wanita dan anak-anak ke dalam Gua??? Itu mah yang bakal pertama kali runtuh kalo di rudal!!). Mendingan diungsiin pakai pesawat2 yang dimiliki aja. Lagian logika perang dimana musuh membantai seluruh penduduk pria-wanita-tua-muda-miskin-kaya sudah nggak masuk akal. Kalo memang mau memusnahkan seluruh penduduk, kan tinggal dinuklir aja 'tak iya gak usah repot-repot? senang sekali

Yang lucu, penggambaran istana-istana yang mengambil konsep benteng berparit-parit pertahanan (berarti asumsinya untuk peperangan infantry dong), tapi pas terjadi pertempuran, pihak musuh menyerbu naik pesawat! Apa gunanya parit buat pertahanan, kalo gitu??? Itu satu contoh yang jelas bahwa pengarang semata-mata memusatkan daya khayalnya berdasarkan setting visualisasi LOTR, dan melupakan adanya ILMU PERANG, atau ilmu warfare yang sesungguhnya bisa dipelajari kalau mau, yang sangat berkaitan dengan perlengkapan & strategi perang untuk membuat ceritanya lebih believable.

Secara keseluruhan terdapat kesan sebuah hibrida antara teknologi dan mistik di dalam universe novel ini. Sempat tersebut juga, adanya penyatuan antara energi Aura dengan teknologi, yang akan membuat kekuatan energi aura menjadi berlipat-lipat. Sayangnya, teknologi hebat itu cuma berhenti di situ. Padahal kalau mau dibayangkan betapa besarnya dampak perkawinan antara energi prana manusia dengan teknologi, tentu mempengaruhi suatu kultur secara signifikan. Akan tersusun suatu dunia yang sama sekali berbeda dengan Bumi, dan itu akan menjadi suatu 'keajaiban' sci-fi. Tapi hibrida tanpa juntrungan itu memang banyak bertebaran. Salah satu contoh pertempuran yang menggunakan pesawat tempur dan senjata laser, tapi babonnya (The Boss, Megoliath, yang digambarkan sekedar Raja jahat dan kejam belaka) malah naik burung raksasa berludah api, dan menggunakan ajian ala Kameha-meha (ref. Dragon Ball) yang dia dapat berkat menyerap energi batu berapi. Terus terang pikiran saya jadi kacau, mencampur teknologi dengan pra-teknologi. Masyarakat Acrotus ini menggunakan senjata laser, tapi sama sekali ngga kenal perlengkapan komunikasi jarak jauh macam HP (atau sejenisnya lah). Ada peralatan radar, tapi ngga ada citra satelit yang bisa memantau pergerakan pasukan dalam skala ratus-ribu orang (masak diserang 250 ribu musuh dalam formasi barisan, aparat Kerajaan termasuk jendral-jendralnya sampe terkaget-kaget,.."HAA? ADA 250 RIBU PASUKAN MEYERANG KITA?", lha kemaren-kemaren kemana aja?)

Sumpe, adegan kaget-kagetannya bikin gue asli ngakak.

Apalagi sebagian besar permasalahan di dunia Acrotus diselesaikan dengan daya analisa dan strategi bocah-bocah 15 tahun, di depan Raja-Raja dan Jendral yang tak mampu menjalankan peran kemiliteran barang sedikit acan. Walau demikian, beberapa strategi action yang dijalankan oleh para jagoan, harus diakui cukup orisinal dan keren. Tapi ngga cukup believable jika dimasukkan dalam konteks situasi perang yang mengandung strategi lebih kompleks, gak cuma gasak musuh kiri-kanan aja.

Kemudian betapa seringnya pengarang meng-glorify kelima jagoan itu dengan mengulang-ulang adegan sembah-menyembah dari berbagai raja dan pasukan, mengingatkan pada adegan monumental LOTR. Tapi karena overdone, kesannya jadi cuma pemuas ego anak SMP belaka.

Sekarang mengenai dialog. Just one word: "Corny". Serba nggak wajar. Gaya bicara para tokoh remaja sering kali ketuaan, dimana bertaburan sebutan "Tuan anu, tuan itu," yang sepantasnya diucapkan orang dewasa. Kalau saja mereka memanggil dengan sebutan 'Paman' bagi tokoh-tokoh yg usianya lebih tua, akan terasa lebih natural. Berbagai keputusan, reaksi, maupun ekspresi juga bertentangan dengan daya ekspresi anak 15 tahunan. Sedikit tertolong kalo mereka mengobrol antar sesamanya dengan menggunakan dialek Lo Gue yang ceria, tapi somehow saya merasa pengarang kurang membuat dialog itu terasa luwes dan berkarakter. Content dialognya pun masih terkesan tawar, kurang dijiwai oleh karakter atau kurang mengandung ekspresi kondisi-kondisi emosi sebagaimana nuansa percakapan dalam sebuah novel. Pokoke kalau saya kasih nilai buat dialog, saya akan kasih angka 4 dari 10.

Dan komentar terakhir, adalah menyangkut positioning novel ini, apakah memang untuk anak-anak SMP, atau orang-orang dewasa dalam artian pembaca umum. Jika ditujukan untuk anak-anak SMP atau lebih muda, sebenernya saya agak kurang setuju mengingat angle penceritaan yang tidak memihak pada kebutuhan tumbuh kembang anak dalam rentang usia tersebut. Saya akan cukup keras mengkritik hal ini (kayak yg sebelumnya nggak ngritik keras aje nich,.. hehe), bahwa angle penceritaan dalam hal ini terlalu sadis untuk ukuran pembaca SMP. Konkritnya, alih-alih tokoh utama merupakan pahlawan, pengarang terpeleset untuk menggambarkan kelima remaja ini sebagai remaja-remaja haus darah yang dengan kesaktian mereka telah melakukan banyak pembunuhan dalam kategori "no remorse" alias tanpa belas kasihan.

Emang sih konteksnya dalam peperangan. Tapi bayangin aja bahwa anak-anak ini, begitu keluar kesaktiannya, telah membunuh dengan menggunakan pedang yang disabetkan untuk memutus anggota badan lawan (termasuk kepala, kalo saya gak salah inget) menikam, menembak mata, membinasakan lebih kurang seratus ribuan tentara musuh, bahkan membantai musuh yang terperangkap tanpa menyisakan satu nyawapun, di mana hal ini digambarkan sendiri oleh pengarang dengan kalimat semacam, "ruangan bersimbah darah dan mayat".

Kalo kita balik pada realitas, maka satu nyawapun yang kita regang dengan tangan kita, akan membuat bulu kuduk merinding dan isi perut teraduk. Membunuh, dalam kondisi apapun, is no picnic. Dan anak-anak ini melakukannya tanpa penyesalan, dengan kenikmatan seorang jagoan.

Kalau saya ditanya, maka saya akan bilang itu bukan pendidikan, dan juga bukan entertainment, buat segmen pembaca remaja muda. Seharusnya ada etika, bahwa pembunuhan oleh tokoh anak-anak, biasanya dilakukan tanpa sengaja atau secara tak langsung (biasanya si jahat mati karena kesalahannya sendiri).

Akan tetapi nggak terlalu masalah bila segmennya adalah pembaca dewasa, dengan tokoh-tokoh yang lebih dewasa (17-18 tahun, masih okey lah). Hanya saja, logika cerita mesti juga diperbaiki, dong.

Satu referensi 17 tahun juga terlihat pada adegan pertemuan Putri Shakilla, putri raja, dengan Reinhart si tokoh utama di akhir cerita. Tanpa malu-malu sang putri yang terpikat pada kegantengan Reinhart pada kesempatan pertama, langsung menyampaikan ciuman mesra dan keduanya terlibat asmara. Segitu gampangnya. Kalau ukurannya 17 tahun, tingkah itu cukup wajar. Tapi kalo ukurannya usia 14 tahun, this princess is just a plain slut!

Begitulah komentar saya. Puasss,..puasss,...?? Setelah baca novel ini, saya jadi sadar bahwa yang awalnya saya sebut novel fiksi si IBG Wiraga (Hozzo) sebagai karya sci-fi yang 'gagal', eh ga taunya masih jauh lebih baik daripada novel ini. Namun tak kurang saya sampaikan penghargaan buat pak Hendra Surya, selamat datang di sci-fi/ fantasy Indonesia! Next time better, ya!

Salam,

FA Purawan

Misteri Pedang Skinheald I & II (Ataka - 2007)

Mungkin buzzword saat ini adalah Ataka. Pengarang (novelis?) belia berusia 11 tahun yg masih duduk di bangku SMP. Tak kurang pengarang senior sekaliber Arswendo Atmowiloto menyampaikan endorsement tinggi atas karyanya.

Jadi penasaran, sehebat apakah Ataka? Saya baru ngeh pada pengarang kecil ini setelah ada feature di Tempo mengenainya. Saat itu yg ditampilkan adalah karya novel Misteri Pedang Skinheald jilid II, yg tebalnya udah ngalahin buku Harry Potter kedip

Tentu saja saya hal itu membuat rasa penasaran saya memuncak. Segera saya ke toko buku untuk mencari novel Ataka tersebut. Dan sesuai pakem saya, maka untuk memulai membaca sebuah "trilogi", saya tidak mau langsung melompat pada buku II, harus buku I dulu dong,..

Padahal ternyata, di Gramedia cuma ada buku II?!!

Begitulah, saya ambil buku II seharga 99 ribu rupiah itu (gile margin-nya,..), sambil tetap dibungkus plastiknya menunggu buku I didapatkan. Setelah beberapa bulan buku I baru tampak terpajang di rak, dan to my astonishment, ternyata koq tipis bener laksana chiklit? Gak imbang banget antara buku I dan buku II-nya.

Mulai dengan buku I, sepintas sebetulnya kurang menarik, dan seharusnya ini bukan buku I melainkan Bab-bab pertama dari buku II. Istilahnya mungkin buku introduksi aja, sebelum memasuki buku II. Kalo dugaan gue sih, ini sekedar trik bisnis penerbit untuk testing the water, mencoba reaksi pasar atau penerbit yg lebih gede sebagai basis untuk nerbitin buku II.

Memang ada perbedaan mencolok antara buku I & buku II. Selain tebalnya, juga ilustrasinya. Ilustrasi buku I buat saya lebih indah dan lebih artistik. Garis-garis dan arsirannya lebih halus, dan secara keseluruhan memancarkan nuansa "Fantasy" sebagaimana genre buku ini. Tapi sayang penggambaran karakternya agak terkesan ke arah oriental, seperti ilustrasi silat cina, sehingga sedikit berlawanan dengan setting buku yg mengarah pada rasa-rasa Eropah.

Dalam hal interpretasi, sepertinya ilustrator buku II lebih 'dapet', tapi terus terang saya tidak suka dengan eksekusinya, yang cenderung kasar dengan garis-garis tebal, dan proporsi tubuh yg rasanya kurang pas. Untuk ilustrasi cover buku II, kayaknya memang cukup menggigit dengan warna merah serta tampang naga buas, walaupun peran naga tidak terlalu dominan dalam kisah di buku II ini.

Bagaimana dengan cerita Misteri Pedang Skinheald? Well,... ada satu hal yg utama, di dalam buku ini, yang membuat saya teringat pada masa kecil. Saat saya seumur Ataka, bahkan beberapa tahun lebih muda, saya punya seorang sodara sepupu. Kami sering bermain "cerita-ceritaan", mengarang kisah fantasi untuk diceritakan satu sama lain, dengan tokoh-tokoh superhero atau jagoan. Biasa lah,...

Saya teringat salah satu jagoan yg kami karang, bernama "Amsterdam", kuat, bisa mengangkat gerbong kereta api dll-dll. Ya gitu deh, ceritanya bisa berseri gak habis-habis dengan imajinasi liar ke sana kemari,... tanpa terikat konteks. Di satu sisi, emang asyik. tapi di sisi lain, yg terjadi adalah bangunan cerita yg terasa 'aneh' atau lebih tepatnya ga koheren.

Demikianlah yg kurasakan dalam buku Misteri Pedang Skinheald. Secara ingatan anak kecil, saya bisa menelan semuanya bulat-bulat: nama-nama tokoh yang "seenak udel" (kayak aku bikin nama Amsterdam out of nothing, cuma karena sounded cool aja), seperti: tokoh utama bernama Robin Halfman, nama pedang "Skinheald"? (maksudnya apa?), kerajaan Marsekal (!), nama penyihir Hayfly (jerami terbang?), ada elf bernama Alva, tapi ada elf lain bernama George Gloria, dan sebagainya. Secara anak kecil, aku bisa terima. Tapi secara anak besar, aku sungguh menginginkan adanya konsistensi atau latar belakang dalam sistem penamaan tokoh di buku ini. Nama-nama manusia, nama-nama Elf, nama-nama Dwarf, dst, harusnya mengikuti suatu 'hukum' tertentu supaya terdengar make sense sekaligus enak dan mengesankan karakter tertentu.

Tapi okelah, masak gue harus menuntut demikian tinggi untuk seorang pengarang anak-anak? Salah juga gue, dong?

Tapi sejujurnya sih, saat editor buku ini diwawancara dan mengatakan bahwa ia tidak berusaha mengintervensi proses kreatif Ataka, aku merasa harusnya dia melakukan satu hal lebih: yaitu pembimbingan "How to write a Fantasy world, based on medieval myths".

Karena ternyata beberapa konsep "Lord of The Ring" yg mempengaruhi Ataka, telah diterjemahkan secara individual oleh Ataka (dengan kapasitasnya yg terbatas) tanpa pengarahan pada konsep-konsep yg kurang-lebih standar di dunia penulisan genre Fantasy. Boleh jadi karena Ataka hanya melihat (belajar dari) menonton film/ baca buku, dan si editor juga bukan spesialis Fantasy (walaupun penerbit Copernicus mengklaim dirinya sebagai spesialis penerbit cerita Fantasi).

Akhirnya, Ataka jadi agak 'salah' menetapkan setting buat ceritanya. Ibarat dia cuma mengambil visualisasi film dan tokoh-tokoh lord of the rings tanpa kedalaman (which is tentunya normal bahkan sudah advance buat anak seusianya), dan rupanya senior-seniornya malah udah kalah set sebab tidak dapat memberi pengarahan yg diperlukan oleh Ataka.

Sejumlah kekonyolan, jadi tampak membuat buku ini seperti terasa 'aneh'. Seperti latar belakang tokoh utama Robin Halfman yang profesinya adalah seorang guru di sekolah "Ayo Bertanam Singkong" (what the heck,...?), punya rumah yg tergolong Elite dengan sejumlah pembantu. Mengapa singkong? Apa perlunya ada sekolah bertanam singkong di desa itu, dan kenapa profesi sebagai guru bertanam singkong memberikan stature sosial yg bagus? Aduh, jadi pusing. Apakah saya harus seserius itu dalam membaca? Lho, kenapa saya tidak boleh bersikap serius terhadap sebuah karya kreatif? Bukankah itu artinya saya memandang serius pada buah karya Ataka, unlike para editor yg mungkin hanya menganggap Ataka sebagai anak ajaib yg (kebetulan) bisa mengarang.

Kekurang-tegasan peran editor juga tampak pada kesalahan penamaan makhluk mitologi yg cukup 'jauh' meleset. Makhluk Goblin, kalau menurut mitologi Inggris, adalah makhluk yg sosoknya cebol dengan wajah berkerut seperti orang tua. Kekhasan Goblin sebagai makhluk gaib adalah kesenangannya terhadap harta, terutama emas. Sehingga dilegendakan bahwa di ujung pelangi selalu tertanam seguci emas, yang dijaga/ dimiliki oleh Goblin. Dalam setting Harry Potter, kaum Goblin ditempatkan sebagai bankir atau pengelola harta di dunia penyihir Inggris.

Di buku Ataka, Goblin digambarkan sebagai makhluk liar bersosok tinggi besar berwajah seram, takut cahaya, dan bersifat penyerang ganas. Which is, di dalam setting LOTR, dinamakan sebagai Orc. Itu juga mengikuti sistem mitologi Inggris sebagaimana Elf dan Dwarf. IMO, kalau saja editornya cukup punya wawasan, dia harusnya mengarahkan Ataka untuk menamai mahluk-mahluknya paling tidak sesuai standar mitologi inggris, sehingga akan lebih konsisten.

Tapi hebat juga imajinasi ini anak, selain makhluk2 'standar' yg dia pinjam dari mitologi barat, dia bikinin lagi beberapa makhluk kreasi baru, antara lain maklhuk super ganas Cannibalic Man, Manusia Naga, Manusia kucing laut, Dark Elf, semuanya fit dalam cerita secara cukup wajar dan interaksinya dengan makhluk lain dalam alam itu juga cukup realistis. Khususnya Cannibalic Man, sebetulnya bisa menjadi gimmick yg menarik. Sayang banget koq dinamain Cannibalic man, sebab nama itu gak mencerminkan ras melainkan julukan ke pihak ketiga tunggal. Jadi rasanya gak matching, gitu. mendingan dinamain "Kaum Kanibal", atau nama baru yg mengesankan sebagai ras menyeramkan. Dark Elf, tuh ide bagus.

Hal positif yang amat menonjol dalam novel Ataka, dan ini juga sudah disebutkan oleh para endorser, adalah kemampuan anak sebelas tahun itu mempertahankan ritme cerita. Istilahnya stamina bercerita. Emang harus diakui hebat, bisa membuat novel tebal itu tidak melelahkan untuk dibaca. Cukup ada suspense dan action yang bisa menggiring pembaca untuk menyelesaikan bukunya. Alur ceritanya sendiri cenderung biasa aja, perjalanan menuju satu titik dengan berbagai hambatan dan drama, dengan klimaks adegan pertempuran laut (yg cukup imajinatif, walaupun harus sedikit bertabrakan dengan pakem-pakem perang maritim, hehehe. Tapi bisa dimaklumi, lah).

Ataka mampu menggambarkan setting & landscape secara terinci dan indah, namun menggambarkan konflik interpersonal secara agak "mixedbag". Maksud saya, kadang dia bisa menggambarkan konflik rumit seperti orang dewasa, tapi banyak juga dia mengolah konflik dengan kedangkalan berpikir sebagaimana anak-anak, sehingga tokoh-tokohnya bukan tampak seperti orang dewasa on a mission (deadly mission, loh BTW!), tapi seperti sesama anak kecil sedang bermain di halaman sekolah. Yah, dalam hal ini mau dimaklumi boleh, mau dikritisi juga boleh,..

All for all, buat gue sendiri membaca novel Ataka lebih berfiat apresiasi dibandingkan immersion (melarutkan diri dalam kisah/ cerita). Kalau saja Ataka memasukkan unsur penamaan tokoh, lokasi, secara lebih make sense, kayaknya koq gue pun bisa larut dalam karyanya.

Kalau mau belajar atau membandingkan, kita bisa menengok pada karya Christopher Paolini, yg mulai menulis Fantasynya di usia 14 tahun. Mestinya bisa dipelajari bagaimana interaksi pengarang-editor yg terjadi, sehingga Christoper relatif bisa terbantu untuk membuat dunia Novelnya lebih realistis.

Buku III, aku tunggu. Dan trilogi ini akan kusimpan, untuk kutunjukkan sama anakku kelak sebagai penambah motivasinya dalam menulis.

Salam,


FA Purawan

Hozzo: Ferres yang Hilang (IBG Wiraga - 2006)

Pertama-tama, gue sebel dengan buku yg over-rated, melalui reviews yg (bagi gue) menyesatkanku.

Kedua, gue lebih sebel lagi karena ini menyangkut sebuah karya Fiksi-Ilmiah! Genre yg sudah menjadi kesukaan saya semenjak baca karya Isaac Asimov sampai dengan novel-novel StarWars (gak cuma episode 1-6, loh. Ada terusannya kisah keluarga Organa-Solo, Luke-Mara Jade dll.).

Novel: Hozzo, Ferres yang Hilang, adalah sebuah 'attempt' untuk menjadi sebuah karya novel fiksi-ilmiah, dimana --excuse me-- saya anggap buku ini telah gagal mencapainya. More on this later, deh.

Pertama-tama mengenai pengarang. Saya nggak menemukan identitas pengarang I.B.G.Wiraga di dalam buku ini. Yg saya tebak sih beliau orang Bali, dari referensi tokoh asal Bali di Novel ini. Sliweran di internet mengindikasikan bahwa beliau berusia 20 tahunan, dan buku Hozzo ini adalah karya perdananya.

Kemudian mengenai genre Fiksi-ilmiah. Genre fiksi ilmiah adalah sebuah genre penulisan novel/ fiksi yg menggunakan ilmu pengetahuan sebagai dasar logika cerita, BUKAN semata novel yang menggunakan hal-hal ilmiah sebagai latar cerita. Ini beda jauh. Pada novel fiksi-ilmiah "I Robot" karya Isaac Asimov, segi "Science fiction"nya bukan ada pada sosok-sosok Robotnya, atau kecanggihan teknologi masa depannya, melainkan justru pada permainan logika "Three Laws of Robotics" yg begitu ciamik. Atau dalam seri "Foundations", Asimov secara jenius mempostulasikan sebuah ilmu yg merupakan percampuran antara matematik-psikologi-sejarah yang kemudian mempengaruhi dan meramalkan tumbuhnya suatu peradaban.

Kita banyak banget kejebak pada kesalahan ini, dimana hal-hal yg dianggap futuristik, atau canggih, atau luar angkasa, langsung dimasukkan dalam genre fiksi-ilmiah. Alih-alih Science-Fiction, sebenernya ada satu lagi genre yg lebih populer, yaitu Space-opera, alias bercerita a la opera, yg berlatar belakang 'space things'. (Emang akhirnya banyak juga yg menyama-ratakan genre ini dengan SF, padahal spiritnya sangat berbeda). Bintang di genre ini gak lain dari seri Star Wars. Kalau ku bilang, Hozzo adalah Space opera dengan sedikit detektif-detektifan. Satu cirinya adalah, plot yg ada di dalam cerita novel jenis itu sama sekali tidak melibatkan ilmu pengetahuan, melainkan plot biasa aja seperti perebutan kekuasaan, percintaan, petualangan, baik vs buruk dll.

Having said that, banyak sekali gagasan dalam Hozzo yg 'terinspirasi' dari StarWars, terutama era Episode 1 s/d 3 (Phantom Menace s/d Revenge of The Sith), misalnya inpirasi landscape planet Hexamuxes yg tampak mirip Naboo, atau kehidupan bawah airnya mirip penggambaran kaum Ganguin (yg ras-nya Jar-jar itu loh), dengan berbagai variasi. Aneka ragam ras Alien tanpa penjelasan yg logis juga tampak mengikuti pakem StarWars Ep. 1-3. Dalam hal ini harus kita bedakan dengan Ep. 4-6, dimana ras Alien yg ada di dalamnya bener-bener dideskripsikan sampai pada hal-hal antropologisnya.

Dan memang, dalam penulisan fiksi-ilmiah, ilmu antropologi cukup banyak mendapat porsi.

Sementara dalam space-opera hal itu memang gak terlalu dipedulikan. Yg diambil cuma 'eksotisme' a la fantasi angkasa luar aja sebagai latar belakang. Itu exactly yang dilakukan oleh Hozzo. It's okay. Tapi yg membuat saya gemezz, sampai sejauh ini kemampuan pengarang "fiksi-ilmiah" kita (dan seluruh perangkat produksi termasuk editor sampai penerbit) ternyata masih ketinggalan, sejaman dengan era Flash Gordon belaka. Banyak karya "fiksi-ilmiah" yg cuma terjebak dalam mencipta-ciptakan nama-nama aneh, istilah-istilah asing (tapi nggak ada dasar penalarannya), masukin pesawat ruang angkasa, planet asing, kemudian kerajaan alien yg teknologinya cuangggih (tapi apa efek teknologi tersebut pada kehidupan masyarakat? kenapa masih menggunakan pola kerajaan? Sementara kita yg teknologinya masih 'primitif' sudah mengadopsi pola pemerintahan republik? dan seterusnya, pusing juga bikin science-fiction? hehehe). Contoh lain, betapa perbedaan teknologi yg supposed to be sangat jauh antara manusia dan alien (sebutan sembarangan yg digunakan di novel ini untuk merujuk pada 'humanoid' yg bukan Homo Sapiens) ternyata tak menghasilkan perbedaan kultur sehari-hari, alien itu ternyata tetep aja nonton video, main 'games', piknik, bikin infotainment, dsb. senyum Artinya pengarang cuma memindahkan pola pikir dan setting kehidupan yg dia alami (bumi) ke dalam setting luar angkasa, itu aja. Padahal, kalau mau serius, perbedaan fisiologi tubuh aja sudah membuat sebuah perbedaan kultur yang sangat besar!

Ada juga sedikit misslook dalam penggunaan teknologi. Kaum Alien punya alat penerjemah universal yg disebut WET. Kalau pakai WET, maka sekian juta bahasa planet bisa kau mengerti, lah. Tapi kenapa dalam dialog antara anggota Hozzo (yg difasilitasi oleh WET) masih muncul kosa-kata asing tercampur dengan kosa-kata bumi? Misalnya, untuk si alien Hege, dia menyebut ayahnya dengan kata "Dher". Lalu dalam dialog dengan anak-anak bumi bisa muncul kalimat seperti ini, "Dher memanggil kita ke ruang tengah". Lho, kalau WET berfungsi baik seharusnya kalimat yg muncul adalah "Ayah memanggil kita ke ruang tengah". Atau kalau WETnya rusak, kalimatnya menjadi "Dher wozwasuhg gigrt gdtarusrge uik uik uik" senyum Itulah, keasyikan main kata-kata 'eksotis', pengarang jadi kurang teliti.

Belum kalo ngeliat ilustrasi,... masih begitu-begitu aja imajinasi illustrator terhadap hal-hal yg berbau teknologi. Mestinya illustrator SF punya background minimal menggambar teknik (gambar mesin etc). Dan itu masih belum dimiliki perangkat penerbitan kita. Dan numpang tanya, itu maksudnya gambar "kuku macan" di cover depan itu apa ya? Koq ga ketemu relevansinya di dalam cerita.

Atau gue yg expect too much dari buku Hozzo? Mungkin aja. Sebab ternyata pun, buku ini diposisikan sebagai buku fantasi anak-anak. Mungkin itulah sebabnya segi Fiksi-ilmiah sebaiknya dilupakan, kita masuk aja ke space-opera.

Setelah mengesampingkan hal-hal "fiksi-ilmiah"nya, ternyata masih ada segudang kegemesan yg terpaksa harus saya telan selama membaca buku ini. Pertama mengenai lokalisasi. Saya sempat bingung dengan pilihan lokasi Windfall (possibly di USA) sebagai titik sentral berangkatnya cerita. Ada Bali dan seorang tokoh asal Bali, tapi itupun hanya sekedar tempelan. Apa alasannya di USA? nggak jelas banget. Hal ini sempat membingungkan saya, terutama karena banyak penulisan dialog mengesankan bahwa dialog merupakan terjemahan dari bahasa inggris ke dalam bahasa Indonesia. Karena dua hal itu, saya sempat menyangka bahwa novel ini bukan karya lokal, melainkan terjemahan, hehehe.

Kemudian mengenai plot yg melantur (sebagaimana tulisan review saya ini senyum ) tanpa arahan logika yg jelas. Ada kecelakaan pesawat yg dramatis, ada musibah gedung runtuh, ada 'penculikan' sekelompok anak ke luar angkasa ke planet lain tanpa kejelasan motif dan tanpa kemungkinan kembali ke Bumi lagi. Herannya, anak-anak itu koq ngga stress sama sekali ya? Nggak logis. Peristiwa2 di dalam novel ini tidak berfungsi sebagai plot yang menggiring tokoh2nya (ataupun pembaca) mengambil keputusan-keputusan logis tertentu yang akhirnya membentuk rangkaian peristiwa (sebab-akibat) yg disebut sebagai sebuah "Kisah" atau "Cerita". Banyak peristiwa "aneh" yang dibiarkan tanpa penjelasan, sehingga terkesan sebuah peristiwa hanya hadir sebagai penambah-nambah tebal halaman belaka.

Tokoh2 di dalam novel ini diposisikan bak boneka yg kebetulan ditempatkan pada satu situasi, tapi tidak punya kekuatan untuk menentukan arah cerita. Contoh paling jelas adalah pembentukan kelompok detektif cilik multi ras (human + alien) Hozzo. Ngga ada motif yg jelas dan alasan yg masuk akal. Yg aku tangkep, anak-anak yg diculik ke luar angkasa ini iseng-iseng bikin kelompok detektif sekedar mengisi waktu karena alasan mereka disuruh quit school into the spacecraft masih belum jelas serta kebetulan ada pangeran hilang neh yuk kita selidiki sambil berdarma wisata keliling galaksi. Err,.. siapa yg bayar, neh? senyum Dan yg bikin gemes lagi, ngga ada aktivitas detektif sebagaimana dilakukan oleh, katakanlah anak-anak lima sekawan, sapta siaga, atau lain-lain. Object yg harus diselidiki ternyata 'conveniently' tergabung dalam kelompok detektif ini tanpa sengaja, alias dijeblosin gitu aja sama pengarang. Dan sebagai akibatnya kelompok itu mengalami berbagai sabotase menegangkan selama piknik. Kenapa para Galactic Mafia itu gak ngundang Bobba Fett aja sekalian buat ngehabisin pangeran yg menyamar? heheh. Even sekalian aja nyamar jadi anggota Hozzo, toh kelompok itu segitu cairnya! (sampe detik ini pun gue masih nggak punya gambaran pasti, sebenernya anggota Hozzo itu berapa orang dan siapa saja. Rasanya ada banyak nama keluar-masuk tanpa kejelasan status dan peran). Ini mestinya sih jadi spoiler, tapi God, gue sampai nggak segan mengungkapkannya sebagai akibat "capee deeh" ngebaca buku ini selama berbulan-bulan untuk dapetin data-data di atas.

So, the big story is, ayok jalan-jalan keliling galaksi menikmati fantasi luar angkasa dan ketegangan-ketegangan tak beralasan, dan mampir jadi pahlawan galaksi on the way. Sadly, plot begitu ancur pun sebenernya masih bisa menarik apabila pengarang mau kasih benang merah "reason" di dalamnya. Selipan beberapa pengetahuan ilmiah maupun 'spiritual' (sumpe, ada penjelasan karma/ reinkarnasi segala) hadir tanpa konteks yg kuat. Sayang, sebenernya.

So. 500 halaman terbuang sekedar bikin pegel tangan sedih

Review endorsement mengatakan, wah fantasinya mencengangkan, dunianya mengagumkan, tokoh2nya menarik,... well. mungkin kalau dilihat secara satu-persatu seperti itu, memang masih bisa dinikmati. Tapi bila saya mengharapkan adanya sebuah 'kisah', maka petualangan Hozzo (mencari) Ferres yang Hilang ini tidak menceritakan apa-apa.

Sigh,... another forest being wasted to nothing? hehehe,... ya gak gitu lah. Tetep harus ada apresiasi terhadap gagasan dan waktu yang sudah dituangkan oleh pengarang. Faktanya, pengarang Fiksi-ilmiah (yg pseudo sekalipun apalagi yg bener!) masih sangat sedikit. Paling besar yg kita punya adalah Om Djokolelono, setelah itu belum ada lagi. Moga-moga IBG Wiraga dan yg lainnya segera meningkatkan wawasan fiksi-ilmiahnya dan menyusul dengan karya-karya yg lebih baik.

Salam,

FA Purawan