Senin, 01 November 2010

BIRU INDIGO (Putra Perdana - 2010)


By FA Purawan


Penerbit: Voila (PT. Mizan Publika)
Penyunting: Nuraini Mastura
Penyelaras Aksara: Arief, Indah N.
Ilustrator: -
Desain Sampul: -
Tebal: 448 Halaman

"Namaku Elang, sopir taksi Surya. Hari ini aku telah menabrak seorang pemuda, dan aku mendapat firasat aneh bahwa aku akan berjumpa lagi dengannya."

"Namaku Amelia, siswi kelas 1 SMU 29. Hari ini aku telah membuktikan bahwa aku bisa menyembuhkan orang lain, dan aku tahu bahwa aku akan melakukannya lagi bila waktunya tiba."

"Namaku Rikko, Aku Junkie, dan aku cuma pengen satu hal. Aku pengen ... BOKER."


Bah, gue demen banget sama line ketiga itu! Hahahah. This author got style, dan gue cukup senang dengan gayanya, walau belum dapat kukatakan bahwa aku sudah puas dengan keseluruhan presentasi bukunya, yang berjudul Biru Indigo, karya pengarang Putra Perdana.

Senin, 25 Oktober 2010

VALHARALD: Kesatria Talismandala dan Pertempuran di Vincha (Adi Toha - 2010)

By Luz B

Penerbit: DIVA Press
Editor: Nisrina Lubis
Tata Sampul: Gobaqsodor
Tata Isi: S. Lestari
Jumlah Halaman: 411


Valharald.

Kalau mendengar itu, apa yang pertama-tama terbayang di kepala anda? Nggak ada? Bingung? ngawang-ngawang? Iyah, sama. Oleh karena itu aku ngeriset dikit untuk menemukan apa itu Valharald dengan memakai metode guru Pendidikan Kewarganegaraan waktu mendefinisikan bahwa "demokrasi terdiri dari kata demos dan kratein."

Valharald terdiri dari kata "Valhalla" dan "Harald". Jika diterjemahkan dengan sangat, sangat, sangat bebas, kedua kata ini masing-masing berarti "Pub Surgawi" dan "Gembong Viking." Lengkapnya, silakan agar tautan-tautan yang kukasih diklik saja.
  

Minggu, 13 Juni 2010

THE CHRONICLES OF WILLY FLARKIES: Petualangan Memasuki Dunia Upside Down (Satrio Wibowo - 2010)


by FA Purawan

Penerbit: Imania
Penyunting: Wijdan Aljufry
Penerjemah: Dian Guci
Desain Sampul: Kebun Angan
Desain Isi: Dini Handayani
Tebal: 448 halaman.


Uhm, The Tough Case of Willy Flarkies Chronicles, atau mungkin tepatnya: The Chronic Case of (Disorderly Written) Willy Flarkies (and His) Upside Down World, or Downside World, Which One Is Correct, Anyway, And Oh So Upsidedownsidewayupdownrightdull Storytelling.

Serem amat, judul ini.

Yah, pada kenyataannya tidak seseram itu. Novel dengan judul panjang di atas sesungguhnya merupakan fenomena menarik, setidaknya untuk menggambarkan kesempatan dan kemungkinan luas yang (masih) ada di dalam ranah kepenulisan novel-novel Indonesia. Ada banyak possibilities yang bisa dieksplorasi oleh para aspiran penulis, aspiran penerbit, bahkan (sesuatu yang cukup 'baru' di sini:) aspiran agen literasi.

Agen literasi? Mari kita bicarakan itu setelah ngebahas novelnya dulu.

Novel berjudul unik ini, pada awalnya tak saya lirik, saat saya seperti biasa browsing di toko buku Gramedia. Tak aneh, sebab saya memang khusus hanya memburu novel-novel Fantasy lokal, dan si novel Willy Flarkies, awalnya, dengan judul inggris, tokoh-tokoh bernama barat dan ilustrasi cover ala novel terjemahan, membuat saya mengira buku ini hanyalah salah satu dari sekian banyak terbitan fantasy terjemahan yang latah dengan fenomena Harry Potter. Apalagi dengan endorsemen pak LKH yang tercantum di halaman depan yang nyata-nyata mengatakan bahwa ini novel terjemahan (dari bahasa Inggris).

Saya memang melihat nama lokal: Satrio Wibowo. Saya kira nama penerjemahnya.

Lalu satu kali saya menemukan buku yang tak berplastik. Saya buka halaman depan, saya temukan pula nama Dian Guci sebagai penerjemah. Makin kuat vonis bahwa ini novel terjemahan. Tapi jadinya ada fakta yang nggak masuk logika: Kalau ini novel terjemahan dan nama penerjemahnya Dian Guci, lalu siapa nama Satrio Wibowo di sampul depan? Dan yang membuat saya terbelalak adalah ternyata Satrio Wibowo adalah benar-benar nama pengarangnya.

Lho, ada novel lokal yang terjemahan? Siapa juga pasti garuk-garuk kepala.

Minggu, 06 Juni 2010

DEATH TO COME: Petualangan 3 Penyihir dan Sang Alkemis Mengungkap Rahasia Masa Depan (Tyas Palar - 2009)

by Heinz

Penerbit: Imania
Penyunting: Tantrina Dwi Aprianita
Desain isi: Alia Fazrillah
Desain sampul: Kebun Angan
Jumlah halaman: 351



(Bergabung lagi, satu talent baru reviewer di Fikfanindo, mari kita ucapkan warm welcome buat rekan kita Heinz. Rekan Heinz sendiri sudah tak asing bagi komunitas Fantasy di Goodreads Indonesia, dimana beliau sering wara-wiri sembari meninggalkan jejak review-review yang menarik. Semoga keberadaannya di Fikfanindo dapat menambah keragaman dan kualitas pembahasan novel-novel fantasy lokal di antara kita. Berikut ini adalah review debutnya di Fikfanindo, mari kita nikmati bersama-- FA Purawan)



Death to Come A.K.A.: Mampus Bakalan Datang
Petualangan 3 Penyihir dan Sang Alkemis Mengungkap Rahasia Masa Depan
Novel Pertama dari Trilogi The Search For Merlin

Yup, satu lagi novel lahir untuk memeriahkan jagat per-fiksi fantasi-an Indonesia (udah telat kalee, taun lalu tuh!). Ouch, tepatnya bukan satu novel, tapi satu trilogi. Oleh karena itu sebelumnya, marilah kita memanjatkan doa bersama-sama. Semoga dua saudaranya yang lain boleh terlahir selamat tanpa cacat tanpa perlu di-KB, sebagaimana banyak terjadi di jagat per-fiksi fantasi-an Indonesia. AMIN.

Tidak perlu basa-basi, seperti biasa, mula-mula let’s judge a book by its cover. Ada seorang kakek berjubah merah yang memegang tongkat. Ada pula tiga orang berjubah hitam ala Ringwraith LOTR. Lebih ke belakang lagi tampak latar suatu kota dan menara yang sepertinya terbakar. Sementara di cover belakang tampak lanjutan jubah merah si kakek dan dua bangunan arsitektur kuno Abad Pertengahan. Ga tau tuh bangunan macam apa, yang pasti gak ada Stonehenge.

Ada pula endorsemen yang terpampang di halaman depan dan berbunyi seperti ini: “Kisah dunia sihir Abad Pertengahan. Namun, sihir yang sesungguhnya justru pada referensi dan detail-detail sejarahnya.”

Lalu tepat di atas endorsement tertulis nama sang pengarang: TYAS PALAR. Hehe, langsung inget si cantik Tyas Mirasih deh di Air Terjun Bikini….eh, Pengantin.

But do they sound interesting?

Jujurnya buat aku sih: ga terlalu.

Jujur lainnya: bukanlah alasan cover yang membuatku rela menguras kocek. Alasannya adalah dua kawanku dari 'lautan yang tengah mengalami badai tak berujung', B*B*B (warning: bukan kepanjangan dari Bukan Binatang Biasa!) dan Luz. Kalo dalam rantai MLM, harusnya toko buku G ngasih persenan komisi ke mereka. Yup, mereka berdua begitu rajin mengikuti perkembangan novel fantasi, baca, dan kemudian nyempet-nyempetin nulis repiu singkat di Goodreads. Sementara aku sendiri tipikal picky reader (nyaris bisa dibilang pembaca malez, wkwk). Kalo boleh kukutip sebagian endorsement mereka yang bikin aku bling-bling adalah sebagai berikut:

Ini dari B*B*B:

“Pertama, yang paling aku suka dari kisah ini adalah gaya cerita Tyas yang mengalir banget, dan seperti kata echa, terasa seperti novel terjemahan, mungkin karena beliau udah punya banyak pengalaman menterjemahkan dan bikin artikel.”  (http://www.goodreads.com/review/show/86022662)

Hm, sepertinya si echa ini juga harus diberi persenan. Yang kugarisbawahi adalah NOVEL TERJEMAHAN.

Lalu ini dari Luz:

“Untuk "detail sejarah" yang katanya menjadi poin kekuatan novel ini, aku sepakat bahwa fakta itu menarik, dan bisa memberi pelajaran….Tapi kan ini novel. Pada akhirnya yang kita nikmati adalah ceritanya. Bukan risetnya.” (http://www.goodreads.com/book/show/7391966)

Lha, apa bedanya ama endorsement yang ditulis di cover depan? Bedanya, ini ditulis oleh kawanku yang teruji, terpercaya, dan jelas-jelas emang baca bukunya. Soalnya endorsement suka sesat sih! Nah, di sini yang kugarisbawahi adalah FAKTA SEJARAH. Sejak dulu, aku memang suka sejarah. Apalagi pengetahuanku tentang sejarah Abad Pertengahan pas jaman Dark Age nyaris blank total. Jadi walau ceritanya mungkin ga gitu bagus, tapi minimal boleh belajar dengan cara lebih gaul alias ga belajar dari buku sejarah yang tebel.

Silly emang. Tapi jujur sekali lagi, itulah alasan kenapa novel ini akhirnya turut menghiasi rak bukuku, berdiri tepat di samping Akkadia.

Nah, sekarang mari kita masuk ke dalem. Ayo. Ya, ini rumah tipe minimalis cat putih kelabu yang didesain modern dan nyaman. Tata ruangnya rapi, dua kamar tidur satu kamar mandi. Feng Shui bagus dalam artian aliran udaranya lancar. Lantai sudah keramik. Listrik 1300 W. Ada line telepon…..Wk, ngomong apa aku?

Maksudnya, penuturannya mengalir bagus. Bener-bener seperti NOVEL TERJEMAHAN. Seperti baca Harry Potter made in Indonesia 100%. Penataan layoutnya juga nyaman. Font huruf cukup besar dan gak bikin mata merah. Aku hanya menemukan satu salah ketik dan sama sekali gak mengganggu. Iramanya terjaga dalam arti gag ada yang maksa atau terkesan ujug-ujug. Suer, 350 halaman sama sekali ga kerasa. Ini boleh dijadikan teladan bagus untuk pakem penulisan cerita fantasi yang bertutur ringan. Bravo untuk Tyas Mirasih, eh, Palar!

Ornamen-ornamennya sejarahnya juga memang terbukti diriset serius. Dan bagiku itu sangat mendukung setting bangunan cerita Abad Pertengahan. Obrolan-obrolan para tokohnya jadi terkesan believable . Malah aku seolah terhisap masuk mesin waktu Doraemon untuk ikut nimbrung bersama mereka. Suer! Begitu banyak fakta menarik yang dipaparkan tentang Inggris-Perancis-Wales dan istilah mitologi yang tidak kuketahui. Walau memang banyak yang tidak nyambung ama plot cerita, tapi buatku, fakta-fakta ini membuat suasana menjadi real. Dan aku selalu salut pada para pengarang yang berani meleburkan fantasi dalam sejarah dan berhasil. Setuju deh akhirnya ama si Endorser! Meski harus berhati-hati pula karena suatu novel akhirnya akan dinilai dari ceritanya, bukan deretan fakta risetnya.

Lalu gaya penceritaanya bisa dibilang cukup jenaka. Gimana si Ivar yang melompat-lompat bahagia saat di shopping center. Lalu si Edward yang begitu memegang falsafah “Bersih Pangkal Sehat”. Belum lagi pas si Junda ikutan nimbrung dan ketawa ngakak mulu. Ketawa ngakaknya itu sukses buat aku ikut ketawa juga. Pertama pas dia menyamar jadi TKP (Tenaga Kerja Pria).

“….Orang-orang selalu mengatakan aku lebih pantas jadi pelawak dan penyanyi, tapi tidakkah menurutmu orang gila sebetulnya bisa jadi siapa saja?”

“Ya, kau cocok jadi pembantu seperti aku,” sahut Junda kurang ajar.

Tapi yang paling nempel di ingatanku adalah pas dia ngasih jawaban perihal cermin saktinya pecah:

“Kalau begitu kenapa kau bilang dipatuk ayam?” sergah Ivar kesal

“Karena jawaban yang benar tidak akan membuat siapapun tertawa….”

Nice answer. Karena jawaban yang benar tidak selalu membuat cerita lebih asik. Nih, tokoh tampilannya emang serem. Tinggi, besar, berjenggot pula. Tapi asli doyan ngocol alias wajib gabung dengan Opera Van Java. Ditambah Henry and the Gank, perjalanan panjang ke Lyon benar-benar jadi tidak terasa. Dan jujur aku mau protes keras ama si pengarang. Seharusnya the Gank ini tidak muncul sesingkat itu! Bahkan kalau boleh, munculkan sejak awal!

Penokohannya juga terkonsep matang sehingga gag ada yang terkesan ganjil ato lebay gimana. Bisa jadi aku sependapat ama B*B*B, si Ivar adalah tokoh favorit karena paling manusiawi. Walau agak-agak bego, tapi somehow punya daya tarik untukku. Adegannya yang paling memorable adalah pas uji coba cermin sakti:

“Belajar yang betul, Ivar.”

Wkwkwkwk. Inilah dia cikal bakal satelit pengintai masa kini.

Masalah pembagian keahlian bidang sihir bisa dibilang cukup realistis. Bahwa setiap penyihir punya keahliannya masing-masing. Premis menarik dan cerdas sehingga potensi pengembangan cerita menjadi tak terbatas. Masalah umur para penyihir juga tidak sekedar asal tempel. Jujur awalnya aku bingung melihat tingkah laku si Ivar yang udah bisa dibilang bangkotan tapi kok mirip remaja culun umur 15 taun. Tapi akhirnya aku menemukan alasan logis si pengarang mengapa bisa begitu. Bagus. Meski aku belum cukup mengerti rumus tersirat si pengarang yang menghubungkan umur dan kedewasaan. Ambil contoh kasar begini: umur 100 taun mirip remaja umur 15 taun, umur 600 taun mirip dewasa umur 25 taun. Umur 1500 taun mirip kakek berumur 75 taun. See? Sekali lagi, gak jelas patokannya. Tapi, ya, ‘kan ga semua hal harus dirumuskan secara matematis.

Nah, setelah menjalani tur yang menyenangkan, sayang sekali, aku harus memberitahukan bahwa rumah minimalis nan cantik ini ternyata menyimpan sejumlah rahasia kelam. Menyakitkan memang tapi tetap menarik.

Mari mulai lagi dari Luz:

“Hmm... gimana ya? Ilustrasi Merlinnya tuh kan Merlinnya Disney. *Sigh* kenapa sih harus ngebajak ilustrasi?” (http://www.goodreads.com/book/show/7391966)

Ya, memang pada setiap awal bab selalu nongol seorang kakek berjubah panjang, bertopi tinggi, berjanggut panjang, dan bertampang culun dengan kacamata bulatnya. Kalo ga nyadar si kakek ini siapa, dialah Merlin versi Disney yang kalo ga salah pertama kali show off di film animasi Fantasia taun 1940-an. Tapi ya menurutku informasi ini memang menyesatkan. Pertama tentang pasal piracy. Kedua tentang tampilan si Merlin itu sendiri. Jujur aku sih ngebayanginnya seperti si eyang Gandalf dari LOTR sewaktu belum di-upgrade. Gagah dan abu-abu sih.

Seperti yang kubilang sebelumnya, cerita ini dituturkan dengan gaya yang ringan dan menarik ala novel terjemahan. Sekali lagi, 350 halaman sama sekali gag berasa. Tapi bisa jadi fakta ini bermakna ganda. Soalnya kalo misalnya aku masih memakai seragam putih merah dan Pak guru pelajaran BI berkata: “Anak-anak, ada PR membuat ringkasan novel The Death to Come karya Tyas Palar. Buat yang rapi di kertas folio. Kumpulkan besok di meja Bapak di kantor.”

Eng-ing-eng, apa yang bakal kutulis? Ceritanya simpel banget: pertama si Edward ketemu si Ivar untuk membahas Kilasan Masa Depan. Ternyata hanya Merlin yang punya jawaban dan hanya cermin Junda yang bisa kasih tahu di mana keberadaannya (selaras ama judul Trilogi-nya). Maka dimulailah perjalanan yang menggunakan bumbu sihir. Bertemu Mr. G di jalan tapi sekilas saja. Lalu ketemu si biarawan, sekilas juga. Ketemu makhluk mirip Leprechaun. Akhirnya ada konflik tapi sekilas aja. Dan sekilas-sekilas lainnya hingga akhirnya bertemu Junda. Lalu perjalanan lagi untuk menemui tokoh kunci keempat, yaitu Tariq. Setelah bertemu Tariq, perjalanan lagi. Akhirnya ketemu juga tuh si Merlin. Penyelesaian dan DENG!

Lho, terus 350 halaman isinya apa? Ya, itu: perjalanan. Kenapa kusebut sekilas? Karena memang tidak terlalu ngefek pada premis cerita paling mendasar dari novel ini: Kilasan Masa Depan AKA The Death AKA The Mampus. Walau memang kuakui, kilasan-kilasan itu berguna untuk menguak tabir rahasia salah seorang karakter utama sesuai yang dijanjikan di resensi cover belakang.

Banyak pula karakter yang sekedar numpang lewat. Mulai dari si biarawan, si ksatria Teuton dan saudarinya, si asisten, si tukang ramuan, de el el. Bahkan si alkemis pun bisa dibilang jagoan kesiangan.

Jadi sekali lagi, semua itu hanya sekilas. Gak gitu penting dan sama sekali tidak mempengaruhi jalan cerita utama.

Lalu kalo mo dibikin versi Mind Map, ringkasannya kira-kira bakal jadi kayak begini: Kilasan Masa Depan Ivar – Perjalanan – Junda – Perjalanan – Tariq – Perjalanan – Merlin – Penyelesaian – DENG!

Mungkin bakal ada yang teriak kaya begini: “Woi, repiu-er cupu banget sih lo nulis! Masa cuma gitu aja ceritanya?!”

Mending kalo cuma teriak. Bisa jadi aku dilemparin telor busuk. Tapi sejujur-jujurnya memang cuma begitulah garis besar ceritanya.

“Woi, repiu-er, serius lo! Masa sih ga ada adegan battle yang biasa jadi plot andalan jagat fiksi fantasi Indonesia?”

Yup. Na-da. Telor puyuh.

“Tapi minimal ada ‘kan adegan tarung yang seru?”

Ada sih. Tapi minor banget. Jadi bisa dibilang gag ada. Telor ayam.

Seorang dari kubu teen-lit menyahut, “Tapi ada adegan cinta yang romantis ‘kan?”

Ya, ada. Cinta yang ngenes, tepatnya. Sama sekali ga romantis apalagi erotis. Telor bebek.

Dari kubu feminist ga mau ketinggalan, “Terus emang bener tokohnya semua cowo?”

Ada beberapa tokoh cewe sih tapi perannya kecil banget. Posisi supporting actress-nya juga ga masuk kategori. Telor angsa.

Si feminist langsung duduk cemberut. Dia nggak cukup sadar bahwa pada Abad Pertengahan gerakan feminist belum lahir. Jadi pertimbangan si pengarang boleh dibenarkan. Walau memang pada masa itu sedang trend bakar-bakaran orang yang dilabeli “witch” dan “witch” itu identik dengan cewe jelek ato nenek sihir.

“Yeeeehaaaa, MAHO?!”

Telor buaya. Tapi langsung saja aku manggil security buat menderek keluar si penyusup yang salah masuk ruangan itu.

“Tai banteng lo! Si pengarang udah jelas bilang doyan maen game King of Fighters! Masa gak ada friksi-friksi rivalitas ala Kusanagi-Yagami ato Ryu-Ken ato Goku-Vegeta?”

Baunya sih emang ada. Tapi ga terlalu dikembangin sampe gimana. Telor (mata) sapi.

“Terus ‘kan ini cerita tentang para penyihir! Masa gag ada sihir dahsyat nan edan ala Thundaga Final Fantasy?!”

Cerita tentang penyihir gag harus selalu berhubungan dengan magic-magic killer bervisual indah. Tapi ya, di novel ini bisa kubilang gag ada suatu magic yang membuat imajinasiku terpancing liar. Jadi: telor paus (emang paus bertelor?)

“ARRRRRRRRRGH!”

Yang ini bukan lagi suara salah seorang audiens yang hadir. Mereka sudah diderek keluar semuanya karena ribut tanya ini-itu mulu. Bikin migren. Ini asli suaraku. Suer.

Lalu kenapa pula aku sampai tidak tahu malunya menggunakan toa untuk ber-ARRRRRRRRRGH ria seperti itu di depan panggung? Karena cerita ini bisa dibilang ga punya klimaks atau adegan pamungkas. *berkaca-kaca*.

Juga bisa dibilang gak ada tokoh yang bener-bener antagonis di sini. Saat aku berharap bakal ada pertarungan sihir yang sengit sebagai puncak dari segala kebencian terpendam, eh, ternyata berakhir adem ayem begitu saja. Memang, sih, ada sedikit alasan di balik semua kesulitan yang dialami para protagonis selama perjalanan. Tapi menurutku, gak cukup kuat. Sangat kurang buatku.

….Oooh, apa yang terjadi, terjadilah.
Karena Tuhan penyayang umatnya….

Begitulah lantunan suara merdu Merlin menyanyikan salah satu lagu Golden Hits Indonesia taun 70-an.

Nah, untuk menggambarkan suatu repiu pamungkas spoiler free, coba sekarang elo bayangin ada maling berkostum hitam, bermata merah, berotot kekar, bengis, dan pake CD merk Pierre Cardin di kepalanya. Bau badan pula. Pokoknya lebih menyeramkan dari hibridisasi Mbak Sadako dan si kolor ijo. Tapi thanks God, dari laporan seorang temen agen CIA, elo udah tau bahwa maling itu dalam waktu dekat bakal singgah di rumah elo (Tapi tentu saja buat ngegarong, bukan nongkrong). Dengan kata lain, elo punya keunggulan satu langkah di depan. Nah, apa yang bakal elo lakuin?

1 detik. 2 detik. 3 detik.

Kalo aku sih pasti bakal membangun Great Wall berduri dilengkapi meriam. Terus aku bakal nimbun dinamit, bom molotov, C-4, dan kalo bisa rudal Tomahawk. Belum lagi AK-47 di tangan kanan dan keris Mpu Gandring di tangan kiri. Kamar tidurku juga bakal kumodif jadi tank Panzer. Lalu tepat pada waktunya, aku bakal berteriak: COME AND GET THEM!!!

Memang pada akhirnya semua teknik banting tulangku itu worthless total. Si maling kampret tetep datang juga dan menggasak habis semuanya tanpa sisa. Lha, suratan takdirnya memang begitu. Sudah ketuk palu, gak bisa diganggu gugat. Tapi minimal aku gak mau duduk diam sambil kipas-kipas badan. Aku bakal berusaha sekeras mungkin. Walau yah….semua usaha kerasku itu paling cuma bakal menghasilkan satu paragraf eksyen pendek pada catatan hidupku di rapor akhirat.

….Que sera sera.
Whatever will be, will be….

Lagi-lagi terdengar lantunan suara merdu Merlin menyanyikan satu lagu Western Golden Hits favoritnya.

Kesimpulan, novel fantasi ini asyik. Bahasa dan lay-out sama-sama bagusnya. Apalagi buat author wannabe macam aku yang masih perlu banyak belajar. Bahwa gaya cerita menarik boleh dimiliki setiap penulis yang kreatif dan mau berusaha, bukan hanya monopoli para penulis fantasi beken di luar sana.

Ibarat makanan vegetarian. Tampilannya cantik menggugah selera. Ga keliatan serat-seratnya. Sehat? Ya, kata dokter gaek di iklan TV: serat bagus untuk pencernaan. Bisa ditelan? So pasti, toh kokinya jebolan TV Champion. Seratnya udah diolah selembut sutra. Soal rasa, lidah ga bisa boong. Memang ada yang kurang tapi masih bisa ditolerir. But after taste-nya, uh-oh….

Well written but anticlimactic and lacking in content. But still, it’s worth it.

Kutunggu sekuelnya walau sebagai tipikal picky reader sejati, sepertinya aku harus kembali dipanas-panasi. *melirik ke B*B*B dan Luz*.

Rabu, 26 Mei 2010

Nadi Amura (Alexandra J. W. - 2009)

By Luz B.


Penyunting: -
Penerbit: Shesanaga
Desain Sampul: Marcel Wetik
Ilustrasi: Marcel Wetik
Tebal: 456 halaman


Pertama-tama aku mungkin harus minta maaf sama para pembaca Fikfanindo. Om Soto(y) tampaknya masih sibuk, dan harus kuakui aku juga lumayan sibuk membenahi proyekku sendiri.
 
Di sela-sela mengerjakan bagian akhir proyekku, ijinkan aku menyajikan satu repiu untuk anda semua. Untuk hari ini, buku fiksi fantasi yang beruntung (sial?) menjadi tamu kita adalah Nadi Amura karya Alexandra J. W.

Banyak di antara anda semua mungkin belum pernah melihat Nadi Amura. Jangan panik, karena penyebabnya bukan minus mata yang nambah terus. Buku ini memang nggak dimasukkan ke toko-toko buku grup Gramedia atau Gunung Agung. Aku sendiri beruntung melihatnya di toko buku ak' sa. ra. di eX Plaza Indonesia. Jadi, jika anda berminat untuk berburu buku satu ini, silakan jajal di lokasi yang sudah kusebut.

Namun, sebelum berburu, tentunya anda mau lihat dulu apakah buku ini layak diburu atau nggak. So? On to da repiu!  
   

Minggu, 21 Maret 2010

ARQUELLA: The Beginning of the Destiny (Maaya Hiroshi - 2009)

By Luz B.

 
Penyunting: Topik Mulyana
Penerbit: Sygma Publishing
Pengarah Artistik: Fery Puwi
Pewajah Sampul: Kebun Angan
Pewajah Isi dan Penata Letak: Ade Truna, Tio
Tebal: 462 halaman
 

Mengambil break dari sela-sela mengerjakan novelku sendiri, perkenankan aku menggelar satu repiu hasil penugasan dari Boz Pur. Sekalian juga, sebagai filler sebelum si Boz kembali dengan salah satu masterpiece soto(y)nya. Sudara-sudari segala agama dan agami, Allow me to present to you... Arquella, The Beginning of the Destiny karya Maaya Hiroshi.
   
Aku ngelihat buku ini benernya udah lama, tapi ga kunjung tergerak untuk mengambil. Alasannya? Empat hal. Pertama, cover yang no very. Idenya menarik sih; ada unsur api dan air, dan peperangan, dan gambar seorang cowok berbaju besi dan berpedang. Sampai disini, aku memujinya karena gagasan ini udah sangat memadai untuk menggambarkan isi cerita. Tapi sapa seh yang punya ide naruh gambar cewek pake gaun putih di depen cover?
 

Selasa, 02 Maret 2010

Another World Elmore (Aulia M. Firmundia - 2009)

By Luz B.

Penerbit: Bestari Buana Murni
Editor: A. G. Adil
Desain Kover: Melati Harum Pandan Wangi
Layout: Irnawati
Tebal: 320 halaman

Setelah cukup lama nggak bikin repiu, karena disibukkan juga oleh proyek novel dan blogku sendiri, aku akhirnya dapat waktu untuk menyelesaikan sebuah buku fiksi fantasi baru berjudul Another World Elmore karya Aulia M. Firmundia, atau biasa dipanggil Uliel. Sedikit background-info, pengarang rupanya masih remaja, dan masuk 15 besar penulis berbakat Bookfrenz Writing School. yang didirikan oleh Elie Mulyadi. Bookfrenz ini sendiri rupanya adalah sebuah sekolah menulis untuk remaja, yang mengadakan kompetisi untuk menyeleksi karya-karya penulis remaja yang layak terbit.

Rabu, 03 Februari 2010

AKKADIA: Gerbang Sungai Tigris (R.D. Villam - 2009)

a Duet Review,
By F.A. Purawan - Luz B


Penerbit: Adhika-Pustaka
Editor: Arie Prabowo dan Bonmedo Tambunan
Design sampul : Imaginary Friends Studios (Hendryzero Prasetyo dan Eko Puteh)
Pewajahan Sampul dan isi : Lewi Djayaputra
Tebal: 391 halaman


(It's a new thingy di Fikfanindo as well. Sebuah review Duet. Sebagai penghargaan buat RD Villam, salah seorang tokoh senior dalam komunitas penulis Fantasi Indonesia --yang baru saja menelurkan Novel Perdana-nya-- maka Fikfanindo membuat suatu commemorative gesture: Bikin Review secara Duet. Kami akan mencoba merangkum isi kepala dua orang, dalam satu tulisan review yang semoga saja bermanfaat. For Your Info, tulisan ini tidak dikerjakan bersama-sama secara fisik, melainkan kolaborasi secara virtual. Reviewer juga tak berusaha ngompak-ngompakin pendapat sebelumnya. Please enjoy!)


Pada suatu hari, di 'Lapangan Bola Fikfanindo', datang 2 orang memakai busana jas & dandanan necis rapi ala pejabat penting. Yang satu seorang "om-om sexy berbodi Bondan Winarno yang menggemari segala jenis soto(y)". Sementara satunya lagi adalah "Makhluk Tuhan yang Paling Sinis, seorang cewek yang dari julukannya saja bisa disimpulkan bahwa ye-be-es memiliki kecantikan yang nyaing-nyaingin Mulan Jameela".

"Owh, Pliz deh," kata si Om. "Deskripsi barusan itu no very banget,"

"No very gimana, Om?"

Si Om membenahi kacamatanya hitam Oakley-nya dengan gaya cool. "Kalau you aja boleh Mulan Jameela kenapa juga I ga boleh Johnny Depp?"

Namun, sadar mereka berdua punya tugas yang lebih mulia daripada ngeributin deskripsi, mereka segera naik ke tribun komentator, penuh dengan napsu iblis untuk menguthek-uthek, mengkuyak-kuyak, menelisik-telisik, dibungkus dengan eufimisme "Pembelajaran Bersama" buat sesama aspiran penulis fantasi.

Yeah, whatever. Let the judging begins! (Salam buat Villam!)

Hari ini, Novel terbaru dari (mantan-calon) Penulis Tersohor (karena sekarang sudah jadi Penulis definitif--Selamat!) RD. Villam akan berlaga di lapangan Fikfanindo, di bawah tatapan mata ribuan pengunjung --baik dari kubu penggemar maupun kubu pencela-- dan terutama, di bawah tatapan mata elang Om-Sotoy dan Miss-Cynis.

Review dimulai. Para komentator langsung nyambar mike, yang ternyata cuma satu biji. Jauh di bawah, stadium tampak membludak oleh penonton yang bersorak-sorai tak sabar menanti pertandingan hari ini yang mengusung judul (Pertempuran) Akkadia: (Memperebutkan) Gerbang Sungai Tigris.

Kamis, 14 Januari 2010

ILUMINASI (Lisa Febriyati - 2009)


By FA Purawan

Penerbit: Kakilangit Kencana
Editor: Syaffrudin Azhar
Desain Sampul: Circlestuff Desugn
Tata letak: Jeffry
Ilustrator: Damuhbening
Tebal: 433 halaman


Tahun 60-an, suatu 'revolusi' dalam kebudayaan telah terjadi, merubah pandangan umat manusia terhadap konsep 'agama' maupun 'keberagamaan'. Lahirnya 'flower generations' saat itu bukan saja merupakan perlawanan politis masyarakat terhadap kebijakan pemerintah (Amerika, terutama) yang terlalu aktif berperang di sana-sini, namun juga merupakan pendobrakan 'spiritual' terhadap lembaga-lembaga agamawi yang dianggap terlampau dogmatis. Pemberontakan itu antara lain terwujud dalam perilaku ekstrim semacam freesex dan drugs, yang dianggap mampu merepresentasikan simbol-simbol perlawanan terhadap nilai-nilai kemapanan (atau puritan, yang pada saat itu banyak bersumber dari kalangan agama), dan sebagai bentuk kekecewaan bahwa ritual agama yang ada tidak memberikan jawaban atas pencarian spiritual kaum muda pada saat itu.

Setelah bergenerasi berselang, di tahun 2000-an, mulai muncul pembelajaran bahwa freesex dan drugs gak membawa kita kemana-mana, kecuali dapet AIDS dan sakaw, hehehe. Tapi pencarian spiritualnya terus berlanjut, walau tak lagi dicari melalui penggunaan drugs. Dan pemahaman spiritual mulai bergerak dari ranah badaniyah ke ranah internal yaitu pemikiran dan pendalaman terhadap diri. Dalam kebudayaan modern sekarang ini, frasa mengenal 'diri sejati' atau 'mengaktualisasikan diri' menjadi kalimat yang populer, whatever it means.


Walau teteup, sih, proponent freesex gak juga ketinggalan jaman dengan menjual paham baru, dari yang "free to choose your sexual partner", menjadi "free to choose your sexual orientation". Dan ndilalah itu tetap selaras dengan konsep 'aktualisasi diri' berbasis definisinya masing-masing, heheheh. Namanya juga jualan ideologi, bisaaa ajah!

Wait, aku gak lagi ngomongin queerlit, lho, dengan opening ini. Mari kita kembali pada pemahaman spiritual di tahun 2000-an dengan konsep internal 'aktualisasi diri' tadi. Ini pandangan inti dalam spiritualis new age, dimana mereka percaya bahwa puncak spiritualitas manusia ada di dalam dirinya sendiri, dan melalui sebuah proses pencerahan, maka bungkus itu akan tersingkap dan manusia akan memasuki suatu pengertian baru yang menempatkan kita dalam 'maqom' yang lebih tinggi, sampai akhirnya kita semakin mendekati "Sang Pusat" dari segalanya.

Pandangan yang menurut sejarahnya bersumber dari spiritualisme timur macam India yang kemudian menyebar dalam bentuk Buddhisme, Taoisme, Zen, apa lagilah. Metode-metode semacam ini kemudian memasuki alam budaya Barat melalui kaum flower generations yang menekuni tradisi Yoga, meditasi, bahkan Martial Arts. Pada ujungnya, saat mulai diterima oleh masyarakat Barat yang kreatif, mulailah muncul pada produk budaya tertinggi mereka, yaitu Science, Literatur dan Film.

Dewasa ini kita mulai menerima banjir produk budaya bertemakan spiritualisme new age, terutama melalui Film, sebab kita bangsa yang kurang suka membaca dan lebih suka jadi penonton. Tengok film-film seperti Flatliners, Trilogi Matrix, Heroes dan sebagainya.

Particularily, serial Heroes, yang tampaknya secara khusus menjadi inspirasi dari salah seorang pengarang lokal yaitu Lisa Febriyanti, yang menuliskan novel ILUMINASI. To sum up, Iluminasi adalah our take on New Age Spiritual concepts yang mengambil setting mirip dengan serial Heroes. Dan sebagai karya yang berusaha mengangkat isu spiritual dalam bahasa kekinian, rasanya Iluminasi cukup bisa berbicara.

Iluminasi menceritakan keberadaan manusia-manusia "istimewa", the X-Men, manusia super, yang memiliki kemampuan extra-ordinary seperti kemampuan mind-control, levitasi, terbang, bergerak cepat, memancarkan listrik, memanjangkan anggota tubuh (cewek, BTW, so gak usah mikir terlalu jauh:)), meciptakan api, punya sayap di punggung, kemampuan regenerasi sel, dan lain-lain. Setting di Indonesia, dan dalam cerita ini, manusia super itu bergabung dalam dua kelompok: The White Lights (WL) dan The Pure Black (PB). Dan seperti kelompok elit di manapun, keduanya bersikap bermusuhan, dan konon permusuhan itu sudah terjadi sejak beribu tahun lamanya.

Manusia-manusia istimewa ini bisa menjadi istimewa berkat keberhasilan mereka mengejawantahkan potensi istimewa yang sudah terkandung dalam kode genetik mereka, melalui sebuah usaha pencerahan, atau, yup: Iluminasi.

Tokoh cerita, Ardhananeswari atau dipanggil Ar, adalah salah seorang manusia istimewa yang belum terbangkitkan. Dan mengikuti pakem 'the chosen one', si Ar ini menjadi minat dan rebutan bagi dua seteru WL dan PB, karena konon dia menguasai suatu kekuatan yang unik yang sudah dinanti-nantikan oleh para manusia istimewa sejak ribuan tahun. Plot buku ini kemudian mengalir menceritakan proses kebangkitan Ar berikut pendalaman kisah latar belakang para tokoh, saling keterhubungannya dan akhirnya berklimaks di manifestasi kekuatan Ar yang menjadi pusat konflik WL & PB.

Sebuah cerita yang menarik, dan plot yang cukup rapih. Maksud saya, pengarang gak semata-mata niru konsep serial Heroes dan cuma ngambil kulitnya aja seperti banyak dilakukan oleh 'fantasy' writers. Dunia Iluminasi adalah dunia yang punya alasan cukup solid. Para karakter memiliki kekuatan ajaib yang fungsional terhadap karakternya sekaligus terhadap cerita. Dan para karakter ini pun masih sangat terlihat sisi-sisi kemanusiaannya sekalipun mereka bukan 'ordinary' human. Memang ada kemiripan dengan karakterisasi serial Heroes, terutama dalam jenis-jenis kekuatan ajaib yang dimiliki, dan dalam asal muasal kekuatan tersebut, yaitu dari DNA. Tapi karakter-karakter di Iluminasi bergerak, berpikir, dan bertindak dengan cara yang berbeda. Dan itu membuat novel ini tak tampak sebagai copy-cat dari konsep Heroes.

Kemudian pengarang juga meramu ceritanya dengan konsep-konsep new age spirituals, yang walau mungkin terdengar 'baru' dalam khasanah literatur fiksi lokal, tak lagi asing bagi pembaca di Barat. Dalam hal ini karya Fiksi-Spiritual serial Celestine Prophecy karya James Redfield. Ada konsep-konsep yang merupakan adopsi dari Celestine Propjecy, seperti Sinkronitas ('kebetulan' yang mengandung makna), Dimensi-Dimensi yang eksis di 'atas' Dimensi kita, dan lain-lain.

Singkatnya paduan setting yang solid dan plot memikat, membuat buku ini memiliki dasar kualitas yang cukup bagus. Untuk penggemar ide-ide filosofi-spiritualis New Age, buku ini akan cukup diapresiasi berkat kandungan filosofisnya yang cukup tergarap. Masukan adegan-adegan action extra-ordinary yang cukup menghibur dan cukup 'masa-kini', menjadi bumbu yang menarik dan cukup mendatangkan suspense menghibur bagi pembaca.

Lantas apakah menjadi buku yang bagus menurutku? Well, satu aja yang kupikir menjadi aspek minus (walau bisa saja hal ini gak berlaku terhadap pembaca lain), yaitu 'styling', yang meliputi penggunaan (atau revitalisasi, tepatnya) kosa-kata non-umum dalam bahasa Indonesia. Pengarang tampaknya berambisi mengorek-ngorek sudut kamus bahasa Indonesia yang jarang dijamah orang, mencoba menemukan kata-kata baru di balik timbunan debu, dan mencoba memasangkannya di novel untuk membuat bahasa novelnya lebih 'bergaya' (dan nyatanya, pun, ada yang terbeli dengan style ini, sebagaimana endorsemen berikut: ...didukung kekayaan terminologi, perlambang, dan tuturan bahasa yang cantik... -Darminto M. Sudarmo, di cover belakang.)

Apakah aku terbeli? Well, sini aku list-kan dulu sebagian kata-kata 'new age' yang berhasil digali oleh pengarang:

- (air teh) yang hangatnya mulai lindang
- berkelindan
- lindap
- segali jenggut
- ripuh
- repih
- repah
- selingkung energi rindu
- hatinya berpesai-pesai
- asa nya perlina
- rancak yang berganduh pada samsara
- nanap memandang

dan lain-lain yang nggak lagi aku bisa temukan saat ini, hehehe.

Dengan pilihan kosa-kata semacam ini, tentunya teman-teman sudah bisa menduga gaya bahasa seperti apa yang digunakan di novel tersebut. Yak, mengarah ke puitis. Bahkan sampai ke dialog pun, 'puitisasi' itu masih terasa juga, sehingga menurutku beberapa part dialog itu rasanya tak wajar diucapkan di setting sehari-hari, kecuali dalam sinetron yang menggunakan efek kamera soft-focus, dengan suara mendesah, gitu deh. Dan catat, Novel ini masih jauh lebih enak dibaca dibandingkan novel L@n@ng yang --kira-kira-- menerapkan kiat yang sama.

Sorry, kalo pengandaian saya jelek dan gak tepat. Soalnya ga biasa nonton sinetron. Ho-oh, sumpe loh.

Sehingga, semuanya menjadi masalah selera. Tapi untukku, yang jelas jadi masalah koneksi, sebab gaya bahasa itu membuatnya jadi berjarak dengan pikiranku, dunia novelnya jadi kurang bisa kumasuki.

Kemudian aspek styling lainnya yang kurasakan cukup aneh, adalah kenapa pengarang harus menggunakan inisial untuk nama kota yang sebenernya sudah sangat obvious sehingga pembaca udah pasti ngerti kota mana yang dimaksud. Pulau B, Kota J, Kota B,... gue inget ini gaya novel aliran jaman baheula, taun 70-an, kali ya? Atau biasanya di artikel-artikel Oh-Mama-Oh-Papa atau Cerita-Cerita-seru.com (ups...) Entah apa maksud dan tujuan pengarang, sebab gak usah disingkat, tulis aja Pulau Bali, Kota Jakarta, Kota Bandung, pembaca nggak akan protes, koq.

Sementara untuk naming, pengarang malah mencampur Istilah Inggris seperti White-light (tapi pemimpinnya disebut: Kamitua. Ga cucok deh!), Pure Black, Ordinary, dll. Buatku, istilah Inggris di dalam novel ini gak terlalu 'masuk' ke dalam keseluruhan setting, terkesan tempelan untuk membuatnya ber-kekinian aja. Tapi gak parah juga, sih. Nama karakter dibuat singkat --umumnya satu kata, misalnya Shaman, Zero, Pijar, Agni, Speedy-- dengan alasan yang cukup pas, bahwa nama-nama itu merupakan pengganti nama asli mereka, dimana nama baru mengandung pengertian sesuai dengan kekuatan istimewa mereka (yah, gak semua mengikuti aturan itu, sih. Tapi itu adat yang berlaku di kalangan manusia istimewa).

So, nothing too bad, also nothing too special juga. Mengalir dan cukup pas, lah.

Catatan terakhir, adalah mengenai sampul.

Sampul yang di desain Circlestuff Design menampakkan sebuah pohon meranggas dalam kegelapan yang dijatuhi berkas cahaya dari sebuah lubang di langit ("Anjrit! Pakulangit!" gue hampir memaki, hehehe). Seberkas idea mengenai kata 'Iluminasi'. Tadinya aku bersikap netral aja terhadap desain sampul ini. Tapi sewaktu aku membuka sampul dalam dan melihat ilustrasi 'Lompatan 1' (Istilah lompatan digunakan sebagia pengganti istilah BAB, which is interesting), sebuah pendulum yang digambar oleh Damuhbening, aku hampir terlompat beneran. Sh*t! Harusnya lambang ini-nih yang dijadikan cover! Keren banget!

Well, I guess, itu hak prerogatifnya penerbit, aku ga boleh ikut campur. Tapi bagi yang paham kekuatan simbol dalam memasuki alam bawah sadar manusia (baca: konsumen), keberadaan lambang itu mestinya jangan dianggap remeh.

OKEH, jadi kesimpulannya, novel Ilumnasi ini sesungguhnya merupakan perwujudan idea yang keren dan sangat relevan untuk masa kini. Opini saya, kalau saja kemasannya bisa dibuat lebih masa kini --termasuk menyederhanakan dan mengkinikan gaya bahasa puitis dan et cetera itu-- maka novel ini bisa punya posisi yang lebih menohok pasar. Mbak Lisa, selamat atas karyanya. Moga-moga sekuelnya lebih seru!

Salam,


FA Purawan

Senin, 11 Januari 2010

Eurgava: Epos Awal Dunia Sudarot (I Tsu Baskara - 2009)

By Luz B


Pengarang: I Tsu Baskara
Editor: Faiz Ahsoul
Penerbit: Lintang Books
Design sampul : E. Bendung W.
Ilustrasi Isi : I Tsu Baskara
Tebal: 306 halaman


Sejak menyelesaikan review terakhirku sebelum yang ini, aku sudah menghabiskan cukup banyak waktu untuk perawatan intensif di Rumah Sakit Spesialis Korban Fikfan. Akhirnya aku dinyatakan cukup sehat untuk kembali membuat ulasan. Walau tentu saja bapak dan ibu dokter yang budiman/budiwoman di sana berpesan untuk tidak bikin ripiu yang berat-berat dulu. Karena itulah aku memilih sebuah buku yang kelihatannya bukan jenis fikfan uber-njelimet. Judulnya? Eurgava: Epos Awal Dunia MakEro... eh, Sudarot.

Belum apa-apa aku sudah ketularan sifat salah satu karakter di novel ini, yang punya hobi asal nyebut nama. Duh. Tapi soal itu disimpan dulu deh untuk nanti.



Seperti biasa, mari kita mulai dari cover. Gambar dua orang tokoh utama cerita, satu bawa pedang, satu bawa panah. Pewarnaan keren, layout menarik. Usut punya usut, yan g ngerjain ternyata E. Bendung W., sama dengan yang ngerjain ilustrasi untuk Pinissi: Hikayat Orang-Orang Setinggi Lutut oleh Mama Piyo. Buat Bang Bendung, keren! Merah, kuning, putih bercampur jadi kesatuan yang nonjok tapi ga bikin sakit mata. Jujur aku ngambil buku ini salah satunya karena tertarik sama cover.

Balik ke cover belakang, wele, ga ada sinopsis. Ga terlalu ngaruh buat aku sih karena cover depannya sudah win banget. Tapi apa ini? *gasp!* Endorsemen!

Gyaaaaa~! Tidaaaak~!

Aku punya alasan kurang suka sama makhluk satu ini. Endorsemen penting buat marketing, tapi kalau wujudnya berupa janji-janji surga yang kayaknya too good to be true, pastilah aku kepancing ngenye'. Mari kita lihat kutipan sebagiannya di bawah ini...


"...Dunia Sudarot sangat imajinatif dan detail... [penulis] memberikan cerita fantasi yang hidup."

"...petualangan keren untuk remaja!"

"...Ramuan imajinasinya, menjadikan kisah dalam novel ini terasa benar-benar terjadi. Bahasanya mengalir, karakteristik tokoh dan setting begitu kuat, mencitrakan penulis yang begitu lekat akan pemahaman emosi, sosial, analitik, imajinatif yang dilandasi intelektual (ISEAK).


Heh.

Endorsemen pertama dan kedua, lumayan. Wajar dan nggak terlalu bawa-bawa angin surga, walau kedengerannya biasa banget. Udah berapa novel sih yang majang kata "penulis remaja," "detail," dan "imajinasi" buat ngedongkrak nilai jual fikfan?

Endorsemen yang ketiga, waduh. No very deh. Ngerti, kita perlu jualan. Namun, jika kita memang ingin membantu penulis-penulis muda, caranya bukan dengan membebani buku mereka dengan endorsemen yang dibumbui istilah canggih tapi sama sekali ngga membantu mempromosikan isinya. Maksudku, memangnya remaja bakalan beli buku ini karena buku ini mengandung ISEAK? Boro-boro. Peduli ISEAK itu apaan aja belum tentu.

Sekali lagi, para endorser, pleeeeeease kalau kasih endorsemen ke buku bikinlah yang bunyinya tulus dan nggak muluk. (Did you even read the book, BTW?) Biarkanlah urusan kecap-mengecap tetap menjadi kerjaan para politikus.

Baik, mari kita mulai dari halaman pertama. Kata pengantar... dan pengenalan ras serta kota. Hm? Apaan nih? Kebanyakan novel fantasi yang aku tahu glosariumnya di belakang. Tapi ini kenapa di depan ya? Aku jadi kepikiran bahwa salah satu masalah terbesar dalam membuat dunia fiksi fantasi adalah menciptakan dunia yang bisa menarik pembacanya ke dalam buku. Dan deskripsi, tentunya, merupakan salah satu unsur yang potensial dimainkan untuk membuat dunia fiksi fantasi terasa 'hidup'.

Namun, sudara-sudari, untuk bermain deskripsi kita memerlukan kiat dan siasat. salah satu masalah yang sering kualami, deskripsi seringkali memutus aliran cerita. Jadi aku berusaha mencari teknik yang tepat untuk mengintegrasi deskripsi biar cerita gag terasa kayak film yang tiba-tiba di-pause agar penulis bisa menggambarkan apa aja yang ada di layar.

Dan rupa-rupanya pengarang Eurgava punya trik lain untuk mengakali masalah ini: kasih deskripsi dunianya di depan dulu, biar pembaca punya bayangan akan dunianya sebelum mereka terjun ke setting. Jadi nanti di dalam tinggal ngasih cerita, nggak usah musingin deskripsi lagi.

Boleh juga, tapi barangkali nggak akan berhasil untuk semua orang. Problemnya gini: Kalau aku baca cerita, aku peduli sama ceritanya pertama-tama. Nama-nama tempat, ras, dan deskripsi mereka cuma sekumpulan kata-kata dengan susunan huruf aneh sampai aku merasa masuk ke dalam dunia cerita. Mengapa aku harus peduli apa itu Kota G'ufaot, ras Rihd, dan lain-lain, bagaimana bentuknya, bagaimana rupa bangunan dan penduduknya, jika aku belum tahu apa perannya di dalam cerita?

Cerita fiksi, sudara-sudari, bukanlah naskah undang-undang dimana semua istilah harus ditaruh di pasal satu dan kalau anda skip dan kemudian nggak ngerti pasal berikutnya berarti salah anda selaku pembaca. Mengapa? Undang-undang bisa dipaksakan, sedangkan kenikmatan membaca tidak. Dan sementara separuh kenikmatan membaca bergantung pada selera dan cara berpikir si pembaca, kukira adil jika kukatakan bahwa separuhnya lagi bergantung pada teknik si penulis untuk membuat naskahnya bisa dinikmati.

Tapi di sisi lain, kita juga bisa memakai penjelasan di depan itu dengan cara lain. Lewatin aja dan langsung baca cerita. Begitu ketemu istilah aneh, balik lagi ke halaman depan untuk baca deskripsinya: "Oh, jadi yang namanya Kota Tura itu gini loh."

Ujung-ujungnya tetep, aku harus berhenti baca cerita demi balik halaman dan ngelihat deskripsi. Dan kalau udah gini apa bedanya dengan deskripsi mentah, selain bahwa teknik ini lebih bikin capek karena harus balik-balik halaman dulu?

Kesimpulan? Marilah kita semua berusaha untuk terus mengasah cara bercerita. Dan berkaitan dengan ini aku ingin menyinggung soal bahasa. Secara keseluruhan, buku ini lebih bisa dibaca daripada... uh, a certain Epic Fail, tapi kadang-kadang aku menemukan kalimat semacam...


Rupanya telah terjadi percekcokan di antara keduanya yang berakhir dengan leher Jouhdin dicekek...


atau,


Mulut Dohika sudah siap-siap mau nyrocos lagi...



Apakah kita tidak boleh memakai kata yang tidak baku? Boleh saja, tapi ajukan pertanyaan ini sebelumnya:

Pertama, apakah ketidakbakuan itu diperlukan untuk menyampaikan maksud tertentu yang tidak mungkin disampaikan dengan cara baku, atau murni khilaf binti kepeleset?

Kedua, Apakah kalimat/kata tidak baku itu merusak suasana/setting cerita, atau justru menarik pembaca ke dalam dunia cerita?

Contoh penggunaan istilah tidak baku ini barangkali bisa kita ambil dari penggunaan istilah tiarawan/tiarawati dalam buku Xar&Vichattan: Takhta Cahaya oleh Bonmedo Tambunan. Kedua istilah itu jelas nggak ada dalam bahasa Indonesia, tapi cocok dipakai karena tiarawan/ tiarawati di dalam cerita tersebut rupanya adalah suatu kelompok tersendiri yang berbeda dari biarawan/ biarawati.

Berikut, mari kita melihat ceritanya sendiri. Pada dasarnya buku ini adalah bagian pertama dari sebuah Tetralogi. Yang bisa diterjemahkan sebagai: "Cerita ini belom kelar, jadi kalau ada karakter yang kurang dikembangkan, plot yang putus, dan hal-hal yang belum dijelaskan, jangan dikritik dulu, Mbak/ Bang. Tunggu sekuelnya, yang (bisa) keluar nanti (dan bisa juga nggak)."

Entah tren atau gimana, fiksi fantasi Indonesia punya kecenderungan menyajikan cerita nggak selesai yang (katanya) akan diselesaikan di sekuelnya. Entah sudah berapa kali aku denger alasan kayak gini, dan sekuel yang dijanjikan itu pun nggak terbit-terbit karena berbagai alasan. Nggak sepenuhnya salah pengarang, memang, karena dunia penerbitan di Indonesia memang punya alergi menerbitkan buku tebal. Jadilah satu cerita utuh dicacah jadi berlogi-logi.

Untuk satu hal ini nggak adil kalau aku ngenye' lebih jauh, jadi marilah kira berdoa sesuai dengan agama dan agami masing-masing supaya tiga buku lain dari Tetralogi Eurgava tidak menjadi janji semata.

Lalu? Apa yang sudah tersaji pada seperempat bagian tetralogi ini? Aku menangkap dua story arc besar: pertama adalah petualangan Aburo Eurgava Sang Pengawal, bersama para ksatria dari kesatuan White Legions, untuk menangkap seorang pemberontak di Kota G'Ufaot. Dan, kedua, ketika si pemberontak sudah tertangkap, Aburo dan kawan-kawan dikirim ke Kota Tura untuk menyelidiki serangkaian penyerangan terhadap Kelompok Penyihir Sorkrus. Dua cerita besar ini (kelihatannya) nggak berkaitan kecuali oleh kehadiran satu tokoh dari story arc 1 yang bergabung di story arc 2, dan diakhiri dengan ending yang ketebak dari 4/5 bagian cerita.

Singkatnya: Lurus. Plot cuma menceritakan tokoh ini kesini, melakukan ini, berantem dengan si A, si B, si C memakai pedang dan panah dan sihir dengan mantra begini dan begini, sampai akhirnya terjadi ini. Buku-buku ini bener-bener menerapkan rumus standar yang biasa dipakai di media-media fiksi fantasi.

Nggak hanya secara garis besar. Kalau kita lihat satu-persatu, bahkan unsur-unsur cerita juga pake rumus standar ini. Tokoh utama, misalnya, adalah orang yang bermasa lalu agak misterius, chosen one yang punya tanda di badannya. Dan sihir, walaupun ada bermacam-macam, pada intinya cuma sesuatu yang dikeluarkan dengan mengucapkan mantra-mantra aneh. Padahal, untuk menghidupkan suatu novel fantasi, pengarang perlu lebih dari sekedar glosarium penuh kata-kata asing yang susah dieja.

Satu hal yang bikin bingung, Aburo Eurgava si tokoh utama ini digambarkan jauh lebih jago dan kuat dibanding yang lain di dalam tiap pertempuran. Demikiannya kuat sampai ada plot device di dalam cerita ini yang dipakai beberapa kali, dimana para Ksatria White Legions harus melakukan sesuatu, terus gagal, dan Aburo Eurgava tampil sebagai dewa penyelamat.

Lho, apa salahnya dia kuat kalau dia tokoh utama? Nggak salah, cuma bikin bingung karena sebagai kontrasnya para Ksatria White Legion, terutama Dohika, digambarkan terlibat selalu terlibat dalam pertengkaran-pertengkaran anak kecil, konyol, sok tahu, dan suka salah sebut nama.

Loh, apa salahnya (lagi)? Nggak salah (lagi), tapi bikin aku bertanya-tanya bagaimana Dohika bisa masuk White Legions yang (katanya) elit itu, dan mengapa, kalau Aburo lebih kompeten, bukan dia yang direkrut ke dalam White Legions? Mengapa statusnya dia cuma Sang Pengawal, dalam arti, cuma jadi pengawal Dohika? (Dan elit banget Dohika, baru prajurit aja bisa punya pengawal. Gimana kalau udah Jenderal?)

Jangan bilang pliss kalau pertanyaan ini akan dijawab di sekuelnya...

Berikut, aku pengen bicara soal tokoh. Pengarang ini masih remaja, dan saat menciptakan tokoh, seorang pengarang meletakkan sesuatu di dalam dirinya kepada para tokoh itu. Jadi, jika tokoh-tokoh Eurgava masih mencerminkan keremajaan, baiklah, dipahami. Dohika dan Auvii, misalnya, digambarkan berkelahi karena hal-hal kecil semacam ledek-ledekan dan hutang. Tapi pengarang juga bisa membuat tokoh-tokoh yang lebih tua macam Jouhdin dan Bashkra bertingkah dan bicara sesuai usia mereka, walau memang ada 'rasa tinggalan' yang menunjukkan bahwa tokoh-tokoh tua ini diciptakan oleh anak muda.

Masih berhubungan dengan tokoh, tata nama dalam cerita ini menurutku masih kurang. Kesatuan rasa pada nama dan istilah yang menunjukkan ras atau kebangsaan belum terlihat. Dan kalaupun mau pakai nama/istilah yang nggak menunjukkan kebangsaan atau ras, nama-nama yang dipakai masih belum memiliki kesatuan yang menunjukkan bahwa nama itu adalah khas dunia Eurgava. Yang kumaksud kesatuan rasa ini bisa diamati pada marga Batak misalnya, ada Sitorus, Siahaan, Situmorang, Sisingamangaraja. Terasa kan kesatuan rasa yang mengidentifikasi semua itu sebagai nama Batak, yang tentunya bisa dibedakan dari nama Jawa, (Soeroso, Brojonegoro, Barghowo, S*silo B*mb*ng Yudh*y*n*, dst) atau nama Belanda (Marijke, Famke, Willem, Jan Pieterszoon Coen. ;P)

Bahkan barangkali nama-nama tokoh yang ada di dalam buku ini adalah nama teman-teman pengarang yang diutak-atik. Dohika, misalnya, adalah utak-atik dari Andhika. Dhika nya itu loh, kalau ditulis pakai katakana Jepang, kan jadi Dohika. Trus Saputrus... heh. Ada teman yang namanya Saputra, -a nya tinggal diganti -us. Kayak doktoranda dan doktorandus. Dan Bashkra... ini nama pengarang sendiri, ‘kan? Baskara. Heheh.

Kreatif? Ya. Membantuku mendapat 'rasa' dunianya? Belum.

Satu hal yang barangkali ingin kupuji dari buku ini adalah ilustrasinya. Bukan karena sangat "wah," tapi karena ilustrasi ini cukup baik kalau ingat yang bikin ini masih remaja SMU. Caranya mengambil sudut gambar, mengambil momen-momen yang pas untuk diilustrasikan, dan pembagian panel untuk ilustrasi ala manga, semua menunjukkan kalau penulis ini punya potensi lumayan buat jadi komikus. Favoritku adalah ilustrasi komik 3 kotak di halaman 203 yang kayaknya terinspirasi dari yonkoma (walau rada ga nyambung ke cerita.)

Jadi? Is this book a win or a fail? Aku nggak akan bilang jelek, terutama setelah kejadian dengan a certain Epic Fail yang traumatik itu. Ada beberapa poin baik dari karya ini, dan ada juga yang masih terperangkap pada pola-pola standar yang diikuti penulis fikfan pemula yang keranjingan main game: chosen-one-ketemu-sidekick-bikin-party-lawan-musuh. Menjadi gamer/pecinta anime-manga memang bisa menjadi aset untuk membuat fiksi fantasi, tapi hendaknya kita ingat bahwa menulis novel adalah seni yang berbeda dari menonton anime atau main game, dan setiap seni punya 'bahasa' sendiri-sendiri.


Luz Balthasaar