Minggu, 19 Oktober 2008

FIREHEART-Legenda Paladin: Sang Pemburu (Andry Chang - 2008)


Data Buku:

Penerbit: Sheila
Editor: Oktaviani HS
Setting: Sri Sulitiyani
Desain Cover: Weny
Korektor: Artika Maya/ Aktor


Kalau teman-teman perhatikan, dalam beberapa review ke belakang, anda tidak menemukan suatu judul baru karya fantasi. Itu sedikit banyak mencerminkan bahwa selama bulan Agustus-September 2008 ternyata tidak satupun buku Fiksi Fantasi karya anak negeri yang meluncur ke pasaran (pasaran yg biasa saya kunjungi, BTW. ga tau deh kalau ada pasaran di luar itu, hehehe).

Alhamdulillah, situasi tersebut berubah berkat terbitnya satu lagi karya Fiksi Fantasi lokal, pecah telor istilahnya, yaitu FIREHEART-Legenda Paladin: Sang Pemburu, karya pengarang Andry Chang yang diterbitkan oleh penerbit Sheila.

FIREHEART adalah sebuah karya Fantasy epik yang memposisikan diri sebagai bagian pertama dari sebuah trilogi, dimana hal tersebut disebutkan jelas pada pengantar dari Pengarang, sekalipun tidak ada penomoran dicantumkan pada cover (why not, sih?). Sebagai catatan tambahan, sejak lama sebelum buku ini terbit, pengarang sudah membuat sebuah blog di http://fireheart.tk sebagai saluran komunikasi mengenai buku bersangkutan serta pajangan sedikit cuplikan dari buku ini maupun karya sekuelnya. Dan tambahan menarik lainnya, bahwa buku kedua (dan ketiga?) sebetulnya sudah finish dalam bahasa Inggris (!) dan saat ini sedang dalam proses penerjemahan untuk diterbitkan sebagai sekuel.

Jadi, Andry Chang menuliskan novelnya langsung dalam bahasa Inggris dulu? Well, bukan cara yang lazim dalam mengarang, hehehe. Tapi tak apa, yang penting khan bagaimana hasilnya dalam bahasa Indonesia, ya gak?

Hal pertama yang menarik dari novel ini adalah desain sampulnya yang cukup rame yang menyedot perhatian. Bergambar seorang pendekar/ satria ala Manga dengan paduan warna merah/ jingga, ada tipografi FIREHEART yang bagus di bagian dahi sampul. Keren juga, hanya saja eksekusi wajah sang satria (hanya wajahnya aja!) yang menurut saya kurang rapih digarap, masih seperti gambar-gambar fans-fictions.

Dengan keseluruhan desain seperti itu, terkesan buku ini ditujukan buat pembaca selevel SMP atau SMA/ Kuliahan. Walau ternyata di dalam ceritanya sendiri memiliki target pembaca dewasa umum, dan memiliki elemen entertainment yang memang lebih mengarah pada pembaca dewasa umum.

Kisah FIREHEART sudah cukup biasa dijumpai dalam genre Fantasy, yaitu perjuangan kebaikan melawan kejahatan, namun memiliki suatu 'twist' yang cukup menarik juga. Demikian juga moral development yang dikandungnya, juga tidak biasa dan cukup bergizi. Sepanjang membaca buku ini, rasanya saya dapat menikmati gaya tulisan Andry tanpa kesulitan atau kening berkerut, berkat penerapan bahasa tulisan yang tidak neko-neko (tapi ada catatan mengenai ejaan). Dan memang, ada beberapa aspek yang menarik perhatian dari karya pengarang ini.

Perhatian pertama, pada adegan pembuka (yg sejak tulisan ini dibuat, ada forum yang ngebahas hal yang sama juga), yang secara setting mirip sekali dengan Novel Misteri Pedang Skinheald-nya Ataka buku pertama, Suatu kemiripan yang tidak mungkin tak saya singgung dalam review ini.

Adegan pembuka FIREHEART adalah adegan "penyegelan pedang" Kraal'shazar alias Pedang Iblis Pembantai oleh tiga orang penyihir: satu penyihir senior Azrael, satu penyihir elf perempuan bernama Carolyn, serta satu ilmuwan Theripedes. Di buku Ataka, ada adegan penyegelan pedang Skinheald oleh penyihir pria Greylay, seorang penyihir wanita, Mildebest dan seorang pria jenius, Pryraf.

Tentu saja, kemiripan ini terbuka untuk diinterpretasikan macam-macam oleh publik, sekalipun demikian publik pun harus mengakui bahwa hanya sebatas itulah kemiripan yang ada, selebihnya masing-masing novel memiliki orisinalitasnya sendiri-sendiri. Dan lagi, jalan cerita selanjutnya juga jauh berbeda.

Tapi bicara orisinalitas, saya justru punya perhatian kedua. Mengenai Setting (Apa barunya seorang FA Purawan ngomongin setting? Hehehe). FIREHEART menggunakan setting medieval barat secara utuh dipakai tanpa merasa perlu susah-susah menciptakan setting sendiri. Maka di dalamnya terdapat ras-ras manusia, elf, orc, hobgoblin dan sebagainya, dengan dunia Eternia yang berasa mirip dengan dunia apapun yang mengambil setting medieval. Kurasakan banget bahwa pengarang mengambil setting yang ada dalam game RPG semacam WarCraft series atau Dungeon & Dragon series. Salah satu indikasinya aku lihat di penggambaran kaum Orc yang lengkap dengan ciri-ciri fisik dan ciri budayanya, yang rasanya mirip dengan game WarCraft, termasuk juga konvensi penulisan namanya.

Nah, sedikit bertentangan dengan ajaran "Hayo seriuslah dalam menciptakan universe mu" dalam penulisan novel Fantasy (yg sering mengandung pengertian intrinsink: ciptakan duniamu sendiri), saya melihat bahwa kiat pengarang dalam memakai dunia yang "udah jadi," merupakan salah satu kiat aman, terutama bagi pengarang fantasy pemula. Yeah, kalo bikin sendiri susah, kenapa gak pakai yang sudah ada saja? Yang penting be serious with it, patuhi juga hukum-hukum yang sudah ada di dalam dunia tersebut sehingga engkau akan tetap konsisten. Nah, dalam hal ini saya amati bahwa pengarang juga tidak asal ceplokin dunia orang; pakai dipelajari dulu, diriset dulu secara memadai. Hal itu membuat pengarang jadi punya kepastian sikap dalam mengendalikan karakter-karakternya di dunia Eternia, karena udah paham apa batasan dan apa ruang-ruang yang bisa dipakai untuk manuver.

So, bukan termasuk kreatif dalam penilaian gue, tapi memang aman dan workable, nevertheless. Dan saya tidak serta-merta menilainya sebagai negatif.

Dan penerapan dunia ready made itu juga nggak tanggung-tanggung, kupikir, sebab dunia Eternia ciptaan (baca: terapan) pengarang kurasa cukup lengkap. Dia punya sistem keagamaan (sangat jarang disentuh di novel Fantasy) dengan Vadis sebagai tuhannya, sampai ke sistem ekonomi. dan perbankan. Sistem ekonominya sendiri menarik, sebab di dalam novel ini cukup clear, jelas, dan cukup 'masuk akal' bagaimana seseorang mencari uang di Eternia (walau cara pengiriman uang di bidang perbankan Eternia menurut gue udah di luar keterbatasan logika universe).

Antara lain, sebagai pemburu. Kalau kau menjadi pemburu Orc, maka kau bisa mengoleksi items yang bisa ditebus dengan sejumlah uang oleh pejabat pemerintah. Ini bisnis yang cukup lukratif, sehingga bahkan para pemburu sampai dapat mendirikan 'guild' segala. (Kurasa, dari sini juga sub judul: Sang Pemburu, berasal, yaitu menjelaskan status tokoh utama Robert Chandler sebagai si Orcbane alias pemburu Orc). Dan di guild ini kau bisa browsing proyek-proyek penangkapan Orc, Troll, bandit etc laksana pengumuman tender di instansi pemerintah. Lucu, tapi toh terasa cukup masuk akal untuk dunia Eternia.

Nah, keseluruhan setting yang memiliki dunia lengkap, ras penghuni yang beragam, serta sistem ekonomi. Di kepalaku langsung bersinar bola lampu: Franchise! Ya. Dunia Eternia memang sudah tergelar cukup lengkap bahkan bila akan 'dijual' sebagai setting game on-line, setting novel lainnya, atau apapun. Good idea.

Akan sangat gampang ngembangin sebuah game RPG yang dimulai dari, let's say, a Guild, kamu jadi pemburu kelas rendah memburu Orc, dapat uang, upgrade perlengkapan, sambil mengikuti kisah Robert Chandler di latar belakang, bahkan kalau kau beruntung, kau bisa ikut bergabung dengan pasukan pemburu yang masuk ke gua Kuil Enia bersama Robert Chandler! Saya pikir, boleh jadi pengarang memang sudah mempersiapkan Fireheart ini dengan commercial aspect in mind, dan saya menganggapnya sebagai suatu strategi bagus untuk napas yang lebih panjang.

Bicara alur ceritanya sendiri, buat saya cukup memikat walau tak membuat saya terkagum-kagum. Standar lah. Bahkan, karena terkait temponya sebagai sebuah kisah trilogi, bagian depan novel terasa agak melantur, saat pembaca harus mengikuti flash back riwayat Robert yang agak jauh ke belakang (satu sub-plot yang mendingan juga dibikin sebagai prekuel aja). Sampai lebih kurang setengah tebal buku, pembaca belum masuk ke konflik utama mengenai pedang tersegel.

Yap, persis game RPG di mana si pemain harus menjalani side-quest segala. Contohnya kunjungan ke negeri Kurcaci Grad, yang sesungguh tak terlalu penting dalam bangunan plot, sebab konflik-nya ternyata cuma konflik semu.

Untuk karakterisasi, well, tokoh-tokoh utama kupikir udah cukup klise ala Fantasy RPG Jepang, lah. Robert yang berwajah tampan tapi dingin, atau Carolyn yang berambut pink, serta Chris yang tolol dan naif, sangat mudah membayangkan tokoh-tokoh semacam itu berada dalam setting game. Setiap tokoh sudah tampak memiliki peran yang jelas, baik sebagai tokoh protagonis maupun antagonis. Ada beberapa tokoh yang kelihatannya sengaja diberi muatan misteri untuk membuat pembaca penasaran terhadap perannya selama di trilogi (which is akan banyak potensial di situ). Tapi sejauh yang saya baca, menurut saya karakter-karakter tersebut masih condong ke hitam-putih, masih kurang dalem. Untuk karakter Chris, apapun peran tersembunyi yang disematkan oleh pengarang terhadap karakter itu di kemudian hari, kurasa dalam buku satu ini tergolong sebagai suatu kesia-siaan yang menjengkelkan. Tapi oke lah, memang cukup potensial sebagai faktor kejutan kelak :)

Sekarang mari bicara hal-hal yang membuat saya kurang 'sreg' (jadi yang tadi itu masih termasuk 'sreg', toh??)

Pertama, masalah penamaan. Nama tokoh utama Robert Chandler, Carolyn, dan Christoper, nginggris banget. Memang masih sesuai sih dengan setting yang dipilih. Tapi saya masih kurang sreg, aja. Buat saya, mendingan pengarang bikin aja konvensi nama+julukan yang rasanya lebih fit dalam setting Eternia sekaligus memberi bobot karakterisasi tambahan pada para tokoh, misalnya nama seperti "Sage Hati Api" (Sage The Fireheart), sekalian aja Robert The Orcbane, atau Carolyn Tongkat Api atau apalah. Nama kayak gitu masih lebih 'bunyi' dibanding sekedar Robert Chandler.

Kemudian masalah jurus-jurus. Ada banyak banget jurus, euy! Termasuk summoning ala Final Fantasy juga. Semua jurusnya punya nama yang cantik-cantik. Persoalannya, kupikir pembaca hanya bisa mengingat sebagian kecil dari nama jurus-jurus yang mirip-mirip itu, alih-alih untuk mengingat bagaimana bentuk jurusnya. Gue sendiri hanya bisa mengingat dua jurus milik si Don Hernan, berkat penggambaran yang cukup deskriptif di saat pengarang menjelaskan jurus tersebut. Idealnya, harus ada waktu bagi pembaca untuk bener-bener meresapi jurusnya dan membayangkannya melalui beberapa sesi pertempuran, sebelum jurus tersebut dapat digunakan sebagai pengganti deskripsi aksi sang tokoh.

(Tapi di sisi lain, banyaknya jurus ini juga akan menjadi gimmick yang menjual bila cerita ini akan dibikin sebagai basis game RPG, secara bumbunya game RPG adalah adegan-adegan berantem menggunakan jurus-jurus, hehehe,...)

Kemudian, starting adegan Gua Enia, mulai banyak terdapat tokoh-tokoh sampingan, yang membuat petualangan memasuki gua itu terasa begitu massal dan mengalihkan perhatian pembaca dari POV tokoh utama si Robert Chandler. Begitu banyaknya yang masuk gua, dan yang jadi korban di dalam gua, sampai saya sendiri lost count. Lho kupikir tinggal dikit setelah masuk ke halangan anu banyak yang tewas, ga taunya koq masih banyak juga sisanya. Jadi dimensi volume dan jumlah menjadi agak kacau pada adegan masuk gua ini. Dan memang dalam pikiran saya, quest masuk ke gua adalah quest yang praktisnya dilakukan sekelompok kecil, bukan rombongan besar. Kalau mau besar lebih mendingan bikin quest masuk istana kuno aja,... hehehe.

Selain itu buat gue missi masuk Gua Enia ini kurang punya dasar plot yang jelas dan kokoh. Rasanya seperti sedikit dipaksakan, adanya suatu situasi dimana dua kelompok pendekar (terang vs gelap) harus masuk ke sebuah kuil (baca: Benteng) yang suppose to be dibuat dalam rangka mencegah pedang iblis diambil orang, tapi kemudian mengundang orang-orang agar menjebol sistem keamanannya secara bersama-sama! Buat gue sih gak masuk logika. Artinya, plotting pengarang kurang kuat di aspek ini.

Kemudian, tidak ada peta! Halah, di saat novel terbitan lain memiliki peta yang kukritik tidak sinkron dengan cerita, novel ini malah memiliki cerita yang badly (and rightfully!) needs a worldmap, tapi justru kagak ada! Dunia Eternia cukup kompleks dan dalam penceritaan kurasakan bener betapa butuhnya pembaca akan sebuah peta yang bisa menjelaskan posisi dan situasi alam Eternia. Moga-moga dalam terbitan seri 2 peta tersebut bisa dihadirkan oleh penerbit (karena setahu saya, pengarang pernah menyatakan bahwa beliau sudah membuat konsep peta untuk Eternia).

Kemudian, mengenai "Legenda Paladin", well,... boss, mana legendanya? Kasus sama dengan "Legenda Amigdalus"-nya Zauri nih, satu buku dibaca abiss kagak ketemu tuh legenda, at least something as important to be considered as legend dalam cerita ini, hehehe. Entahlah, kalo menurut gue sih mustinya sejak buku pertama pembaca sudah harus punya pemahaman mengenai legenda tersebut, apa relevansinya dan kepentingannya, sehingga pengarang akan mudah menjalinkannya dalam plot dan kisah. Dan bayangan gue sih, kalo ada yang namanya legenda PALADIN, mustinya kultur mengenai Paladin itu sendiri akan berbekas kuat dalam universe Eternia, dan akan sangat jelas terlihat di mata pembaca. Yang sekarang, gue rasa belum banget, tuh.

Yang terakhir adalah mengenai typesetting atau ejaan. Apakah memang tidak ada konvensi ejaan dalam tata-cara penulisan dialog dalam novel? Flow baca saya sangat terganggu dengan moda penulisan new paragraf setiap kali ada tanda petik dialog. Jadi setiap kali seorang karakter berbicara, maka lay-outer selalu menempatkan line dialognya sebagai paragraf baru, regardless konteks bicaranya bagaimana.

Sehingga sering suatu dialog yang sebetulnya merupakan kelanjutan dari aksi sebelumnya, menjadi putus-flow. Contohnya seperti ini:

Amir menjawab,

"Selamat Pagi, bu guru"

-----------------------

Padahal seharusnya lebih pas (sesuai konvensi?) bila dituliskan seperti ini:

Amir menjawab, "selamat pagi, bu guru".

----------------------

Akibat dari moda penulisan seperti di atas, terus terang saya membacanya jadi seperti terlompat-lompat (secara mental), dan ini sangat mengurangi kenikmatan membaca.

Padahal, buku ini menggunakan ukuran, jenis font serta pengelompokan spacing intra paragraf yang paling enak di mata. I wish buku lain seperti ini, alih-alih menggunakan font sans sheriff untuk body text dengan ukuran gede dan penulisan rapat-rapat yang membuat white areanya jadi malah lebih dominan dibanding huruf! Nah, untuk Fireheart, tulisannya enak di mata dan mudah dibaca.

Di luar semua kekurangan, saya menganggap serial Fireheart ini, walaupun belum menjadi sebuah epik atau saga yang memukau, tetap memiliki kelebihan berupa paket universenya yang lengkap dan well thought, sekalipun itu pinjaman dari universe eksisting lain. Demikian lengkapnya sehingga akan mudah bagi siapapun (tidak hanya pengarang) untuk membuat produk spin-off yang berlandaskan universe Eternia. Dan kurasa, hal itu merupakan suatu hal yang baru dan prestasi tersendiri dalam konteks industri penulisan Fantasy di tanah air.

Buat Andry Chang, selamat, dan cepetan dikebut aja tuh sekuelnya,... hehehe,...

Salam,


FA Purawan