Design sampul : E. Bendung W.
Sejak menyelesaikan review terakhirku sebelum yang ini, aku sudah menghabiskan cukup banyak waktu untuk perawatan intensif di Rumah Sakit Spesialis Korban Fikfan. Akhirnya aku dinyatakan cukup sehat untuk kembali membuat ulasan. Walau tentu saja bapak dan ibu dokter yang budiman/budiwoman di sana berpesan untuk tidak bikin ripiu yang berat-berat dulu. Karena itulah aku memilih sebuah buku yang kelihatannya bukan jenis fikfan uber-njelimet. Judulnya? Eurgava: Epos Awal Dunia MakEro... eh, Sudarot.
Belum apa-apa aku sudah ketularan sifat salah satu karakter di novel ini, yang punya hobi asal nyebut nama. Duh. Tapi soal itu disimpan dulu deh untuk nanti.
Seperti biasa, mari kita mulai dari cover. Gambar dua orang tokoh utama cerita, satu bawa pedang, satu bawa panah. Pewarnaan keren, layout menarik. Usut punya usut, yan g ngerjain ternyata E. Bendung W., sama dengan yang ngerjain ilustrasi untuk Pinissi: Hikayat Orang-Orang Setinggi Lutut oleh Mama Piyo. Buat Bang Bendung, keren! Merah, kuning, putih bercampur jadi kesatuan yang nonjok tapi ga bikin sakit mata. Jujur aku ngambil buku ini salah satunya karena tertarik sama cover.
Balik ke cover belakang, wele, ga ada sinopsis. Ga terlalu ngaruh buat aku sih karena cover depannya sudah win banget. Tapi apa ini? *gasp!* Endorsemen!
Gyaaaaa~! Tidaaaak~!
Aku punya alasan kurang suka sama makhluk satu ini. Endorsemen penting buat marketing, tapi kalau wujudnya berupa janji-janji surga yang kayaknya too good to be true, pastilah aku kepancing ngenye'. Mari kita lihat kutipan sebagiannya di bawah ini...
"...Dunia Sudarot sangat imajinatif dan detail... [penulis] memberikan cerita fantasi yang hidup."
"...petualangan keren untuk remaja!"
"...Ramuan imajinasinya, menjadikan kisah dalam novel ini terasa benar-benar terjadi. Bahasanya mengalir, karakteristik tokoh dan setting begitu kuat, mencitrakan penulis yang begitu lekat akan pemahaman emosi, sosial, analitik, imajinatif yang dilandasi intelektual (ISEAK).
Heh.
Endorsemen pertama dan kedua, lumayan. Wajar dan nggak terlalu bawa-bawa angin surga, walau kedengerannya biasa banget. Udah berapa novel sih yang majang kata "penulis remaja," "detail," dan "imajinasi" buat ngedongkrak nilai jual fikfan?
Endorsemen yang ketiga, waduh. No very deh. Ngerti, kita perlu jualan. Namun, jika kita memang ingin membantu penulis-penulis muda, caranya bukan dengan membebani buku mereka dengan endorsemen yang dibumbui istilah canggih tapi sama sekali ngga membantu mempromosikan isinya. Maksudku, memangnya remaja bakalan beli buku ini karena buku ini mengandung ISEAK? Boro-boro. Peduli ISEAK itu apaan aja belum tentu.
Sekali lagi, para endorser, pleeeeeease kalau kasih endorsemen ke buku bikinlah yang bunyinya tulus dan nggak muluk. (Did you even read the book, BTW?) Biarkanlah urusan kecap-mengecap tetap menjadi kerjaan para politikus.
Baik, mari kita mulai dari halaman pertama. Kata pengantar... dan pengenalan ras serta kota. Hm? Apaan nih? Kebanyakan novel fantasi yang aku tahu glosariumnya di belakang. Tapi ini kenapa di depan ya? Aku jadi kepikiran bahwa salah satu masalah terbesar dalam membuat dunia fiksi fantasi adalah menciptakan dunia yang bisa menarik pembacanya ke dalam buku. Dan deskripsi, tentunya, merupakan salah satu unsur yang potensial dimainkan untuk membuat dunia fiksi fantasi terasa 'hidup'.
Namun, sudara-sudari, untuk bermain deskripsi kita memerlukan kiat dan siasat. salah satu masalah yang sering kualami, deskripsi seringkali memutus aliran cerita. Jadi aku berusaha mencari teknik yang tepat untuk mengintegrasi deskripsi biar cerita gag terasa kayak film yang tiba-tiba di-pause agar penulis bisa menggambarkan apa aja yang ada di layar.
Dan rupa-rupanya pengarang Eurgava punya trik lain untuk mengakali masalah ini: kasih deskripsi dunianya di depan dulu, biar pembaca punya bayangan akan dunianya sebelum mereka terjun ke setting. Jadi nanti di dalam tinggal ngasih cerita, nggak usah musingin deskripsi lagi.
Boleh juga, tapi barangkali nggak akan berhasil untuk semua orang. Problemnya gini: Kalau aku baca cerita, aku peduli sama ceritanya pertama-tama. Nama-nama tempat, ras, dan deskripsi mereka cuma sekumpulan kata-kata dengan susunan huruf aneh sampai aku merasa masuk ke dalam dunia cerita. Mengapa aku harus peduli apa itu Kota G'ufaot, ras Rihd, dan lain-lain, bagaimana bentuknya, bagaimana rupa bangunan dan penduduknya, jika aku belum tahu apa perannya di dalam cerita?
Cerita fiksi, sudara-sudari, bukanlah naskah undang-undang dimana semua istilah harus ditaruh di pasal satu dan kalau anda skip dan kemudian nggak ngerti pasal berikutnya berarti salah anda selaku pembaca. Mengapa? Undang-undang bisa dipaksakan, sedangkan kenikmatan membaca tidak. Dan sementara separuh kenikmatan membaca bergantung pada selera dan cara berpikir si pembaca, kukira adil jika kukatakan bahwa separuhnya lagi bergantung pada teknik si penulis untuk membuat naskahnya bisa dinikmati.
Tapi di sisi lain, kita juga bisa memakai penjelasan di depan itu dengan cara lain. Lewatin aja dan langsung baca cerita. Begitu ketemu istilah aneh, balik lagi ke halaman depan untuk baca deskripsinya: "Oh, jadi yang namanya Kota Tura itu gini loh."
Ujung-ujungnya tetep, aku harus berhenti baca cerita demi balik halaman dan ngelihat deskripsi. Dan kalau udah gini apa bedanya dengan deskripsi mentah, selain bahwa teknik ini lebih bikin capek karena harus balik-balik halaman dulu?
Kesimpulan? Marilah kita semua berusaha untuk terus mengasah cara bercerita. Dan berkaitan dengan ini aku ingin menyinggung soal bahasa. Secara keseluruhan, buku ini lebih bisa dibaca daripada... uh, a certain Epic Fail, tapi kadang-kadang aku menemukan kalimat semacam...
Rupanya telah terjadi percekcokan di antara keduanya yang berakhir dengan leher Jouhdin dicekek...
atau,
Mulut Dohika sudah siap-siap mau nyrocos lagi...
Apakah kita tidak boleh memakai kata yang tidak baku? Boleh saja, tapi ajukan pertanyaan ini sebelumnya:
Pertama, apakah ketidakbakuan itu diperlukan untuk menyampaikan maksud tertentu yang tidak mungkin disampaikan dengan cara baku, atau murni khilaf binti kepeleset?
Kedua, Apakah kalimat/kata tidak baku itu merusak suasana/setting cerita, atau justru menarik pembaca ke dalam dunia cerita?
Contoh penggunaan istilah tidak baku ini barangkali bisa kita ambil dari penggunaan istilah tiarawan/tiarawati dalam buku Xar&Vichattan: Takhta Cahaya oleh Bonmedo Tambunan. Kedua istilah itu jelas nggak ada dalam bahasa Indonesia, tapi cocok dipakai karena tiarawan/ tiarawati di dalam cerita tersebut rupanya adalah suatu kelompok tersendiri yang berbeda dari biarawan/ biarawati.
Berikut, mari kita melihat ceritanya sendiri. Pada dasarnya buku ini adalah bagian pertama dari sebuah Tetralogi. Yang bisa diterjemahkan sebagai: "Cerita ini belom kelar, jadi kalau ada karakter yang kurang dikembangkan, plot yang putus, dan hal-hal yang belum dijelaskan, jangan dikritik dulu, Mbak/ Bang. Tunggu sekuelnya, yang (bisa) keluar nanti (dan bisa juga nggak)."
Entah tren atau gimana, fiksi fantasi Indonesia punya kecenderungan menyajikan cerita nggak selesai yang (katanya) akan diselesaikan di sekuelnya. Entah sudah berapa kali aku denger alasan kayak gini, dan sekuel yang dijanjikan itu pun nggak terbit-terbit karena berbagai alasan. Nggak sepenuhnya salah pengarang, memang, karena dunia penerbitan di Indonesia memang punya alergi menerbitkan buku tebal. Jadilah satu cerita utuh dicacah jadi berlogi-logi.
Untuk satu hal ini nggak adil kalau aku ngenye' lebih jauh, jadi marilah kira berdoa sesuai dengan agama dan agami masing-masing supaya tiga buku lain dari Tetralogi Eurgava tidak menjadi janji semata.
Lalu? Apa yang sudah tersaji pada seperempat bagian tetralogi ini? Aku menangkap dua story arc besar: pertama adalah petualangan Aburo Eurgava Sang Pengawal, bersama para ksatria dari kesatuan White Legions, untuk menangkap seorang pemberontak di Kota G'Ufaot. Dan, kedua, ketika si pemberontak sudah tertangkap, Aburo dan kawan-kawan dikirim ke Kota Tura untuk menyelidiki serangkaian penyerangan terhadap Kelompok Penyihir Sorkrus. Dua cerita besar ini (kelihatannya) nggak berkaitan kecuali oleh kehadiran satu tokoh dari story arc 1 yang bergabung di story arc 2, dan diakhiri dengan ending yang ketebak dari 4/5 bagian cerita.
Singkatnya: Lurus. Plot cuma menceritakan tokoh ini kesini, melakukan ini, berantem dengan si A, si B, si C memakai pedang dan panah dan sihir dengan mantra begini dan begini, sampai akhirnya terjadi ini. Buku-buku ini bener-bener menerapkan rumus standar yang biasa dipakai di media-media fiksi fantasi.
Nggak hanya secara garis besar. Kalau kita lihat satu-persatu, bahkan unsur-unsur cerita juga pake rumus standar ini. Tokoh utama, misalnya, adalah orang yang bermasa lalu agak misterius, chosen one yang punya tanda di badannya. Dan sihir, walaupun ada bermacam-macam, pada intinya cuma sesuatu yang dikeluarkan dengan mengucapkan mantra-mantra aneh. Padahal, untuk menghidupkan suatu novel fantasi, pengarang perlu lebih dari sekedar glosarium penuh kata-kata asing yang susah dieja.
Satu hal yang bikin bingung, Aburo Eurgava si tokoh utama ini digambarkan jauh lebih jago dan kuat dibanding yang lain di dalam tiap pertempuran. Demikiannya kuat sampai ada plot device di dalam cerita ini yang dipakai beberapa kali, dimana para Ksatria White Legions harus melakukan sesuatu, terus gagal, dan Aburo Eurgava tampil sebagai dewa penyelamat.
Lho, apa salahnya dia kuat kalau dia tokoh utama? Nggak salah, cuma bikin bingung karena sebagai kontrasnya para Ksatria White Legion, terutama Dohika, digambarkan terlibat selalu terlibat dalam pertengkaran-pertengkaran anak kecil, konyol, sok tahu, dan suka salah sebut nama.
Loh, apa salahnya (lagi)? Nggak salah (lagi), tapi bikin aku bertanya-tanya bagaimana Dohika bisa masuk White Legions yang (katanya) elit itu, dan mengapa, kalau Aburo lebih kompeten, bukan dia yang direkrut ke dalam White Legions? Mengapa statusnya dia cuma Sang Pengawal, dalam arti, cuma jadi pengawal Dohika? (Dan elit banget Dohika, baru prajurit aja bisa punya pengawal. Gimana kalau udah Jenderal?)
Jangan bilang pliss kalau pertanyaan ini akan dijawab di sekuelnya...
Berikut, aku pengen bicara soal tokoh. Pengarang ini masih remaja, dan saat menciptakan tokoh, seorang pengarang meletakkan sesuatu di dalam dirinya kepada para tokoh itu. Jadi, jika tokoh-tokoh Eurgava masih mencerminkan keremajaan, baiklah, dipahami. Dohika dan Auvii, misalnya, digambarkan berkelahi karena hal-hal kecil semacam ledek-ledekan dan hutang. Tapi pengarang juga bisa membuat tokoh-tokoh yang lebih tua macam Jouhdin dan Bashkra bertingkah dan bicara sesuai usia mereka, walau memang ada 'rasa tinggalan' yang menunjukkan bahwa tokoh-tokoh tua ini diciptakan oleh anak muda.
Masih berhubungan dengan tokoh, tata nama dalam cerita ini menurutku masih kurang. Kesatuan rasa pada nama dan istilah yang menunjukkan ras atau kebangsaan belum terlihat. Dan kalaupun mau pakai nama/istilah yang nggak menunjukkan kebangsaan atau ras, nama-nama yang dipakai masih belum memiliki kesatuan yang menunjukkan bahwa nama itu adalah khas dunia Eurgava. Yang kumaksud kesatuan rasa ini bisa diamati pada marga Batak misalnya, ada Sitorus, Siahaan, Situmorang, Sisingamangaraja. Terasa kan kesatuan rasa yang mengidentifikasi semua itu sebagai nama Batak, yang tentunya bisa dibedakan dari nama Jawa, (Soeroso, Brojonegoro, Barghowo, S*silo B*mb*ng Yudh*y*n*, dst) atau nama Belanda (Marijke, Famke, Willem, Jan Pieterszoon Coen. ;P)
Bahkan barangkali nama-nama tokoh yang ada di dalam buku ini adalah nama teman-teman pengarang yang diutak-atik. Dohika, misalnya, adalah utak-atik dari Andhika. Dhika nya itu loh, kalau ditulis pakai katakana Jepang, kan jadi Dohika. Trus Saputrus... heh. Ada teman yang namanya Saputra, -a nya tinggal diganti -us. Kayak doktoranda dan doktorandus. Dan Bashkra... ini nama pengarang sendiri, ‘kan? Baskara. Heheh.
Kreatif? Ya. Membantuku mendapat 'rasa' dunianya? Belum.
Satu hal yang barangkali ingin kupuji dari buku ini adalah ilustrasinya. Bukan karena sangat "wah," tapi karena ilustrasi ini cukup baik kalau ingat yang bikin ini masih remaja SMU. Caranya mengambil sudut gambar, mengambil momen-momen yang pas untuk diilustrasikan, dan pembagian panel untuk ilustrasi ala manga, semua menunjukkan kalau penulis ini punya potensi lumayan buat jadi komikus. Favoritku adalah ilustrasi komik 3 kotak di halaman 203 yang kayaknya terinspirasi dari yonkoma (walau rada ga nyambung ke cerita.)
Jadi? Is this book a win or a fail? Aku nggak akan bilang jelek, terutama setelah kejadian dengan a certain Epic Fail yang traumatik itu. Ada beberapa poin baik dari karya ini, dan ada juga yang masih terperangkap pada pola-pola standar yang diikuti penulis fikfan pemula yang keranjingan main game: chosen-one-ketemu-sidekick-bikin-party-lawan-musuh. Menjadi gamer/pecinta anime-manga memang bisa menjadi aset untuk membuat fiksi fantasi, tapi hendaknya kita ingat bahwa menulis novel adalah seni yang berbeda dari menonton anime atau main game, dan setiap seni punya 'bahasa' sendiri-sendiri.
Luz Balthasaar