Senin, 15 September 2008

IORI: Terperangkap di Negeri Mimpi (Lian Kagura - 2007)



Data buku:

Penerbit: Lingkar Pena Kreativa
Editor: Birulaut
Ilustrasi: Widhi Saputro
Desain Sampul: Widhi Saputro
Layout Naskah: Ricky Andy Yoga
Tebal: 256 hal

Tempat jalan-jalan favorit saya adalah toko buku. Dan salah satu toko buku yang saya favoritkan adalah MP Boookstore yang terletak di jalan Puri Sakti Jakarta Selatan, dekat kuburan Jeruk Purut. MP Bookstore menjadi favorit saya karena di sanalah saya biasa nongkrong sambil menanti usainya jam sekolah TK anak saya di hari Sabtu, dan selain itu, karena koleksi buku-buku yang cukup jarang saya temukan di toko buku lain.

Apa yang hebat dari koleksi buku-buku MP Bookstore? Adalah bagian buku-buku diskon di bawah tenda depan di parkiran, yang menarik minat saya. Sudah beberapa kali ini saya menemukan buku-buku clearance yang tidak pernah saya lihat terpajang di Gramedia atau toko buku lain. Tentu saja, to my ultimate pleasure, banyak di antaranya adalah buku Fiksi Fantasi karya pengarang lokal.

Jadi, ternyata cukup banyak karya lokal yang tidak pernah merasakan gengsi beredar di mall-mall atau "toko buku terkemuka" seperti iklan-iklan buku jaman dulu, dan tahu-tahu berakhir di clearance bin in a parking lot (sadis!). Sementara kita jejeritan mengeluhkan minimnya karya-karya fantasy lokal.

Tanya siapa.

So, here we are, salah satu buku 'baru' yang saya temukan di tumpukan clearance sale (diskon cuma 20%, siiih, ga clearance-clearance amat), berjudul IORI: Terperangkap di Negeri Mimpi, karya Lian Kagura terbitan 2007. Covernya berwarna hitam (lagi-lagi!) bercampur merah marun, dengan gambar seorang pemuda duduk di sebuah singgasana, berlatar belakang perempuan cantik, serta serigala berbulu biru dan seorang bocah gundul bermata putih bersimpuh di kaki singgasana.

Well, langsung aja kesan Fantasy-Misteri menguar dari ilustrasi sampul, diperkuat dengan Typografi font berwarna merah darah yang oke banget. Sekilas mirip grafik Manga bergenre misteri. Dan di sinopsis halaman belakang, antara lain terdapat kalimat seperti ini: Ia ingin bangun, tapi tak bisa. Ia terjebak dalam mimpi itu.

Nah, satu lagi Fantasy yang bersetting dunia Mimpi!

Tak sabar saya buka buku itu dan mulai menikmati isinya. Pada lembar halaman pertama, pandangan mata langsung terbentur pada kalimat Basmalah dalam huruf latin. Ingatan saya langsung terpaut pada karya-karya Fantasy Islami yg pernah marak pada tahun 2002-2004-an. Hmm,... pada kemana semua itu sekarang, yah? Apakah sekedar euforia yang sudah padam? Tapi anyway, dengan pembukaan seperti itu saya langsung menduga bahwa novel ini akan memiliki nuansa Islami yang kental, minimal pasti ada tokoh uztad-nya.

Dan rupanya, pengarang ingin memulai kisahnya dengan sehalaman puisi yang sejujurnya nggak begitu mengesankan. Bukan pada isinya (yg bicara tentang cinta dan dipersembahkan pada Bunda), melainkan lebih pada tata letak baris-baris puisi yang nggak enak dipandang dan tak tahu apa maksudnya disusun demikian. Padahal kalau disusun wajar saja mungkin lebih 'dapet' maksudnya.

OK, enough of that. Kisah dibuka dengan bab pertama berjudul "Kesedihan itu Datang". Dan begitu saya membaca, saya langsung tertohok dengan suasana 'noir' yang teramat pekat. Kisah berputar pada tokoh Iori, seorang cowok SMA yang baru saja kematian Ibundanya. Pengarang bener-bener memberikan suasana stressful dan depresif banget, memainkan tragedi diramu dengan kenangan-kenangan, siapa yang nggak langsung berleleran karenanya. Kesedihannya tidak membuat saya ingin menangis, however, melainkan membuat saya begitu tertekan dan dimakan oleh rasa duka, seolah-olah saya sendiri ikut merasakan kesunyian dan kehilangan besar di hati saya. Merinding.

Menurut saya, kemampuan pengarang membuat suasana 'dark' itu adalah suatu keistimewaan penulisan. Dan bab pertama ini memang telah membuat tone seluruh novel langsung terdefinisi di depan. Yak, gelap dan muram.

Selanjutnya kisah mengalir dengan perjanjian gaib Iori dengan tokoh 'Humunkulus' yang mendatanginya dalam mimpi, mungkin konsepnya mirip 'The Sandman', semacam devil yang menguasai Dunia Mimpi. Humunkulus, yang secara unik digambarkan sebagai bersosok perempuan cantik namun bersuara maskulin (Bencoong, dooong?), menjanjikan akan menghidupkan kembali ibu Iori (dipanggil Ummi) dengan barter satu jiwa lain yang dicintai Iori, satu jiwa tiap purnama.

Manteeeb, premis 'cakar monyet' yang guaranteed membuat setiap pembaca penasaran. Siapakah yang menjadi korban-korban berikutnya? Bagaimana tokoh utama melepaskan diri dari perjanjian gaib itu?

Sejak perjanjian itu, secara tiba-tiba saja Iori mendapatkan Ummi-nya hidup kembali. Kebahagiaan pun kembali mengisi kalbunya, jenis kebahagiaan yang setara dengan dependensi oedipus complex tokoh Trapani di Novel Laskar Pelangi (good psychology, BTW, dan sangat manusiawi, koq). Namun setiap purnama Iori harus menjadi semacam eksekutor ritual pengorbanan di dunia mimpi, yang secara nyata menewaskan orang-orang dekat Iori, mulai dari paman, kakek, dst. Sampai akhirnya cewek pujaan hati pun harus ikut menanggung akibatnya (ouch! tragis banget). Selain itu Iori juga mendadak jadi punya kekuatan ekstra dan temperamen yang lebih ganas, dengan ciri mata berkilat merah, serta kostum jubah hitam yang cool sebagai bonus.

Lewat Tiga Purnama, Iori mulai gerah dengan korban-korbanan ini. Tentu saja plot kemudian berlanjut pada bagaimana upaya Iori (dan orang-orang dekatnya) untuk melepaskan diri dari cengkeraman Humunkulus, dimainkan oleh si Kim, sahabat Iori, di bawah bimbingan Uztad Judin (gotcha! Tuh, kan, ada uztadnya,.... hehehe,....)

Well, as we all can see, perjalanan plot lebih-kurang standar, lah, buat cerita-cerita semacam "perjanjian gelap" gini. Dan penyelesaian di bawah pimpinan uztad yang punya ngelmu kudu untuk melawan kesaktian Humunkulus juga terasa amat klise. Nyaris tidak ada yang baru dengan alur-alur cerita sejenis dalam Sinetron Hidayahiyah ato Kiamat Udah Ampir Mampir.

Serasa gak cukup klise, novel pun masih ditutup dengan 'petuah' mengenai hubungan pria-wanita yang digambarkan melalui adegan pernikahan tokoh Kim dan Yuni, oleh siapa lagi kalo bukan Uztad Judin (Petuah yang kelihatan seperti pesan sponsor partai karena sangat jauh berselisih tema dengan tema utama novel). Eh, Iorinya nggak tahu nasibnya kemana lagi. Mati, kayaknya, tapi gak jelas juga.

Kalo sekedar baca komentar sampai sini, saya yakin yang ada di bayangan temen-temen pasti plek-ketiplek adegan sinetron misteri Illahi. Tapi kalo sudah baca sendiri, niscaya ada satu hal yang akan amat membedakan novel Iori dengan kisah-kisah klise Islamiyah konvensional. Baik berdasarkan referensi Sinetron, atau berdasarkan referensi Novel sejenis (yg terakhir ini harus kuakui, relatif).

Apa yang membedakan Iori? Catat: Pengolahan alam mimpi-nya, top banget. Sebagian besar adegan di novel ini berlangsung dalam alam psikologis si Iori, dan alam itu terwujud (dengan penggambaran yang amat realistis) dalam kehidupan mimpi Iori saat berinteraksi dengan Humunkulus.

Dalam review Dream of Utopia, saya mengatakan alam mimpi DoU karya Sammy sebagai sebuah ilustrasi fantasy yang indah. Untuk Iori, keindahan justru ada dalam penggambaran alam mimpi yang dark dan nyaris psikosis (sakit jiwa). Alam mimpi dalam karya Lian adalah alam mimpi yang sangat cair, imaji dapat berubah wujud mengikuti keadaan mental tokoh bersangkutan (which is, memang demikian lah alam mimpi seharusnya), dan akibat adanya intervensi tokoh Humunkulus, alam mimpi Iori juga menjadi berwujud gelap dan meneror secara visual. Imaji-imaji potongan tubuh (mutilasi), ruangan yang terlantar, langit merah, kesunyian yang menggigit, membuat pembaca seperti dibawa ke alam yang sangat asing, sekaligus sangat nyata menggambarkan kondisi psikologis sang tokoh. Dan di beberapa situasi, alam mimpi Iori bahkan bisa menyelusup ke mimpi orang lain, sampai bisa untuk kirim 'salam tampar' segala.

Karena penggambaran alam mimpi yang keren ini lah, saya cukup confident untuk memasukkan Iori dalam kelompok genre Fantasy. Mungkin Fantasy-Supernatural-Islami, kali yeee,... Mungkin aja secara garis besar pengarang ingin membuat novel Supernatural-Islami aja. Tapi unsur fantasy memang nggak bisa diabaikan, mengingat banyak adegan penting novel ini memang berlangsung dalam setting dunia alternatif yaitu dunia mimpinya si Iori.

Even adegan klimaks, saat Kim dan Uztad Judin berusaha membebaskan Iori dari Humunkulus, juga berlangsung dengan cara Kim dan si Uztad me-raga sukma masuk ke dalam mimpi Iori.

Nah bicara adegan klimaks, ini juga rasanya yang agak mengecewakan. Perjuangan Kim, Uztad, dan Iori mengalahkan Humunkulus rasanya terlalu 'cemen'. Jagoan-jagoan itu keok menghadapi kesaktian si bencong, lalu dengan tanpa alasan tiba-tiba saja bisa terjadi 'transfer energi' antara ketiganya, sehingga Kim menjadi SuperKim yang perkasa menghantam lawan! Ahh,.. gitu banget. Sebagai sebuah novel yg sarat dengan nuansa Islami, mengapa penyelesaian masalah tidak dengan cara yang 'Islami'?

Udah gitu, ada adegan finale yang ngga gue mengerti. Mengapa --setelah Humunkulus berhasil dikalahkan pun-- si Iori kemudian mengambil langkah yang sangat kontra Islami, yaitu 'bunuh diri' menggunakan pisau pengorbanan? Untuk keperluan apa? Biar ketemu ibunya di alam baka? (Part ini sebetulnya kurang jelas diceritakan, tapi saya coba ambil kesimpulan itu aja).

Terus-terang, bagi pandangan Islam, itu salah banget. Nggak tahu deh kenapa Pengarang mengambil rute tersebut.

Sebenernya sih, kalo gue jadi yang mengarang (heheh, mulai deh ngusilin karya orang). Saat Humunkulus akan mengambil the next one yang kamu cintai, perlawanan Iori yang paling Islami seharusnya adalah,... "Yang kucintai hanyalah Allah!". Nah, habis perkara, silakan Humunkulus berurusan sama Yang Bersangkutan! Hehehe,... (Tapi itu kata gue, lho. Yang kalo dibikin novel, pasti gak lebih dari dua halaman udah kelar,.. hahaha. Di mana asyiknya, ya?)

Lepas dari masalah Islami atau kurang Islami, tentunya hal-hal seperti itu adalah hak prerogatif pengarang. Setiap pengarang tentu punya alasan sendiri atas pilihan-pilihan alurnya ataupun penyelesaian konflik dalam karyanya.

OK, masukan terakhir untuk novel Iori, adalah novel ini kelihatannya akan lebih bagus apabila pengarang (atau editor?) tidak semena-mena memotong adegan. Saya mendapat kesan bahwa dalam proses penulisan, sesungguhnya pengarang telah menulis lebih banyak dari draft final, dan telah terjadi pemotongan-pemotongan terhadap draft.

Lha, bukannya demikianlah proses normal dalam editing? Ya, proses normal, kecuali bila menghasilkan editan yang aneh, saya sebutnya 'jumping plots'. Ada beberapa tempat yang ketara bahwa ada sesuatu yg hilang dalam teks. Hal itu menjadi cukup parah ketika sesuatu yang hilang itu punya relevansi terhadap plot. Akibatnya pembaca jadi mengerenyit sebab terasa ada sesuatu yang hilang, atau lompatan adegan yang terasa tidak koheren.

Di luar kekurangannya yang menyebabkan saya ilfil dengan novel ini, karya ini saya puji dalam beberapa aspek: pertama dari keterampilannya mengantarkan suasana 'noir' yang keren banget, ekspresif banget; kedua karakter antagonis Humunkulus yang unik dan cukup mengesankan baik dari penampilan maupun karakterisasinya (Bad Guy Award 2008!), ketiga kedalaman psikologis para tokoh, terutama tokoh protagonis yang 'cacat mental' berhasil dihadirkan kecacatannya secara realistik, sehingga kita bisa paham banget kenapa Iori ngga bisa terima kehilangan ibu tapi bisa terima kehilangan kekasih.

Usul? Masih perlu dikasih usul? Ya kalo boleh usul, gimana kalo tokoh Uztad kita ganti aja dengan karakter lain yang lebih unik, misalnya mantan uztad yang sempat murtad (terus beriman kembali karena terlibat urusan ini), atau aki-aki gak penting yang ternyata menyimpan misteri sebagai musuh bebuyutan Humunkulus, atau apa lah, asal bukan uztad jagoan. Yang kayak gitu kayaknya udah terlalu generik, kurang cespleng!

Teruntuk Kang Lian, selamat atas Novelnya, kang!

Salam,


FA Purawan

Rabu, 10 September 2008

TRANSPONDEX: Mesin Cinta Lintas Waktu (Ronny Fredila - 2006)



Data Buku:
Penerbit: GagasMedia (Seri FantasyLit)
Editor: Denny Indra
Desain Cover: Hendrayanto
Tata Letak: Wahyu Suwarni
Tebal: 282 Hal


Kalau lihat sub-judulnya saja, niscaya saya juga tidak akan percaya kalau Novel karya Ronny Fredila, Staff Swalayan Hypermart ini, merupakan sebuah novel fantasy. Bayangan apa yang melintas saat membaca kalimat, "Mesin Cinta Lintas Waktu"? Uaah, mesin cinta, Jek.

Apalagi dipadu dengan desain cover warna merah, dengan siluet tubuh seorang wanita yang mengesankan bayang-bayang tanpa busana, O.M.G., rasanya frasa "Mesin Cinta" jadi memiliki arti tersendiri (wink-wink).

Tak heran bila judul Transpondex bagiku langsung menimbulkan asosiasi judul obat kuat semacam Viagra, Cialis, seperti yang sering terlihat di plank toko A Ceng atau A Kiaw (Ho'oh, gue cuma lewat, koq,...)

Padahal, Transpondex adalah singkatan dari suatu istilah yang cukup Tekno: Transportation Machine for Dimensions and Time Exchange, mesin transportasi untuk keperluan pertukaran Dimensi dan Waktu. Gimana, keren, kan? Dan alat "Time-Machine" inilah yang kemudian dilabeli sebagai 'mesin-cinta'. Jadi kawan-kawan, tolong hapuskan saja bayangan anda mengenai mesin cinta yang lain yang berada di luar lingkup novel ini,... hehehe.

Setelah sekian kali saya terpapar oleh genre Fantasy Kerajaan, Ksatria, Peri dan Penyihir, akhirnya mampir lagi sebuah genre Fantasi Fiksi Ilmiah terbitan tahun 2006, lagi-lagi tak saya temukan di toko buku melainkan di Pameran Buku IKAPI, yang menandakan bahwa novel ini tinggal memasuki fase bersih-bersih gudang. Oh, begitu kejamnya kah para penerbit terhadap kehidupan genre Fantasy,... hehehe,... apa boleh buat, hukum pasar memang berlaku di sini. Kalo bukan buku laris, jangan harap dapat kesempatan napas panjang. Sedih, tapi memang demikian alam sudah menggariskan.

So, kembali ke novel. Transpondex adalah sebuah karya yang diposisikan sebagai "Science Fiction" oleh GagasMedia melalui seri FantasyLit (baca secara Inggris, ya. Jangan baca secara Indonesia, agak-agak saru). Setelah saya baca, well ada sebagian kecil plot driver yang memang berbau ilmiah, terutama mengenai konsep dimensi waktu dan time-space continuum. Tapi kalau saya boleh berkomentar, sesungguhnya novel ini lebih dominan sebagai sebuah roman aksi berbau tekno, aja. Soalnya aspek time-travel agak kurang begitu didekati secara ilmiah di sini, melainkan secara populer aja, mirip dengan angle film Back to The Future I, II, & III yang disutradarai Steven Spielberg dan dibintangi oleh Michael J. Fox itu.

Tapi jujur aja sih, biarpun ngga ilmiah, spekulasi time-travel di novel ini diramu secara meyakinkan dengan logika cukup terjaga, dan mampu mendrive sebuah cerita roman aksi yang lumayan menghibur. Masuk juga konsep-konsep paralel universe dll sebagai bumbu. Tidak terlalu baru, sih. Tapi setidaknya cukup fresh untuk khasanah novel lokal.

Selain aspek 'fiksi ilmiah' berupa time travel, karya ini juga memiliki aspek lain yang cukup kuat, yaitu sebagai sebuah novel silat. Jadi tepatnya adalah sebuah novel silat dalam setting futuristik. Nah, aspek ini malah aku pikir lebih dominan sebagai penggerak dan pewarna cerita, di mana hampir adegan penting novel ini di dominasi oleh pertarungan silat antara tokoh-tokoh protagonis dengan antagonis.

Jadi singkatnya cerita novel ini adalah sebagai berikut: Tokoh utama si Rima anak SMA, memiliki Ayah bernama Prof. Suhendra yang punya obsesi untuk menciptakan mesin waktu guna kembali ke masa lalu dimana Maminya Rima dinyatakan hilang dalam sebuah penerbangan komersial. Prof. Suhendra bekerja sama dengan Prof. Mohindra dan seorang Prof lagi yang misterius, berhasil memecahkan sandi sebuah manuskrip dari jaman Majapahit yang mengindikasikan cara membuat sebuah mesin waktu, dan ceritanya si prof berhasil membuat mesin waktu yang dinamakan Transpondex. Namun tepat pada saat si Prof melakukan test perdana alat itu, tiba-tiba masuk lah sekelompok prajurit futuristik dari the other side, yang langsung menculik si Prof, dengan pesan bahwa alat si Prof sudah membuat anomali dalam ruang-waktu, sehingga masa depan menjadi kacau dan ada tokoh-tokoh dari jaman yang berbeda menjadi campur aduk di masa depan. Si prof diculik untuk memperbaiki semuanya, albeit di bawah ancaman bedil.

Tentu saja, si tokoh kita yang ternyata cukup jago silat, harus ikut menyusul ke masa depan untuk menyelamatkan sang ayah.

And listen to this: di masa depan sang tokoh bertemu dengan Kerajaan Majapahit in the Future, menjadi murid Nenek Srikandi, bergabung dengan Pandawa Empat: Arjuna, Bima, Nakula, Sadewa, untuk melawan raja Tapak Lodaya (yg menggulingkan Hayam Wuruk), yang disupport oleh Pasukan Kurawa dibawah pimpinan Dursasana, Duryudana dan lain-lainnya.

So you see, it's yet another cerita wayang dalam setting non-wayang. Sejenis dengan Arjuna mencari Cinta, tapi dalam tempo beberapa abad lebih Futuristik, hehehe. Dan silat menjadi menu utama.

Dengan ramuan seperti ini, saya menganggap pada akhirnya Novel ini berusaha merevitalisasi karakter-karakter pewayangan dalam setting yang berbeda dari pakem. Istilahnya, pengarang ingin menggunakan Arjuna dkk dalam setting futuristik, ya kemudian dibuatlah plot time-travel dan kekacauan time-space continuum yang memberi pengarang alasan yang 'valid' untuk mempertemukan tokoh-tokoh sejarah yang berasal dari jaman yang berbeda dalam satu belanga. Akhirnya yang kejadian adalah Rima bertemu Arjuna, Bima, Nakula, Sadewa, Srikandi, Prof Drona, Dursasana, Duryudana, Bill Gates, sampai Hitler segala, dalam ramuan campur aduk yang, well,.... sensasional, tapi nggak 'dalem'.

Maksudnya, karakter-karakter sejarah ini gak punya kepribadian yang utuh, sekedar sensasi yang dipinjam untuk melancarkan cerita aja. Persis karakter game fighting semacam Street Fighters ataupun Tekken.

Selain dari suasana persilatan futuristik, novel ini juga menghadirkan aroma teenlit dalam setting Rima di jaman kini, ada sekolah, ada tawuran, ada cowok pedekate, ada dream guy, well, the usual stuff. Cuma di akhir aja pengarang memberi twist yang menggabungkan dua setting berbeda itu dalam konklusi yang mendekati napas teenlit juga.

Jadi alurnya kira-kira: 1> Setting Kini, 2> Setting Futuristik menyita mayoritas halaman, 3> kembali ke setting kini sebagai konlusi.

Terus apa yang bisa diambil dari novel ini? Well, kalo temen-temen baca ramuan setting di atas, tentu temen-temen akan berasumsi bahwa novel ini memiliki setting amburadul hasil dari ramuan karakter asal tempel. Nyaris bener. Tapi di sisi lain pengarang punya suatu kelebihan yang mengakibatkan setting amburadul ini masih bisa 'jalan' sebagai sebuah novel hiburan.

Yaitu, kelebihan pengarang, adalah cara bercerita yang cukup mengasyikkan ditunjang oleh logika yang kuat 'ngejagain' plot dan setting. Dengan gaya penulisan yang rileks, jujur apa adanya namun tetap terangkai secara baik dan benar, pengarang memberi saya stamina untuk bisa menyelesaikan buku ini cukup dalam tiga hari. Kemampuan menjaga logika cerita membuat saya tidak terlalu banyak nanya atau banyak berhenti (misalnya ngebolak-balik ke halaman depan lagi karena ada yg rasanya aneh), sebab pengarang senantiasa menjaga agar informasi logis dalam plotnya tetap tersedia pada point dimana diperlukan.

Dan ini berarti memang usaha yang harus seksama, sebab plot time related chaos emang bukan topik logika yang 'gampang' dicerna, apalagi di sisi pengarang yang harus lebih menguasai hubungan sebab akibat lintas waktu. Paling tidak, walau plot hole masih terasa di sedikit tempat, pengarang berhasil mendeliver cerita menjadi suatu alur yang cukup koheren. Tapi dalam aspek logika, pengarang juga agak 'kejeblos' justru di akhir cerita, yaitu time-space continuum yang rusak ternyata bisa bener lagi karena faktor 'kebetulan'. Ah ketahuan, lagi buru-buru pengen nyelesaikan novelnya, tuh. Hehehe,...

Masuknya tokoh Bill Gates dalam cerita menggantikan Prof Drona, juga terasa agak dipaksakan. Tapi apa mau dikata, toh setting karakternya memang sudah dibuat amburadul dari sononya, sehingga twist semacam itu memang sah terjadi dalam setting cerita ini. Termasuk ujug-ujug muncul tokoh (Adolf) Hitler yang bisa silat sebagai the ultimate nemesys.

Kelebihan lain adalah adegan silat yang cukup seru, dan lumayan menerapkan prinsip-prinsip ilmu silat ala standar. Silat ini cukup memberi warna yang unik pada novel, serta memberi adegan aksi yang seru dan gegap gempita. Walau sebagai catatan, penggambaran adegan silat secara apa-adanya (keluarin jurus ini-itu dengan kedahsyatan ini-itu, efeknya ini-itu) memang cukup bisa menghadirkan aksi, namun belum tentu menimbulkan kesan mendalam terhadap pembaca. Mungkin analoginya adalah nonton film kung-fu mainstream Hongkong yang minim special effect, vs Chrouching Tiger atawa Hero yang penuh efek visual indah. Mana pertarungan yg lebih meninggalkan kesan?

Jujur aja, ngga ada perkembangan plot yang cukup berarti sepanjang novel, laksana pop corn movie biasa aja. Paling ada satu cabang plot yang cukup menyita emosi dan karenanya jadi perhatian khusus saya, yaitu saat Rima dan ayahnya finally bertemu dengan Maminya. Itu adegan yang paling monumental, saya rasa.

Juga menjadi suatu pertanyaan buat saya, di tengah generasi dua ribuan ini, apakah tokoh-tokoh pewayangan seperti Arjuna, Bima, dkk itu masih 'bunyi'? Untuk gerenasi 80-an macam saya, karakter Arjuna memang masih lekat dalam ingatan sebagai sosok 'Cowok Ultimate' dalam dunia wayang. Saya bahkan masih sempet nonton wayang orang Sriwedari di Solo jaman saya kelas 5 SD, dari jam 8 malem sampai jam 3 pagi. Tapi sekarang semua sudah menjadi dunia lama yang terlupakan oleh Indonesia. Saya kira pemilihan tokoh-tokoh pewayangan untuk dimasukkan ke setting modern menjadi usaha yang tak terlalu efektif, simply karena generasi sekarang udah gak kenal siapa itu Arjuna dkk.

Sebagai konlusi dari pembelajaran kita kali ini dengan topik studi Novel Transpondex, ya mungkin singkat aja: kalo pengarang dapat menjaga logika ceritanya secara pas, maka setting amburadul pun ternyata masih bisa workable, at least untuk sekedar menjadi novel ini enak dibaca aja, tanpa harus menyisipkan missi atau harapan-harapan lebih dari itu.

Dan nyatanya, novel ini memang masih lebih bisa dinikmati dibanding the other terbitan GagasMedia FantasyLit yang barusan juga saya review,.... (wink)

Mas Ronny, it's been a nice reading!

Salam,


FA Purawan

Selasa, 02 September 2008

CARDAN: Inside and Outside The Hinkal Core (Chandra Adhitya Winarno - 2007)


Data buku:
Penerbit: Gagas Media
Penyunting: Feba Sukmana
Penata letak: Yanto
Desain sampul: Okeu Yoseph Kurniawan
Tebal: 325 halaman

Hitam, adalah warna terkeren buat sebuah cover novel. Setidaknya begitulah anggapan saya selama ini (itu juga yang membuat saya mengeset blog saya dengan warna hitam, hehehe). Seolah ada otoritas tersendiri yang dipancarkan oleh warna ini, yang membuat siapapun yang melihat tak berani bermain-main dan menganggap saya serius, serius kuadrat. Apalagi, kalau Hitam dipadukan dengan Gold, hmm,.. tidak saja serius, tapi juga high-class. Demikian yang saya rasakan saat melihat cover novel CARDAN: Inside and Outside The Hinkal Core karya Chandra Adhitya Winarno ini. Balutan warna hitam dengan font keemasan membuat novel ini terkesan ningrat, membuat saya berharap-harap muluk terhadap isinya,...

Tapi, ooops, kelihatannya Jurus Judge by The Cover terchallenge lagi, di sini. Apa ini? Tulisan Cardan yang --walaupun jelas dan paduan putih-emasnya cukup serasi-- kenapa dibikin membesar di tengah seperti sign SIRKUS? Tapi emblem garuda pudarnya looks soooo cool! Oh, rupanya paduan tulisan Cardan dan emblem mengesankan bentuk perisai, well boleh juga. Yang paling bagus di cover ini adalah pemilihan Font & tata letak tulisan Inside & Outside The Hinkal Core. Hanya sayang, lukisan garuda itu harusnya bisa lebih detail.

Cover yang keren, karya Okeu Yoseph Kurniawan.

Dan sampai sini udah dapat di sum-up kesimpulan atas seluruh novel. Yaitu: Covernya keren.

Novelnya sendiri, gimana?

Sayangnya, ya cuma itu yg bisa kubilang: Covernya keren. Novelnya,... jeblok.

Menurutku ini novel terburuk yang pernah mampir di blog gue, untuk saat ini. Aaaakh?! (disbelief), benarkah? Demikian 'nista'nya kah? Apa dosa yang sudah dilakukan pengarang dalam menulis novelnya?

Ugh. Mungkin dosanya hanya satu, yaitu pengarang belum bisa menulis. Titik. Saat seorang pengarang yang tidak bisa menulis berusaha err, menulis, maka segenap ide besar yang ada di kepalanya jadi rapuh seperti kastil pasir disapu ombak. Hilang semua keindahan kecuali tinggal onggokan tumpukan kata-kata yang memusingkan.

Seberapa parah, sih, kemampuan penulisan pengarang? Well, aku tampilkan berupa contoh saja, yah.


Dari Novel Cardan, hal. 1 - 2:

Langit malam ini sangat indah, ketiga bintang yang selalu menerangi malam memancarkan cahaya berbeda warna putih, merah dan biru. Para leluhur menamakan bintang putih Joan, Sanggu untuk bintang merah, dan Colt untuk bintang yang berwarna biru. Mereka menganggap bintang-bintang tersebut sebagai lambang tiga elemen, yaitu udara, api, dan air.

Di daratan ini terdapat sebuah kerajaan kecil bernama Tolan. Sebuah kerajaan kecil dengan letak strategis, tepat di tengah-tengah Garinka. Tolan adalah kerajaan transit bagi para pedagang dari seluruh pelosok Garinka. Tak heran, hal ini membuat Tolan menjadi sebuah kerajaan yang cukup makmur. Dan karena itu juga, Tolan menjadi kerajaan terbesar di Garinka.

Namun, dibalik semua kelebihannya, Tolan sedang mengalami peperangan. Sebuah perang besar antara Tolan dan Sync, perang antara dua kerajaan yang sudah saling bermusuhan sejak ratusan tahun lalu. Mereka menamakannya perang Zonega.

Seorang jendral perang Tolan sudah banyak memenangkan perang namun ia belum pernah melawan ribuan pasukan yang begitu membabi buta. Sepertinya bagi pasukan itu membunuh seorang Tolan merupakan hal terindah dalam hidup, sebuah mimpi yang ditanamkan dari kecil oleh orangtua mereka.

Pedang jendral Tolan sudah berlumuran darah, entah berapa banyak nyawa yang telah ia cabut dengan pedang itu. Banyak mayat tergeletak di kanan-kirinya, dari pihaknya maupun musuh.

Ia berlari menuju kawannya yang terluka karena terkena busur panah di kaki kirinya. Ia memeluk lalu membaringkan tubuh kawannya di atas tanah, berteriak marah kemudian kembali membantai sekitar sepuluh pasukan musuh di sekitarnya. Jenderal TOlan itu ahli dalam pertarungan jarak dekat, bakat yang digalinya semasa berlatih di akademi perang.

Ia kembali melihat kawannya terluka. Bagaimana Cardan sepertinya bisa begitu lemah, sedangkan aku..., pikirnya sambil memeriksa luka kawannya. Sifatnya memang pencemburu, meskipun pangkatnya cukup tinggi ia masih saja ingin menjadi seorang cardan. Status yang dari dulu ia idamkan dan nantikan. Sebenarnya ia tahu benar bahwa untuk menjadi seorang cardan, ia harus dipilih oleh langit.

Kini cemburunya semakin memuncak, ia berdiri dan menghujat langit. Tak lama kemudian terdengar suara yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri.

---------------------------------------------------


Mendingan baca dulu dua-tiga kali, biar meresep. Baru abis itu baca ulasan gue di bawah ini.

Perhatikan, di atas itu lebih kurang adalah bagian prolognya, per paragraf. The whole prolog aku salinkan dengan tujuan agar pembaca blog ini dapat meresapi 'opening' seperti apa yang dituliskan oleh pengarang sebagai indikasi cara dia bercerita selanjutnya di buku tersebut.

Kalau rekan-rekan menganalisis tiga paragraf awal, tentu rekan-rekan bisa memperkirakan alur dari prolog, yaitu (1) suasana malam sebagai pembuka cerita (dan actually tuh paragraf ngomongin 3 bintang penting yg menghiasi langit malam). (2) Sebuah negeri bernama Tolan (tapi Garinka-nya apa gak dijelasin), (3) Situasi politik Tolan,...

Tapi paragraf 4-nya, dengan begitu gak nyambungnya, langsung masuk dalam adegan perang. Halah! Dan cobalah perhatikan isi dari paragraf ke-empat tersebut:

Seorang jendral perang Tolan sudah banyak memenangkan perang namun ia belum pernah melawan ribuan pasukan yang begitu membabi buta.

ini aja udah kalimat yang subyek-predikat-obyek nya ngaco, kayaknya kurang tanda baca ataupun kata sambung.

Sepertinya bagi pasukan itu membunuh seorang Tolan merupakan hal terindah dalam hidup, sebuah mimpi yang ditanamkan dari kecil oleh orangtua mereka.

kalimat selanjutnya ini gak nyambung dengan Subyek "Jendral", sebab Subyek tiba-tiba berubah menjadi merefer ke "pasukan yang begitu membabi buta". Terus tau-tau berubah lagi ke subyek yang lain:

Pedang jendral Tolan sudah berlumuran darah, entah berapa banyak nyawa yang telah ia cabut dengan pedang itu.

yang dilanjutkan dengan kalimat ini:

Banyak mayat tergeletak di kanan-kirinya, dari pihaknya maupun musuh.

Yang kalau dikaitkan dengan kalimat sebelumnya, mengesankan bahwa pedang sang jendral sudah mencabut banyak nyawa nggak cuma musuh melainkan juga dari pihaknya sendiri! So, the whole paragraph is a mess!!

Terus paragraf berikutnya bikin ketawa lagi:

Ia berlari menuju kawannya yang terluka karena terkena busur panah di kaki kirinya.

(Kena busur aja luka? cemen banget,..... iye-iye, gue tahu, maksudnya kaki kirinya ketancep anak panah. BTW, Fatal ya? Panah beracyun,.. kalee?). Atau 'busur' dianggap sebagai kata kerja?

Ia memeluk lalu membaringkan tubuh kawannya di atas tanah, berteriak marah kemudian kembali membantai sekitar sepuluh pasukan musuh di sekitarnya. Jenderal TOlan itu ahli dalam pertarungan jarak dekat, bakat yang digalinya semasa berlatih di akademi perang.

Ini juga series of incoherent actions. Maksudnya sih bisa kutangkep, tapi masih mendingan juga sastranya Sinchan yg "BABI PERGI,... BABI PULANG" itu, hehehe. Terus membantai sepuluh PASUKAN??? Maksudnya sepuluh PRAJURIT, Kallii,...?

Selanjutnya penggambaran aksi dalam kalimat dan paragraf lanjutannya benar-benar menggambarkan seorang jendral yang lagi bingung dan depresi banget, bukan lagi perang (ini jendral atau prajurit rank & file, sich? Koq sibuk amat di garis depan. Yang ngatur strategi di war room, terus siapa? Sekretarisnya, kali?)

So, need I say more mengenai keancuran gaya penulisan ini? Menurut gue sih, contoh prolog ini memberi indikasi tak terbantahkan bahwa pengarang masih belum menguasai tata penulisan yang benar (tak usah dulu ngomongin 'baik' dalam dua serangkai 'baik dan benar'). Walau jelas aku sudah punya masukan dalam aspek-aspek logika, tapi terpaksa masukan itu aku simpan dulu sebab pengarang menghadapi problem yang lebih besar, yaitu kemampuan menuangkan ide secara benar melalui tulisan.

Itu, lho, pelajaran Subyek-Predikat-Obyek, itu lhooo,....

Lha kalo seorang pengarang belum bisa menuliskan kalimatnya secara benar, bagaimana dia akan berhasil mentransfer ide ceritanya? Dan Hallooow,... para editornya lagi pada ngopi-ngopi di mana sih? Kalimat kayak di atas itu koq bisa lolos? Padahal itu di bab awaaaal banget, loh? (Wajar bila Editor agak loose di tengah-tengah buku. Tapi gimana kalo udah loose sejak AWAL buku?)

Untuk selanjutnya, penyakit yang sama melanda seluruh naskah sehingga membuat buku ini menjadi terlalu sulit untuk dicerna. Saya sendiri harus membaca bagai orang buta berjalan. Maju-stop-maju-stop-maju-stop dst. Satu bulan lebih untuk buku cuma setebal tiga ratus halaman.

Oke, kalau saya cuma mencela, ya semua orang bisa mencela, ya nggak? Lantas apa yang bisa dipelajari dari karya ini supaya pengarang dan temen-temen aspiran penulisan Fantasy dapat membuatnya lebih baik lagi?

Pertama, mungkin dari segi penyusunan kalimat s.d.a., ya. Biarpun kita masih punya ruang untuk 'mempermainkan' struktur kalimat secara kreatif, tetap saja ada aturan utama yang harus diikuti. Dan aturan itu memang ada sejak dulu karena suatu alasan, yaitu agar ide dapat terkomunikasikan secara tepat, dengan tetap memelihara kewarasan dan keruntutan berpikir pembacanya :) Kalau pengarang keenakan mengaduk-aduk pikiran pembaca dengan jumbling words, maka dia belum bisa dikatakan sebagai pengarang, melainkan psikopat, hehehe.

Kedua, mungkin pengarang juga perlu mengembangkan 'sense' untuk pemanfaatan kata/ istilah. Bagaimanapun, istilah tidak dapat dipertukarkan secara terlalu merdeka, sebab setiap kata atau istilah sesungguhnya memiliki pengertian khas, yang bila salah pakai akan mengaburkan atau mengacaukan makna. Berikut contoh kasus di Cardan:

Di samping Aras, seorang pria berbaju zirah--dengan tinggi badan yang lebih pendek darinya--tiba-tiba meremas tangan Aras dan berkata, "Tangan yang kuat, cukup kuat untuk mengangkat pedang atau tombak!"

Well, secara kalimat, paragraf contoh di atas tidak punya masalah berarti. Tapi kalo anda menganggap kalimat di atas tidak 'bermasalah', mungkin cara berpikir anda masih menggunakan gaya penulisan berita, bukannya gaya penulisan cerita. Pada 'gaya berita', kalimat adalah fakta kering, sekedar mendeskripsikan kejadian tanpa penafsiran lebih lanjut. Dalam 'gaya cerita', sebuah kalimat dibaca secara tafsir, pembaca berusaha memahami adegan dengan menggunakan imajinasi yang digiring oleh naskah.

Coba aja bayangin adegan ini: si pria MEREMAS tangan Aras, di suatu toko. Untung aja ngomongnya nggak gini, "Tangan yang kuat, ya boooo,..." (gedubrak.com)

Saya temukan banyak kekeliruan semacam itu di sekujur novel, sehingga semata susunan pengkalimatan yang dibikin oleh pengarang jadi gagal untuk mendeliver cerita sebesar ide yang dimilikinya, bahkan menggiring ekstra tafsir yang terkadang menggelikan, seperti contoh di atas.

So, gimana supaya kalimat di atas tidak disalah-tafsirkan sebagai 'gay novel'? (tentu saja, kita tidak usah capek-capek memikirkan hal ini bila si pengarang memang meng-intensikan novelnya sebagai 'queerlit'! Ha ha, tapi saya kira bukan itu intensi pengarang, tentunya?)

Tentu saja, pengarang musti memperhatikan setting dan cara berinteraksi yang tepat, dan pada akhirnya memilih istilah yang tepat. Saya akan memberi alternatif semacam ini:

Di samping Aras, seorang pria berbaju zirah--dengan tinggi badan yang tak melebihi pundak Aras-- tiba-tiba berhenti di sisinya dan mengamati tangan Aras penuh minat. Lalu tanpa permisi ia meraih pergelangan tangan Aras dengan pegangan sekuat penjagal sapi. Aras meringis kesakitan sekaligus keheranan, dan mencoba melawan dengan menarik lepas tangannya. Si Baju Zirah justru tertawa girang dan membetot tangan Aras lebih kuat lagi, membuat Aras harus mengerahkan tenaganya lebih besar lagi. Terjadi tarik-menarik yang cukup ulet, sampai akhirnya Si Baju Zirah melepas tangan Aras sembari terbahak, "Ha ha ha, hebat kau, nak! Tangan yang kuat, cukup kuat untuk mengangkat pedang atau tombak!" ujarnya dengan nada memuji yang tulus.

Pelajaran ketiga, adalah bahwa pembaca tidak bisa dijejali dengan terlalu banyak nama. Saat pengarang mengintrodusir SETIAP nama kepada pembaca, pembaca harus membuka file ingatan guna memasukkan nama itu dalam konstelasi cerita. Kenapa, sebab pembaca harus mengingat tokoh tersebut, apa posisinya, apa perannya, dalam cerita, ketika menjumpai nama itu seratus dua ratus halaman sesudahnya. The bad di Cardan, adalah terlalu banyak nama yang tidak cukup diikat dengan konteks, akibatnya terlalu banyak open file di kepala pembaca, yang membuat pembaca menjadi mudah tersesat.

Tata penamaan terkesan masih separuh asal. Pengarang menciptakan konvensi tiga nama untuk kebanyakan tokoh-tokohnya, seperti Aras Boma Palawa, Divin Shinta Wordane, Zavier de Voco dan lain-lain. Tapi sungguh sulit mengingat rangkaian tiga nama tersebut karena pengarang tidak punya konvensi mengenai cara mengintrodusir nama-nama tersebut.

Umumnya, nama-nama rumit/ kompleks harus diintrodusir seawal mungkin, setidaknya pada saat tokoh bersangkutan pertama kali dihadirkan oleh pengarang di panggung cerita. Dalam novel ini, nama Putri Divin termasuk yang diintrodusir pada saat yg tepat. Tapi jangan lah menghadirkan nama lengkap tiga kata itu setelah melewati sekian puluh halaman, guaranteed, pembaca akan sulit mengingatnya. Sebagai contoh, nama Aras Boma Palawa baru muncul di bab 3, sebelumnya hanya Aras saja. Dan kemunculan nama lengkap itupun tidak memiliki signifikansi apa-apa, muncul begitu saja dalam kalimat, "Pada waktu yang sama di dalam hutan Dio, Aras Boma Palawa merebahkan tubuh di tanah yang dihiasi pepohonan yang luar biasa besar dan lebat".

Di luar konvensi nama-tiga-kata, saya juga punya problem dengan nama asal caplok. Bagaimana sebuah nama ARAS BOMA PALAWA, bisa hadir di setting Cardan ini? Bagaimana bisa ada nama SHINTA di antara DIVIN WORDANE, gimana ada nama ZAVIER DE VOCO? Apakah setting novel bersentuhan dengan budaya India atau Spanyol? Belum lagi inkonsistensi nama-nama panggilan. Aras dan Divin dipanggil berdasarkan nama depannya, tapi Voco, dipanggil berdasarkan nama belakang.

Demikian juga dengan konsep locale yang agak sulit dimengerti, dan tak dijelaskan lebih jauh sehingga membingungkan pembaca, seperti:

Apa itu Garinka, sebuah benua, atau Kerajaan? Apa hubungannya dengan kerajaan Tolan, lalu ada kerajaan Memoard, ada Sync, ada Zonega? Ada pula nama Hinkal di dalam kerajaan Tolan, apakah maksudnya nama Kota Hinkal? Nama-nama tempat ini tidak dilengkapi dengan penjelasan yang memuaskan, setidaknya untuk memudahkan pembaca dalam membayangkannya.

Tampaknya memang pengarang menggunakan strategi 'imajinasi tak terbatas' dalam mengarang nama-nama di novelnya, sehingga seakan-akan nama-nama itu diambil secara sembarangan, dari berbagai sumber. Beberapa nama malah mengesankan bahwa pengarang menggunakan buku manual komputer sebagai referensi penamaan, tengok aja nama-nama: Sync (dari Synchronization), Memoard (seperti Memory, kan?), Links (pranala), Ada Hinkal 'Core' (Core duo?), Logite (Logitech?), Alt (liat, di keyboard lo tuh!). Yah, sebagai proses kreatif sih, nggak salah-salah amat. Tapi setidaknya tetap harus ada reasoning yang memadai dalam proses pengarang menciptakan nama-nama untuk digunakan dalam universenya. Paling dikit, ya agar bisa mensustain 'believeability', dah.

Misalnya, menggunakan nama-nama yang diambil dari dunia komputer seperti di atas, untuk setting novel sci-fi atau techno-thriller. Atau menggunakan nama-nama binatang untuk setting semi fabel (contohnya di novel Anansi Boys-nya Neil Gaiman). Kesesuaian semacam itu akan memudahkan imajinasi pembaca, serta memberi nuansa 'aura' yang pas buat novel.

Lantas, apa sisi positif Cardan?

Satu hal yg bisa saya sebutkan, plot (dalam pengertian yang amat-amat-amat-amat dasar) cukup memiliki daya pikat, dan ada ide 'besar' di belakangnya. Kalau bicara susunan plot, Cardan cukup standar buat kisah-kisah Fantasy, bahkan plot Cardan menjadi lemah akibat kurang kuatnya hubungan sebab-akibat digelar di dalam jalinan kisah novel ini. Tapi pengarang memiliki beberapa cabang plot yang tak biasa, yang cukup memberikan kejutan kecil. Antara lain pengkhianatan Raja Links, yang walaupun motifnya terasa ngga substansial, telah membuat novel ini memiliki 'warna' yg beda. Demikian juga keberanian pengarang untuk mengakhiri novelnya dengan situasi tragik, sesuatu yang jarang dilakukan oleh penulis kita.

Tentu maksudnya dapat diraba, yaitu dengan tragik ini, pengarang berharap untuk menumbuhkan rasa penasaran yang kuat di sisi pembaca, agar termotivasi untuk membeli sekuelnya. Dan saya pikir itu strategi yang cukup bagus.

Sayang sekali, strategi itu tidak berhasil 'mengugah' buat saya, dikarenakan sekujur novel telah dikerjakan secara too bad, badly written sehingga saya tidak berselera bahkan untuk membacanya ulang, alih-alih ngikutin serialnya sampai selesai. Seperti koki yang punya bahan-bahan makanan yang bagus dan mahal, tapi ngga bisa memasak dan mencampur bumbu yang enak. Hasil akhirnya ya tetep aja orang jadi ogah memakan masakannya.

Kan jadi sayang, ya?

Buat pengarang, selamat, karya pertama anda sudah eksis. Emang (karya yang ini) masih belum bagus buat saya, tapi bukan berarti anda ngga bisa menelurkan karya bagus di masa mendatang. Terus aja perdalam skill menulis anda, belajarlah sama ahlinya! Sukses, dah!

Salam,

FA Purawan