Jumat, 22 Februari 2008

REINHART: Titisan Lima Ksatria Agung Eirounos (Hendra Surya - 2007)

Sekali lagi, novel fiksi-fantasi Indonesia, yang bikin aku tergelitik buat komentar setelah Hozzo yang bikin aku kenalan sama pengarangnya (walaupun akhir-akhir ini beliau agak 'dingin', mungkin masih sakit hati sama ulasanku yang dianggapnya terlalu 'pedes',... hehehe. Gak papa, itulah bukti bahwa aku memang cinta sci-fi/ fantasy, dan nggak mau main-main sama sci-fi/ fantasy!).

Saya lihat buku ini terpajang di salah satu toko buku sepi di Kalibata Mall. Rasanya belum pernah menemuinya di Gramedia. Entah karena memang udah nggak masuk masa pajang/ edar di toko buku utama Indonesia itu, atau memang oleh penerbitnya ngga dimasukkan ke sana. Dengan desain sampul bergambar "manga" style lima orang remaja berkostum gak jelas, saya sempat terkecoh mengiranya sebagai salah satu buku fiksi-islami a la Mizan, terutama karena ada tatto bintang dan bulan sabit itu.

(kupikir akan ada hubungan tatto 'islami' dengan plot cerita, ternyata gak terlalu substansial. Keseluruhan novel ini sama sekali bukan novel bergenre Islami).

Membuka lembaran pertama dan seterusnya, kali ini sudah dengan sikap berjaga-jaga, expect the worst mengingat perkembangan penulisan sci-fi lokal memang masih belum banyak kemajuan setelah lepas era Djokolelono. Apalagi terus terang saja desain sampulnya "enggak banget" buat saya.

Dan ekspektasi itu cukup terbukti, sebetulnya. Bisa dibilang buku ini jauh berada di bawah standar saya. Tapi ada beberapa aspek yang membuat buku ini menjadi 'layak' untuk saya komentarin. Hehehe,.. bukannya komentar gue berharga tinggi kayak komentar dewa, tapi komentar gue memang senantiasa gue niatkan untuk mengembangkan penulisan genre sci-fi/ fantasy di Indonesia, sehingga apapun yang bisa kita manfaatkan untuk mengembangkan diri, rasanya layak untuk kita ulas. Dan buku ini memuat cukup banyak contoh bahwa tidak sedikit hal yang bisa diperbaiki atau dipelajari guna meningkatkan kualitas kepengarangan sci-fi/ fantasy di tanah air.

Dan kalaupun komentar ini jadi pedes,.. mohon jangan dilupakan bahwa memang saya cukup mudah 'gemes' terhadap sesuatu yg di mata saya kurang 'pas' dan seharusnya dapat di 'pas'kan. hehehe,... Tapi sekali lagi, gemes itu tandanya sayang (apa siiih).

Pertama-tama, mungkin dari hal dasar yang amat mendasar. Kalo mo bikin cerita sci-fi/ fantasy di jaman sekarang ini, apa angle yang sebaiknya kita gunakan? Apa style yang bisa kita pilih?

Koq nanya begitu? Jujur aja, saya masih terheran-heran dengan wawasan pengarang kita, atau mungkin juga wawasan penerbit sekaligus wawasan para pembaca kita. di jaman milenium ini, generasi milenium Indonesia sudah terpapar dengan sedemikian gencar film2/ buku fiksi ilmiah dengan berbagai gaya 'story telling'. Untuk belajar menulis kisah fiksi ilmiah, tinggal belajar melalui membaca buku-buku fiksi ilmiah atau fantasi yang patut dijadikan referensi. Memang buku2 itu jarang di jual di tanah air, plus jarang diterjemahkan. Tapi rasanya kemampuan kita membaca literatur berbahasa Inggris di jaman sekarang udah cukup memadai, lah. Dan buku-buku itu sebagian masih bisa kita dapatkan di Internet dalam bentuk e-book. Jadi jangan bilang kalau ga ada akses lagih!

Dari internet kita juga bisa bergabung dengan milis atau forum penggemar sci-fi, yang tentunya bisa memperkaya wawasan kita dalam menulis sci-fi atau fantasy (ini dua genre yg unik, sebab seutuhnya pengarang yang ciptakan dunia/ universe di dalamnya!). Atau at least, kita bisa mengobservasi bagaimana pengetahuan para fans karya-karya sci-fi ini terhadap isi-perut karya-karya tersebut, contohnya sampai ada perkumpulan pengguna bahasa Klingon segala!

Tapi kenapa, oh kenapa, sekalinya kita bikin novel sci-fi, maka yg muncul gaya-gaya Flash Gordon,... melulu (BTW Flash Gordon itu kan buatan tahun enam puluhan?).

Novel Reinhart, dikarang oleh Hendra Surya, seorang Konselor, Marketing Manager & HRD & PR (bukan pengalaman yg sedikit, itu!), yg sebelumnya sudah mengarang sembilan buku bertemakan psikologi dan pendidikan, tapi novel sci-finya jatoh-jatohnya ngga jauh dari nuansa flash gordon tahun enam puluhan. Dan sebagai sebuah sci-fi, maka karya ini sayangnya terlalu miskin riset dan miskin wawasan. Saya sedikit kecewa, walaupun harus manggut-manggut memaklumi bahwa kecenderung itu sangat lazim di dunia penulisan Sci-Fi kita. Boleh dibilang, hingar-bingar literasi sci-fi/ fantasy di luar negeri seolah ga berdampak pada kita.

OK, let's see the story. Kisah novel Reinhart: Titisan Lima Ksatria Agung Eirounos ini basicallly adalah sebuah space opera yang mengetengahkan kejagoan lima remaja berusia 15 tahun, yang somehow merupakan keturunan dari Mahapatih Gajah Mada, yang mendapatkan tugas untuk membasmi kejahatan di planet jauh, Acrotus yang (masih terletak dalam galaksi Bima Sakti, tapi oleh pengarang dikesankan berada di sebuah galaksi tetangga kita). Dan ternyata mereka adalah "Titisan" berdarah murni dari Lima Ksatria Agung Eirounos, the Legendary Heroes di planet Acrotus. Seterusnya cerita berlangsung linear mulai dari trip ke planet, perang lawan musuh, menang, dan balik lagi.

Cara menjalin plot, masih menunjukkan kelemahan. Kemungkinan pak Hendra Surya sudah berpengalaman dalam membuat buku non-fiksi, tapi masih belum begitu fasih bicara karya fiksi. Sebagian besar pengadeganan berlangsung secara deskripsi. Terasa kekurangan aksi, dialog, atau narasi sebagaimana novel. Plot juga luancar-luancar aja maju tanpa konflik yang berarti, dan terkesan spirit novel ini cuma sekedar sebagai pemuas ego khayali seorang bocah remaja SMP.

Sebenernya oke-oke aja. Waktu SMP aku juga punya khayalan sebagai jagoan tak terkalahkan senyum So, part itu sebenernya bisa menjadi kekuatan novel ini. Hanya saja, kekuatan tanpa pengolahan yang tepat tidak akan menghasilkan materi berkualitas.

Kelemahan terbesar novel ini, bagi saya terletak pada logika yang kedodoran serta kurangnya riset untuk memahami 'dunia' yang diciptakan dalam novel, serta kurang concern-nya pengarang terhadap kekuatan bahasa dialog dalam penulisan novel.

Logika, saya sebut kedodoran. Pertama mengenai penokohan lima remaja SMP berusia 15 tahun, yang dalam halaman-halaman pertama saja sudah memunculkan inkonsistensi yang membingungkan. Mulai dari sosok utama (Reinhart) seorang remaja 15 tahun yang digambarkan memiliki tinggi badan 170-an (cm,... emang sih anak sekarang bodynya gede-gede, tapi kalo elo tarok seorang anak bertinggi 170 cm di SMP mana aja di jakarta, guaranteed, elo akan dapetin anak 'jangkung' ini sebagai seorang remaja minder, ketinggian, bo!), ganteng, punya pandangan tajam, pemikir, cuman agak pendiam tapi bijaksana (hal 2); Dari penjabaran singkat itu saja sudah kelihatan kontradiksinya. Remaja SMP umumnya belum terbentuk karakter se'dalem' itu. Dan di sekujur cerita, tingkah laku dan pemikiran bocah 15 tahunan ini digambarkan jauh dari usianya, sehingga justru menjadi unbelievable. Buat saya sosok rekaan pengarang ini akan jauh lebih masuk akal jika diceritakan berusia antara 17 atau 18 tahun.

(Tunggu, setelah selesai membaca novel, saya makin kuat menduga bahwa para tokoh sesungguhnya didesain berusia 17-18 tahun, tapi kemudian diturunkan oleh pengarang, mungkin dengan pertimbangan target-market yang ingin dicapai oleh novel ini).

Sederet dodor logika lainnya silih berganti menghancurkan kenikmatan membaca dan menggoyahkan sendi-sendi 'believability' novel ini. Mulai dari pemilihan nama tokoh yang bikin saya ingin ketawa: Reinhart, Benhart, Leinhart, Kenhart, daan,.. Jesica (apa-apaan ini? Keluarga 'Hart" dari Swiss?) dan kenyataan bahwa mereka bukannya sederet sodara kandung melainkan sodara sepupu, juga membuat pembaca bingung memikirkan kenapa ortu-ortu mereka sampai kompakan bikin nama-nama konyol untuk anaknya. Lebih konyol lagi ketika saya tahu nama kakek mereka yang misterius tinggal di atas gunung, yaitu Gadjah Biru (GEDUBRAK DOT COM). Soal ancur-ancuran bikin nama, coba simak nama-nama ini: Tequilla, Trulla, Drilla, Karlla, Zarlla, Firlla, Sarlla, Drulla, Birlla, ini bukan nama sembilan bersaudara kurcaci pemain sirkus Acrotus senyum melainkan sembilan anggota pasukan pengawal raja pilihan yang entah kenapa harus dibikinin nama seragam seolah-olah mereka baru keluar dari ruangan kloning.

Mungkin saja buku ini memang ditujukan buat dibaca anak-anak SMP (Kenapa harus sesederhana itu? Apakah memang terpatri paradigma bahwa sci-fi/ fantasy hanyalah konsumsi remaja? Memangnya Tolkien bikin LOTR untuk elementary and middle school of London?). Tapi saya kira bahkan anak SMP sekalipun harus sudah kita bina dengan material yang logis dan koheren.

Kemudian pengetahuan si kakek akan arti tanda lahir (tanda tatto misterius yang muncul di kulit para jagoan), tidak jelas si kakek tahu dari mana. Cuma sekedar bahwa "cucu-cucu gue itu spesial sebab turunan dari Gadjah Mada, yang punya darah satria". Kakek seperti tahu beberapa hal luar biasa, tapi sumber pengetahuannya gak jelas, bahkan ketika tamu-tamu dari planet, yg membawa informasi detail, hadir di Bumi, si kakek juga nggak menunjukkan bahwa ia pernah berinteraksi sebelumnya etc. Jadi kesan nya, si kakek itu tahu 'mak-jleg' begitu aja! (Hasil Meditasi?) udah gitu perannya ya cuma selesai di situ (Doh!). FYI, ternyata tatto unik itu merupakan hasil pancaran elektromagntis yang menembus galaksi dan beresonansi dengan DNA yang cocok, akan menimbulkan ruam kulit berbentuk bulan sabit dan bintang, yang sering terasa panas. Kalau sampai lima belas tahun menderita kelainan seperti itu para tokoh belum juga ke dokter, jangan tanya sama saya.

Lantas pula mengenai konsep "titisan darah murni",... ini apaaa sih?? Wong anak-anak itu sama sekali gak ada hubungan darah dengan Lima Ksatria Agung Eirounos 150 tahun yg lalu, unless Gadjah Mada sebagai kakek moyang definitif anak-anak itu sempat melancong ke Acrotus dan beranak pinak di sana. Oh iya mengenai keturunan Gadjah Mada sampai ke kakek Gadjah Biru dan lima sodara sepupu Reinhart itu, gimana yah? Soalnya berdasarkan referensi novel lain, Mahapatih Gajah Mada dinyatakan tidak kawin sebagai konsekuensi mengucapken sumpah Palapa! Hayoo mana yang bener?

Sebenernya masih banyak logika kedodoran menghiasi sekujur novel. Tapi kalo aku ceritain semua, jadinya malah gak napsuin, hehehe. Yg jelas, logika kedodoran juga disebabkan karena sang pengarang kurang riset untuk membuat dunianya lebih masuk akal.

Penerbangan antar planet, mungkin udah menjadi impian umat manusia sejak dulu. Dan itu juga yang mendasari munculnya genre-genre space-novel. Oleh karenanya dalam dunia penulisan sci-fi, konsep-konsep 'interstellar travel' ini seolah sudah harus didiskusikan (dimatangkan) lebih dulu, sebelum pengarang mulai bikin cerita. Kenapa? Sebab pada akhirnya 'moda transportasi' akan menjadi ruh seluruh kebudayaan yang diciptakan dalam universe sci-fi/ fantasy tersebut.

Hendra Surya, seperti juga banyak pengarang "Sci-fi" lokal, terjebak pada paradigma 'asal tempel' dalam mendesain kendaraan ruang angkasa, maupun kendaraan terbang intra atmosfer semacam "flying skateboard" (kadang disebut sebagai "skate-tempur" oleh pengarang). Ngga ada dasar teorinya, gitu. Ini combustion engine, atau magic engine? Juga ada hibrida antara Teknologi (sabuk Terranos) berinteraksi dengan spiritual (kekuatan Aura), secara begitu aja tanpa pertimbangan matang (atau penjelasan yang setidaknya believable). Bener-bener ala Dongeng majalah Bobo.

Kecenderungan untuk membangun universe cerita secara kolase (potong tempel) sangat tampak di sini, dan celakanya karena tidak ditunjang riset, hasilnya adalah "gigantic logical mess", kekacauan logika. Contohnya antara lain planet Acrotus yang terdiri atas kerajaan-kerajaan, ngga berhasil terjelaskan bagaimana kehidupan kerajaan itu bisa menghasilkan kendaraan-kendaraan "canggih" sekaligus sudah tercipta "Space-Fare" culture (ngga merasa asing dengan penerbangan antar planet, walaupun tampaknya pesawat luar angkasa bukan merupakan benda yang sering diparkir di alun-alun kerajaan), ada mobil (walau deskripsi bentuknya nggak dijelaskan), tapi penggambaran alam maupun landscapenya terasa nyomot dari LOTR (Lord of The Rings), yang notabene menggunakan transportasi kuda atau jalan kaki. (Dalam novel, bahkan sempat muncul pula komentar, "Wah, persis seperti di film Lord of The Rings!" nangis, sedih banget

Harusnya ada sistem ekonomi yang sesuai nalar, untuk dapat terciptanya kehidupan ber-antariksa. Mungkinkah masyarakat agragris bikin pesawat luar angkasa? For what?? Sistem masyarakat agragris adalah sustainable income, dia nggak perlu ekspansi untuk mempertahankan hidup, beda dengan masyarakat nomaden. That's why suku-suku Mongol dulu berekspansi ke wilayah lain. Logika yg sama juga dapat diterapkan pada kehidupan antar planet. Kenapa menciptakan pesawat luar angkasa? Karena ada kebutuhan untuk menjajah planet lain, merebut sumber dayanya. Kemudian seharusnya ada sistem bahan bakar yang menggerakkan perekonomian, menggerakkan perang, memotivasi konstelasi politik planet. Mirip efek minyak di bumi, lah. Harusnya ada logistik, rantai makanan/ support dalam sebuah pertempuran, harusnya sudah bertaraf perang modern, bukannya barisan tentara a-la LOTR yang berbondong-bondong keluar dari sarang. Artinya, bikin sci-fi pun harus memperhitungkan berbagai cabang ilmu.

Well, referensi LOTR memang tampak di sana-sini, baik berupa landscape, bangunan maupun suasana peperangannya (Raja-raja mengungsikan wanita dan anak-anak ke dalam Gua??? Itu mah yang bakal pertama kali runtuh kalo di rudal!!). Mendingan diungsiin pakai pesawat2 yang dimiliki aja. Lagian logika perang dimana musuh membantai seluruh penduduk pria-wanita-tua-muda-miskin-kaya sudah nggak masuk akal. Kalo memang mau memusnahkan seluruh penduduk, kan tinggal dinuklir aja 'tak iya gak usah repot-repot? senang sekali

Yang lucu, penggambaran istana-istana yang mengambil konsep benteng berparit-parit pertahanan (berarti asumsinya untuk peperangan infantry dong), tapi pas terjadi pertempuran, pihak musuh menyerbu naik pesawat! Apa gunanya parit buat pertahanan, kalo gitu??? Itu satu contoh yang jelas bahwa pengarang semata-mata memusatkan daya khayalnya berdasarkan setting visualisasi LOTR, dan melupakan adanya ILMU PERANG, atau ilmu warfare yang sesungguhnya bisa dipelajari kalau mau, yang sangat berkaitan dengan perlengkapan & strategi perang untuk membuat ceritanya lebih believable.

Secara keseluruhan terdapat kesan sebuah hibrida antara teknologi dan mistik di dalam universe novel ini. Sempat tersebut juga, adanya penyatuan antara energi Aura dengan teknologi, yang akan membuat kekuatan energi aura menjadi berlipat-lipat. Sayangnya, teknologi hebat itu cuma berhenti di situ. Padahal kalau mau dibayangkan betapa besarnya dampak perkawinan antara energi prana manusia dengan teknologi, tentu mempengaruhi suatu kultur secara signifikan. Akan tersusun suatu dunia yang sama sekali berbeda dengan Bumi, dan itu akan menjadi suatu 'keajaiban' sci-fi. Tapi hibrida tanpa juntrungan itu memang banyak bertebaran. Salah satu contoh pertempuran yang menggunakan pesawat tempur dan senjata laser, tapi babonnya (The Boss, Megoliath, yang digambarkan sekedar Raja jahat dan kejam belaka) malah naik burung raksasa berludah api, dan menggunakan ajian ala Kameha-meha (ref. Dragon Ball) yang dia dapat berkat menyerap energi batu berapi. Terus terang pikiran saya jadi kacau, mencampur teknologi dengan pra-teknologi. Masyarakat Acrotus ini menggunakan senjata laser, tapi sama sekali ngga kenal perlengkapan komunikasi jarak jauh macam HP (atau sejenisnya lah). Ada peralatan radar, tapi ngga ada citra satelit yang bisa memantau pergerakan pasukan dalam skala ratus-ribu orang (masak diserang 250 ribu musuh dalam formasi barisan, aparat Kerajaan termasuk jendral-jendralnya sampe terkaget-kaget,.."HAA? ADA 250 RIBU PASUKAN MEYERANG KITA?", lha kemaren-kemaren kemana aja?)

Sumpe, adegan kaget-kagetannya bikin gue asli ngakak.

Apalagi sebagian besar permasalahan di dunia Acrotus diselesaikan dengan daya analisa dan strategi bocah-bocah 15 tahun, di depan Raja-Raja dan Jendral yang tak mampu menjalankan peran kemiliteran barang sedikit acan. Walau demikian, beberapa strategi action yang dijalankan oleh para jagoan, harus diakui cukup orisinal dan keren. Tapi ngga cukup believable jika dimasukkan dalam konteks situasi perang yang mengandung strategi lebih kompleks, gak cuma gasak musuh kiri-kanan aja.

Kemudian betapa seringnya pengarang meng-glorify kelima jagoan itu dengan mengulang-ulang adegan sembah-menyembah dari berbagai raja dan pasukan, mengingatkan pada adegan monumental LOTR. Tapi karena overdone, kesannya jadi cuma pemuas ego anak SMP belaka.

Sekarang mengenai dialog. Just one word: "Corny". Serba nggak wajar. Gaya bicara para tokoh remaja sering kali ketuaan, dimana bertaburan sebutan "Tuan anu, tuan itu," yang sepantasnya diucapkan orang dewasa. Kalau saja mereka memanggil dengan sebutan 'Paman' bagi tokoh-tokoh yg usianya lebih tua, akan terasa lebih natural. Berbagai keputusan, reaksi, maupun ekspresi juga bertentangan dengan daya ekspresi anak 15 tahunan. Sedikit tertolong kalo mereka mengobrol antar sesamanya dengan menggunakan dialek Lo Gue yang ceria, tapi somehow saya merasa pengarang kurang membuat dialog itu terasa luwes dan berkarakter. Content dialognya pun masih terkesan tawar, kurang dijiwai oleh karakter atau kurang mengandung ekspresi kondisi-kondisi emosi sebagaimana nuansa percakapan dalam sebuah novel. Pokoke kalau saya kasih nilai buat dialog, saya akan kasih angka 4 dari 10.

Dan komentar terakhir, adalah menyangkut positioning novel ini, apakah memang untuk anak-anak SMP, atau orang-orang dewasa dalam artian pembaca umum. Jika ditujukan untuk anak-anak SMP atau lebih muda, sebenernya saya agak kurang setuju mengingat angle penceritaan yang tidak memihak pada kebutuhan tumbuh kembang anak dalam rentang usia tersebut. Saya akan cukup keras mengkritik hal ini (kayak yg sebelumnya nggak ngritik keras aje nich,.. hehe), bahwa angle penceritaan dalam hal ini terlalu sadis untuk ukuran pembaca SMP. Konkritnya, alih-alih tokoh utama merupakan pahlawan, pengarang terpeleset untuk menggambarkan kelima remaja ini sebagai remaja-remaja haus darah yang dengan kesaktian mereka telah melakukan banyak pembunuhan dalam kategori "no remorse" alias tanpa belas kasihan.

Emang sih konteksnya dalam peperangan. Tapi bayangin aja bahwa anak-anak ini, begitu keluar kesaktiannya, telah membunuh dengan menggunakan pedang yang disabetkan untuk memutus anggota badan lawan (termasuk kepala, kalo saya gak salah inget) menikam, menembak mata, membinasakan lebih kurang seratus ribuan tentara musuh, bahkan membantai musuh yang terperangkap tanpa menyisakan satu nyawapun, di mana hal ini digambarkan sendiri oleh pengarang dengan kalimat semacam, "ruangan bersimbah darah dan mayat".

Kalo kita balik pada realitas, maka satu nyawapun yang kita regang dengan tangan kita, akan membuat bulu kuduk merinding dan isi perut teraduk. Membunuh, dalam kondisi apapun, is no picnic. Dan anak-anak ini melakukannya tanpa penyesalan, dengan kenikmatan seorang jagoan.

Kalau saya ditanya, maka saya akan bilang itu bukan pendidikan, dan juga bukan entertainment, buat segmen pembaca remaja muda. Seharusnya ada etika, bahwa pembunuhan oleh tokoh anak-anak, biasanya dilakukan tanpa sengaja atau secara tak langsung (biasanya si jahat mati karena kesalahannya sendiri).

Akan tetapi nggak terlalu masalah bila segmennya adalah pembaca dewasa, dengan tokoh-tokoh yang lebih dewasa (17-18 tahun, masih okey lah). Hanya saja, logika cerita mesti juga diperbaiki, dong.

Satu referensi 17 tahun juga terlihat pada adegan pertemuan Putri Shakilla, putri raja, dengan Reinhart si tokoh utama di akhir cerita. Tanpa malu-malu sang putri yang terpikat pada kegantengan Reinhart pada kesempatan pertama, langsung menyampaikan ciuman mesra dan keduanya terlibat asmara. Segitu gampangnya. Kalau ukurannya 17 tahun, tingkah itu cukup wajar. Tapi kalo ukurannya usia 14 tahun, this princess is just a plain slut!

Begitulah komentar saya. Puasss,..puasss,...?? Setelah baca novel ini, saya jadi sadar bahwa yang awalnya saya sebut novel fiksi si IBG Wiraga (Hozzo) sebagai karya sci-fi yang 'gagal', eh ga taunya masih jauh lebih baik daripada novel ini. Namun tak kurang saya sampaikan penghargaan buat pak Hendra Surya, selamat datang di sci-fi/ fantasy Indonesia! Next time better, ya!

Salam,

FA Purawan

5 komentar:

Danny mengatakan...

Habis baca lagi resensi Om Pur buat buku satu ini, kayanya masalah logikanya banyak banget ya? Aku sering ngeliat novel ini di toko buku, tapi ga pernah sempet beli. Untung juga kayanya aku ga beli ya, bisa kena "siksaan batin" aku kalo ngebaca novel yang masalah logikanya ancur berantakan gini. Hehehehe.

Mboed mengatakan...

duuh mas jenengan bikin saya ngakak abis...tapi bener logis yg jenengan bilang. barangkali penerbitnya plus editor terlalu merinding meliuhat sang pengarang kali ya...buktinya banyak cacat yg bisa disampaikan dengan PUAS...PUASsss oleh om pur. weleh-weleh dah lama saya gak baca humor sampe ngakak begini. tq om pur. oya kayaknya saya kan punya cerita fiksi-fantasy juga, mesti laporan dulu sama oom nih sebelum bikin sakit perut pembacanya. gimana?

FA Purawan mengatakan...

Boleh aja, mas mBoed:)

Kirim aja naskahnya (sebagian juga boleh) ke email. Apa yg bisa aku bantu, aku bantu deh,...

Salam,

FA Purawan

Nindya Maharani mengatakan...

Senior Purawann!!! *maaf kalo saya manggilnya seperti itu..*
boleh minta kritik cerita buatan saya enggak???
yang laen kalo mau boleh ngasih juga kok!!! ^^

Anonim mengatakan...

Om pur boleh minta saran buat cerita saya gak