Senin, 28 September 2009

BLOODLUST (Joko D. Mukti - 2009)


Data Buku

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Editor: -
Desain Sampul: Eduard Iwan Mangopang
Foto Sampul: (c) Momorad/ Shutterstock
Tebal: 433 halaman

BLOODLUST.

Vampir kembali menyerbu Semarang. Horaaay!

Horay untuk dua hal: bahwa petualangan Lang yang unik itu berlanjut lagi, dan bahwa finally, ada penulis fantasy yang bener-bener menepati janji sekuelnya! Ha ha ha.

Tapi emang bener. Baru kali inilah sebuah sekuel yang diniatkan, terwujud dalam kenyataan. Ini terhitung peristiwa spesial dalam genre Fantasy. Silakan liat sendiri deretan judul yang pernah direview Fikfanindo ke belakang. Nyaris semua sudah diplot atau diniatkan punya sekuel yang kabarnya ke laut aje. Dan itungan gue, baru serialnya mas Joko inilah yang berhasil menerbitkan sekuel tepat waktu.



(wait, sebelum dikomplain, Tanril 2 gak gue masukin itungan sebab statusnya baru setengah sekuel, hehehe. Bisa aja loe!)

Yeah emang aneh, banyak jabang-sekuel dengan alasan bisnis maupun kreativitas, masih belum mampu menghirup udara bebas. Jadi kemunculan BLOODLUST ini cukup patut dipuji, setidaknya dari konsistensi pengarang maupun penerbit dalam memenuhi target tenggang waktu dan komitmen mereka terhadap pembaca/ penggemar. Mo gimana lagi, hari gini komitmen udah jadi barang mahal. Dan siapapun yang berani menjalani komitmen, patut mendapatkan pujian.

BLOODLUST (BL) merupakan kelanjutan dari petualangan Lang yang telah berubah menjadi Vampir, di tengah kota Semarang yang telah pulih dari peristiwa "Geger Vampir" tujuh bulan sebelumnya (time-line MWAV 1). Dalam sekuelnya ini Lang menghadapi musuh baru sambil mengatasi masalah transformasi mentalnya sebagai vampir.

Tokoh-tokoh lama yang masih ikut bermain dalam cerita kali ini adalah Tamam, si wartawan sok Afro nge-bronx yang bicaranya paling norak sejagat; Svida, gadis putri boss yang pernah menolak cinta Lang, serta Princess, tokoh Vampir yang pernah jadi tokoh utama di MWAV 1.

Selebihnya panggung diisi dengan tokoh-tokoh baru: Tyas, seorang artis dari Jakarta, Wignyo, juragan yang terkait dengan masa lalu Lang, Bayu dan Sekar, anak Wignyo, serta seorang kakek sakti bernama mBah Dul.

Kehadiran tokoh-tokoh baru yang mendominasi panggung cerita ini menunjukkan bahwa plot MWAV sudah bergeser, memasuki ranah persoalan yang tidak bergitu terkait dengan novel sebelumnya. Setidaknya, hanya tokoh Lang (dan inner circle-nya aja) yang menjadi benang merah cerita. Persoalan Wignyo, sekalipun masih ada hubungan masa lalu dengan Lang, posisinya dalam bangunan plot sesungguhnya adalah sebagai cabang plot baru yang nggak ada kaitan dengan buku 1.

Lantas sebagai sekuel, apa yang menjadi missi novel ini? Mungkin lebih ke arah filosofis, kali ye? Ketara sekali pengarang dalam sekuel ini mencoba mengolah konflik batin yang lebih dalam pada diri Lang, saat dia mulai mempertanyakan posisimya sebagai manusia yang punya kekuatan vampir, atau vampir berwujud manusia. Kasus Wignyo juga seolah menguak luka lama, yang berfungsi sebagai ujian batin buat Lang. Lang menjadi sosok Blade-jawa dalam persimpangan, mo pertahankan atau kehilangan kemanusiaannya.

Juga ada pendalaman konflik batin Tamam (yo, masih gak aku harus nge-friend sama that fucking vampire bastard itu?), atau Svida (sial kenapa dulu kutolak, sekarang si Lang jadi cool banget dengan rambut berkibar-kibar, ooh). Yah, gitu deh.

Betapa suasana jadi serius setelah itu, bukan? Hehehe. Tak pelak, tone novel menjadi agak kebawa mood nya si Lang, sehingga alur pun nggak menjadi se adventurous buku pertama. Masih banyak adegan action, less sexual themes, tapi jadi gak semenggelegar buku 1. Wajar aja sih, ada saatnya serius, toh? Tapi tak urung saya juga jadi kurang bergairah terhadap sekuel ini. Mungkin karena ekspektasi saya adalah ekspansi konflik atau opponent yang semakin luas, bukannya pendalaman internal para tokoh (saja).

Di sini, memang ada pembaruan musuh, yaitu perpaduan antara vampirisme dengan ilmu kebatinan (pengorbanan 100 perawan) menghasilkan sesosok Vampir Super yang bahkan sulit dikalahkan oleh Lang sendiri. Tapi entah gimana, menurutku biarpun sakti mandraguna, lawan si Lang kali ini cuma just a regular villain. Keberadaannya buat gue nggak mampu menjadi driver cerita, mungkin juga kalah porsi dibanding konflik-mental nya si Lang sendiri.

Bahkan setting Semarang pun pada sekuel ini menjadi agak tawar. Masyarakat Semarang agaknya sudah merasa pulih dari serangan vampir tujuh bulan lalu sehingga semata mereka mengenangnya sebagai 'geger vampir'. Just like orang Jakarta secara kasual mengenang 'banjir 2002', misalnya. Seru untuk dikenang, tapi ada semacam keyakinan tak terucapkan bahwa bencana itu tidak akan datang untuk kedua kalinya. Masuk akal tidak, kalau perasaan yang sama berlaku untuk sebuah bencana serangan vampir? Rasanya gak make sense, kan?

Maka dalam sekuel ini sepertinya adegan si vampir Lang meloncat-loncat di atap mobil keramaian jalanan jadi sudah dianggap biasa ajah, tuh. Reaksi terhadap keberadaan vampir juga menjadi lebih tawar. Gimana, ya. Buat gue rasanya gak 'dapet' aja.

Tapi jangan jadi keliru menafsirkan. Secara kualitas penulisan, buku ini masih sebagus pendahulunya. Aksi hack 'n slash abis-abisan juga masih menjadi trade mark yang susah dicari lawannya, dan pastinya ditunggu oleh penggemar genre sejenis ini. Bahkan di halaman-halaman pertama juga sangat terasa excitement sebagai sekuel, saat membaca adegan-adegan yang me-reminiscence MWAV 1, sampai gue sempat komentar pada part action tertentu, "Yeah! Asyik! Mantap!" semacam itulah. So, ini masih cerita yang asyik. Sekedar trip yang dipilih oleh si pengarang aja yang kurang cocok buatku. Itu aja.

Dengan ending sebagaimana dipilih pengarang, juga tersusun konstelasi posisi karakter baru yang juga agak beda dengan buku 1, sebagai persiapan memasuki sekuel ketiga. Rasa-rasanya sih udah bisa ketebak apa yang bakalan terjadi di buku 3. Tapi siapa tahu, pengarang mengirim kejutan lain?

Komentar cover & layout? Masih seperti yang dulu. Alias kamseupay abis!

Moga-moga nih, sekuel ketiga terbit sesuai jadwal lagi.

Mas Joko, you memang tob markotob, dah!



FA Purawan

Minggu, 06 September 2009

XAR & VICHATTAN - Takhta Cahaya (Bonmedo Tambunan - 2009)



Penerbit: Adhika-Pustaka
Penyunting: Lutfi Jayadi & Ratri Adityarani
Ilustrasi Sampul: Imaginary Friends Studio; Hendryzero Prasestyo & Eko Puteh
Perwajahan Sampul & Isi: Lewi Djayaputra
Tebal: 313 halaman



Sebuah lukisan angsa putih ditunggangi oleh tiga sosok remaja segera membetot perhatian di rak buku Gramedia. Paduan warna ungu dan jingga sebagai latar belakang, memperkuat kesan akan sampul sebuah novel Fantasy untuk target pembaca remaja. Saat diamati detail, di latar belakang tampak sosok Rusa jantan bercahaya terbang ditunggangi dua remaja. Inilah Novel Fantasy baru: Xar & Vichattan - Takhta Cahaya karangan Bonmedo Tambunan.



Ada dua aspek desain cover yang menurutku menjadi unggulan novel ini. Yang pertama adalah visualisasinya udah Fantasy banget, gambar Angsa yang bisa membopong 3 anak remaja, udah pastilah angsa raksasa yang gak mungkin ada di alam nyata, hehehe. Dan Rusa terbang juga tampak detail dan 'majestic'. Langsung menggeret imajinasi ke suatu negeri antah berantah.

Yang kedua, adalah eksekusinya yang ciamik. Ilustrasi cover bersifat lukisan tangan, which is merupakan sebuah nilai plus, dimana desain cover hari gini kebanyakan menggunakan metode art grafis, atau art foto. Udah jarang ilustrator memberanikan diri tampil dengan kinarya lukis (entah, apa hari gini even lukisan macam ini pun sudah dikerjakan secara digital from scratch?) untuk cover novel Fantasy. Kalo di Barat sono sih, tampaknya malah udah jadi pakem: kalo Fantasy --terutama high fantasy-- covernya harus bergaya lukisan. Salut untuk Hendryzero Prasestyo dan Eko Puteh dari Imaginary Friends Studio.

Untuk kualitas lukisannya udah cukup di atas rata-rata novel lokal, sich. Terutama untuk angsa dan rusa nya. Kueeren. Kalo untuk sosok-sosok manusianya, well,..buat gue agak terlalu 'manga-ish'. Gue lebih seneng yang bener-bener lukisan person realistik. Tapi I guess yang bisa bikin kayak gitu di sini jarang banget. Dan granted, segala aspek dalam cover ini sudah pas memenuhi kebutuhan berkomunikasi dengan target pasar yang dituju, yaitu segmen remaja SMP-SMA.

Catatan kecil buat Cover, adalah penulisan Sub-judul: Takhta Cahaya. Setahuku ejaan yang bener adalah "Tahta"; perhaps penerbit/ editor bisa lebih concern lagi untuk hal ini, mengingat judul 'kan ada di halaman depan yang terlihat oleh berjuta-juta mata :p

Kisah Xar & Vichattan (X&V) sendiri cukup 'mainstream' untuk sebuah genre Fantasy. Syahdan awalnya adalah tiga penyihir Ariok, Tamar, dan Sjorya, disebutkan sebagai para pencipta ilmu magis. Si Ariok yang menguasai sihir Kegelapan berseteru dengan Tamar memperebutkan cinta Sjorya, yang berakhir menjadi episode kutuk-mengutuk. Akibat kutukan kegelapan, Tamar menderita semacam penyakit yang akhirnya dapat disembuhkan oleh Sjorya setelah membangkitkan kekuatan Cahaya. Maka berdirilah Kuil Cahaya sebagai pengimbang Kuil Kegelapan, serta Kuil Xar dan Kuil Vichattan sebagai penerus ajaran Tamar yang mengembangkan spesialisasinya masing-masing. Sedikit background situation, mirip seperti Harry Potter. Good, I like background stories.

Tujuh tahun sebelum time-line Novel, terjadi pertempuran besar antara Kuil Kegelapan melawan Persekutuan Keterangan (hehehe, istilah ciptaan gue sendiri) yang terdiri atas Kuil Cahaya di bawah pimpinan Pendeta Cahaya Luscia, Kuil Xar di bawah pimpinan Biarawati Agung Mirell, dan Kuil Vichattan di bawah pimpinan Tiarawati Magdalin. Saat itu Khalash sang pemimpin Kuil Kegelapan mengalami kekalahan berkat pengorbanan Luscia yang berhasil mengirimkan Khalash ke dalam "Void". Sebagai akibat tewasnya Luscia, Kuil Cahaya mengalami keruntuhan.

Dan sekarang, somehow the Lord of Darkness has came back! Wuahahahah,... tanpa kekuatan Cahaya, dunia terancam tak mampu mengimbangi kekuatan Kegelapan. Apalagi kutukan Kegelapan juga menimpa para dedengkot Kuil Xar & Kuil Vichattan, membuat mereka tak berdaya. Nasib Aliansi Keterangan akhirnya berada di pundak empat tokoh remaja kita: Gerome, Kara, Dalrin, dan Antessa, berusia lebih kurang 12-13 tahunan. Merekalah sang Pewaris Cahaya yang akan membangkitkan kuil Cahaya untuk melawan Kuil kegelapan.

So, yeah. It's another Light vs Darkness Plot, dengan The Chosen One(s) to save the day. Ini plot klasik, memang. Tantangannya adalah gimana ngembanginnya supaya gak menjadi terlampau klise. Face it, klise aja belum tentu jelek, sebab yg klise pun teteup punya pasar. Nasi goreng dari dulu bahannya gak jauh dari Nasi, bawang, cabe, daging, telor dkk tapi toh tetap banyak yang suka, hehehe. Tapi sebagai pengarang, kita memang punya semacam kewajiban moral untuk mampu menghadirkan sesuatu yang 'baru', kepada pembaca. Kita lihat saja, apakah X&V mampu menawarkan sesuatu yang baru.

Kalau menurut gue, pengarang berhasil mengolah plotnya dengan baik. Salah satu sebabnya, karena pengarang menciptakan alat bantu plot yang cukup efektif, yaitu background stories yang lumayan lengkap seperti sudah aku uraikan di atas. Kisah petualangan empat sekawan ini disupport oleh dua generasi background story, yaitu generasi pendiri Kuil Cahaya, dan generasi veteran perang Kegelapan. Itu menyumbangkan 'depth' ke dalam cerita, sehingga konflik-nya bisa lebih 'berakar' dari sekedar kisah tentang 4 bocah jagoan (BTW, mirip juga dengan Background Stories-nya Harry Potter: Ada generasi empat sekawan pendiri Hogwarts, kemudian era konflik Voldermort Pertama yang terjadi sebelas tahun sebelum time-line Harry Potter).

Background stories, biasanya merupakan tantangan tersendiri bagi penulis. Bagaimana kiat mendeliver background story tanpa membuat: (1) Cerita menjadi berpanjang-panjang atawa bertele-tele; (2) Pembaca bosan mengikuti background atau flashback dan gak segera 'terjun' ke time-line utama; (3) Background story menjadi terlalu menarik dan 'menenggelamkan' cerita utama!

Gue sendiri --jujur aja-- juga mengalami problem yang sama dalam naskah novel gue. Awalnya gue membuat sebuah background story (yg gue labelin sebagai Prolog) mencakup 3 Bab penuh, sekitar enam puluh halaman-an. Akibatnya gue kena sindrom nomor (2) di atas, pembaca keburu bosen. Dilema-nya, tanpa background story, gue gak bisa menjalankan cerita. Akibatnya gue harus berjibaku memotong berbagai adegan Backround Story menjadi seminimal mungkin. Itu pun gue baru berhasil memotong cuma 30%.

So, bukan bermaksud promosi colongan, tapi sekedar menegaskan, menyiasati background story memang bukan perkara mudah. Banyak pengarang akhirnya mengambil strategi memecah-mecah informasi background stories itu dan menyebarnya di dalam novel. Langkah yang cukup masuk akal, namun membutuhkan satu prasyarat: struktur plot musti terencana baik.

Gimana dengan X&V? Satu tantangan di X&V adalah jumlah halamannya relatif tipis, cuma 313 halaman, sesuai dengan target pasar yang dituju. So, background story-nya hanya punya alokasi halaman yang minim. Pengarang menyiasatinya dengan menyisipkan adegan rapat (kemudian background info itu disampaikan melalui perantaraan kitab kuno, hikayat yang diceritakan oleh para tokoh-ahli, etc). Jadi sifatnya sangat singkat dan minim narasi. Memang lumayan efektif, walau karenanya dimensi 'emosional'nya pun jadi tereduksi hingga sekadar sebagai informasi aja, less being a plot driver. Ada sedikit sih, informasi background story itu digunakan sebagai bahan dasar 'puzzle' yang harus dipecahkan para jagoan.

Tapi kurasa pas, lah. Kembali karena mengingat target pasarnya yaitu pembaca remaja.

Bagaimana struktur plotnya? Walau belum cukup canggih untuk memasukkan strategi pecah-backround, setidaknya alur maju yang dipakai cukup berjalan lancar. Cerita dimulai dari peristiwa kutukan yang menimpa pemimpin Xar & Vichattan, sekaligus sebagai penanda bahwa sang penguasa kegelapan sudah bangkit, dan peristiwa terus bergulir sampai klimaks pertempuran antara Aliansi Keterangan dan Pasukan Kegelapan. Plot sempat dipecah dua jalur; jalur pertama adalah pertempuran melawan Khalash dan pengikutnya, jalur kedua adalah perjuangan empat bocah sekawan itu menjalankan tugas membangkitkan kuil cahaya. Biasa, jalur kedua harus accomplish in order agar jalur pertama sukses. Lumayan rapih, koq. Dan kedua jalur plot itu juga diisi dengan klimaks yang cukup pas.

Terhadap aspek-aspek di atas, X&V sudah berada dalam posisi cukup aman, koq. Nothing so special, namun cukup untuk menggerakkan cerita dalam bingkai yang wajar untuk target market remaja.

Yang spesial dari Novel ini, dan banyak juga yang bilang begitu, adalah adegan-adegan battlenya yang keren. Berbagai pertempuran dieksekusi dengan bagus, menghasilkan gambaran visual yang memukau pembaca. Motivasi pertempurannya sih ga begitu istimewa. Bad guys hendak memusnahkan Good guys, Good guys trying to survive,... Tapi Pengarang berhasil mengkonstruksikan adegan pertempuran baik sihir maupun fisik, secara cantik.

Bagaimana si pengarang bisa menghasilkan adegan pertempuran yang bagus-bagus?

Well, yeah. Imagination, good ones, always matters. Tapi aku ingin highlight satu kelebihan khusus yang ada dalam diri pengarang, yang sangat membantunya dalam merekonstruksi adegan perkelahian fantasiyah yang keren (Part yg ini jarang disadari oleh pembaca, karena tersembunyi di balik kegemilangan adegan-adegan).

Yang pertama, cukup solidnya setting bahan-baku peperangan yang disusun oleh Pengarang, yaitu sistem sihir-menyihir berdasarkan sistem elemental (Air, Api, Udara, Tanah), dan sistem kebatinan (daya spiritual, energi psikis, disebutnya energi inti Xar), dan daya kegelapan (cool, dark element yang bersifat energi negatif yang menyerap atau memunahkan energi positif). Harus diakui bahwa ini bukan bahan-bahan baru. Sudah banyak khasanah Fantasy memanfaatkan sistematika ini. Yang bagusnya, pengarang mampu menampilkan cara-cara pengolahan energi-energi tersebut serta perbenturannya (kapan yg satu efektif melawan yang lain) secara wajar dan believable. Sedikit over-statement diberikan kepada energi kegelapan yang demikian powerfull sehingga sulit dikalahkan oleh sihir elemental maupun sihir spiritual, tapi memang dikondisikan begitu untuk meng-emphasize keunggulan energi Cahaya yang konon dilandasi oleh Cinta. Well, oke deh, since memang itu underlying missionnya, ya bisa gue ampuni, deh. hehehe.

Yang kedua, musti dilihat dari teknik penulisan. Sekalian buat belajar juga nih. Apa yang membuat adegan battle menjadi menarik? First of all, seperti kubilang di atas, tentunya daya imajinasi pengarang harus kuat. Dia harus bisa membuat sebuah studio adegan di dalam kepalanya, menyusun setting perkelahian dalam studio itu, kemudian mengisinya dengan berbagai properties dan karakter yang bergerak kian kemari secara tiga dimensi. Jangan lupakan pula unsur-unsur penunjang seperti warna, tekstur, sound-effects, anything, termasuk,... (ini yg sering dilupakan): Batasan-batasan ruang-waktu-fisik-jurus-magic, anything. Inget, loh. Cerita atau adegan justru jadi menarik karena adanya keterbatasan di sisi karakter untuk mencapai tujuannya.

Yang menarik, pengarang berhasil meramu elemen-elemen itu menjadi suatu battle yang koreografi-nya gak disangka-sangka. Misalnya gimana cara menghindarkan diri dari serangan menggunakan kekuatan udara (angin) untuk hovering (melayang rendah) berkelit. Kejutan-kejutan jurus semacam itu membuat suasana perkelahian jadi lebih mengasyikkan.

So, itulah, yang menurut pendapat gue, menjadikan battle di X&V menjadi enjoyable dan menjadi point plus untuk buku ini.

Lantas apa yang bisa gue kritik?

Soal penamaan: agak mixed feeling aku di sini. Pengarang sebenernya udah membuat suatu sistem penamaan yang bagus. Khususnya untuk kaum Xar, ada sistem penamaan klan dalam konsep nama tengah seperti Terma uv Elaim, Petra kar Cabara dan sejenisnya. Keteraturannya menciptakan sense setting yang solid. Cuma gue kenapa koq gak begitu cocok dengan cara penulisannya, nama tengah dibikin nggak berhuruf kapital, somehow jadi wagu.

Pilihan nama-nama nya sendiri cenderung aman, gak terlalu ekstrim-ngasal ala Fantasy wannabe, tetapi juga masih terasa other-worldly-nya. Yang perlu di highlight juga, penamaannya umumnya enak dibaca dan enak diucapkan. Orang lain mungkin menganggap kepedulian pengarang untuk gak main melintirin lidah pembaca adalah hal remeh, kalo menurut gue justru menunjukkan bahwa pengarang paham perlunya some degree of 'intimacy' antara pembaca dengan karakter yang ia ciptakan, yang biasanya diwakilkan melalui sosok karakter yang mudah dimengerti (termasuk di sini namanya juga gak ribet-ribet amat).

PS: Tapi "Xar"... itu bener-bener gak enak dibaca dan susah diucapkan! heheheh. Dan masih ada beberapa istilah dari BAHASA INGGRIS, yee? Misalnya "Shapeshifter".

Kritik lain adalah justru terhadap perilaku para tokoh utama, yang udah di'jebak' dengan segala trik sihir-magic-spiritual untuk jadi pengemban amanat hati nurani dewa (on the other word: sacrificing their puny little butts), koq gak keliatan takut-takut gimana, gitu. Padahal baru 12 tahun, loh. Rada gak sinkron sama level self-concept segmen pembacanya, neh. Tapi kupikir pengarang punya missi gitu juga, kayaknya (baca: bocah-bocah tuh jangan manja, kudu perkasa duonks!), jadi itu hak prerogatif-nya, lah. Hanya saya saran gue gimana kalo dibikin lebih natural, geto. Lagian, OTOH, they can do, like, bad-ass Magics, anyways!

Juga 'persahabatan' (bagai kepompong) empat anak yang suppose to be baru ketemuan (at least antara Xar party vs Vichattan Party) bagi gue agak terasa terlalu cepat akrab. Lebih natural kalo ada sedikit pergesekan ego di awal sebagaimana lazimnya remaja. Bisa aja antara Xar vs Vichattan, atau Girl vs Boys. Mumpung situasinya memungkinkan konflik-konflik semacam itu tumbuh, dan resolved akibat menghadapi common enemy. Terus panggilan-panggilan frontal-ideal seperti, "Sahabat!", "Kawan!", uaah,.. hari gini jadi berasa 'keju' gak sih?

Khalash, sebagai the Dark Lord, berasa gak terlalu villain, mungkin karena jatah tampilnya gak begitu banyak. Justru lebih keren panglima-panglimanya, si Botak dan si Cantik. BTW seharusnya Panglima Kegelapan ada 4, setelah perang tujuh tahun lalu tinggal 2. Sayang kenapa The Dark Lord gak ngerekrut 2 lagi dulu, ya. Overconfidence, kali.

Tapi gue paling senang dengan konsepnya Ingenscorpus, raksasa yang di-compose dari bangkai-bangkai yang dijahit jadi satu. Ugggh, nasty! Dan saat kemunculan si Ingenscorpus pertama kali melalui lubang gaib di udara, itu adalah momen paling "Whoaaa!" buat gue.

Satu kritik lagi, mengenai layout. Ini buku yang berukuran seperti buku pelajaran sekolah, dan dilay-out serupa buku pelajaran sekolah! Jarak spasinya kelebaran (spasi ganda), dan margin kiri-kanan terlalu lebar sehingga mau tak mau mataku harus bergerak kiri-kanan-mentok (seperti mesin tik jaman dulu), dan huruf-huruf itu seolah bertebaran ngacak seakan-akan gue menderita Dyslexia. Terus-terang gue lama juga baca buku yang cuma tiga-ratus halaman ini.

Well, kira-kira demikianlah kilas review X&V. Kesimpulan umumnya sih, ni buku merupakan karya yang 'cukup'. Kemasannya bagus, penulisannya bagus, kreativitas bagus, bangunan settingnya bagus, kesesuaian dengan target market juga bagus. Bisa direkomendasikan bagi para ortu yang ingin membeli buat anak-anaknya. Tapi kenapa aku bilang 'cukup', karena sekalipun bagus, aku belum mendapatkan sesuatu yang membuat aku ingin terlibat lebih jauh dengan ceritanya. Well, missi Terang melawan gelap, udah jadi standar. Chosen ones, well anybody can pick-up everybody they choose (it happens every time!). So biarpun mission accompished, kuil cahaya berdiri, Khalash siap untuk dikalahkan (so final battle commencing,...), rasanya biarpun ada sekuel, gue belum terlalu termotivasi untuk mengikutinya.

(To be fair, umur gue udah forty, mungkin alur macam ini udah gak begitu exciting buat gue. Bisa lain halnya dengan segmen pembaca remaja yang memang dituju oleh Pengarang).

So, buat gue, buku ini at best adalah sebuah contoh pembelajaran penulisan yang bagus, terutama bagaimana pengarang menggunakan top imagination untuk merangkai adegan-adegan battle yang keren!

Buat Bonmedo, selamat atas penerbitan buku perdananya, teruslah berkreasi.

Salam,


FA Purawan