Minggu, 29 November 2009

JONGGRANG: Seribu Tahun Kutukan Dendam & Cinta (Bimo S. Nimpuno & Gerry Nimpuno - 2009)


by FA Purawan

Data Buku:

Penerbit: Edelweiss
Editor: -
Desain Sampul: Kebun Angan
Tata Letak: Fitri Yuniar
Tebal: 268 halaman

Hmm, ada apa dengan Roro Jonggrang? Apa daya fantasi yang melingkupi legenda ini sedemikian dahsyatnya sehingga menjadi inspirasi tak putus-putus? Masih banyak legenda lokal yang lain, kan? Tapi kenapa Roro Jonggrang lagi, lagi, -dan lagi? Apa karena ada artefak candi yang segitu gede dan memukau-nya, sehingga legenda itu menjadi terus tersokong hidup sepajang masa.

Nggak salah, si Bandung Bondowoso dulu mengutuk Roro Jonggrang jadi patung batu. Terbukti long-lasting, heheheh. Coba kalau dikutuk jadi kodok, besoknya udah jadi Swikee.


Ada satu lagi buku baru bernuansa Fantasy yang menggunakan perempuan Prambanan ini sebagai latar cerita. Buku berjudul JONGGRANG: Seribu Tahun Kutukan Dendam & Cinta karangan duo pengarang Bimo S. Nimpuno dan Gerry Nimpuno. Ini adalah buku kedua yang direview oleh Fikfanindo menggunakan tema Roro Jonggrang, kalau teman-teman masih inget, yaitu PETUALANGAN JAVA-JOE: Rahasia Kebangkitan Roro Jonggrang karya J.H. Setiawan, linknya ada di sini.

Novel JONGGRANG mengisahkan kutukan yang menimpa Loro Jonggrang, putri Prabu Boko dari Prambanan yang mengakali Bandung Bondowoso sehingga pangeran penakluk dari Pengging itu gagal membuat candi keseribu yang dimintanya. Kutukan itu terus melekat sampai masa kini dan menimpa sepasang kekasih yang jadi tokoh utama buku ini, sehingga keduanya harus membebaskan diri dari cengkeraman Loro Jonggrang dengan menggunakan kekuatan CINTA.

Well, I know, I know. Komennya ntar dulu deh. Sekarang perlu aku beberkan dulu alasanku mengapa buku ini menjadi menarik untuk dibedah di Fikfanindo. Yang pertama, ini adalah buah karya kolaboratif dari sepasang pengarang yang kebetulan berstatus suami-istri (Atau suami-istri yang kebetulan berstatus pengarang? Hayah...). Fokus di 'kolaboratif'nya. Kita lihat bagaimana perpaduan dua benak dapat bersinergi menciptakan satu karya. Kedua, buku ini adalah jajaran kesekian yang mengolah tema 'basi'... uits, jangan marah dulu. Maksudnya topik Roro Jonggrang itu--yang sudah terpakai berkali-kali oleh dozens of writers. Apakah hal baru yang bisa dikreasikannya sehingga buku ini bisa menjadi sosok yang lepas dari bayang-bayang buku lain yg duluan eksis?

Kita mulai dari kemasan: Sampulnya berwarna hijau dengan ilustrasi putri keraton di sudut kiri bawah menghadap pada semacam pusaran cahaya langit di area tengah sampul. Tulisan "JONGGRANG" dengan typografi cukup menarik menghiasi muka sampul, dengan bayang-bayang candi sebagai latar belakang, dengan susunan pucuk-pucuk candi mirip dengan susunan pucuk rumah ibadah di cover novel Kisah 5 Menara. Cover dikerjakan oleh Kebun-Angan, ilustrator yang mengerjakan cover serial terjemahan Percy Jackson & The Olympians (Saya suka karya mereka di serial ini). Lumayan, konsep dan eksekusinya cukup dapet, lah. Hanya penggambaran sosok putri masih terasa agak kartun menurut gue, rada kurang masuk dengan tema buku yang sebetulnya cukup dewasa (baca: serius).

Gimana dengan alur plot? Agak similar dengan JAVA JOE, cerita dibuka dengan adegan pertempuran Bandung Bondowoso vs Prabu Boko. Terus sampai drama kutuk-mengutuk itu, lalu pindah ke masa kini.

Ada satu pendekatan unik yang digunakan para pengarang dalam mengantarkan cerita, yaitu dengan adanya suatu 'karakter pembantu' yang dinamai 'Akselerasi'. Sebetulnya ini bukan orang, dan juga bukan apa-apaan sebab gak dijelaskan lebih lanjut oleh pengarang. Cuma pengarang menggunakan 'Akselerasi' ini sebagai semacam 'kamera' yang mengamati semua adegan. Hebatnya --but at the same time: ancur-nya-- Akselerasi ini digambarkan datang dari ujung alam semesta dengan warp-speed menuju Bumi. Ndilalah mampirnya ya di Prambanan, gitu jhe? (gunakan logat Yogya).

Lho kenapa gue bilang 'ancur'? Sebab karakter akselerasi ini gak punya hubungan sebab-akibat apapun dengan cerita. Dia cuma jadi semacam pengantar aja yang fungsinya juga gak jelas. Gak eksis pun gak apa-apa. Mustinya sih, pengarang bisa memberikan sedikit 'reason' kenapa karakter itu diperlukan, kenapa relevan ada di bukunya.

Alur didesain cukup biasa saja. Straight forward dari awal sampai akhir. Ada a little twist yang sedikiit aja memperkaya (sayangnya, nggak memberi kedalaman pada cerita), padahal kalau aku rangkai-rangkaikan, kayaknya potensial jadi sesuatu yang saling interelated dan membuat cerita jadi lebih berdimensi. Kayaknya pengarang gak melihat hal itu, atau gak mengolahnya dengan baik.

Lepas dari masa Prambanan, masuk setting masa kini, dengan kehidupan tokoh utama bernama Data Sena --yang bekerja di perusahaan IT-- dan kekasihnya Elektra. Yup, pasti anda terjengit, ada orang indonesia bernama Elektra, dan Data. Gue juga sempat membatin koq namanya aneh bener Data (mirip tokoh Star Trek), terus kerja di IT, pulak. Eh ga taunya di halaman 23-24 pengarang udah ngeduluin mencounter dengan pertanyaan yang sama. Ha-ha.

Penggambaran setting masa kininya cukup dapet, dan secara signifikan lebih baik dari pada setting era Prambanan-nya. Untuk setting masa kini yang berlaku seputar kehidupan kantor, rumah, cafe, situasi liburan di Bali, Yogya, wisata candi Prambanan dll, cukup bagus tereksekusi.

Tapi khusus... setting Fantasynya, harus aku puji cukup extra ordinary. But wait, aku belum bicara masalah penulisan/ penceritaan, tapi ide fantasy nya aja dulu. Ada dua setting Fantasy yang cukup dominan di sini, yaitu Prambanan era tahun 800 M-an dan "Alternate Prambanan" di masa kini. Di setting Prambanan tahun 800-an, pengarang menelurkan ide fantasy pembuatan seribu candi yang cukup keren buat gue. Tentu saja, adegan pertempuran Prabu Boko dan pembuatan 1000 candi pastinya udah banyak yang mengolah. Bagaimanapun itu adegan inti dalam kisah Roro Jonggrang klasik. Tapi lihat deh apakah sudah ada yang melukiskan bagaimana cara Jin-jin dedemit pembantu Bandung Bondowoso itu datang?

Keren, look at this:

...Angin berhembus kencang menerjang apa saja yang dihantamnya, termasuk potongan-potongan tubuh yang berserakan di tanah yang berlumuran darah. Namun kejadian yang mencekam ini tidak membuat Bandung berhenti komat-kamit. Justru sebaliknya ia berputar-putar dengan perlahan sambil terus menengadah ke langit melanjutkan manteranya. Di dalam suasana alam yang hiruk-pikuk itu, tiba-tiba tanah bergetar. Getarannya tidak mirip dengan gempa bumi, tetapi lebih mirip dengan getaran magma yang akan keluar dari dalam perut bumi. Tidak lama kemudian muncullah dari dalam bumi, sesosok makhluk yang wujudnya mengerikan. Mula-mula hanya kelihatan kepalanya saja yang menyembul keluar dari dalam bumi. Kulitnya hitam keabu-abuan dan lapuk seperti mayat yang sudah beberapa bulan dikubur di dalam bumi. Matanya memantulkan sinar hijau. Cuping hidungnya besar dan mengenakan anting. Tampak taringnya keluar dari antara kedua bibirnya yang tebal dan menjijikkan. Ketika badannya sudah hampir keluar semua, tampak badannya tidak proporsional sama sekali. Tangan dan kakinya kecil, tubuhnya bungkuk dan perutnya buncit. Kuku-kuku yang panjang berliuk-liuk dan kotor keluar dari masing-masing jari-jari tangannya yang panjang-panjang. Ternyata makhluk bawah tanah itu tidak sendirian. Satu persatu mereka menyembul keluar dari dalam tanah sehingga jumlahnya ratusan bahkan ribuan. Belum selesai makhluk-makhluk lainnya yang sejenis menyembul keluar dari dalam tanah, tiba-tiba sekumpulan awan hitam menerobos dari langit menuju ke medan Prambanan yang kini berubah lebih menyeramkan lagi dari sebelum-sebelumnya. Ketika menyentuh tanah awan hitam itu berubah wujud menjadi kawanan makhluk-makhluk kecil yang menyerupai tuyul yang jumlahnya juga ribuan. Mereka juga ribut dan gerakannya seperti anak-anak kecil yang rakus... (Hal. 9-10)

See? Ide --terutama visualnya-- cukup orisinil dan menggugah.

Juga untuk ide Alternate Prambanan di masa kini. Di saat malam terutama, starting pukul 23.00, Prambanan akan menjadi suatu kompleks istana klasik dimana dayang-dayang, penari, ponggawa dan kereta kencana gaib muncul. Dan yg bikin gue geleng-geleng kepala, semua berlangsung sepermakluman rakyat setempat sampai ke petugas satpam (Petugas Satpamnya gak heran ngelihat ada kereta kencana ditarik enam kuda hitam berlari menembus gerbang tertutup right before his own eyes! Mantap!) A living urban legend! Dunia real dengan dunia khayal bertemu-mix di sini secara apik. Saya suka.

Dengan adanya dua ide setting itu, sebenernya Novel ini berpotensi jadi 'beda'. Sayang sekali, kualitasnya belum bisa mencapai posisi ideal karena beberapa kelemahan. Saya akan list down kelemahan yang bisa saya temukan, sambil sekaligus beberapa komplain terkait pengolahan cerita, hehehe. Here goes:

1. Yang paling parah: kemampuan penulisan, pembuatan prosa atau kalimat. Sayang banget masih kurang bagus, ku bilang malah masih agak berantakan. Liat aja contohnya di paragraf yang saya kutip di atas. Terlihat bahwa adanya DUA pengarang tak menolong dalam hal ini. Entah apakah salah satu gak bisa mengoreksi yang lainnya, atau dua-duanya memang belum punya skill-nya. Kalau saja peran editor bisa lebih ditingkatkan, di sini.

2. Sedikit bolong logika: Pembangunan candi Prambanan pada tanggal 11 November tahun 856-an M atau Abad 9 M (hal 91), peristiwa masa kini terjadi tahun 2009-an. Tapi selisih tahunnya menurut pengarang adalah seribu tahun(an). Well, 800 ditambah 1000 baru nyampenya 1800-an lah, kurang dua abad! Kesalahan remeh, sih, tapi masak matematika sederhana aja terlewat? Tapi anehnya di halaman 3 disebutkan time-line perang Prambanan adalah pada abad 10 M. Antara abad 10 dengan abad 20 memang terpaut seribu tahun. Tapi bagaimana konsistensinya dengan informasi pembangunan Prambanan di tahun 800-an? Artinya perang terjadi setelah candi dibangun? Lha perangnya sendiri seharusnya adalah penyebab dari candi itu dibangun! Ga tahu deh, miss-nya di mana. Kalau menurut gue sih, konsistenkan saja, pilih satu sudut premis yaitu (kalau di sini) premis legenda aja, jangan masukin premis fakta. Aman. Kecuali kalau antara legenda dan fakta 'kebetulan' cocok.

3. Blatant Tourism Promotion: Jangan-jangan dua pengarang ini sempat minta sponsorship dari Pak Jero Wacik! Part selipan promosi wisatanya terasa amat vulgar, sampai ke adegan waiter di Ubud duduk nemenin tamu hotel (sang tokoh) untuk mendeliver obrolan yang pantasnya tercetak di brosur wisata. Well, masih bisa dimaafkan, ketika kisah pariwisataiyah tersebut juga direfer sebagai informasi penting terkait plot, memang. Tapi hari gini, rasanya udah banyak pengarang menghindari kevulgaran yang kayak gitu. Istilah pariwisata perlu dicek lagi, gue baru tahu kalo wisata Arung Jeram masuk kategori Wisata Bahari (hal 55).Promosi tempat-tempat di Yogya juga, buat saya 'masih' berasa dipaksakan, walau pengarang sudah cukup rapi meramunya sebagai tempat-tempat yang dikunjungi para tokoh. Rasanya seperti nonton film laga Steven Seagal yang dipaksain beraksi di lokasi-lokasi pariwisata, just to show *it* to the audience. Lame.

4. Inkonsistensi POV: Mulai dari Bab II: Seribu Tahun Kemudian, buku ini menggunakan sudut pandang Data Sena sebagai POV orang pertama (tokoh aku). Sayangnya tidak digunakan secara konsisten, sehingga acap terselip POV orang ketiga, misalnya POV Elektra. Bahkan di bagian akhir cerita POV bergeser 100% ke Elektra sebagai POV orang pertamanya. Hualah, kita mendalami masalahnya dalam sudut pandang Data, tapi menjalankan penyelesaian masalah melalui sudut pandang Elektra? Buat gue sih jadi gak nyambung, ya. Dan khusus pendekatan POV orang pertama, mengganti POV orang pertama dalam satu cerita menurut gue is a big No-No. Rasanya seperti membaca cerita yang gak selesai, sebab masalahnya diselesaikan oleh 'aku'nya orang laen. Tapi satu misslook juga terjadi di halaman 213, saat tiba-tiba saja dalam POV Data yang berada di Yogya, Data bisa bercerita mengenai aktivitas Elektra yang akan menyusulnya di bandara Soekarno Hatta Jakarta (parah, Data seharusnya dalam kondisi tidak tahu dan tidak peduli pada Elektra, koq bisa muncul POV itu). Udah gitu yang tidak indah juga adalah perpindahan ke POV Elektra seperti petir di siang bolong, alias ujug-ujug terjadi begitu aja mulai paragraf kedelapan di halaman 215. Parah juga di halaman 238 dimana Elektra meyatakan kondisi dirinya mirip dengan relief Kidung Sudamala di Candi Sukuh, sementara yang pergi ke candi Sukuh dan lihat relief itu adalah Data, di adegan pesiar sebelumnya.

5. Loro, atau Roro? Nhah, ini mungkin bakal jadi polemik kebudayaan di tangan orang yang gak ngerti budaya. Maksudnya, gue, yg nggak ngerti budaya Jawa. Pengarang menggunakan sebutan Loro Jonggrang, sementara setahu saya istilah yang benar adalah Roro Jonggrang. Bahasa Jawa-nya Loro, kan kalo nggak berarti (angka) "dua", atau "sakit", tergatung logat membacanya. Sementara kalau Roro itu sebutan untuk seorang puteri, misalnya dalam "Raden Roro". Nah, apakah memang ini semata slip-of-tongue, atau memang ada konvensi penggunaan istilah "Loro" yang sama benarnya dengan istilah "Roro"? Soalnya denger-denger juga ada istilah 'Nyai Loro Kidul' bersamaan ada juga istilah 'Roro Kidul', konon itu dua entitas (?).

6. Beberapa miss-logika juga terjadi, tapi dalam skala kecil sehingga mudah dimaafkan. Misalnya ada adegan Data bermimpi memasuki alam masa lalu dimana dia mendengar suara-suara pedang beradu dan orang-orang berteriak dalam bahasa Jawa Kuno. Ntar dulu,... emang Data ngerti bahasa Jawa Kuno? Bagaimana kalau itu sebenernya bahasa Urdu modern yang dikira bahasa Jawa Kuno? Juga reaksi curiga/ cemburu Elektra yang berlebihan, biarpun justified, tetep aja terasa dipaksakan.

7. Tadi sempat ngomongin ide fantasy keren, saat Bandung Bondowoso memanggil pasukan jin-nya. Terus yang bikin ide keren itu kehilangan momentum kekerenan, adalah: Pengarang mengulang penggambaran adegan yang sama sampai dua kali selain di adegan original. Satu di mimpi Data, satu lagi di adegan puncak saat Loro Jonggrang menawan Elektra, dan keduanya tampil dengan narasi yang nyaris mirip, almost total copas. Udah dua pengarang, lho ini? Koq, males? Atau, kalau mengacu pada teknik, sebetulnya ulangan ke 2 dan ke 3 itu gak perlu serinci yang pertama, sekedar gambaran singkat aja. Pembaca udah paham, koq. Kalau mau rinci, tuliskan dengan cara baru, misalnya dengan dijiwai oleh persepsi sang tokoh POV. Jadi pembaca tetap dapat sesuatu yang unik, gak pengulangan.

8. Late Chatolic Reference: Uhm, gue bukan anti religius-reference-in a novel. Even dalam novel gue (GARUDA-5) pun, gue menggunakan referensi Islam, yang gue timbang-timbang dengan hati-hati, supaya masih 'masuk' untuk dibaca audiens non-muslim. Novel Jonggrang ini menggunakan referensi Katolik, bahkan menjadikannya penyelesaian utama konflik melawan kutukan Bandung Bondowoso. Hanya komplain gue, kenapa referensi ini baru muncul belakangan, setelah halaman 217 sewaktu ada dialog dari Roos, kolega Elektra, "Kamu kan Katolik...dst". Blunggg! Abis itu menggelontorlah segala istilah per-katolik-an mewarnai buku, termasuk konotasi "Aku berada dalam terang" atau "Kau berada dalam gelap". Ugh, Koq jadi novel dakwah? Tapi ya udah. Soal dakwah adalah soal hak dan keyakinan. Aku hormati banget itu. Tapi soal memasukkan referensi teologis belakangan, aku rada gak sependapat. Saranku, masukinlah sejak dari depan, misalnya ada adegan acara keluarga bernuansa Katolik, ato apa gitu (sebisa mungkin jangan klise, tapinya). Tak soal bila pada adegan awal tersebut sang tokoh gak terlibat atau gak terkesan (biasa, kan belon insap). Yang penting pembaca sudah tahu sudut pandang itu sejak awal.

9. Dialog: Eksekusi dialog sebetulnya dah bagus, mengalir wajar. Cuma ada catatan di sana-sini, misalnya si Bandung Bondowoso yang berteriak-teriak menggunakan terlalu banyak konsonan-vokal-dan tanda baca. Si Bandung juga 'gak sengaja' keceplosan menggunakan dialog: "Ngomong aja kamu" (hal 15). Well, mungkin di abad itu gaya bicara seperti itu masih tergolong gaya bicara ningrat, kali ya, alih-alih gaya bencong, hehehe. Kalau menurut konvensi, sich, jika dialog diasumsikan berlangsung dalam bahasa asing (dalam konteks ini tentu bahasa Jawa Kuno), maka penulisannya dalam bahasa Indonesia seyogyanya dalam bahasa baku atau mendekati istilah-istilah baku. Jangan pakai bahasa slang. Nah, beda dengan ejekan Loro Jonggrang-muka-setan di masa kini: "Kasian deh loe!" (hal 242) itu masih tepat ditulis demikian sebab konteksnya si Jonggrang memang bicara dalam bahasa Indonesia, bukan Jawa Kuno. Dalam adegan-adegan latar misalnya di hotel, di cafe, terlampau banyak dialog yang gak perlu, sampe adegan pesan teh saja dibabar dialog tanya-jawab secara lengkap. Sebaiknya lebih efisien aja.

Well, that's it. Lebih kurang sembilan point aja yang bisa saya rinci sekarang. Moga-moga dapat menjadi pembelajaran bersama. Selain dari itu, novel ini memiliki kelebihan dalam pewarnaan budaya yang cukup beragam, referensi-referensi yang digunakan lengkap dan bernas, mengarah pada ketepatan text-book. Tinggal perangkaiannya aja gimana, agar tidak terkesan sebagai tour yang dipaksakan. Status pengarang sebagai pasangan suami-istri sepertinya juga saling melengkapi dalam menuliskan asmara hubungan pria-wanita. So secara pondasi sih, Jonggrang sudah memiliki kelengkapan yang cukup. Yang kurang adalah skill kepengarangan aja, yang masih dapat ditingkatkan. Selamat!


FA Purawan

Rabu, 25 November 2009

Intermezzo: Cynical World

By Luz B

here we stand in ravishing rain
joy is like pain
it feels like a miracle
you can't turn back, you're in chains
never again
return from a cynical world

~Yuki Kajiura, Cynical World


Menjadi seorang sinis itu sangatlah asyik, saudara-saudara. Jika kita melakukan interpretasi atas penggalan lirik lagu yang kukutip diatas, sekali anda menemukan esensi yang diperlukan untuk menjadi sinis, anda tidak akan bisa kembali manis. Jika seorang pemikir pernah berkata agama adalah candu masyarakat, aku akan menambahi bahwa sinisme adalah candu individu.

(Mendadak terdengar pembaca blog serempak berteriak, “Om Puuurrrr! Mampus deh, kenapa sih dikau terima anak sok filosofis ini? Tiadakah karyawan yang lebih baik?”)

Dan dari tangan-tangan mereka mulai terlontar tomat-tomat ranum.

Baik. Demi keselamatan jaket Burberrys berlabel made in China kesayanganku, ada baiknya kita to the point saja. Yang mau kukatakan adalah bahwa sinisme bukan perwujudan kebencian, walau tidak bisa disangkal bahwa orang-orang sinis seringkali dibenci. Terbukti, ketika Sabtu lalu aku mengunjungi Gramedia Plaza Semanggi, aku benar-benar kaget—dan dengan berani mengakui, sangat, sangat senang--melihat sebuah buku dipajang di rak terbitan baru.

Judulnya? Garuda 5: Utusan Iblis, oleh FA Purawan.

Yep. Itu nggak salah tulis, wahai saudara-saudari segala agama dan agami. Silakan ambil time out 5 menit untuk kaget, bersorak, memuji Tuhan, bersujud diiringi lagu religi paling gress, dan mengucapkan selamat kepada bos Blog Fikfanindo, sebelum lanjut membaca tulisan ini.

Begitu senangnya, aku langsung beli buku itu. Padahal, mereka yang mengikuti thread Fiksi Fantasi Dalam Negeri di Forum Lautan Indonesia barangkali tahu bahwa aku pernah membuat review draft original buku tersebut, yang berjudul Pendekar Garuda.

Ini cuplikan pendapatku…

Terkait dengan itu, aku merasa yang kukutip di atas adalah empat monolog sinetron yang dimunculkan sebagai perpanjangan mulut pengarang untuk mempersembahkan iklan layanan masyarakat mengenai isi kitab lontar. Narasi disamarkan jadi lisan karakter dengan cara naroh tanda kutip di depannya.

Ketahuaaaan banget, kayak Ade Rai nyoba nyamar jadi Dewi Perssik dengan nyumpel dada dan pantat pake karung beras.

Satu lagi…

Kasus yang sama juga dengan hubungan Jaka-Prasti yang bikin aku pengen goyang Mulan Jameela. Sumpah, Jaka barangkali adalah Makhluk Tuhan yang Paling Oon. sebagai ketua OSIS dia itu goblok banget sih.

Dan yang paling parah…

To sum it up, masalahku dengan PG adalah:

Karakter kadang kelihatan banget menjadi perpanjangan mulut pengarang...

...dan mereka memiliki motif yang basi...

...atau membicarakan filosofi yang dangkal, menyebabkan...

...tangan pengarang kelihatan banget ngarahin para karakter, yang

...membuat cerita jadi sangat tidak seru. Even the battle narration didn’t save this one, because...

...boros katanya itu membunuh excitement yang seharusnya terkandung di dalam narasi pertarungan!

As you can see, sama sekali nggak manis. Tapi balik ke permasalahan: mengapa, anehnya, despite all my cynicism, ketika melihat buku ini terbit aku justru pingin ke tempat ajeb-ajeb untuk berpestapora merayakan kelahiran para pendekar garuda ini?

Kemungkinan pertama, tentu saja: I am a deranged witch with a taste for sadomasochism. Barangkali ada orang-orang yang merasa perlu mengganti "w" dengan "b", but I don't really mind, because, too bad for them, I'm not their witch.

Terbitnya suatu buku sekalipun sudah dikritik ancur-ancuran seperti ini adalah bentuk bantahan, setidaknya secara parsial. Terlepas dari benar-tidaknya pendapat yang kulontarkan, bantahan adalah penentangan, suatu serangan balik. Dan kalau ada orang yang senang diserang (dan menyerang), itu gejala apa coba kalau bukan sadomasokhisme?

Kemungkinan kedua, melihat Garuda 5 terbit memberiku harapan. Naskah 699 halaman, dari penulis baru, dan ada yang berani menerbitkan? Ada juga penerbit yang segitu gilanya, yak? Kalau begitu, berarti naskahku juga pasti ada jodohnya diluar sana dong?

Dan yang ketiga, seperti apapun aku iri pada mereka yang naskahnya sudah mendapat jodoh, dan bagaimanapun rasa iri itu termanifestasi di dalam subjektivitas dan hinaanku, tetap saja ada kegembiraan melihat naskah milik teman keluar, dengan cover yang bagus, dan judul yang menurutku memuaskan selera oknum-oknum marketing tapi tidak sepenuhnya kehilangan rasa kependekarannya.

Apakah kepuasan itu lahir dari semangat kesetiakawanan? Ataukah itu murni cinta terhadap genre fiksi fantasi? Tidak, barangkali. Yang pertama terlalu mulia dan yang kedua terlalu sinetron. Sejujurnya aku juga sulit menjustifikasi kesenangan manis di dalam jiwa sinis ini. Tapi satu hal lagi yang pasti terjadi selain bahwa aku membeli buku itu adalah, aku semakin bersemangat mengerjakan naskah sendiri.

In other words, aku *uhukuhuk* berterima kasih *uhukuhuk* kepada Om Pur, selaku penulis Garuda 5, karena momen terbitnya Garuda 5 *uhukuhuk* memberi dorongan semangat *uhukuhuk* kepada jiwa sinis yang kadang fatalistis ini. *Gwaaaah~! Muntah darah dan masuk Rumah Sakit karena terlalu banyak bicara manis.*

Time out 5 menit untuk ambulans dan pertolongan pertama.

Nah, setelah aku sedikit pulih, barangkali bolehlah jika ada yang bertanya, semangat apa? Ya tentu saja, *dengan sinisme dan kengenye’an yang sudah kembali pol* semangat untuk membuat naskah yang bisa mengalahkan Garuda 5!

Oleh karena itu saudara-saudara sesama penulis setengah mateng, mari kita semua pesta, bersenang-senang, merayakan harapan yang dibawa Om Pur kepada kita. Dan setelahnya marilah kita menghargai dan menghormati pesan Om Pur di forum Fiksi Fantasi Dalam Negeri: mari kembali ke depan keyboard masing-masing, dan curahkan tenaga anda untuk melahirkan naskah yang lebih baik. Jika ada lagi naskah baru yang terbit, hargailah si penulis dengan berusaha melahirkan karya yang melampauinya, dengan demikian memperbesar dan memperkuat harapan itu setiap kali ada satu diantara buah perjuangan kita yang menemukan jodohnya.

Barangkali benar, seorang sinis sesungguhnya hanyalah seorang idealis yang kecewa.


Luz Balthasaar

Sabtu, 14 November 2009

AERIAL (Sitta Karina - 2009)

By Luz B


Editor: -
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Ilustrasi sampul: Dianing Ratri
Pengerjaan Sampul: Marcel A.W.
Tebal: 319 halaman


"Kamu familiar. Bau darahmu familiar."
"Aku sama sekali tidak mengenalmu."
"Kau tahu siapa aku, Putri."

Ehem. Putri.

Menjadi makhluk skeptis kadang-kadang ada kekurangannya sendiri. Salah satunya, aku langsung merinding kalau dalam sebuah novel ada tokoh cowok yang digambarkan dingin-dingin-ketus dan terus-terusan manggil ceweknya dengan sebutan "Tuan Putri."

Tapi okelah, aku nggak bisa bilang Aerial jelek hanya itu. Jadi mari kita amati buku ini dengan lebih seksama. Dari sampul depan, sangat menarik. Ilustrator sampul mengerjakannya dengan ilustrasi cat air yang bagus, dan ide yang menarik. Matahari dan bulan di sudut berlawanan, dipasangkan dengan cowok dan cewek yang juga ditaruh berlawanan. Daratan ngambang di tengah, dengan pohon-pohon dan air terjun. Pas buat buku dongeng.



Balik ke cover belakang, bertemulah aku dengan tiga kalimat yang sudah kukutip di atas berikut sinopsis. Lalu tibalah kita di baris terbawah. Rupanya ada komen dari editor sebuah majalah remaja, sebagai berikut:


"Reading this novel, I keep on trying to visualize every detail from Sitta's great imagination..."


Great imagination. Baiklah, itu kata kunci yang kutangkap dari endorsemen pertama. Dan yang kedua,


"Sitta Karina adalah penulis novel remaja berjiwa sastra."


Nyastra. Itu kata kunci yang kedua.

Berani juga para endorserwan/endorserwati tersebut ngasih predikat yang segitu berat ke novel dan pengarang ini, wekekeke...

Setelah selesai membaca, aku bisa mengatakan bahwa plot cerita Aerial secara garis besar setia pada sinopsis sampul belakang, yang berarti, kira-kira begini: Sadira dan Hassya adalah Putri Negeri Cahaya dan Pangeran Negeri Kegelapan. Dan klan mereka bermusuhan ala Romeo dan Julio. Kenapa musuhan? Rupanya karena Negeri Cahaya disinari matahari, sementara Negeri Kegelapan nggak. Jadi, Negeri Kegelapan ingin merebut wilayah cahaya, dan sebagai akibatnya, Negeri Cahaya berniat menyerang duluan Negeri Kegelapan.

Lucunya, untuk apa orang-orang Negeri Kegelapan ini pengen sinar matahari, kalau mereka langsung kebakaran kulit begitu kesengat terik? Okelah, pengarang bilang bahwa bangsa kegelapan juga "butuh," ingin "menikmati" dan "memanfaatkan" matahari. Tapi caranya menikmati matahari gimana? Butuh buat apa, juga gag disinggung. Dan kenapa harus matahari, lha wong selama ini terbukti mereka bisa hidup tanpa sumber daya satu itu?

Jadi tolong jangan salahkan aku kalau ngebayangin bangsa Kegelapan ini ternyata punya hobi rahasia berbaring di bawah matahari, kebakar sambil menggelepar-gelepar tapi teriak-teriak nikmat.

Masochistic sunbathers.

Dan mengenai memanfaatkan, dari ucapan penasihat raja kegelapan di hal. 50, kita bisa menyimpulkan bahwa mereka juga belum tahu cara memanfaatkan matahari. Meskipun begitu, saudara-saudara, mereka mau menyulut perang demi mendapatkan sesuatu yang alih-alih mereka ketahui cara memanfaatkannya, justru bisa berbahaya bagi mereka.

Bukan hanya masokhis, rupanya; mereka juga korslet otak.

Cerita berlanjut. Hassya dan Sadira, awalnya saling benci, kini jatuh cinta. Bersamaan dengan itu, Isla, sepupu Sadira, juga jatuh cinta sama orang lain dari negeri Kegelapan. Sayangnya ramalan kuno berkata bahwa dunia mereka bakalan kiamat kalau ada orang dari Negeri Cahaya dan Negeri Kegelapan yang bersatu. Namun, dengan gigih mereka berempat bertekad untuk menghentikan perang dan mencegah kehancuran.

Nah, apa yang dilakukan para jatuhcintawan dan jatuhcintawati yang sudah kusebut diatas untuk menghentikan perang dan mencegah kehancuran? Eng-ing-eng! Isla dan pacarnya membuat rencana rahasia demi perdamaian yang garis besarnya adalah meriset krim anti matahari untuk rakyat Kegelapan supaya mereka bisa berbagi matahari tanpa harus berperang.

Bigsweat. Itu reaksi awalku, yang jujur kuakui terlalu ngenye'. Karena itu mari kita berpikir positif. Bukankah ini unik? Berapa banyak novel menawarkan konsep perdamaian lewat sunblock? Lagian ini cocok dengan penempatan tokoh Isla yang katanya cantik dan cerdas, dan doyan bikin penemuan-penemuan aneh seperti "alat pembuat busa sabun" (hlm. 29)

Sedikit catatan iseng, aku juga punya alat pembuat busa sabun. Namanya loofah, a.k.a spons mandi. So, apparently, in that universe, they need a genius to create something that has the exact same function as a simple loofah. Considering this fact, how smart can the rest of them possibly be?

Sedangkan Antya, adik Sadira, punya cara lain untuk menciptakan perdamaian. Bersama seekor kuda terbang ia berusaha memanggil penolong dari dunia lain, yaitu Laskar dan Sashika, pelajar SMU Surya Ilmu di Jakarta. Untuk apa? Dua hal.

Tujuan 1: cameo/promosi semata dengan membuat kaitan dengan buku karya Sitta Karina yang lain. Kenapa aku bilang semata? Karena di dalam tubuh Sadira dan Hassya, Sashika dan Laskar nggak berbuat apa-apa selain ngucapin beberapa dialog yang rasanya seperti diselipkan ke dalam buku sekedar supaya pembaca ingat kalau ada orang lain di dalam tubuh kedua pangeran dan putri itu. Kalau dialog-dialog selipan itu dihapus, aku rasa nggak akan ada ngaruhnya ke plot utama, dan nggak ngurangin greget cerita juga.

Tujuan 2: Untuk membuat Sadira dan Hassya semakin lengket.

Tunggu dulu. Bukankah katanya, kalau ada orang dari Klan Cahaya dan Klan Kegelapan yang bersatu, dunia kiamat? Ramalan memang belum tentu benar, tapi bagaimana orang-orang ini bisa tahu legenda itu keliru?

Nggak ada penjelasan dari pengarang. Jadi aku tergoda untuk membuat penjelasanku sendiri, yaitu,

a. bahwa para tokoh pasifis ini sebenarnya anggota Sekte Hari Kiamat, dan berniat mencegah perang dengan mengkiamatkan dunia lewat perkawinan mereka, (logis kan, Kalau kiamat, perangnya pasti gag jadi, wekekeke,) atau, yang nggak terlalu fatalistik,

b. mereka menerima wangsit ghoib dari pengarang yang tahu bahwa legenda itu sebetulnya sama sekali nggak penting dan bisa dicuekin!

Para pembaca blog Fikfanindo yang berpikiran kritis,

Kebolongan plot seperti yang kusebut diatas nggak berakhir disini. Demi menghindari spoiler, kukatakan saja kalau ada banyak sekali motif, logika, dan alasan di sepanjang buku yang kacau beliau, atau sedikitnya, kabur. Apakah ini karena diedit sehingga ada bagian-bagian penting yang hilang, atau memang kacau beliau dari sananya, entahlah. We may never know. Or care.

Hal berikutnya yang selalu menarik perhatianku adalah nama-nama tokoh. Kalau dilihat secara sendiri-sendiri, beberapa tokoh namanya bagus sekali. Laskar Adhyaksa, dan Sashika Amunggraha, terutama. Ini nama yang bunyinya Indonesia dan kedengaran enak, dan kupikir nggak pasaran. Thumbs up.

Ada juga nama yang nanggung, setengah Indonesia setengah bule celup, kayak Sirril Syadiran. Ada nama yang kayak nama OS jadoel (Neosys), menganut Jepangisme (Kaien, Ginta), kebarat-baratan (Fletta, Raoul, Franconia) dan berbau Irlandia. (Toireann, Isla, Blath. Yang terakhir ini buatku rasanya aneh karena blath artinya "bunga", klo gag salah, sementara yang punya nama ini cowok.)

Nama-nama ini nggak dengan sendirinya jelek. Yang membuatku protes adalah, nama-nama ini eksis di dalam dunianya secara berantakan. Bayangkan, dua pangeran Kerajaan Kegelapan bisa-bisanya satu dinamai Toireann, dan satunya lagi Hassya. Satu nama Irlandia, satunya Indonesia. Trus ada dua bersaudara Klan Kegelapan satunya bernama Aro, satunya lagi Kanti. Satu bau-bau Romawi, satunya lagi Indonesia.

Ortu mereka pada kenapa tuh pas ngasih nama anak kedua? Dideportasi?

Nama berasa Jepang macam Kaien dan Ginta juga nggak jelas bagaimana bisa eksis dalam dunia dimana hampir sebagian besar bernama Barat. Apalagi Raja Adhyasta, raja Cahaya. Kok dia bernama Indonesia padahal rakyatnya punya nama macam Elena, Micchal, Finn, Jedidah, Nenna, Falkor, dst?

Keporak-porandaan juga terjadi di setting dunia cerita Aerial. Katanya dunia ini terjadi di dimensi yang berbeda, lah, kok ada perang antara orang Viking dan Atlantis di mitologi dunia yang bersangkutan? Dan kenapa juga mereka menyebut Aphrodite dengan cara seperti yang dilakukan orang-orang di dunia nyata?

Bener, di dunia lain bisa saja ada orang Viking dan Orang Atlantis. Philip Pullman di His Dark Materials juga menaruh setting Oxford yang bernama sama dengan suatu lokasi di Inggris. Namun, nama ini ga berasa asal comot. Phillip Pullman memakai nama itu dengan memasukkan deskripsi dan properti dunia yang pas, misalnya dengan menunjukkan kehadiran daemon, atau menyebut arus listrik bukan sebagai "electric current" tapi "anbaric current," yang membuat aku menerima kalau ini Oxford yang berbeda.

Nah, kalau di Aerial? Bisa memang kita mengasumsi kalau itu orang Viking dan Atlantis dan Aphrodite lain. Namun, tanpa penjelasan, deskripsi, maupun properti dunia yang gamblang mendukung bahwa itu adalah Atlantis lain, Viking lain, maupun Aphrodite lain, rasa bahwa itu cuma nama comot-tempel akan tetap menghantui aku.

Bicara soal deskripsi serta properti dunia, bukannya pengarang sama sekali nggak ngasih gambaran akan dunia maupun benda-benda apa aja yang ada di negeri ini. Masalahku adalah, benda-benda itu ditempatkan sebagai anakronisme yang lagi-lagi nggak ada penjelasannya.

*Pembaca blog serempak melempar tomat* "Boooh! Sok Pintar loe, pake istilah anakronisme segala! Sok Canggehhh!!! Sotoyyyy!!!"

*ngelap jus tomat dari muka pake sapu tangan Pierre Cardin*

Oke. Maafkan aku karena demen banget make kata-kata canggih. Maksudnya biar aku terlihat so(k)phisticated gitu lowh, wekekeke...

Buat yang kurang familiar dengan anakronisme, hewan satu ini adalah, sederhananya, istilah untuk menggambarkan penempatan suatu properti di dunia yang mustahil secara alur waktu. Contohnya, mari kita ambil dari satu novel yang pernah dibahas oleh Om Pur: Kamera digital dan senter yang dinamai Ki Cahya Sumilak di The Prince Must Die (Langit Kresna Hariadi).

Anakronisme biasanya dikasih alasan atau latar yang membuatnya bisa diterima di dalam dunia cerita itu, seperti yang terjadi di The Prince Must Die: kamera dan senter itu dibawa ke jaman Singosari oleh seseorang yang melakukan time-travel. Kalau tidak ada penjelasan, barangkali anakronisme itu dimaksudkan untuk humor. Komik-komik Asterix karya R. Goscinny dan A. Uderzo banyak menampilkan yang semacam ini, misalnya cameo The Beatles yang jelas nggak mungkin ada di jaman Inggris jajahan Romawi (Asterix di Inggris), atau fashion show ala Galia (Asterix: Mawar dan Pedang Bermata Dua).

Kalau suatu anakronisme nggak ada penjelasannya dan tujuannya bukan untuk humor, barangkali itu kesalahan yang nggak disengaja. Atau boleh nyomot seenak jidat.

Nah, di Aerial, cerita kayaknya diset di negeri dongeng-fantasi-medieval, terbukti dari adanya gaun putri-putrian dan kuda-kudaan dan pertarungan dengan pedang dan panah. Tapi kok di hal. 26 disebut kalau Negeri Cahaya sudah "mengembangkan teknologi yang dapat menekan kadar karbohidrat di dalam makanan utama mereka, sehingga tidak menyebabkan kegemukan." Hah? Kapan para pangeran-dan-putri-dongeng-medieval ini belajar soal karbohidrat dan obesitas? Dan ide "kurus adalah indah" itu adalah cara pandang yang relatif modern, nggak ada di abad pertengahan.

Apa pengarang ngasih penjelasan soal kenapa ini terjadi? Nggak tuh.

Untungnya, kekacauan macam ini jauh berkurang di bagian belakang-belakang, terutama karena Isla dan penemuan-penemuan anehnya nggak lagi banyak dibahas. Namun, lepas dari kekacauan setting, muncul hal lain yang membuatku ngenye' lagi--karakter!

Aku menolak kalau teenlit/chicklit identik dengan karakter dangkal. Ada banyak teenlit yang karakternya cukup dalam. Sayangnya kebanyakan karakter di Aerial nggak memberi kesan yang kuat ke aku, karena peran, latar, atau motivasi mereka... yeah, well, *sob* dangkal.

Isla misalnya, disebut-sebut secara eksplisit sebagai cewek cantik yang berotak, lengkap dengan atribut buku dan alat-alat aneh. Tapi, ciri yang digembar-gemborkan penulis beda jauh dengan tindak-tanduk si karakter. Silakan kembali ke kasus loofah dan busa sabun yang sudah kusebut diatas.

Lalu Hassya, si pangeran kegelapan yang kata penulis dingin, tapi sifatnya panasan. Apa-apa harus diselesaikan dengan adu pedang, berkelahi, dan berantem. Kalau nggak pake tabok-tabokan, namanya banci. Dan saking ngerasa jantannya, dia menganggap ngasih makan burung sebagai tindakan yang "tidak laki-laki." Hmm... tunggu ntar deh kalau dia udah tua dan miara perkutut kayak Pak Haji depen rumahku!

Berikut, Toireann. Ini contoh karakter yang lumayan, walau jadi kurang berkembang karena porsinya sedikit. Kakak Hassya yang berusaha menciptakan perdamaian tapi sakit kepala karena saran-sarannya dicuekin. Pasalnya? Bapaknya, sang Raja Kegelapan, lebih milih ngedengerin pendapat gak logis dari penasihat bego seperti yang sudah kubahas di atas. (kembali, lihat hal. 50.) Poor guy. Nggak heran dia frustrasi.

Laskar dan Sashika: sebenernya latarbelakang mereka bagus. Laskar yang berangasan, dan Sashika yang pecinta alam. Sayangnya peran mereka cuma sebagai cameo.

Antya: adik tokoh utama yang perannya cuma memanggil Laskar dan Sashika. Sigh...

Dan yang terakhir, si tokoh utama, Sadira. Dia ini juga korban ketidaksinkronan antara gambaran pengarang tentang dirinya dan tingkah lakunya. Pengarang kayaknya setengah mati banget ngegambarin dan mencitrakan Sadira sebagai perempuan mandiri yang kuat dan--pake istilah sok kosmopolitan ah--smart, terlihat dari begitu banyak bagian narasi yang menceritakan bahwa Sadira tidak menyukai duduk tenang dan kegiatan-kegiatan serta tingkah polah kecewek-cewekan.

Lebih parah lagi, cara si penulis bercerita seakan-akan mencitrakan bahwa segala hal yang kecewek-cewekan itu sesuatu yang buruk. Alih-alih menunjukkan emansipasi perempuan seperti yang diniatkan pengarang, bukankah ini justru semakin menginferiorkan kegiatan-kegiatan perempuan sebagai sesuatu yang second-class, berada di bawah kegiatan-kegiatan macho macam berlatih tarung yang disukai Sadira the Warrior Princess?

My point is, karakter cewek yang kuat dan smart itu bukan berarti dia harus macho, bisa mengerjakan pekerjaan cowok, dan membenci hal-hal berbau cewek! Bandingkan ini dengan karakter Adel di Nocturnal (Poppy D. Chusfani), yang digambarkan lincah, berkekuatan super, bisa berpedang, dan justru semakin kuat sebagai seorang karakter karena ada bagian dirinya yang menyukai hal-hal girly, seperti tari balet.

Apalagi, 'kemandirian' Sadira itu digambarkan dengan kalimat-kalimat macam ini:


Sadira diperbolehkan berlatih fisik bersama Jenderal Arth asalkan setelah menikah nanti ia berhenti mengangkat senjata dan menjadi ratu sesungguhnya.

Bukan Sadira kalau otaknya nggak jalan. Tentu saja ia tinggal memanfaatkan perjanjian ini dengan tidak usah menjalin hubungan dengan laki-laki manapun.


Dan setelah pengarang gembar-gembor kalimat ini, tebak apa yang terjadi? Sadira bertemu Hassya, dan langsung deh segala atribut putri macho itu ilang, berganti dengan tingkah kecewek-cewekan yang (katanya) jelek. Si putri akhirnya nggak dapat kesempatan untuk memamerkan keahlian berantemnya, malah disandera, dan, mengikuti pakem nasib putri-putri nan basi, harus diselamatkan.

Benar-benar kuat. Dan smart.

Sedih.

Baiklah para pembaca yang terhormat, mari kita tutup sesi ngenye' kali ini dengan kembali pada kesimpulan endorsemen yang kutarik dari kata-kata bijak para endorserwan/endorserwati di cover belakang buku:


Aerial adalah suatu novel nyastra yang lahir dari great imagination.


*nangis terharu*

Mereka berdua memang sangat baik hati.




Luz Balthasaar

Rabu, 11 November 2009

DUNIA ARADIA (Primadonna Angela - 2009)

By FA Purawan

Data Buku:


Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Editor: -
Desain dan ilustrasi sampul: maryna_design@yahoo.com
Tebal: 257 halaman



~ Chicklit. A great wave that stirred and shaked the literation world, once, and forever. Boldly go where no man has gone before... ~

He he he. Kalo dunia penerbitan ditanya buku-buku apa yang paling KEREN? Jawabannya bisa saja: Buku Fantasy! Tapi kalo ditanya buku-buku apa yang paling LARIS? Dijamin, jawabannya pasti Chicklit! (Atau Teenlit, walau *harusnya* ada perbedaan antara keduanya)

Emang, Chicklit sudah seperti Ratu-nya (atau Puteri-nya?) toko Buku. Dengan proporsi space rak yang makin luas serta makin prominent (diposisikan secara strategis) dari waktu-ke waktu, membuktikan bahwa genre ini tak pernah kekurangan pasar, sekaligus membuat 'iri' genre lainnya (Fantasy termasuk, hayo ngaku! hehehe); apa sih yang bisa membuat buku-buku ini lancar jaya hilir-mudik di konter kasir?

So, muncul deh, ide brilian itu: Gimana kalo ngegabungin Chicklit dengan Fantasy? Kita bakal dapat buku KEREN yang sekaligus LARIS dong?? Wuhuy, bling-bling-bling!

Well, ini attempt ketiga yang kutemukan semenjak Nocturnal (Poppy D. Chusfany) dan Aerial (Sitta Karina) yang berusaha memadukan dua 'kekuatan' dalam dunia literasi komersil menjadi satu paket. Kalau dalam review terdahulu, Nocturnal menduduki posisi bagus. Aerial, belum saya review (upcoming, maybe, setidaknya dari rekan co-reviewer?). Bagaimana dengan Dunia Aradial... ups, Dunia Aradia?



Dunia Aradia karangan novelis Primadonna Angela menceritakan kisah seorang Ratu Penyihir di setting universe yang Chicklit-sangat.

Well, gini loh. Tokoh utamanya Chicklit banget (Cewek in the prime twenties, certain beauty, single and available, has all the money to spend, has her 'style' --walau sedikit berbeda dari taste kebanyakan-- dan untuk meneguhkan taste Chicklitnya minimal satu merk adibusana yang appropriate *harus* numpang lewat, possess something extra ordinary, dan related to some celebrity: ibunya)

Tokoh protagonis cowok juga tipikal Chicklit (ganteng, metrosexual look, tampang jauh dari lokal, dan dari 'luar buku' aja rasanya udah bisa kecium wangi parfumnya, dan most of all: eksis hanya untuk si tokoh utama seorang).

Eksistensi para tokoh juga Chicklit (simple, shallow. Cukup 'alive' untuk menghidupkan cerita, sih. Tapi gak sekompleks dan sedalam yang seidealnya, menurutku.).

Cara si tokoh utama memandang Dunia --walau kadarnya tak terlampau kental, yang artinya masih memiliki lebihan dibanding rata-rata-- juga Chicklit (semua hal terpusat pada dirinya seorang, as if no other existence drove the plot), Cara si tokoh menyelesaikan masalah juga berasa Chicklit (masalah selesai dengan 'mudah', tidak terlalu membutuhkan berbagai preparasi yang biasanya dialurkan sejak awal dalam plot, not so much personal development).

And even, OMG ('hate to say it...) --THE COVER!-- berasa Chicklit Alamak.

So, yeah, kalo kita strip-off everything 'Fantasy' yang ada di buku ini, maka gue cuma dapat a typical Chicklit. Not for me, iya lah. Dan it makes this novel beda posisi dengan Nocturnal di mata gue.

But let's not judge hastily. Kita di sini mau belajar. Dan for info, novel Dunia Aradia ini adalah buku kelima belas yang diterbitkan oleh Pengarang. Sudah ada empat belas portofolio berjajar di belakangnya. Okay, yeah. Mostly Chicklits. Tapi experienced writer she is, nevertheless.

Mari kita lihat apa yang bisa kita pelajari.

Seperti aku bilang, saat seluruh aspek Fantasynya disingkirkan, buku ini memang tak lebih karya Chicklit konvensional. Sekarang let's put the Fantasy factor back. Dan harus diakui, factor ini cukup dikembangkan secara mumpuni oleh Pengarang.

Universe Dunia Aradia adalah universe metropolitan terkini dengan dunia penyihir secara paralel hidup bersama di dalamnya. Sedikit menyerupai universe Harry Potter, with a feminine touch (giggle). Apa yang disusun atau dikonstruk oleh Pengarang dalam universe ini tak terlalu orisinal, sebetulnya. Ada kesan mengambil bit by bit dari setting Fantasy yang sudah ada, dikumpulin dan dicompose menjadi suatu dunia Aradia yang cukup solid.

Satu hal yang menarik, Pengarang menetapkan bahasa Inggris sebagai 'Bahasa Sihir' di universenya. Konsisten dengan referensi nama Aradia 'Morgana', serta referensi Wicca yang dipergunakan, tampaknya Pengarang mengambil sari sistem universe sihirnya dari tradisi Celtic atau Anglic sana, gak jauh-jauh dari Harpot, dan jadinya sama-sama memoyang ke referensi King Arthur dan Camelot (Itu lho, mbah Merlin yg jadi guru besarnya. Walau, Harpot series pakai bahasa latinesque buat mantra-mantranya). Menurut gue ide sederhana tapi mengena dengan tepat.

Ya gak papa, ngambil dari yang sudah ada. Dengan demikian pengarang malah bisa menyusun settingnya secara lebih mendalam. Dan saya pikir, penerapan setting sihir di dalam novel ini tereksekusi cukup bagus. Terutama dari pemilihan mantera sihir yang gak asal dan bernilai sajak, lumayan.

Look at these:
Bring me two shades of story
remove me from any worry
into another dimension, I go, and you go
into another realm we move, to and fro
But this time, I'm bringing the key
But this tima, I can't and won't bring us back to our reality

Kemudian naming system. Yah, gak rumit-rumit sih, straight forward sebagaimana dunia sehari-hari. Dan Khas Chicklit banget. Yaitu nama-nama berbau Barat abiss (maksudnya sih metropolic names, hehehe. Emangnya bener ya Chicklit *wajib* using metropolic names?) liat aja nama: Jasper, Seth, Sylvan (tapi emang mereka gak murni orang lokal juga sih, heheh). Yah secara setting sih cukup masuk ajah, gak ada keberatan dari gue. Catatan untuk kakaknya Aradia, ada dua nama yang dipakai, entah typo atau sengaja: Eir dan Erin. Tidak ada penjelasan dari Pengarang.

Sistem logika, well. Apa yang lo harap dari Chicklit? Gimana ya. Seakan-akan sudah ada 'pakem' yang dipatok buat genre ini: Jangan bikin pembaca mikir terlalu berat (I don't know why Chicks seemed to be held against using their grey matters), so logika apapun yang berjalan di dalam novel ini adalah yang ringan-ringan aja. Sekedar membuat cerita berjalan smooth, tanpa harus terlalu menantang. Padahal kalo mau dilihat di sisi logika sistem sihir, sudah cukup kompleks dan genap Pengarang men-setnya. Yang penting pengarang berhasil membuat saya menikmati bacaannya tanpa perlu bertanya-tanya koq-gini-koq- gitu. Jelek? Ya nggak selalu, lah. Ringan kalo solid malah bagus, toh.

Lantas apa yang masih perlu dikritisi. Lha ini. Hal ini juga sempat bikin saya sedikit bingung, koq pengarang rada missed di part ini, ya: PLOT.

Well, Chicklit atau bukan, mustinya Plot harus bagus, dong. Dan itu adalah something universal. Pembaca pasti ingin dibawa menyusuri sebuah alur yang worthy of reading.

Plot Dunia Aradia inilah, yang gue nilai, kurang begitu baik dieksekusi. Cerita yang cuma 250 halaman memiliki alur yang terasa nggak fokus. Bukan soal paralel side stories, lho ya. Melainkan justru ga terasa adanya tema besar yang mengikat buku ini menjadi suatu 'cerita'. Secara ekstrim, saya bisa membagi buku ini dalam tiga potongan besar episode berurutan: Aradia The Queen of Witches, Aradia with (beautiful, metrosexual) Men, dan Aradia versus Shadowlords, dan ketiganya biarpun berurutan, gak terorganisir sebagai satu rangkaian kesatuan. Tiga hal itu sepertinya klip terpisah aja.

Memang ada benang merah cerita, tentu saja. Tapi at least saya expect ada situasi yang bisa dipertukarkan antar episode tadi untuk membuat plot lebih gurih, misalnya ancaman Shadowlord harusnya sudah terasa di bab-bab depan. Dengan peristiwa apa gitu kek, atau dalam rapat majelis paduka Ratu, gitu? Dan bagaimana peristiwa-peristiwa di bab awal punya signifikansi di bab-bab belakang.

Kalau di buku ini, tiga potongan besar itu terasa berlangsung sendiri-sendiri, sehingga terus-terang saja saya merasa urusan Shadowlord, misalnya, nongol tiba-tiba di halaman 137. Lho, padahal dalam setting ditetapkan bahwa antara kaum Shadowlord versus Penyihir sudah 'berseteru' selama ribuan tahun. Sementara di halaman-halaman depan, gak terasa tuh tingkah laku Aradia sebagai seorang Ratu Penyihir yang (suppose to be) punya peran mengawasi musuh-musuh kaumnya secara ketat. Dan dia bisa 'nggak tahu' beberapa knowledge inti mengenai shadowlord? c'mon!

Well, itu juga akhirnya yang membuat plot holes dan some logical holes mencederai buku ini. Oke lah, untuk Chicklit, shallowness semacam itu mungkin masih bisa diterima. Tapi kalo untuk Fantasy, sih, rasanya jadi cacat yang mengganggu, ya. Terus terang aja saya ngak bisa 'menerima' sebuah peran Fantasy (Ratu Penyihir) yang job descriptionnya ternyata cuma menjadi wasit pertengkaran antara dua penyihir memperebutkan cowok. Atau jadi mentor penyihir pemula.

Emang, Fantasy cenderung sangat berserius-serius diri, apalagi terhadap setting. Terlalu serius? Hehehe. Iya kali ya? Soalnya 'forte'nya Fantasy memang adanya di penciptaan universe. Sehingga pengarang Fantasy gak mungkin gak serius dalam hal itu. Setidaknya, setiap elemen setting harus punya alasan atau landasan cause-effects. Contohnya, ada jabatan Ratu, berarti 'cause'nya adalah ada (sistem) Kerajaan, sementara Kerajaan eksis be'cause' ada kaum dan wilayah yang perlu pengaturan dan 'effect'nya jadi ada hirarki. And so on and so on.

Kalau di Dunia Aradia, elemen setting semacam itu kurang tergali secara maksimal, walaupun saya yakin pengarang sudah menciptakan strukturnya secara cermat. Mungkin karena keterbatasan halaman, mungkin juga karena desain plotnya (or the lack of it?), mungkin karena karakter genrenya yang nggak memerlukan pendalaman semacam itu? Tapi suwer, gue jadi geli waktu dibuku ada kalimat: "JK Rowling adalah Queen of All Witches, bertahun-tahun sebelum Aradia". Lho ini gimana, sih? Ini posisi Ratu koq mirip sama posisi ketua arisan ibu-ibu? Padahal di lain pihak, ketika pengarang demikian erat menyulam dunia sihirnya dengan kehidupan kita sehari-hari, dunia rekaan Pengarang jadi instantly memiliki impact yang luas, make believe yang menjadi mudah berhasil.

Ketidak sinambungan plot juga memiliki efek negatif berupa informasi yang seolah sekonyong-konyong muncul, sehingga bahkan saya sampai mengira telah terjadi kesilapan editing. Misalnya tentang Shadowlord di atas. Gimana ya? Apakah memang sudah tuntutan genre? Bayangkan bagaimana rasanya membaca sebuah novel yang berisi adegan belanja-belanji, atau lirak-lirik cowok, atau kepusingan urusan domestik di depan, lalu ujug-ujug switch situasi genting bersama Darklords? Kalo ungkapan bodoh gue sih: What The ****???

Lalu salah satu yang cukup membuat kening saya berkerut: informasi bahwa leader Shadowlord yang tadinya disangka ayah Aradia teryata saudara tiri ayahnya. Pivot point sedahsyat itu cuma hadir melalui beberapa kata di halaman 241, dalam bentuk diceritakan pulak. Ouch. There goes the excitement.

Nah, bicara mengenai 'diceritakan', saya juga harus berkomentar pada cara pengarang bercerita. Well, ini bukan masalah penulisan semacam skill bikin kalimat, skill pemilihan kata dll, yang Pengarang sudah pasti mumpuni, lah. Tapi pada pilihan 'gaya' yang digunakan Pengarang untuk bercerita.

Apakah terpengaruh oleh tradisi Chicklit juga? Gak tau deh. Tapi saya merasa bahwa banyak penceritaan naratif, much like gossipers telling stories. Harusnya nggak aneh, sebab teknik seperti ini sangat wajar dilakukan. Tapi suatu 'feel' yang terasa gak pas di sini, cukup banyak adegan kunci berlalu tak seperti kita mengalaminya langsung, melainkan seperti diceritakan oleh orang lain.

Akibatnya jadi terasa kurang seru. Bahkan sampai tingkat mengesalkan (untuk diri saya). Contohnya saat adegan klimaks... wait. Come to think of it, jadinya nggak ada adegan klimaks! Lha wong adegan klimaksnya: si Aradia bertempur, diserang, pingsan dan... pindah bab. Masuk Epilog, semua udah beres. Diceritakan bahwa si Jasper anu-anu-anu ... tapi itu bukan adegan langsung, itu secondhand opinion.

Gak puas?? Jelaslah! Tapi aku jadi mikir, sekali lagi, apa karena realm-nya adalah Chicklit maka norma semacam itu jadi biasa? Aku mikirnya gini: pembaca chicklit mungkin nggak terbiasa dengan suatu adegan yang intense, sehingga pengarang pun menyesuaikan dengan shy-away dari adegan klimaks. So dengan paradigma seperti itu, buat saya jadinya gak aneh bila Pengarang lebih memilih untuk menginvestasikan halaman-halaman bukunya pada detail belanjaan, atau busana, atau cowok keren, dibandingkan urusan peperangan dunia penyihir. Padahal, pengarang mampu loh, menggambarkan pertarungan sihir yang keren!

Bicara detail dunia sihir, harus diakui buku ini cukup kuat. Walau mungkin bukan pada detail visual seperti Harry Potter dengan visual-fiestanya yang menawan, Dunia Aradia memiliki kekuatan pada detail sistem 'ilmu' sihirnya itu sendiri. Setiap mantera dikonstruksi dengan cermat, dan sistem sebab-akibat sihir-nya terjaga baik. Ada hukum Three Laws segala untuk mengatur dunia sihir. Ada historical 'track-back' ke legenda Menara Babel segala, yang membuat settingnya jadi terasa 'wuah'. Aku bayangkan kalo setting ini diolah secara lebih 'fantasy', bakalan jadi karya yg keren.

Juga dalam menggambarkan adegan kehidupan sehari-hari, pengarang sangat bersinar. Pembaca merasa sangat nyaman mengikuti kehidupan si Ratu sihir ini, sampai pada tahap kita merasa mereka bener-bener 'alive' di sekitar kita secara wajar. Konflik Tante-Keponakan antara Aradia dengan Jasper, berasa 'domestik' banget seolah-olah mereka sudah tetangga kita sendiri. Kurasa, memang faktor ini merupakan salah-satu kekuatan genre Chicklit, yang membuat mereka mudah diterima oleh market.

Namun demikian, ketika kita memposisikan buku ini sebagai sebuah buku Fantasy, terasa bahwa semua berlangsung dangkal. Nggak cukup 'depth' atau 'oomph' yang membuat saya selaku penggemar Fantasy merasa fullfiled.

Lalu, apa harga pengalaman empat-belas buku yang disandang Pengarang terhadap karya ini? Well, selain teknis penulisan yang oke punya, ada satu kompetensi yang harus bisa kita pelajari juga, yaitu keahlian dalam mengemas novel. Aku salut banget sama Sinopsis di halaman belakang. Singkat tapi high-impact. Dan kuat banget bahasa komunikasi genre-nya.

Lihat nih:

Aradia Morgana. Pertengahan dua puluhan. Selain karena menjadi penerjemah, tuntutan pekerjaan membuatnya banyak bepergian. Tidak dengan menggunakan kendaraan biasa, namun dengan cara teleportasi!

Itu satu paragraf yang nggak sekedar singkat, tapi sangat komunikatif dan langsung menohok. Dan mengandung semua elemen kunci novel ini, mulai dari karakterisasi Chicklit banget-nya, sampai kejutan elemen fantasy-nya di ujung paragraf! (pas bagian teleportasi).

Pembaca akan langsung hooked dan penasaran. Terjadilah penjualan saat itu juga, hehehe. Jarang gue lihat sinopsis seefektif ini dalam terbitan-terbitan Fantasy lokal. Tapi emang sih, gue gak tahan liat ilustrasi sampul belakang (yg tentu saja Chicklit abiss): Cewek diapit dua cowok metroseksual abisss (sambil liat ke cermin dan membandingkan --oh, dimanakah mereka meletakkan perut orang-orang itu?)

Well, demikianlah pembelajaran saya atas Novel Ratu Penyihir ini. Dunia Aradia adalah sebuah upaya penciptaan setting secara cermat dan saksama, renyah dan akrab, yang disajikan melalui racikan plot yang kurang lezat. Restorannya cuakep, mewah, tapi masakannya gak kuasa menggoyang lidah. Memuaskan? Buat gue sih, kurang puas, ya.

Coba disempatkan si koki lebih lama memasaknya, atau lebih mantap bumbunya. Mungkin akan jadi restoran yang punya magic spell untuk terus didatangi, dan didatangi lagi :)

Salam,



FA Purawan