Selasa, 25 Maret 2008

JAVA JOE: Rahasia Kebangkitan Rara Jonggrang (J.H. Setiawan - 2008)


"Bikin deg-degan tapi juga indah menyentuh,"

-- Nadine Chandrawinata, Putri Indonesia 2005

Sulit kupercaya.

Nadine, gitu loh,.....

Putri Indonesia, gitu looowh,... dua ribu lima. Siapa yang gak kenal?

Justu karena itulah gue bertanya-tanya. Dari sisi mana seorang Nadine (yang kita kenal) dianggap berkompetensi memberi endorsement. I mean, Seberapa literer sih, do'i? Secara, Nadine, gitu lowh,... seberapa doyan baca buku, sih, top model kita ini? Secara, Putri Indonesia, gitu lowh,... sejak kapan dalam konsep "beauty & brain"nya sebuah kontes putri-putrian juga termasuk unsur literacy?

(Hehehe, jadi geli sendiri ngebayangin juri bertanya seperti ini,...)

"Oke, Miss Indonesia, buku-buku apa yang biasa anda baca?"

"Owh, I just love reading books, especially science fiction writers" (jawaban harus dalam bahasa Inggres, kaleee)

"Oh, bagus sekali, contohnya buku-buku apa saja?"

"Well,... like Harry Potter serieees, and Java Joe seriees,.."


(penonton bertepuk tangan, juri manggut-manggut,...)

He he he, sirik nih reviewernya,.. Main jender dan prejudis banget!

Lantas, siapa sih, FA Purawan yang sok bikin review ini? Secara gitu looh, bikin novel juga baru satu, kagak terbit, lagih! Mending bagus? Doh, kena deh gue,.. :)

Tapi sejujurnya pertanyaan di atas memang langsung menyergap begitu menatap sampul JAVA JOE di Gramedia. Endorsement seorang Nadine dicetak di area sisi kiri atas cover, tempat yang secara alamiah merupakan daerah tatapan mata pertama pembaca. Demikiankah taktik marketing penerbit? Dengan memajang endorsement Nadine di posisi top, penerbit berharap menjaring interest generasi Nadine, tapi jadi menohok pertanyaan mengenai kapasitas intelektual bagi generasi gue, terutama concerning the novel, yha. Bukan Nadine-nya,... :p

Saat sebuah Novel "sci-fi" diendorse oleh seorang peragawati yang bukan sosok pembaca buku, seharusnya gue udah curiga. Tapi bisikan hati nurani terdalam, instink yang tertajam itu, harus terhapus oleh kekagumanku atas desain cover yang menarik, gambar kota futuristik dan sosok seorang pilot pesawat tempur F-16 a-la Top Gun (presumably Java Joe himself, ganteng dan sooo tampang 'anak Permias' banget). Apalagi endorsement di sampul belakang tak kurang dari Aristides Katoppo sampai berkomentar, "Pembauran kreatif antara kisah perburuan legenda ala Indiana Jones, penuh intrik konspirasi seperti X-files dengan latar fiksi ilmiah semacam Star Trek".

Apa yang kurang, coba?

Maka dimulailah petualangan Java Joe di tanganku, yang dibuka dengan BAGIAN I yang mengisahkan lakon klasik Rara Jonggrang secara ciamik, dengan gaya bertutur cerita hikayat a-la Langit K.H. (seri Gajah Mada) yang mengasyikkan. Terus terang, bagian ini memang memikat, dan berhasil mempengaruhi paradigma pembaca bahwa peristiwa inilah yang akan menjadi fondasi tema utama Novel selanjutnya.

Masuk BAGIAN II, pembaca dibawa ke suasana dua millenia kemudian, pada tokoh kita JAVA JOE (sebagai sebuah nama panggilan, cukup OK. Tapi kalau ini merupakan nama benernya si tokoh, sesungguhnya cukup menggelikan), dalam ending missi atariksanya ke Mars yang cukup heroik dan men-set tone keseluruhan dalam hal aspek heroisme sang tokoh. Yaitu sebagai action hero yang tanggap menyelesaikan berbagai masalah dan menguasai skill action yang tinggi (termasuk skill teknologik on the way).

Missi luar angkasa di bab ini dan bab terakhir, merupakan nilai plus novel 'science-fiction' ini, yang ditulis oleh J.H. Setiawan pada tahun 1997 (udah cukup lama sebetulnya, sehingga kelengkapan riset mengenai penerbangan antariksanya perlu saya acungi jempol) namun baru terbit tahun 2008. Dalam adegan pendaratan pesawat Conqueror di Stasiun Angkasa Skyfleet, tergambar situasi penerbangan antariksa yang cukup realistis, penerapan hukum-hukum hampa udara yang teliti serta lingkungan angkasa luar yang 'correct' secara teoritis, seperti partikel-partikel antariksa yang mampu mengancam kendaraan-kendaraan antariksa, shield technology, laser guided landing dll. Ini jarang banget disinggung novelis 'sci-fi' kita.

Selain itu, realisme setting space fleet juga terasa kental berkat kejelian pengarang menetapkan setting awak pesawat, mulai dari Pilot, co Pilot, Helm Officer, Engineering Officer, Tactical Officer dll. Ini juga yg sering overlook dalam penulisan antariksa kita. Padahal, referensi pengawakan ini sudah cukup banyak kita kenal melalui film-film seperti Star Trek dll. Realisme lainnya yang juga berhasil mengangkat adegan-adegan antariksa adalah dialog-dialog komando dan radio 'chatter' yang khas dalam proses komunikasi radio antara pesawat dengan stasiun pengendali. Memang rangkaian dialog dalam novel ini merupakan salah satu kekuatan si pengarang yang mampu membuat novel ini enak dinikmati dan terasa realistis. Kadang kalo udah begitu, akurasi atau keilmiahan jadi bisa dianggap nggak perlu dipusingkan.

Kalau ada yang perlu dikomentarin, mungkin sekedar ketidak-tepatan pangkat Pilot dan co-Pilot dalam setting space flight. Umumnya space flight mengikuti sistim komando kapal selam atau naval fleet, dimana posisi kemudi dipegang oleh Helm Officer, bukan pilot. Dan untuk posisi pimpinan di dalam pesawat antariksa dipegang oleh Captain, dan First Officer sebagai wakilnya. Juga, penerbangan ke orbit Mars dalam rangka pendaratan dan penghantaran supply ini sesungguhnya tidak terlalu memerlukan medical officer, sebagai gantinya justru perlu ada Comm Officer.

Tapi ini kekurangan kecil, nggak mempengaruhi jalannya cerita serta heroisme Java Joe yang ingin ditonjolkan.

Nah, bicara heroisme, nich. Rasanya inilah faktor yang bagi saya menjadi let-down factor buat novel ini. Begitu pengarang starting on Java Joe's heroic exploits, buat gue image sci-fi novel ini langsung melorot ke titik terendah, tergantikan oleh imej lain.

Bukannya imej lain itu jelek. Nggak juga, koq. Cukup keren dan nggak biasa buat novel lokal juga. Cuma pasalnya gue nggak lagi menganggap Java Joe sebagai novel Sci-fi. Peran sci-fi Java Joe tamat riwayatnya begitu Java Joe tampil sebagai action hero di sana-sini. Imejnya langsung bersalin menjadi semacam tokoh James Bond, well,.. Indonesianisasi jagoan ala James Bond, tepatnya.

Paham, kan, kenapa jadi let down buat gue. Tokoh-tokoh jagoan macam ini udah soo old banget. Indonesia pernah punya Naga Mas, dan entah apa lagi, banyak, semenjak euforia James Bond di tahun 60-70-an. Ciri khasnya tokoh ini merupakan cowok macho yang secara mengagumkan (baca: unbelievably) bisa terampil dalam berbagai hal dan menyelesaikan segala masalah dengan berbekal jurus-jurus action.

Java Joe, sadly, akhirnya nggak lebih dari James Bond Indonesia yg lahir di AS, besar di AS, SMA di Jakarta dan kuliah di Barnett College, AS lagi. Kuliah Teknologi Aeronautika, yang salah satu mata kuliahnya arkeologi, dan saat tugas kuliah arkeologi membentuk tim Tomb Raider yang menjarah makam di Persia untuk menemukan kunci Istana Solomon, dan lulus masuk Skyfleet Academy untuk jadi pilot antariksa, dan kelihatannya ada kurikulum komputer programming sampai dengan keprajuritan segala. Komplit-plit, bo, sebagai James Bond center. Entah apakah selengkap itu pula training program di NASA, hehehe,....

Sejak kepulangan dari Mars (dengan clever pun: orang ke tujuh belas, misi ke tiga), Java Joe menjalani petualangan sci-fi berbalut sejarah dengan latar belakang konspirasi internasional. Dibantu oleh Chavez si Hacker jempolan, Sarah Lou si wartawati mantan tetangga masa kecil dan calon pacar tapi batal, Cynthia si dokter genetika mantan pacar SMA. Diburu-buru oleh komplotan Black Baron (rampok dungu tapi bossy, gitu), dan prajurit genetik IMPAC,... Sibuk bener, euy,..

Dan kesibukan itu jadi semakin terasa mendera-dera pembaca akibat nggak fokusnya 'tujuan' dari berbagai plot yang berseliweran ini.

Salah satu masalah utama bangsa kita sekarang, mungkin, kelihatannya adalah: Satu masalah aja belum cukup. Gak nendang, istilah kata. Jadi pengarang merasa perlu memasukkan multitude of problems di tangan Java Joe, mulai dari missi menyingkap rahasia prasasti Gandrung Wicaksana, misteri purnama perak, misteri inner planets alignment, misteri kalung warisan, misteri Operation Phoenix, misteri hubungan Joe dengan Sarah, dengan Cynthia, misteri rivalitas antara Sarah dan Cynthia, misteri professor Jones, misteri Pegasus, misteri Neogaia, misteri proyek Janus, misteri Area 51. Dengan sebanyak itu persoalan, dengan cuma dikasih jatah dua ratus halaman, tentu wajar jika banyak hal gak sempat diselesaikan oleh sang jagoan Java Joe,.. hehehe.

Akibat dari banyaknya misteri yang (seharusnya) saling berjalin membentuk konklusi di akhir novel, sebagian penggarapan misteri jadi terbengkalai dan terasa semata sebagai tempelan, agar persoalan kelihatan 'grande' belaka. Sebagian memang berhasil. Contohnya percakapan intelijen tingkat tinggi Neogaia, proyek phoenix, satelit hawkeye, dll, dibabar secara cergas mengesankan seperti novel-novel Crichton. Dialog yang dimainkan Spender, salah satu petinggi IMPAC (the bad guys) tampak berkelas, gak kayak intel tingkat RT, deh pokoknya. Tapi setelah semua hal yang keren-keren itu diaduk dan dicampur dalam sebuah masakan berbumbu action, pembaca ditinggali dengan sejumlah pertanyaan yang tak tuntas.

Mungkin saja Java Joe telah berhasil menyelamatkan Bumi dari spaceghost Pegasus. Tapi dia nggak berhasil menyelamatkan pembaca dari tumpukan pertanyaan. Terus apa hubungannya si Rara Jonggrang? Disebutkan adanya operasi Phoenix yang melibatkan si Rara Jo sebagai code name: Phoenix, tapi pembaca dibiarkan merana tanpa kejelasan, maksudnya apa seeeh,...??? Apa hubungan Rara Jonggrang dengan Neogaia? Dengan Pegasus? Ke mana urusannya setelah dua ribu tahun Rara Jonggrang disimpan di dalam candi, terus jebul-jebul bisa bangun oleh ilmu 'sleeping beauty' yang dimiliki Java Joe (!). Koq begitu aja, terus hubungannya dengan purnama perak yang katanya hanya terjadi limaratus tahun sekali saat planet-planet dalam posisi sejajar, apa? Sungguh, ini ibarat ngasih trailer yang ciamik di depan, tapi di dalam film-nya sendiri trailer itu tidak terintegrasi sebagai cerita yang konklusif. Yang lebih sadis lagi, novel ini punya sub judul: Rahasia Kebangkitan Rara Jonggrang, yang bener-bener dibikin rahasia sampai cerita berakhir!

Yang paling gue gemes, kilah "energi murni" yang dimiliki Rara Jo sebagai salah satu motivasi tertinggi dibangkitkannya putri tidur itu, ternyata ngga ada efek apa-apa pada cerita. Rara Jo-nya malah kena,....... (ada plot twist), yang nggak akan gue ceritain sebab itu 'harta'nya pengarang, tapi let me tell you that gara-gara itu gue jadi gedeeeeeggg banget!!

Mengenai Karakter dalam Novel, secara keseluruhan sih asyik-asyik aja, cukup unik dan realistis. Java Joe yang ganteng tapi takut cewek (atau bahasa lainnya, nggak gampang 'serrr', kecuali ketemu soulmate), Chavez, tipikal sidekick jenius yang adegan hackingnya cukup mencuri momen, Professor Jones yang secara implisit dikesankan sebagai Indiana Jones (soalnya punya Cambuk dan Topi yang dikenakan dalam adventure di masa lalu. Siapa lagi, coba? hehehe), team Skyfleet yang cool abiss (I started to sound like MTV Generation! hiiiii), perkecualian untuk tokoh cewek Sarah Lou dan Cynthia, yang somehow karakternya malah meredup terutama setelah dipertemukan dalam satu lokasi oleh pengarang. Saya nyaris nggak bisa membedakan perilaku keduanya dalam setting itu. Sebenernya sih, seluruh tokoh-tokoh di atas mampu mengantarkan dialog yang hidup dan sangat suspense, gitu lowh!

Tapi sebagai sebuah orkestrasi, saya sayangkan tokoh-tokoh menarik ini nggak berhasil di conduct oleh pengarang menjadi penyajian yang harmonis dan men'deliver' story. Semata-mata bukan karena main musiknya jelek, tapi karena partiturnya nggak jelas.

At the end, gue menutup buku 234 halaman ini dengan kekesalan yang sama jika kita masuk bioskop untuk sebuah film festival (maksudnya film berkelas), dan ternyata ended up keluar dari sebuah pertunjukan popcorn movie. Sayang-sayang banget. Padahal trailernya udah cakep abiss (kayak Nadine). Persis seperti nonton Mission Impossible-nya Tom Cruise. Keren, busy, action-packed, tapi somehow hollow inside.

Maka kalo boleh saya yang masih awam ini kasih saran, dengan raw material yang sebenernya udah bagus, serta gaya penulisan yang udah punya ciri dan kena ke market, baiknya novel ini ditulis ulang dengan penambahan halaman, serta perubahan tata-letak berupa komposisi white area nya diperbesar (sehingga ukuran kolom tulisannya lebih kecil, kira-kira seperti format novel pocket-book luar negeri). Penambahan halaman akan memungkinkan penambahan dan pengembangan cerita/ sub plot sehingga semua masalah yang ada di dalam buku ini bisa diperjelas dan disambungkan satu sama lain tanpa rasa terburu-buru. Perbaikan tata letak sekedar agar membuat buku ini lebih enak dibaca aja.

Tapi teuteup,.... ini tetep bukan novel Sci-fi, walaupun memiliki elemen space setting yang jauh lebih oke dari novel sci-fi kebanyakan kita. Ini masuk ke novel Action Pop. Joe, pindah sana, ke rak nya mas James Bond, Naga Mas, dan kawan-kawan. Kayaknya mas James juga punya adegan Space yang keren, sama kayak kamu, tuh, di novel Octopussy.

Soal action dan romansa-nya? Iya deh, iya,.... cukup bikin deg-degan tapi juga indah menyentuh, koq. Tapi inget ini "standar Nadine", lho ya,... got it?
Salam,

FA Purawan

Rabu, 12 Maret 2008

GORAN: Sembilan Bintang Biru (Imelda A Sanjaya - 2007)

Goran, bacanya mungkin 'goran', ala Indonesia, atau bisa juga 'gorang', dengan cara pengucapan Jepang. Kenapa gitu? Kita bahas ntar.

Kembali muncul satu novel fiksi / fantasi karya pengarang lokal, diterbitkan oleh penerbit Serambi. Covernya langsung menohok memproklamirkan diri sebagai sebuah 'space-novel' dengan gambar planet bumi, sembilan titik bintang, serta sepasang mata menatap tajam. Gak jelas, itu sorot mata tokoh protagonis atau antagonis. Maia, anakku yg berusia nyaris 3 tahun membantuku melakukan review ini dengan mencoba melakukan interpretasi, "bapaknya lagi marah ya, yah?". Maksudnya bapak-bapak yg matanya di gambar itu lagi marah-marah. Ok, he must be the bad guy, then :)

Tidak ada detail mengenai pengarang. Namun kelihatannya ini novel perdana beliau, atau saya yang memang kurang tahu tokoh-tokoh pengarang generasi sekarang. Boleh jadi Imelda A Sanjaya sudah punya sederet judul dalam portfolio kepengarangannya.

Membaca Goran, jauh lebih nyaman dibanding novel-novel yg terlebih dulu sudah saya review di blog ini. Penyebabnya karena bukunya memang tipis (hanya 336 hal), dengan layout yang relatif lega dengan font cukup besar.

Tapi ada lagi faktor lain yang membuat novel ini juga lebih mudah dikunyah: Adegannya pendek-pendek.

Itu cukup menjelaskan bahwa ada style tertentu yang dipakai pengarang. Dan saya jadi cukup salut atas hal itu, terlepas apakah itu pilihan yang disengaja atau style bercerita si pengarang emang udah dari sononya begitu. Bahwa 'eh ternyata ada style kayak gini, ya' itu saja sudah membuat saya cukup mengapresiasi.

Walau saya juga bisa nggak setuju dengan style-nya. Itu soal lain.

Adegan pendek-pendek = Style? Mungkin lebih dari itu. Dalam mengikuti plot yang singkat-singkat, berpaling dari satu tokoh ke tokoh lainnya, dan speed cerita yang menjadi lambat karenanya, Saya merasakan (to my ashtonishment), bahwa saya bukan seperti membaca novel, melainkan seperti sedang membaca,.... Manga!

(buat yang belum tahu, Manga, dibaca 'mang-ga' adalah komik jepang. Yang memang memiliki kekhasan dalam cara bercerita, yang berbeda dari pakem komik barat. Sehingga bahkan gambar-gambar manga pun sampai dianggap sebagai suatu karya sastra tersendiri)

Uniknya Goran, membaca tulisan si pengarang, rasanya persis seperti menikmati gambar manga. Bukan dari semata-mata dari deskriptifnya, tapi juga dari cara pengarang mengolah setting dan menempatkan tokoh-tokoh, persis seperti cara manga bercerita.

Sesungguhnya tidak aneh, mengingat saat ini manga memang sudah menjadi makanan sehari-hari kita, sehingga bisa saja cara bertuturnya terserap dan menjadi style penulisan seorang pengarang.

Spekulasi pengaruh manga ini juga muncul dalam pilihan setting yang dilakukan si pengarang, dimana mengambil Jepang sebagai titik awal setting tokoh utama, Aniki Kodama, tinggal. Sedikit penasaran aja di sisi saya, apakah pengarang memang sangat familiar dengan budaya Jepang. Kelihatannya sih begitu. Tapi rasanya nama 'Aniki',.. koq ngga terasa jepang yah? Atau mungkin nama-nama jepang modern udah seperti itu, saya kurang tahu. Atau bisa juga Aniki adalah nama umum buat orang-orang suku Ainu (orang jepang asli yang konon berbeda dengan orang jepang yg datang belakangan dari tanah Korea). Tapi kelancaran pengarang menuturkan kehidupan di jepang, terlepas apakah dia pernah mengalaminya sendiri atau 'mengalami' lewat membaca manga, cukup menghidupkan cerita di dalam pikiran pembaca.

Pengarang memilih berbagai setting budaya untuk diaduk dalam karyanya. Ada setting Jepang, ada setting Mongolia, ada setting Cina, dan tambahan satu setting lagi di planet Vida sebagai setting sentral. Penggambaran masing-masing setting cukup realistis, cukup believable walaupun saya nggak bisa bener-bener terlarut di dalamnya. Mungkin karena 'tone' komedi yang bertaburan di sana sini, sebagai bagian intergral dari style manga yang dilakoninya.

Saya bahkan bisa membayangkan butir-butir keringat khas manga mengalir dari kening tiap tokoh yang 'kena' adegan semacam, "Capeee deh,..." :) pokoke manga banget!

Tapi itu dia, entah bagaimana, tone komedi yg digunakannya memang membuat novel terasa lebih nyaman dan gampang dikunyah. Beberapa joke, terutama kalo udah mengenai sepasukan prajurit Mongol dibawah komando 'letnan' Kamuchuk dan Panglima Sam (Kamuchuk, good Mongolian name. Sam? Nggak cool. Sebenernya lebih asik nama Panglima Sam jadi Kamuchuk aja!), asli kocak dan bener-bener bikin ketawa. Namun di sisi lain, itu juga yang membuat kening gue jadi agak berkerut. Bangunan kisah novel ini menjadi sedikit 'gak kena' akibat tone komedi tersebut.

Tapi itu menurut saya looh,.. udah berkaitan dengan selera. Siapa tahu justru tone seperti itu yang lebih disukai pembaca muda. Kembali, humor manga memang suka muncul seenak udel kagak terkait konteks.

Keunikan lainnya adalah tokoh-tokoh ciptaan pengarang yang cukup hidup, dan tak lepas terkesan manga-ish juga. Tokoh utama Aniki, Jepang banget. Tokoh Orphann, seperti gambaran anak bule dalam tarikan tinta manga Jepang. Tokoh Xin Ai dari Cina, juga menarik digambarkan sebagai salah satu tokoh utama yang berlawanan dengan pakem: rada bogel (gendut pendek) dan gak cantik-cantik amat. I like it. Ada tokoh dengan penggambaran unik lainnya seperti Soil, sahabat Orphann di planet Vida, cewek yang justru mengesankan maskulinitas dengan wajah yang keras dan kepala botak, dan tanda-tanda cinta yang mendalam pada Orphann. Dan lain-lain.

Bagaimana dengan setting planet Vida? Well, seharusnya ini menjadi sentral cerita, dan saya agak gamang, apakah pengarang sudah mempertimbangkan setting ini secara lebih mendalam. Vida adalah sebuah planet yang memiliki 3 matahari yang tampaknya mengelilingi planet itu tidak dalam waktu yg sama, tapi kadang-kadang sempat muncul bersamaan atau menghilang bersamaan dalam waktu tertentu. Selain itu planet Vida juga memiliki sekitar 40-an bulan/ satelit yang bisa dilihat dengan mata telanjang sampai pada pesawat-pesawat yang hilir mudik dari Vida ke masing-masing bulan. Astronomically, it should be VERY CLOSE range! Oh iya, ada indikasi juga bahwa sebagai planet, Vida tidak berbentuk bola melainkan agak bulat telur (referensinya di halaman berapa ya? Lupa aku).

Nah, di sini lah challenge untuk pengarang bermula. Dan tampaknya pengarang harus buka-buka buku Astronomi lagi neh,.. hehehe. Pertama mengenai bentuk planet yang oval. Apakah secara astronomis hal itu dimungkinkan? Planet terbentuk dari material gas yang berotasi akibat gaya gravitasi tata surya dengan matahari sebagai sumbu rotasi tata surya. Dan planet diketahui juga tidak hanya berputar dalam satu sumbu terus menerus, ada pergeseran sekian derajat. Dalam hal itu, mestinya sih beban akan terbentuk secara merata sehingga sebuah planet most likely akan berbentuk bola (kalaupun bukan bola sempurna, tetap tidak akan sampai berbentuk telur).

Bentuk-bentuk selain bola masih dimungkinkan untuk planetoid, yaitu benda angkasa yang cukup besar, yang mungkin saja dulunya pecahan dari suatu planet.

Jadi kalaupun kita mau mengadopsi setting Vida ini, maka kita harus mengasumsikan Vida sebagai sebuah planetoid yang ditinggali manusia. Itu juga bisa menjelaskan kenapa bisa ada bulan-bulan dalam posisi berdekatan. Terutama karena perbedaan skala yg nyaris 1:1 antara planet induk (Vida) dengan satelitnya. Bulan biasanya berukuran lebih kecil dan ada jarak astronomis tertentu terhadap planet induk. Soalnya mengingat cara terbentuknya melalui gas yang berotasi, tentu masuk akal bila posisinya terlampau dekat maka si bulan akan terserap dalam planet induk sejak dulu-dulu. Dan sebagai contoh Jupiter, planet raksasa di tata surya kita, perbandingan ukuran antara planet induk dengan bulan-bulannya pasti tidak 1:1.

Yang lebih seru, bagaimana bisa ada planetoid seukuran Vida di lokasi yang sekarang? Itu bisa menjadi twist cerita yang menarik. Karena nggak mungkin Vida merupakan planet induk yang terpecah secara natural. Kalo sebuah planet mengalami "nova" (mestinya sih yg bisa nova cuma matahari atau 'star-class planet') pastilah ledakannya menghancurkan planet-planet kecil di sekitarnya. Dengan keberadaan bulan 40 biji yang masih 'intact', berarti Vida adalah sebuah planetoid yang berasal dari tempat lain! Bagaimana caranya bisa berada di sana? Apakah ada teknologi tertentu yang telah memindahkannya? Apakah ada hubungannya dengan ras manusia (yg persis sama dengan Bumi) yang mendiami tempat itu? Bakal jadi setting yang menarik, loh.

Tapi 'flaw' yang lebih serius justru terdapat dalam konsep 3 matahari Vida. Mungkin pengarang sempat lupa bahwa seharusnya planetlah yang berotasi terhadap matahari, bukan matahari mengelilingi planet! Jadi mestinya kondisi ada 3 matahari yang posisinya tidak menetap relatif terhadap planet, rada nggak mungkin. Apalagi, Matahari seyogyanya merupakan bintang yang menjadi pusat tata-surya, dalam pengertian bahwa planet-planet di tata surya itu akan mengelilingi satu matahari. Nah kalo ada tiga, mustinya sih tiga yang jadi satu pusat, bukan tiga pusat tata-surya dalam satu lokasi sekaligus. Kondisi Vida dengan tiga matahari di posisi relatif yang berlainan, baru mungkin terjadi apabila rotasi Vida berubah-ubah tidak dalam satu sumbu. Secara dongeng sih boleh-boleh aja. Tapi secara ilmiah, kondisi itu akan mengakibatkan iklim yang sangat kacau, yang tidak mungkin menghasilkan kehidupan.

Tuh, panjang lebar deh aku ngebahas hal-hal ilmiah yang bahkan oleh pengarangnya ataupun pembacanya nggak dipersoalkan,... hehehe,.... jadi ribet sendiri, ya?


Justru itulah, moga-moga dengan keribetan ini, rekan-rekan sekalian menyadari bahwa excitement dalam menuliskan kisah fiksi ilmiah bisa menghebat luar biasa kalau kita mau menyisipkan pertimbangan-pertimbangan ilmu (astronomi, kek, antropologi, kek, sejarah, kek, dll) di dalamnya.

Okeh, kalo gitu lanjut ke cerita lagi. Sebagai konsekuensi dari tipisnya buku dan pengadeganan yang pendek-pendek, maka plot berjalan cukup-sangat-lambat. Demikian lambatnya sehingga saya sempet curiga. Ini halaman udah mau habis tapi koq belum sampai ke klimaks, ya? Dan ternyata, kecurigaan itu terbukti. Sampai habis halaman,... ternyata cerita masih belum habis!!!


Ooohhh,.. jebule iki ada maksud-maksud cerbung atau mungkin trilogi tooh??

Koq ga di-mention sama sekali sih? Gue merasa dikhianati oleh pengarang. Setelah gue baca judulnya lagi lebih teliti, memang ini bakalan jadi trilogi. Alasannya, pengarang membuat sub judul "Sembilan Bintang Biru". Dan dalam cerita, ternyata baru 'muncul' 3 Bintang. Yak,.. artinya, masih akan ada enam bintang lagi, yang diperkirakan akan muncul 3 di buku kedua, dan 3 lagi di buku ketiga.

Menyenangkan, heh? Sayangnya buat aku, enggak. Kalau mau bikin trilogi, bilang aja 'napa? Dari awal. Supaya gue juga punya ekspektasi yg pas. Keburu kecele bikin gue ngga respek, man! Entah, etika kayak gitu masih dihargai atau enggak sih, dalam industri penulisan sekarang ini. Tapi jujur ini hanya masalah preferensi pribadiku aja seh, orang lain bisa aja ga masalah dengan ini. Toh begitu terbit buku 2 maupun 3, yang udah terlanjur suka dengan petualangan Aniki, Orphann, Xin Ai dan kawan-kawan, pasti akan menyambarnya dari rak pajang.

Oh iya, mengenai Goran, dibaca Goran atau Gorang? Kenapa gue tanya itu, soalnya buku ini 'kan mengambil settingan Jepang, bertutur seperti manga, dan berlucu-lucu dengan cara yang manga-ish. Nah, mau dibaca Goran, atau Gorang, silakan simpulkan sendiri.

ngGantung, yach?! Hehehe rasain. Emang enak?

Salam,


FA Purawan

Jumat, 07 Maret 2008

LESTI: Nyatakah Dia? (Soehario Padmodiwirio - 2006)

Sebuah pertanyaan jitu. Nyatakah dia? Dan setelah membaca tuntas novel ini, saya juga ingin bertanya, NYATAKAH NOVEL INI? (yang artinya: Beneran, nih? serius, nih? bener-bener niat bikin novel ato bikin,....???)

Kebetulan saya nggak kenal bapak Hario Kecik. Tapi masyarakat sudah terlanjur mengenal beliau sebagai salah satu tokoh Nasional yang terlibat dalam peristiwa bersejarah di negeri ini. Itu berarti, it counts, to listen to what he's about to say in this novel. Dan ketika dalam sampul belakang dikatakan, "Novel ini sepertinya sebuah novel Science Fiction yang ditulis oleh seorang penulis Indonesia", terus terang, aku 'terbeli' olehnya. Apalagi kemudian ada gejala-gelaja koneksi antara temuan fosil dengan legenda Ratu Roro Kidul, gue ngga lagi cuma 'terbeli', melainkan udah terobral sekalian.

Dan,.. just to discover,... menjadi tokoh sejarah gak berarti otomatis menjadi tokoh piawai dalam menulis novel. Tapi anehnya, apakah terpengaruh oleh kesepuhan beliau, atau mungkin juga oleh bobot pemikiran beliau, Novel ini biarpun gak memuaskanku, tetapi juga nggak mampu (terlampau) mengecewakanku.

Terus terang, rasanya seperti mendengarkan dongeng kakek. Ngalor-ngidul, ngawang-ngawang, kadang-kadang aneh (karena nggak ngerti, udah beda jaman), tapi tetap mengasyikkan. Kalo pun si kakek sibuk menerangkan sesuatu menurut bahasanya yang ruwet di telinga kita, akhirnya kita tetap mengapresiasi dan bertepuk tangan pada kakek, sebelum kakek permisi tidur siang dan kita kabur mencari udara segar,.. :)

Pertama kali kubuka buku, yang kubaca justru halaman belakang dimana ada biografi penulis. Dan JLENG! Sederet pelatihan Militer, jalur kepangkatan yang 'beneran', associate science di Rusia, sampai sejumlah tanda jasa yang hanya bisa kuimpikan jika main game Wing Commander di komputer,... he is really a serious, mean, warrior! Saya mencatat dalam hati, kalopun orang ini gagal menulis novelnya, dia tetap merupakan nara sumber yang luar biasa kompeten untuk diajak berkonsultasi tentang APAPUN mengenai Perang.

Dan skill itu sempat pula terintergrasi dalam plot novel, dan memberi latar belakang yang cantik dan believable di dalam setting perang revolusi kemerdekaan Indonesia di dalam novel ini.

Salah satunya yang membuat gue terkagum-kagum, baru kali ini aspek strategi logistik diperhitungkan dalam plot novel (jadi inget kritik gue ke Novel Reinhart, novel pak Hario ini langsung menjawabnya!). Dalam setting Agresi Belanda ke II tahun 1947, komando gerilya republik menjalankan siasat 'menanam singkong' di kebun-kebun pedalaman di atas gunung. (Albeit, kalo dalam cerita novel, pekerjaan ini dilakukan oleh pasukan ghoib).

Untuk pola pikir kita yang cetek-cemetek ini, tentu tindakan semacam itu akan 'nggak ter-register' sebagai suatu strategi perang. Bah! Bahkan akan langsung kita pandang sebagai insignifikan, tenggelam dalam grandeur bayangan seorang raja di atas punggung kuda melambaikan pedang berkilat.

Ntar dulu, kawan,... justru kebun singkong ternyata merupakan salah satu elemen perang gerilya yg penting! Begini,... pasukan gerilya, tentunya kita sudah tahu bahwa mereka berperang dengan taktik serbu konvoi musuh, bikin kejutan kecil, kemudian segera mundur. Pasukan tidak digabung dalam jumlah besar, melainkan terpecah-pecah dan berlokasi di tempat-tempat sulit.

Nah,.. makan apa, mereka???

Sumpah, sebelum membaca novel ini, yang ada dalam benakku tentang perang gerilya adalah para prajurit republik itu makan nasi di dapur umum yang dimasakin beramai-ramai oleh warga desa.

Novel ini menyadarkan gue bahwa dalam situasi perang gerilya, hal itu sebenernya nyaris gak mungkin! Pertama-tama, desa adalah tempat komando strategis dan logistik yang pertama kali bakalan dikuasai oleh musuh. Jadi pasukan Belanda yg lebih kuat, pastilah pertama-tama akan menduduki desa lebih dulu. Mulai dari desa yg besar, terus menyisir sampai ke gunung. Sumber daya logistik, beras, udah pasti dikangkangi lebih dulu. Warga desa, sesimpati apapun terhadap perjuangan, akan sulit membuat dapur umum seperti bayangan di film-film.

So pasti, gerilyawan hampir mustahil mengkonsumsi beras. Dalam posisi ini, sangat masuk akal bila singkong hadir menjadi sumber karbohidrat alternatif bagi para pejuang. Dan singkong bisa ditanam di titik-titik strategis, maintenance free, bahkan dilewatin oleh tentara belanda yg nggak tahu kegunaannya dan dianggep tanaman liar. Itu baru strategi jenius!

BTW, strategi singkong dan penerapan konsep-konsep ilmu perang yang tentunya merupakan keahlian si pengarang, merupakan sisi positif novel ini, dan menurut gue inilah yg paling ku apresiasi dalam kaitannya dengan ilmu penulisan novel sci-fi/ fantasy.

Untuk penokohan dan perjalanan plotnya sendiri, mungkin memang nggak cocok dengan audience muda, ya. Tokoh utama bernama SUTOPO, well, it's kinda outdated. Tapi saya pikir pak Hario Kecik memang nggak menargetkan generasi masa kini sebagai segmen pembacanya. Dia lebih mengarah ke pembaca yg sudah matang, senior citizen, lah. Sehingga sekujur novelnya memang merupakan ekspresi dari ide-ide spiritualis yang beliau rasakan, seiring ngetrendnya pemikiran new-age macam itu di masyarakat kita.

Having said that, ini novel memang ngga begitu niat jadi novel, heheh. Mungkin lebih tepat sebagai wahana pak Hario dalam menuangkan ide-ide filsafati-nya, menggunakan cerita sebagai sekadar medium.

Akibatnya, kita juga jangan terlalu berharap menikmatinya sebagai novel. Bakal berat, bo. Seperti makan daging steak setengah kilo. Emang lezat bergizi, tapi lama-lama perut begah.

Contohnya aja nih, cara bertutur yang bener-bener berstyle "ceramah". Satu tokoh bisa mengatakan sesuatu dalam SATU paragraf yang memakan sampai dua halaman baru ketemu tanda dua koma tutup ("). Gila, kan. Tokoh Lesti, perempuan semi android itu, paling banyak melakukan ini terutama kalo sedang menjelaskan "ini-itu" seputar tema utama novel (yang artinya: sebagian besar kisah novel dituturkan dengan cara ini!).

Cara mengatakannya pun ngga seperti berdialog, melainkan seperti dosen berceramah di hadapan mahasiswa :)

Emang, pengarang bisa seperti Mobil GAZ (merk mobil jeep perang Rusia jaman dulu) ngabisin bensin kalo udah urusan ekonomi kata. Hehehe,... emang boros banget. Bayangin aja, beliau 'tega' nulis judul bab yang bahkan panjangnya ngelebihin satu halaman! Liat nih:

(Bab 30) LESTI MENERANGKAN SECARA GARIS BESAR TENTANG PERKEMBANGAN BARU-BARU INI DALAM BIDANG TEKNOLOGI TINGGI DAN PERUBAHAN KONSEP HUBUNGAN POLITIK INTERGALAKSI DARI PERADABAN-PERADABAN DI ALAM SEMESTA KITA, DARI SUATU POLITIK SALING MENCURIGAI DAN PERMUSUHAN MENJADI KONSEP POLITIK KERJA-SAMA DI SEGALA BIDANG KARENA DIDORONG OLEH KESADARAN BAHWA KEHIDUPAN DAN SEGALA-GALANYA DI ALAM SEMESTA KITA INI BISA MUSNAH OLEH SUATU BENCANA ALAM YANG DISEBABKAN OLEH SUATU PERKEMBANGAN DIALEKTIS DETERMINIKAL YANG OBJEKTIF DARI PUSAT-PUSAT PERGOLAKAN ENERGI DI BEBERAPA LOKASI DALAM ALAM SEMESTA KITA. PUSAT-PUSAT ENERGI INI DALAM SUATU PROSES MENURUT HUKUM "QUANTUM-PHYSICS" YANG SEBETULNYA SUDAH DIMULAI SEJAK TERJADINYA "BIG-BANG", DAPAT MENJADI PROSES YANG "MUNDUR" ATAU "BERBALIK" DAN AKHIRNYA BISA MENJADI PROSES "PENGERUTAN" YANG TERUS BERLANGSUNG, SEHINGGA AKAN MENIADAKAN SEGALA APA YANG TELAH DIKREASIKAN OLEH "BIG-BANG" KARENA DITEKAN MENJADI KECIL TAK TERHINGGA, TERMASUK KEHIDUPAN DAN PERADABAN KITA INI

Believe me, untuk menuliskan judul ini, satu halaman aja gak cukup! (sengaja gue sebut dua kali, saking terperangahnya,.. hehe).

Dari judul seperti itu, kurasa udah pada bisa ngebayang gimana isi paragraf selanjutnya! Hehehe,...

Tapi di luar teknik bertutur yang unik seperti itu, sebenernya buah pikiran pengarang cukup asik, ide-ide new agenya cukup seru-lah untuk menambah pemikiran kita. Buang istilah-istilah ruwet seperti "Dialektif Determinikal yang Objektif" (dan masih banyak lagi, I warn you!), maka sebenernya cukup bernas ide cemerlang yang bisa kita nikmati. So, butuh kesabaran untuk memahami novel ini. Sebuah tugas yang cukup berat di tahun 2008, lho. heheh.

Di luar kerumitan-kerumitan kosmologis determinis aktif itu :), sebenernya penulisan novel pak Hario ini cukup mengasyikkan. Penggambaran tokoh Lesti, biarpun namanya nggak banget, meleset dikit jadi, Lesbi :p ; kecantikan sosoknya sedemikian rupa berhasil digambarkan sehingga aku sendiri pun jadi naksir dan pengen ketemu :) Kemudian satu highlight lagi yang saya puji adalah kemampuan beliau untuk membuat wisata kuliner secara imajinatif menjadi demikian menggoda. Kalo sudah menguraikan makanan (dan hebatnya, beliau banyak menguasai makanan-makanan tempo dulu yg nggak kita kenal lagi di jaman sekarang), maka pasti terbit liur pembaca, dan timbul penasaran di mana kita bisa mendapatkan masakan seperti itu.

So, emang akan sulit menilai buku ini. Di satu sisi berasa ngawur se-edan-edannya (bukan dalam sisi 'gokil', tapi dalam sisi menabrak pakem penulisan novel seperti orang tua oldtimer yang nggak lagi peduli sama pemahaman generasi anak-cucu) sehingga mau gak mau bikin kita ingin ketawa ngakak dengan perut begah, tapi di sisi lain ide-ide yang dicetuskan memang menarik untuk diolah lebih jauh.

Ibaratnya, pak Hario memang bener punya ide "emas" saat melihat fosil makhluk purba di pantai Pacitan tahun 1947, sebagaimana dikisahkan dalam pengantar. Sayang aja, pada saat dituangkan, ide-ide emas itu jadi tersaru oleh 'sampah' kata-kata yang menjauhkan pembaca ke muara kebegahan.

Pak Hario, hormat militer! Selamat datang di Fiksi dan Fantasi Indonesia, and,.. happy voyage!

Salam,
FA Purawan