Selasa, 09 Desember 2008

NOCTURNAL (Poppy D. Chusfani - 2008)



Data buku:

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Editor: tak tertera, tapi pada Ucapan Terima Kasih, pengarang menyebut nama: Anas
Desain Sampul: eMTe
Tebal: 254 halaman

Apa jadinya, jika JK Rowling menuliskan buku pertama Harry Potter hanya setebal 200 halaman?

Apakah buku itu akan tetap meledak dan menempatkan JK Rowling dalam statura nya seperti sekarang ini? Apakah Trio Harry, Hermione, dan Ron akan tetap menjadi tokoh-tokoh yang dicintai oleh jutaan pembaca? Apakah buku itu akan tetap difilmkan oleh blockbuster studios dan menghasilkan impact yang demikian dahsyat pada budaya pop kita di abad ini?

Well, gak usah sampai semuluk itu, deh. Yg langsung aja: apakah kita, sebagai pembaca, akan merasa puas dengan porsi sebuah buku Harry Potter yang cuma 200-an halaman.

Itulah, pertanyaan yang aku ajukan terhadap Nocturnal, sebuah karya Fantasy dari pengarang Poppy D Chusfani yang diterbitkan oleh salah satu penerbit besar Gramedia Pustaka Utama.

Kenapa gue mempertanyakan hal tersebut? Well, lanjutin aja baca review ini.

Tahu kenapa gue demen ama steak Abuba? Rasa dagingnya enak, servisnya cepet gak neko-neko, harganya pas tapi yg pentiiing: porsinya pas. Gak kebanyakan, tapi juga gak kedikitan.

Kebayang, nggak? Apa enaknya makan steak dengan daging seukuran tempe goreng standar. Biarpun rasanya nendang, biarpun harganya lebih murah. Teteup aja kita akan mendecak gak puas, celingukan cari-cari tambahannya, dan kalo gak tersedia, doesn't matter bahwa yg sepotong kecil itu sebenernya telah dimasak dengan lekker, tetep aja kita akan memaki-maki si restoran atas kepeditannya bikin menu.

Itulah case Nocturnal menurut gue. Sebuah karya yang sesungguhnya bagus dan solid, namun 'dipaksa' tersaji terlalu sedikit, sehingga alih-alih puas, membacanya seolah seperti menyantap steak seukuran satu gigit doang.

Apa? Sekedar teaser katamu? Agar pembaca penasaran dan memburu sekuel-sekuelnya? Well, untuk genre tertentu, mungkin rumusan itu bisa benar. Tapi untuk Fantasy, segmen pembacanya gak akan puas dengan cuma disuguhi porsi setara nasi kucing. We want more! Kurasa memang orang-orang semacam JK Rowling sangat paham akan hal itu, sehingga dia tidak terima saran agar Harry Potter edisi pertamanya dicetak dalam sub episode kecil-kecil (sebagaimana menurut pendapat industri buku saat itu, porsi yang aman buat penulis pemula), padahal di kala itu dia sendiripun masih desperate writer looking for a job.

Bicara kualitas, harus diakui bahwa Nocturnal dikreasikan secara top quality. Desain covernya cantik, dengan ilustrasi grafis yang bagus punya, karya eMTe (heran, ngapain juga menyamarkan identitas untuk sebuah karya yang layak puji? Tapi ga tau juga, yah. Siapa tahu nama eMTe ini sudah already kondang sebagai ilustrator sampul, cuma guenya aja yang gak gaul). Yeah, logo kecil di sudut itu memang norak dan menganggu, well, what the heck, anggep aja sticker yg ditempel sembarangan oleh balita. Secara keseluruhan, desain cover depan-belakang is very good.

Dalam aspek penulisannya sendiri, pengarang Poppy D Chusfani, yang juga merupakan salah satu penerjemah handal jajaran Gramedia, tidak mengecewakan. Kisah Adelia sang princess (calon Baroness) di negeri rekaan Adlerland bergulir lancar dengan berbagai tantangan dan konflik khas seputar 'reluctant hero' sampai menemukan klimaksnya di akhir cerita.

Plot ceritanya antara standar dan non-standar sekaligus. Bagian standarnya: well, tokoh protagonis cewek yang somehow punya lineage bangsawan tapi ended up bersekolah di Jakarta dengan kehidupan ala tokoh ChickLit biasa yang missi hidupnya gak lebih tinggi dari sekedar ingin jadi penari ballet, and so on, and so on. Kemudian tiba-tiba masuklah plot non-standar berupa panggilan untuk 'pulang' ke Adlerland, tanah leluhur para Nocturnal. Di sana' kehidupan Adelia berubah 180 derajat sebagai calon baroness istana klan Nocturnal, memimpin the whole clan doing battle with para penghuni Transylvania just across the hill (you know what, kan?). Jelas itu plot non-standar, and a very delicious one! (Oke-oke, the princess part emang ga terlalu non-standar buat ChickLit, tapi akui aja, being a member of the cat people is not on every ChickLit's list. Heheheh).

Yang membuat cerita menjadi menarik, adalah atensi pengarang yang cukup sempurna terhadap detail. Ada banyak aspek dalam universe Nocturnal, dan semuanya diperhatikan dengan teliti oleh pengarang. Dari sisi tokoh Adelia, yang menggilai ballet, pengarang berhasil menanamkan aspek ballet ini secara detail (dan pengarang memang udah belajar ballet sejak 10 tahun, so pengetahuannya tentu sangat bermanfaat untuk menghidupkan sang tokoh), berikut beberapa istilah khusus ballet yang membuat aroma balletnya memperkuat believability.

Setting Adlerland juga cukup rapi dan rinci, termasuk pemandangan alam dan situasi landscape (istana Raja, istana baroness dll), memperkuat nuansa Fantasy yang ingin ditampilkan pengarang. Setiap aspek dalam setting juga hadir secara wajar dan tepat.

Bahkan detail budaya pun tak dilupakan oleh pengarang. Budaya Jakarta hadir secara pas, kemudian budaya Adlerland yang semi Jerman plus situasi aristokrat dalam setting istana. Saya suka dengan small touch yang mengena, seperti panggilan Adelle untuk nama Adelia di kalangan orang-orang Adlerland, atau malah menjadi panggilan sayang "Ada". Sekali lagi, small touch, but sweet dan menyebabkan impact suasana yang berbeda.

Jika ada yang perlu dikritik dalam hal setting ini, adalah kurang signifikannya peran "Indonesia" dalam universe Nocturnal. Adelia yang berasal dari Jakarta tampak begitu blend dengan Negeri Adlerland yang berbahasa Jerman atau Inggris, dan dalam beberapa hari saja sudah menjadi orang Adlerland sejati, kagak terasa lagi sebagai anak Indonesia kecuali busana kebaya yang digunakan untuk menghadiri pesta di Istana raja. Well, serasa nggak ada dampaknya terhadap plot, apakah si Adelia itu besar di Indonesia, atau di Filipina, atau di Afrika.

Pengarang juga sudah membuat setting yang potensial banget buat menggerakkan plot. Ada 'putri' yatim yang harus menyesuaikan diri dalam kehidupan baru yang sangat asing, ada kaum manusia berkemampuan khusus yang punya sembilan nyawa, ada kaum Vampir, ada pertarungan wilayah kekuasaan antara Kerajaan Adlerland dengan kaum Vampir Transylvania, ada musuh dalam selimut,... well basic settingnya udah asyik, dan pengarang sudah mengembangkannya secara cukup mengasyikkan.

Paduan dari setting dan plot yang solid ini melahirkan kisah yang enak untuk dinikmati, dan terus terang membuat sekuel-sekuelnya menjadi layak untuk ditunggu. Saya hanya punya sedikit catatan kecil dalam hal penyusunan setting oleh pengarang.

Misalnya istilah Nocturnal untuk menggambarkan klan manusia kucing (alias manusia yang diberkahi kekuatan kucing dan memiliki sembilan kali kesempatan hidup alias sembilan nyawa). Well, 'Nocturnal' sendiri adalah istilah kata sifat yang bermakna 'aktif di malam hari', umumnya digunakan terhadap hewan-hewan yang mencari makan di waktu malam dan tidur di waktu siang. Not necessarily refer ke kucing, sebenernya. Sampai saat ini saya juga masih iseng cari-cari istilah yang merefer ke manusia-kucing di internet, sayang belum dapet juga. Inget dulu ada film Cat-People, mungkin ini referensi paling dekat dengan kaum Nocturnal-nya Poppy, tapi bedanya di film Cat-People orang-orangnya bisa bener-bener bertransformasi menjadi kucing garong, hehehe.

Artinya penggunaan istilah Nocturnal mungkin agak tidak tepat. Mungkin malah lebih eksotik kalo bisa dapet istilah yang berbau-bau bahasa Mesir.

Kemudian exact nature-nya Nocturnal ini juga rasanya masih belum jelas. Mungkin akan diperjelas dalam sekuel. Tapi buat saya ada satu dimensi yang 'hilang' ketika pengarang mengolah setting ini dalam cerita, yaitu ketiadaan aspek 'magic' dalam universe Nocturnal. Kelebihan manusia Nocturnal dalam novel ini adalah sebatas kemampuan fisik yang lebih kuat, lebih cepat, lebih ganas, dan sense-nya lebih acute dari manusia biasa (termasuk juga adanya sembilan nyawa itu). Tapi sebabnya apa? Kind of magic, juga kan? Lawannya, para Vampir, juga hanya tampil lebih-kurang sama secara fisik. Nah, di sini aspek magic tidak terlalu diolah, terkesan diabaikan. Padahal ruang untuk bermain magic sangat besar di sini, mengingat settingnya sangat membuka peluang ke arah sana. Itu sebabnya 'kekalahan' sang raja Vampir di tangan Adelia menjadi sedikit kurang logis, sebab sang raja yang sudah berusia tujuh ratus tahun seharusnya punya kekuatan magic yang gak kecil,....

Jadi kesannya, setting banyak dipengaruhi oleh setting film-film Vampir Hollywood yang lebih mengedepankan aspek fisik.

Catatan lain tentang nama juga, adalah penamaan Adlerland,... gimana yah, rasanya koq kurang berasa 'Jerman',... hehehe. Ga tau deh, apakah sebenernya secara ilmu pembentukan kata udah benar atau belum. Tapi kupikir mengingat tetangganya adalah Transylvania, Rumania, mungkin nama yang cocok adalah yang ada bau-bau "Nia" juga, kali-kali seperti Adlervania, getoh (hehehehe).

Di luar catatan tersebut, menurut gue sih Nocturnal sudah merupakan karya yang 'genap', alias segala sesuatunya sudah berada dalam pertimbangan yang pas.

Tinggal,.... my biggest complaint: Semua terasa berlangsung terlalu singkat!!

Yah akibat cuma 254 halaman, apa mau dikata seperti nonton LOTR dalam bentuk condensed. Pengarang sudah berusaha untuk membuat irama baca yang mengalir namun tetap kompak. Saya akui dia cukup berhasil. Tapi sebagai penikmat Fantasy, saya ngerasa banget bahwa cerita ini sesungguhnya baru 'pas' bila dibikin lebih 'kaya'.

Seperti yg saya bilang, apa rasanya baca Harry Potter cuma 200 halaman? Saya akan miss suasana Hogwarts, saya akan kehilangan rasa mengenai bagaimana murid-murid Hogwarts di tahun pertama, kedua, ketiga, kehilangan mata-pelajaran Hogwarts yang seru-seru, kehilangan romatika Quidditch dan seterusnya,..... semua hal yang mensignifikansi kehadiran Dunia Harry Potter dalam imajinasi saya. Semua hal yang menyebabkan Harry Potter tak sekedar cerita tentang anak laki-laki yang bersekolah sihir.

Betapa gemesnya saat membuka-buka halaman Nocturnal, kala saya merasakan perasaan yang sama, ingin agar part ini-itu lebih diperluas dan diperkaya lagi. Karakter Adelia yang walaupun sudah cukup bagus diolah pengarang, tetap terasa perlu lebih 'dalem' lagi, konflik-konfliknya, perkembangan karakternya,... semuanya terasa perlu lebih. Karakter lainnya pun deserves halaman lebih. Bahkan si Vladimir sang antagonis pun, rasanya perlu dapat porsi tambahan halaman.

Yah, saya nggak bisa terlalu menuntut.

Tapi judging dari kemampuan pengarang mendeliver ceritanya dalam format 254 halaman ini, saya bisa memperkirakan bahwa beliau sebenernya punya kemampuan untuk mendeliver lebih dari itu (dan tetap bagus!). Tuntutan 250 halaman, kalau boleh saya tebak, ya gak lain berasal dari pihak penerbit, mungkin dalam rangka strategi.

Sudah menjadi anggapan umum, bahwa bikin buku di Indonesia sebaiknya jangan tebal-tebal, sebab:

a. Harga kertas mahal, harga buku nantinya jadi mahal
b. Orang Indonesia nggak demen buku tebal
c. Resiko penerbit kalo bukunya gak laku akan lebih tinggi bila buku tebal.

Jadi cukup bijak bila penerbit tidak berani cetak buku tebal-tebal, cari aman.

Tapi entah, bagaimana saya harus ambil posisi, jika ada pengarang sepotensial Poppy terhalang kemajuannya akibat strategi cari aman penerbit. Well, toh penerbit bisa melihat materi-nya, dan apakah materi seperti karya Poppy ini tak mampu menimbulkan rasa percaya diri penerbit akan kualitas pengarangnya? Ironisnya hal itu justru dilakukan oleh penerbit gede! Mungkin malah bener kata orang, semakin gede justru semakin sulit ambil resiko.

Kalau saya coba merefleksikan, memang saya lihat jarang banget GPU mau nerbitin karya pengarang lokal, yang tebal. Keluaran GPU rata-rata tipis, dan mainnya di segmen aman seperti Teenlit (Even Nocturnal juga di'paksa'in masuk ke genre Teenlit!). Terbitan tebal GPU hanyalah di novel-novel terjemahan yang udah jelas lakunya di luar negeri. Emang jelas banget niat main amannya.

Tak heran bila GPU gak pernah mencatat block-buster, katakanlah sebagaimana Bentang-Mizan menangguk sukses lewat Tetralogi Laskar Pelangi (Nah, sekali lagi apa jadinya Laskar Pelangi bila tebalnya cuma seratus halaman? Hehehe,...). Yah, seperti kata orang, no pain, no gain!

Tapi anyway, adakah cara untuk menambah kepercayaan diri GPU? Setidaknya jika mereka punya jajaran penulis sebaik Poppy D. Chusfani (dan kita tahu lah, GPU punya standar kebahasaan yang bagus sekali), mustinya mereka tidak usah takut ambil peran sebagai garda depan literasi Fiksi Fantasi Indonesia, yang bener-bener berani nerbitin buku Fantasy yang memuaskan pembaca Fantasy Indonesia. Nggak ada salahnya dong, aku berharap? Soalnya menurut gue secara infrastruktur knowledge, know-how, maupun SDM mereka udah mumpuni. Yang belum ada cuma Visi dan keberanian aja.

Terus-terang itu pertanyaan yang tak mudah dijawab. Dan best we leave that as it is. Hanya satu yang jadi harapan saya, untuk Poppy: jangan kau kekang kreativitas yang luar biasa itu, dan kalau memang mungkin, please wujudkan your Nocturnal Universe in it's fullest potential! Gue percaya banget sama karya kamu!

Salam

FA Purawan

Sabtu, 22 November 2008

TANRIL - Epik Ho Wuan Siang (Nafta S. Meika - 2008)


Data buku:

Penerbit: AKOER
Editor: Aries Rayaguna Prima
Tata Letak Isi: Ibenk Bonanno
Fotografi: Andry Photography
Tebal: 405 halaman


Keren,....... Banget.

Maghrib tanggal 17 November 2008, saya menutup buku karya Nafta S. Meika ini dengan perasaan puas campur aduk, seolah-olah ledakan Chi sang tokoh pendekar dalam buku ini masih terngiang-ngiang dan mengaduk-aduk Chi saya sendiri, menjadikan tubuh panas dingin dan kepala seperti melayang dalam ekstase.

Duile, segitu hebohnya pengaruh sebuah novel?

Well, bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Boleh jadi pengalaman yang saya rasakan kali ini adalah semata akibat dari sinkronitas sebagai penggemar silat yang menemukan kisah silat yang demikian cucok di hati, hehehe,... seperti tumbu ketemu tutup, seperti jejaka ketemu jodoh.

Atau, simply karya Nafta memang merupakan sebuah masterpiece? Ups, mungkin saja aku terlalu terburu-buru. Kata orang, satu karya belum dapat membuat kau bicara masterpiece, harus dikomparasi dengan karya-karya lainnya dulu. Sekalipun sudah pernah ada karya lain dari pengarang yang lebih dulu terbit (Rhadamanthus: The #1 Campus Hacker - 2005), Tanril ini tetap didapuk sebagai sebuah karya debutan, alias karya pertama dari seorang Sarjana Teknologi Pangan dari Universitas Pelita Harapan. Entah mungkin maksudnya "pertama" dalam konteks genre silat atau apa, kurang tahu deh.

Tapi jelas, bahwa terhadap karya ini, saya terpaksa mengeluarkan jurus-jurus simpanan dalam menggelar review saya, karena kiranya dengan cara yang biasa tidak akan mempan. Oleh karena itulah, sebelum menulis saya sudah mempersiapkan setumpuk panah-panah beracun, gendewa wasiat peninggalan Majapahit, pedang pusaka Bu Tong Pay yang selama ini saya simpan di safe deposit box BCA, keris Nagasasra yang saya titipkan di kantor redaksi Buana Minggu, sederet botol-botol penuh racun tujuh dunia, empat kitab pusaka Shaolin Wetan yang demikian wingit rahasianya sampai orang-orang Shaolin sendiri gak tahu bahwa ada Shaolin Wetan, serta dua belas jilid buku strategi perang dari Negeri Utara sampai Selatan. This one, harus dihadapi dengan sangat serius dan penuh perhitungan.

Tanril, di saat pertama kucomot dari rak buku Gramedia, muncul di antara sederetan novel silat baru yang terbit bersamaan di kisaran bulan Oktober. Kalau tak salah ada dua judul selainnya: Pelangi di Glagahwangi (S. Tidjab) dan serial Pangeran Anggadipati (Saini KM, yg tiga seri). So, positioning awal-nya kukira sebangun dan sejenis dengan genre silat klasik Nusantara yang sedang mengalami (sedikit) revitalisasi itu (dengan penuh harapanku, agar pasar pun menyambutnya. Jangan sampai genre silat mati!). Otomatis kupikir novel ini tak akan beda terlalu jauh.

Namun kulihat sedikit keganjilan pada cover novel. Ada kekurang-harmonisan layout yang membuatku mengerutkan kening. Cover depan bergambar foto sebentuk Cincin kepala Naga berlatar putih yang resik, dengan tulisan kapital TANRIL (huruf I-nya diganti semacam foto tusuk konde China). Rapi jali sehingga berkesan desain layout novel modern (jadi ingat covernya "Gelang Giok Naga"). Kalo rumah, maka padanannya adalah konsep rumah modern minimalis. Tapi Cover belakangnya secara cukup ancur digelar menurut pakem layout Metromini: Lukisan ilustrasi Silat Cina klasik dimontase dengan dua textbox dengan font berantem-sangat. Satu font Arial, dan di bawahnya font miring-sambung di-bold. Padat, memusingkan mata, dan sangat tak berselera dibandingkan cover depan. (DAS!! Sebuah sengkatan kaki kananku berjuluk jurus "Kepodang Jantan berbulu Kuning membersihkan tongkol Jagung di Pagi Bulan Desember" mengena telak, membuat pendekar Tanril terjerembab! Ha ha!)

Coba, cover depan dan belakang gak kompak. Yang bikin mungkin dua orang berbeda.

Tapi toh isi teks box itu membuat lenganku, yang hampir mengembalikan sang buku aneh ini ke tempatnya, terhenti. "Fantasi unik,...Kho Ping Hoo Kontemporer,...menggabungkan The Matrix dan Sin Tiauw Hiap Lu,....". Entah who the hell yang bikin endorsemen ini, tapi yang jelas aku jadi tertarik.

Walau sinopsis yang berada di box tulisan miring-sambung-bold itu juga tak menolong banyak, sebab sangat terkesan sebagai sinopsis Kho Ping Hoo-iyah biasa, cuma ada satu detil kecil yg bikin curious, ada nama "Kurt Manjare" disebut sebagai "pendekar eksentrik yang pilih tanding". Kurt? Nama pendekar yang nggak umum. (Dan kurasakan si Pendekar Tanril mulai pasang kuda-kuda. Hawa pembunuhnya mulai menggetarkan udara. Tapi aku tak gentar,...). Sepotong nama kecil itu membuat instingku bekerja. Something is not right, here,.... ada yang gak biasa, dan it's worth an investigation. So, berpindahlah buku itu ke kantung belanja gue.

Dan saat gue buka halaman pertama,.... mataku langsung mengeluarkan tangisan darah: ALAMAK, TULISANNYA KECIL-KECIL BANGET! Dengan font sekecil itu memadati sehalaman kertas, saya seperti melihat sebuah naskah di kertas ukuran Folio ber font 12 difotokopi perkecil 30%. Bayangin 'cape-deh'nya. (pedang Bu Tong Pay ku langsung menyambar bagai angin moonson, sebuah pembedahan telak pada layout isi, si Pendekar Tanril tak bisa lari kemana-mana lagi. Mampuslah si Ibenk Bonanno itu,.. hihihi). Entah apa maksud penerbit dengan mencetak siksaan mata seperti itu. Jelas genre buku ini adalah konsumsi awak usia separo baya yang matanya sudah pada lamur. Apa harus bawa-bawa suryakanta, lah kami? Anak-anak muda pun mana pulalah tertarek membaca novel bertuliskan mungil begitu ropa.

(Kupersiapkan pukulan terakhir di bidang layout dengan jurus "Badak Ngajugruk Nyaruduk tanpa Ampun" yang dijamin membuat Pendekar Tanril tertekuk sembilan lipatan). Dan pengarang (atau layouter?) juga membuat blunder kedua: paragraf ala Amerika tanpa hanging indent (seperti layout blog ini) yang kurang familiar untuk novel, serta kekacauan konvensi penggunaan huruf italic (huruf miring) pada teks. Yang terakhir ini, bagiku benar-benar membuatku kacau. Dialog ditulis dengan huruf miring, membuat otakku acap salah menerjemahkannya menjadi bahasa pikiran si tokoh. Ada juga narasi yang dicetak miring, tanpa jelas apa penyebabnya. Terus terang saja, tempo membaca saya jadi melambat secara signifikan akibat hal ini. Saya butuh 3 mingguan untuk menyelesaikan Tanril, despite cerita dan penulisan yang sesungguhnya bener-bener memikat gue.

Jadi, satu hal yang saya pelajari hari ini: Eksperimen penulisan paragraf non-konvensional, jarang-jarang-jaraaang sekali bisa berhasil. So beware.

Kemudian satu lagi glaring nuisance yang saya temukan di buku Tanril: Settingnya nya ga jelas mau ke mana. Awalnya kupikir setting ala Tiongkok berkat penamaan-penamaan bahasa Mandarin serta suasana yang mirip dengan settingan Kho Ping Hoo. (Keris Nagasasra mulai dicabut dari warangka-nya, menyambar cahaya kuning menyilaukan,...). Tapi kemudian muncul nama yang aneh, Wander Natalez Howard, kadang dipanggil Wuan,... terus nama-nama lainnya tak kalah aneh, Kokru, Fyure, Miar, Asyu, Chiru'un, Kota Fru Gar, Kurt Bodan Manjare, sampai pada Kerajaan Telentium,.... baru gue tersadar,... ini rupanya adalah sebuah Setting Fantasy! (Aku berdiri gamang, terpaku dalam ketertegunanku. Pendekar Tanril mengembangkan kedua tangannya ke samping, tersenyum samar, dan mulai mengibaskan tangan diikuti lengan bajunya berkebut ringan. Energi serupa asap kabut berwarna kelabu meluncur, sebagian besar menerjang kilau Nagasasra dan membuatnya redup bak pelita kehabisan minyak. Shin Jin Li Zan, tingkat pertama. Batinku tergetar, tapi aku berusaha bertahan dengan memperkuat kuda-kuda,...).

Selanjutnya novel membanjiri saya dengan nama-nama asing yang kini menjadi eksotis berkat paradigma yang sudah berubah. Karena ini setting Fantasy, saya jadi mulai bisa mentolerir nama-nama aneh yang 'tak pada tempatnya' bila kita menggunakan paradigma setting Tiongkok. Tapi jangan keburu senang, sebab saya tetap akan membaca secara kritis, terutama untuk menemukan apakah keberadaan nama-nama ini kontekstual atau sekedar asal tempel. Setidaknya, saya akan menemukan apa efek nama-nama ini terhadap eksistensi setting Fantasy yang sudah dibentuk pengarang. Apakah memperkuat, ataukah memperlemah setting.

Cerita novel ini sendiri sesungguhnya cukup klise sesuai pakem cersil. Ada seorang anak yang penyakitan (namun sesungguhnya memiliki potensi Chi luar biasa dalam dirinya) dari keluarga sederhana yang melalui perjuangan berliku menemukan guru yang mementaskan potensinya, kemudian menghadapi lawan berat sebagai salah satu ujian bagi ilmunya, sambil memecahkan tempurung diri-sejatinya melalui proses tersebut. Plot standar. (Aku menyunggingkan senyum pelecehku, "Dewa Selatan memandang rendah kepiting batu di bawah pasir", berharap membuat lawanku ciut nyali.)

Plot standar. Yang tidak standar adalah pengolahan setting dimana plot dimainkan. Harus saya akui, pemilihan latar belakang Tiongkok sebagai bahan dasar universe di Tanril merupakan salah satu approach yang unik untuk genre Fantasy. Sudah biasa bila pengarang kita menggunakan Setting ala Barat/ medieval, dengan kebudayaan pra Europa sebagai basis setting novel Fantasy mereka. Tidak terhitung sudah negeri-negeri berkastil dengan ksatria berbaju zirah, pedang double blade Eropah, konfigurasi Raja-Ratu-Pangeran-Putri yang monogamis dan berbentuk keluarga batih, petani yang tidak menanam padi melainkan gandum, peri, naga, penyihir, Elf, Kurcaci, Orcs, Troll, Goblin, Alkemis dan lain-lainnya bercita-rasa Eropah dikaryakan dan diolah oleh pengarang-pengarang kita, sehingga cenderung membentuk imaji tersendiri bahwa yang namanya 'Fantasy' pasti berlatar belakang 'kayak gitu-gitu'.

Approach 'adaptasi' yang mirip, tapi menggunakan latar belakang budaya yang berbeda, menjadikannya sebagai Fantasy yang fresh. Ya, kenapa harus Eropah? Kebudayaan Tiongkok rekaan juga tak kalah menariknya! Sama-sama mengandung elemen-elemen yang membuat cita rasa Fantasy terasa lekat di lidah. Ada Kebudayaan alternatif, ada kerajaan, ada karya seni (seni tenun kain ber-magic yang disebut Luan), bahkan sistem kerajaan yang mengadopsi Tiongkok juga terasa segar: ada Raja dan Permaisuri, ada Selir Pertama, Pangeran Pertama, Kedua, Ketiga, dan terasa ada sistem kerajaan yang lebih masif dari pada Eropah punya. Well, unik! Ada juga 'ARTS' (dari mana munculnya istilah bahasa inggris di universe Tanril ini?) untuk menyebutkan ilmu Silat, yang bukan hanya sekedar ilmu silat belaka, melainkan sudah menjadi suatu bagian dalam kebudayaan di dunia Tanril. Selain itu,ada sistem ekonomi yang berlandaskan pada komoditi 3 tanaman suci: Teh (Maliya), Kopi (Eniya) dan Cokelat (Kaliya), dimana keberadaan tiga tanaman ini dipengaruhi kondisi geografis, yang pada akhirnya mempengaruhi sistem politik dunia Tanril. Sebuah tata-aturan Universe yang lengkap! (Roh Hijau Gunung Biru -- Tingkat kedua dari Jin Li Zan dihembuskan oleh Pendekar Tanril melalui kedua telapak tangannya. Kuda-kudaku doyong ke belakang. Energi hijau ini tidak mematikan, tetapi membuat seluruh keberadaan seolah menjadi tunduk, berlutut di bawah pesona alam yang agung dan hangat. Aku memejamkan mata, berusaha memanggil Roh Gunung Es Utara agar diriku tetap diliputi hawa dingin sebagai energi penggores pena reviewku. Hooossss,... hoossss,... harus teteup obyektif! Hooossss,....).

Dan kebudayaan rekaan ini diperlengkap dengan sistem constructed languange (Con-lang), alias bahasa rekaan, yang ngaujubilah detailnya. Ada dua bahasa: Bahasa Clem (c) dengan Bahasa Zirconian (z), dalam kamus glosari yang kelengkapan detailnya membuat gue merinding. Bahasa Clem terkesan seperti bahasa Arabish, sementara bahasa Zirconia mirip bahasa Mandarin. Sekalipun pengarang tak memberikan rumus lengkap con-langnya, bagi yang membaca kamus glosari di halaman belakang dan petikan-petikan syair dalam either bahasa, pasti akan punya rasa bahwa Zirconian maupun Clem memiliki struktur dan makna lengkap sebagaimana sebuah bahasa utuh. Dan yang spesial buat novel Tanril, keberadaan bahasa ini sangat intergral di dalam cerita, termasuk dalam mengantarkan plot sekaligus memberi karakteristik Fantasy dalam setting yang sudah dibangun. Terutama bahasa Zirconia yang digunakan untuk menyenamai artefak kebudayaan penting dalam Universe Tanril, seperti karya seni Luan, nama-nama jurus arts, dan lain-lain. Dwi bahasa itupun hadir bukannya tanpa alasan. Bangsa/ Klan Clem saat itu 'menjajah' Zirconia. Akibat 'keakraban' pembaca dengan con-lang ini, nama-nama yang tadinya aneh seperti adonan nama eropah atau cina menjadi 'masuk' dengan rapih ke dalam universe. Sebuah keberhasilan telak, menurut gue.

(Pendekar Tanril maju selangkah, sementara tubuhku terlempar beberapa depa ke belakang. Pukulan Zirconian dan Clem begitu telak, membuat aku terpaksa melepaskan wilayah kedudukanku, dan majulah si Pendekar Tanril sambil menancapkan bendera: UNIVERSE SETTING: COMPLETE. Aku harus mengaku kalah untuk segmen ini!).

(Tapi, tentu saja aku belum menyerah! Kami sepakat mengaso sejenak. Pendekar Tanril memberi kesempatan padaku untuk mengatur napas dan memboreh luka-lukaku. Sambil duduk, kami bertukar teori mengenai ilmu Silat, ditemani cairan teh Maliya murni yang konon merupakan minuman raja-raja di Telentium ).

Dalam sebuah novel Silat, tentunya ilmu silat menjadi napas utama. Kalau dalam dunia Kho Ping Hoo, biasanya pertarungan silat dikaraterisasi oleh keberhasilan melumpuhkan lawan melalui totokan. Dalam dunia Miyamoto Mushashi, sang pemenang adalah siapa yang keluar hidup-hidup dengan katana di tangan. Bagaimana di dunia Tanril? Menarik sekali. Arts di Tanril memenangkan pertarungan melalui penghancuran fisik lawan dengan menggunakan tenaga yang diperkuat oleh Chi (alias tenaga dalam, alias 'The Force'). Dan seni silat dalam Dunia Tanril adalah seni mengolah Chi dari 'nol' sampai mencapai puncak optimalisasi yang bisa diraih manusia, alias nyaris tanpa batas (dengan sedikit catatan).

So, we're talking BIG FORCE right here! (catatannya, kelihatannya so far cuma si Wander aja yang memiliki kekuatan 'dewa' tersebut? Mungkin itu issue buat buku dua, kalleee??)

Chi dalam dunia Tanril digambarkan sebagai tenaga yang dibangkitkan oleh penggunanya, dan bisa disalurkan ke berbagai organ tubuh misalnya ke mata (untuk penglihatan ekstra perceptional), tenaga pukulan, penyembuhan, bahkan bisa disusupkan ke dalam benang-benang untuk ditenun menjadi Luan (albeit, sumber Chi dari Luan ini tampaknya agak misterius,....). Dalam pandangan mata ber-Chi, maka Chi seseorang pun dapat terlihat berupa warna-warna maupun bentuk-bentuk yang indah sekaligus menggiriskan. Dan dalam Universe Tanril, Chi ini dapat pula berinteraksi dengan empat unsur: Air, Api, Udara, Tanah. Well sekali lagi dalam Point of View genre Fantasy, sistem tersebut sudah dapat dikatakan lengkap. Apalagi pengarang berhasil merendanya secara integral ke dalam cerita.

(Kami bersiap, aku mulai mengeluarkan empat kitab pusaka Shaolin Wetan, sementara Pendekar Tanril memandangku dengan keheranan tingkat tinggi. Empat kitab kujejer sesuai mata angin: Utara, Barat, Timur, Selatan dengan diriku sebagai pusatnya. Setelah melalui serangkaian gerakan bukaan rumit, telunjukku menebas ke Timur, dimulai dengan Kitab Bintang Timur. Kitab melayang sepuluh senti, kemudian halaman demi halaman bergerak dalam fast-forward menampilkan jurus-jurus silat yang tak pernah terlihat di dunia manapun! Hah, jangan berani bicara jurus denganku!)

Perkembangan ilmu silat di Dunia Tanril berlangsung dalam bentuk pengolahan Chi, yg ibarat otot, dikembangkan sesuai dengan batas toleransi tubuh. Tentu saja di sini yang menjadi fokus adalah perkembangan Chi sang tokoh, si Wuan atau Wander. Metodenya tak usahlah dibahas. Tapi intinya kalau di Universe Tanril, 'jurus' adalah sesuatu yang tercipta oleh Chi itu sendiri, bukan serangkaian gerakan yang dilatih. Ini mirip konsep jurus dalam silat Nusantara, agak beda dengan konsep teknik bela diri Jepang atau Korea. Salah satu plot driver novel ini adalah bagaimana pengarang menggambarkan evolusi pencapaian ilmu si Wander. Mulai dari bocah penyakitan dan menjadi sansak teman-temannya, sampai menguasi 'Jurus' Shin Jin Li Zan tingkat 1: Kabut kelabu, tingkat 2: Roh Hijau Gunung Biru, tingkat 3: Putri Angin Emas, tingkat 4: Sabit Petir Merah, tingkat 5: Singa Kaisar Biru, tingkat 6: Katedral Samudra Aquamarine. Masing-masing jurus 'ditemukan' oleh Wuan dalam suatu proses pembelajaran, penyingkapan jati diri melalui pertarungan. Indah sekali prosesnya (dan penggambaran visual tiap jurus, pun!). Dan semuanya akhirnya meledak dalam satu klimaks pada jurus ultimatenya (untuk buku satu): Ho Wuan Siang.

Dalam battle finale-nya, jurus Ho Wuan Siang ini sempat keluar dalam skala terbesar dan terklimaks, yang sesungguhnya sedikit unbelievable dalam kaca-mata silat awam. Tapi menjadi mungkin dan sangat logis berkat kemampuan pengarang memberikan landasan mengenai kekuatan si Wander sesungguhnya.

(halaman-halaman fast forward mendadak berhenti. Buku Bintang Timur terjatuh ke tanah, PLUK!. Tubuhku masih bergaya tunjuk bintang timur, tapi jurusku telah meninggalkanku bersama semangat yang terbang meninggalkan wajah pucatku).

Mari bicara plot.

(Sigap kukemasi kembali kitab-kitab Shaolin Wetan ke dalam karung, dan segera kubabar meja kayu rendah, taplak kuning segi tiga, tabung bambu berisi tiga hio menyala dan kujejerkan botol-botol tujuh racun dunia, sekali lagi dibawah tatapan mata takjub si Pendekar Tanril. Kutangkap sekilas, tampaknya ia terbatuk; entah karena geli, atau karena bau hio. Awas saja. Setiap tetes dari botol ini mampu melahirkan aneka konflik, dan oleh karenanya merupakan sumber plot tak terkalahkan! Kutarik sebotol, dan kubersiap mencabut sumbat gabusnya sambil menatap Pendekar Tanril tajam-tajam)

Plot Tanril mengalir melalui beberapa anak sungai kisah. Sungai utama tentunya adalah evolusi ilmu arts si Wuan, seiring dengan perkembangan kepribadiannya. Anak sungai lainnya adalah kisah keluarga Wuan, romansa Kokru dan Naila (singkat tapi penting), kisah Kurt si guru Wuan berikut misteri latar belakangnya dengan sang Raja, kemudian plot juga bergerak dalam drama keluarga kerajaan Telentium, Raja yang mangkat dan meninggalkan potensi perebutan kekuasaan antara para Pangeran, melahirkan intrik istana yang juga ternyata memiliki misteri yang bermuara pada Master Kurt. Plot silang menyilang dengan gesit dan selalu melahirkan kejutan alur, walaupun sedikit banyak bisa ditebak oleh avid readers. Semua cabang ini akhirnya bermuara pada perang saudara yang dilancarkan oleh Pangeran Pertama kepada Pangeran Ketiga, yang berklimaks di penyerangan kota Fru Gar (kota kediaman Wander) oleh Jendral Sulran dibantu empat murid utamanya: Damar, Toto, Gluka, dan Kaju, berkekuatan 250.000 prajurit melawan 1 pendekar.

Unbelievable, at first,..... but cukup sensible, at last. Setiap dari empat jendral itu memiliki kegemilangan strateginya masing-masing, termasuk dalam cara-cara mereka ber-show-down dengan Wander. Sekalipun kalah semua, saya harus mengakui kecanggihan taktik mereka. Dan karena mereka merupakan worthy opponent-lah, buku ini menjadi menarik.

(Pandanganku meredup lagi. Sebetulnya hati ini sudah bisa menduga, tapi gengsiku menghalangi segalanya. Nekat kucabut sumbat botol dan kutuangkan setetes racun. Walau ku sudah bisa perkirakan apa efeknya. Pendekar Tanril cuma mengangkat alis. Benar dugaanku, racunku menguap begitu saja..... plot sudah jauh lebih canggih dari yang bisa kucari-cari kelemahannya).

Plot twist yang paling canggih dan paling utama, adalah berkenaan dengan ujian terbesar si Wander sendiri, yaitu mengalahkan rasa takutnya. Terus terang bagian ini memang sama sekali nggak gue sangka. Salut bener. Walau di ujungnya memang jadi ada misteri baru, terutama mengenai satu tokoh yang baru muncul menjelang akhir buku.

(Memang tubuhku sudah babak belur, harga diriku pun sudah tergilas rata dengan tanah. Tapi masih ada satu harap, pusakaku yang paling dahsyat, Gendewa Majapahit dengan panah beracunnya, siap membidik karakter-karakter dalam buku ini, menelanjangi kelemahan mereka).

Dan karakter! Sesungguhnya merekalah yang paling bersinar dalam buku ini! Saya tidak segan memuji. Setiap 'tokoh' dalam buku ini adalah pribadi yang hidup, dan unik. Memorable, dan semuanya meng-infuse jiwa mereka dalam kisah dan menjalankan roda cerita sehingga mengalir lancar, saling menguatkan satu-sama lain. Mulai dari lingkaran Wander, ibunya Chiru'un, kakak lelakinya Kokru yang senantiasa melindungi dan kelak menumbuhkan semangat kependekaran dalam diri Wander; Kurt, Master misterius yang tidak mengajarkan seni berkelahi melainkan seni mengendalikan Chi, dan ternyata punya peran latar belakang yang sangat penting, ada si Kucing Tua, si pencuri lihay, lawan tapi kawan; Ada para Jendral jenius yang masing-masing pun punya karakter kuat: Damar yang jenius mekanik alat-alat perang, Toto yang jenius Strategi, Gluka yang perkasa, dan Kaju si pemimpin pasukan Elite. Bahkan karakter sampingan seperti Kepala Klan Pemegang Bulu Pusaka dari Landross pun, tampil mengesankan walau hanya dalam porsi kecil saja. Alamak, pokoknya semua karakter di novel ini ciamik semuah! Sulit untuk tidak menyukai any single person dalam novel ini terlepas peran protagonis atau antogis mereka terhadap cerita.

(Kemana mujizat gendewa ini? Semua panah rontok satu persatu! Aku meraung kecewa, dengan nekat aku meloncat dua ratus meter ke balik bukit. Mungkin ini jurus curang, tapi aku sudah kepepet. Aku menyembunyikan sepasukan Uruk Hai di belakang bukit. Boleh saja ilmuku kalah sepuluh level di bawah Pendekar Tanril. Tapi mari kita lihat siapa yang digdaya di medan perang! Dua belas jilid buku strategi perang kubagikan pada dua belas kaptenku, moga-moga mereka cepat belajar.)

Kejeniusan para Jendral,..... yak. Gue gak mungkin 'mempercayai' tokoh-tokoh jendral di sini, terutama jendral Sulran dan 4 muridnya, sebagai jenius bila tak ada adegan perang yang mengesankan gue, bukan? Well yes, si Nafta ini memang penulis yang cukup lengkap, bisa menjabarkan silat secara bagus, mengisinya dengan filosofi yang tak remeh bahkan menurut gue bernilai tinggi juga, dan sekaligus juga menghadirkan battle scenes yang,..... fenomenal.

Mungkin baru kali ini sebuah large scale battle dapat tergambar secara dahsyat dan meyakinkan dalam sebuah karya novel lokal. Even battle scene-nya Ledgard jadi terasa mengecil dibandingkan ini. Perang di Tanril tidak hanya main unjuk kekuatan, tapi juga mengandung strategi dan eksekusi strategi yang meyakinkan. Bagaimana kedahsyatan pasukan gajah, dan bagaimana dahsyatnya strategi yang mengalahkan pasukan gajah, misalnya.

(Aku melihat lautan gajah berderap sambil melengkingkan jeritan bak terompet bersahut-sahutan. Debu membubung tinggi dan jerit kematian pasukan garis depan tak tersamarkan. Gajah-gajah itu sungguh tak terhentikan! Aku menahan napas. Pasukan Uruk Hai ku masih berbaris di belakangku, ikut terpana menjadi penonton perang antara dua pasukan asing di hadapan kami. Lalu kami dikejutkan oleh sebuah bunyi melengking aneh. Serentak kami menoleh ke angkasa, dan kulihat itu, titik-titik berjatuhan, mula-mula satu, dua, seratus, lalu ribuan,.... ribuan bola api turun dari langit, menghujani gajah-gajah itu. Rupanya itu adalah ribuan tempayan berisi minyak yang disulut, dilontarkan oleh catapult dari balik bukit. Kami ternganga,... dan situasi pun berbalik, gajah-gajah menjadi kacau dan saling menerjang di antara mereka sendiri,...)

The best battle scene award 2008,...goes to Tanril!

(Aku tertunduk lesu. Jelas pasukanku tak ubahnya rombongan taman kanak-kanak hendak piknik, jika dibandingkan pasukan mengerikan itu. Salah seorang Uruk Hai menepuk-nepuk pundakku, menggeramkan kata-kata penghiburan. Dan kurasakan satu persatu mereka pulang meninggalkan ku sendiri di medan perang ini. Rupanya aku memang sudah kalah segala-galanya, dan mau tak mau harus menyerah. Kulihat Pendekar Tanril tersenyum, menghampiri ku. Dengan sedikit enggan, akhirnya kuserahkan bendera itu kepadanya.)

Dan The Best Fantasy di Fikfanindo, saat ini berpindah kepada TANRIL, Epik Ho Wuan Siang!

(Tapi sebelum aku kembali dengan menanggung beban kekalahan di pundak, masih secara keras kepala dan tak mau kalah, kubisikkan kata terakhir buat pendekar Tanril, "Aku baru akan mengakui kesempurnaan lo, kalau saja lo mendeskripsikan KOSTUM secara detail dalam novel itu. Karena itulah satu-satunya atribut yang nggak bisa kubayangkan, sehingga sedikit mengurangi suasana Fantasy yang ingin kuimajinasikan," begitu bisikku pada Pendekar Tanril, yang sempat membuat matanya terbelalak sejenak, dilanjutkan dengan anggukan paham di wajahnya yang bijak).

Buat Nafta, sejuta selamat. Anda layak mendapatkannya. Very Good Writing. Buat teman-teman lain, okelah hurufnya kecil-kecil, dan italicnya itu bakal bikin lo pade pusing. But it's a recommended read, nevertheless.

Salam,

FA Purawan

Minggu, 19 Oktober 2008

FIREHEART-Legenda Paladin: Sang Pemburu (Andry Chang - 2008)


Data Buku:

Penerbit: Sheila
Editor: Oktaviani HS
Setting: Sri Sulitiyani
Desain Cover: Weny
Korektor: Artika Maya/ Aktor


Kalau teman-teman perhatikan, dalam beberapa review ke belakang, anda tidak menemukan suatu judul baru karya fantasi. Itu sedikit banyak mencerminkan bahwa selama bulan Agustus-September 2008 ternyata tidak satupun buku Fiksi Fantasi karya anak negeri yang meluncur ke pasaran (pasaran yg biasa saya kunjungi, BTW. ga tau deh kalau ada pasaran di luar itu, hehehe).

Alhamdulillah, situasi tersebut berubah berkat terbitnya satu lagi karya Fiksi Fantasi lokal, pecah telor istilahnya, yaitu FIREHEART-Legenda Paladin: Sang Pemburu, karya pengarang Andry Chang yang diterbitkan oleh penerbit Sheila.

FIREHEART adalah sebuah karya Fantasy epik yang memposisikan diri sebagai bagian pertama dari sebuah trilogi, dimana hal tersebut disebutkan jelas pada pengantar dari Pengarang, sekalipun tidak ada penomoran dicantumkan pada cover (why not, sih?). Sebagai catatan tambahan, sejak lama sebelum buku ini terbit, pengarang sudah membuat sebuah blog di http://fireheart.tk sebagai saluran komunikasi mengenai buku bersangkutan serta pajangan sedikit cuplikan dari buku ini maupun karya sekuelnya. Dan tambahan menarik lainnya, bahwa buku kedua (dan ketiga?) sebetulnya sudah finish dalam bahasa Inggris (!) dan saat ini sedang dalam proses penerjemahan untuk diterbitkan sebagai sekuel.

Jadi, Andry Chang menuliskan novelnya langsung dalam bahasa Inggris dulu? Well, bukan cara yang lazim dalam mengarang, hehehe. Tapi tak apa, yang penting khan bagaimana hasilnya dalam bahasa Indonesia, ya gak?

Hal pertama yang menarik dari novel ini adalah desain sampulnya yang cukup rame yang menyedot perhatian. Bergambar seorang pendekar/ satria ala Manga dengan paduan warna merah/ jingga, ada tipografi FIREHEART yang bagus di bagian dahi sampul. Keren juga, hanya saja eksekusi wajah sang satria (hanya wajahnya aja!) yang menurut saya kurang rapih digarap, masih seperti gambar-gambar fans-fictions.

Dengan keseluruhan desain seperti itu, terkesan buku ini ditujukan buat pembaca selevel SMP atau SMA/ Kuliahan. Walau ternyata di dalam ceritanya sendiri memiliki target pembaca dewasa umum, dan memiliki elemen entertainment yang memang lebih mengarah pada pembaca dewasa umum.

Kisah FIREHEART sudah cukup biasa dijumpai dalam genre Fantasy, yaitu perjuangan kebaikan melawan kejahatan, namun memiliki suatu 'twist' yang cukup menarik juga. Demikian juga moral development yang dikandungnya, juga tidak biasa dan cukup bergizi. Sepanjang membaca buku ini, rasanya saya dapat menikmati gaya tulisan Andry tanpa kesulitan atau kening berkerut, berkat penerapan bahasa tulisan yang tidak neko-neko (tapi ada catatan mengenai ejaan). Dan memang, ada beberapa aspek yang menarik perhatian dari karya pengarang ini.

Perhatian pertama, pada adegan pembuka (yg sejak tulisan ini dibuat, ada forum yang ngebahas hal yang sama juga), yang secara setting mirip sekali dengan Novel Misteri Pedang Skinheald-nya Ataka buku pertama, Suatu kemiripan yang tidak mungkin tak saya singgung dalam review ini.

Adegan pembuka FIREHEART adalah adegan "penyegelan pedang" Kraal'shazar alias Pedang Iblis Pembantai oleh tiga orang penyihir: satu penyihir senior Azrael, satu penyihir elf perempuan bernama Carolyn, serta satu ilmuwan Theripedes. Di buku Ataka, ada adegan penyegelan pedang Skinheald oleh penyihir pria Greylay, seorang penyihir wanita, Mildebest dan seorang pria jenius, Pryraf.

Tentu saja, kemiripan ini terbuka untuk diinterpretasikan macam-macam oleh publik, sekalipun demikian publik pun harus mengakui bahwa hanya sebatas itulah kemiripan yang ada, selebihnya masing-masing novel memiliki orisinalitasnya sendiri-sendiri. Dan lagi, jalan cerita selanjutnya juga jauh berbeda.

Tapi bicara orisinalitas, saya justru punya perhatian kedua. Mengenai Setting (Apa barunya seorang FA Purawan ngomongin setting? Hehehe). FIREHEART menggunakan setting medieval barat secara utuh dipakai tanpa merasa perlu susah-susah menciptakan setting sendiri. Maka di dalamnya terdapat ras-ras manusia, elf, orc, hobgoblin dan sebagainya, dengan dunia Eternia yang berasa mirip dengan dunia apapun yang mengambil setting medieval. Kurasakan banget bahwa pengarang mengambil setting yang ada dalam game RPG semacam WarCraft series atau Dungeon & Dragon series. Salah satu indikasinya aku lihat di penggambaran kaum Orc yang lengkap dengan ciri-ciri fisik dan ciri budayanya, yang rasanya mirip dengan game WarCraft, termasuk juga konvensi penulisan namanya.

Nah, sedikit bertentangan dengan ajaran "Hayo seriuslah dalam menciptakan universe mu" dalam penulisan novel Fantasy (yg sering mengandung pengertian intrinsink: ciptakan duniamu sendiri), saya melihat bahwa kiat pengarang dalam memakai dunia yang "udah jadi," merupakan salah satu kiat aman, terutama bagi pengarang fantasy pemula. Yeah, kalo bikin sendiri susah, kenapa gak pakai yang sudah ada saja? Yang penting be serious with it, patuhi juga hukum-hukum yang sudah ada di dalam dunia tersebut sehingga engkau akan tetap konsisten. Nah, dalam hal ini saya amati bahwa pengarang juga tidak asal ceplokin dunia orang; pakai dipelajari dulu, diriset dulu secara memadai. Hal itu membuat pengarang jadi punya kepastian sikap dalam mengendalikan karakter-karakternya di dunia Eternia, karena udah paham apa batasan dan apa ruang-ruang yang bisa dipakai untuk manuver.

So, bukan termasuk kreatif dalam penilaian gue, tapi memang aman dan workable, nevertheless. Dan saya tidak serta-merta menilainya sebagai negatif.

Dan penerapan dunia ready made itu juga nggak tanggung-tanggung, kupikir, sebab dunia Eternia ciptaan (baca: terapan) pengarang kurasa cukup lengkap. Dia punya sistem keagamaan (sangat jarang disentuh di novel Fantasy) dengan Vadis sebagai tuhannya, sampai ke sistem ekonomi. dan perbankan. Sistem ekonominya sendiri menarik, sebab di dalam novel ini cukup clear, jelas, dan cukup 'masuk akal' bagaimana seseorang mencari uang di Eternia (walau cara pengiriman uang di bidang perbankan Eternia menurut gue udah di luar keterbatasan logika universe).

Antara lain, sebagai pemburu. Kalau kau menjadi pemburu Orc, maka kau bisa mengoleksi items yang bisa ditebus dengan sejumlah uang oleh pejabat pemerintah. Ini bisnis yang cukup lukratif, sehingga bahkan para pemburu sampai dapat mendirikan 'guild' segala. (Kurasa, dari sini juga sub judul: Sang Pemburu, berasal, yaitu menjelaskan status tokoh utama Robert Chandler sebagai si Orcbane alias pemburu Orc). Dan di guild ini kau bisa browsing proyek-proyek penangkapan Orc, Troll, bandit etc laksana pengumuman tender di instansi pemerintah. Lucu, tapi toh terasa cukup masuk akal untuk dunia Eternia.

Nah, keseluruhan setting yang memiliki dunia lengkap, ras penghuni yang beragam, serta sistem ekonomi. Di kepalaku langsung bersinar bola lampu: Franchise! Ya. Dunia Eternia memang sudah tergelar cukup lengkap bahkan bila akan 'dijual' sebagai setting game on-line, setting novel lainnya, atau apapun. Good idea.

Akan sangat gampang ngembangin sebuah game RPG yang dimulai dari, let's say, a Guild, kamu jadi pemburu kelas rendah memburu Orc, dapat uang, upgrade perlengkapan, sambil mengikuti kisah Robert Chandler di latar belakang, bahkan kalau kau beruntung, kau bisa ikut bergabung dengan pasukan pemburu yang masuk ke gua Kuil Enia bersama Robert Chandler! Saya pikir, boleh jadi pengarang memang sudah mempersiapkan Fireheart ini dengan commercial aspect in mind, dan saya menganggapnya sebagai suatu strategi bagus untuk napas yang lebih panjang.

Bicara alur ceritanya sendiri, buat saya cukup memikat walau tak membuat saya terkagum-kagum. Standar lah. Bahkan, karena terkait temponya sebagai sebuah kisah trilogi, bagian depan novel terasa agak melantur, saat pembaca harus mengikuti flash back riwayat Robert yang agak jauh ke belakang (satu sub-plot yang mendingan juga dibikin sebagai prekuel aja). Sampai lebih kurang setengah tebal buku, pembaca belum masuk ke konflik utama mengenai pedang tersegel.

Yap, persis game RPG di mana si pemain harus menjalani side-quest segala. Contohnya kunjungan ke negeri Kurcaci Grad, yang sesungguh tak terlalu penting dalam bangunan plot, sebab konflik-nya ternyata cuma konflik semu.

Untuk karakterisasi, well, tokoh-tokoh utama kupikir udah cukup klise ala Fantasy RPG Jepang, lah. Robert yang berwajah tampan tapi dingin, atau Carolyn yang berambut pink, serta Chris yang tolol dan naif, sangat mudah membayangkan tokoh-tokoh semacam itu berada dalam setting game. Setiap tokoh sudah tampak memiliki peran yang jelas, baik sebagai tokoh protagonis maupun antagonis. Ada beberapa tokoh yang kelihatannya sengaja diberi muatan misteri untuk membuat pembaca penasaran terhadap perannya selama di trilogi (which is akan banyak potensial di situ). Tapi sejauh yang saya baca, menurut saya karakter-karakter tersebut masih condong ke hitam-putih, masih kurang dalem. Untuk karakter Chris, apapun peran tersembunyi yang disematkan oleh pengarang terhadap karakter itu di kemudian hari, kurasa dalam buku satu ini tergolong sebagai suatu kesia-siaan yang menjengkelkan. Tapi oke lah, memang cukup potensial sebagai faktor kejutan kelak :)

Sekarang mari bicara hal-hal yang membuat saya kurang 'sreg' (jadi yang tadi itu masih termasuk 'sreg', toh??)

Pertama, masalah penamaan. Nama tokoh utama Robert Chandler, Carolyn, dan Christoper, nginggris banget. Memang masih sesuai sih dengan setting yang dipilih. Tapi saya masih kurang sreg, aja. Buat saya, mendingan pengarang bikin aja konvensi nama+julukan yang rasanya lebih fit dalam setting Eternia sekaligus memberi bobot karakterisasi tambahan pada para tokoh, misalnya nama seperti "Sage Hati Api" (Sage The Fireheart), sekalian aja Robert The Orcbane, atau Carolyn Tongkat Api atau apalah. Nama kayak gitu masih lebih 'bunyi' dibanding sekedar Robert Chandler.

Kemudian masalah jurus-jurus. Ada banyak banget jurus, euy! Termasuk summoning ala Final Fantasy juga. Semua jurusnya punya nama yang cantik-cantik. Persoalannya, kupikir pembaca hanya bisa mengingat sebagian kecil dari nama jurus-jurus yang mirip-mirip itu, alih-alih untuk mengingat bagaimana bentuk jurusnya. Gue sendiri hanya bisa mengingat dua jurus milik si Don Hernan, berkat penggambaran yang cukup deskriptif di saat pengarang menjelaskan jurus tersebut. Idealnya, harus ada waktu bagi pembaca untuk bener-bener meresapi jurusnya dan membayangkannya melalui beberapa sesi pertempuran, sebelum jurus tersebut dapat digunakan sebagai pengganti deskripsi aksi sang tokoh.

(Tapi di sisi lain, banyaknya jurus ini juga akan menjadi gimmick yang menjual bila cerita ini akan dibikin sebagai basis game RPG, secara bumbunya game RPG adalah adegan-adegan berantem menggunakan jurus-jurus, hehehe,...)

Kemudian, starting adegan Gua Enia, mulai banyak terdapat tokoh-tokoh sampingan, yang membuat petualangan memasuki gua itu terasa begitu massal dan mengalihkan perhatian pembaca dari POV tokoh utama si Robert Chandler. Begitu banyaknya yang masuk gua, dan yang jadi korban di dalam gua, sampai saya sendiri lost count. Lho kupikir tinggal dikit setelah masuk ke halangan anu banyak yang tewas, ga taunya koq masih banyak juga sisanya. Jadi dimensi volume dan jumlah menjadi agak kacau pada adegan masuk gua ini. Dan memang dalam pikiran saya, quest masuk ke gua adalah quest yang praktisnya dilakukan sekelompok kecil, bukan rombongan besar. Kalau mau besar lebih mendingan bikin quest masuk istana kuno aja,... hehehe.

Selain itu buat gue missi masuk Gua Enia ini kurang punya dasar plot yang jelas dan kokoh. Rasanya seperti sedikit dipaksakan, adanya suatu situasi dimana dua kelompok pendekar (terang vs gelap) harus masuk ke sebuah kuil (baca: Benteng) yang suppose to be dibuat dalam rangka mencegah pedang iblis diambil orang, tapi kemudian mengundang orang-orang agar menjebol sistem keamanannya secara bersama-sama! Buat gue sih gak masuk logika. Artinya, plotting pengarang kurang kuat di aspek ini.

Kemudian, tidak ada peta! Halah, di saat novel terbitan lain memiliki peta yang kukritik tidak sinkron dengan cerita, novel ini malah memiliki cerita yang badly (and rightfully!) needs a worldmap, tapi justru kagak ada! Dunia Eternia cukup kompleks dan dalam penceritaan kurasakan bener betapa butuhnya pembaca akan sebuah peta yang bisa menjelaskan posisi dan situasi alam Eternia. Moga-moga dalam terbitan seri 2 peta tersebut bisa dihadirkan oleh penerbit (karena setahu saya, pengarang pernah menyatakan bahwa beliau sudah membuat konsep peta untuk Eternia).

Kemudian, mengenai "Legenda Paladin", well,... boss, mana legendanya? Kasus sama dengan "Legenda Amigdalus"-nya Zauri nih, satu buku dibaca abiss kagak ketemu tuh legenda, at least something as important to be considered as legend dalam cerita ini, hehehe. Entahlah, kalo menurut gue sih mustinya sejak buku pertama pembaca sudah harus punya pemahaman mengenai legenda tersebut, apa relevansinya dan kepentingannya, sehingga pengarang akan mudah menjalinkannya dalam plot dan kisah. Dan bayangan gue sih, kalo ada yang namanya legenda PALADIN, mustinya kultur mengenai Paladin itu sendiri akan berbekas kuat dalam universe Eternia, dan akan sangat jelas terlihat di mata pembaca. Yang sekarang, gue rasa belum banget, tuh.

Yang terakhir adalah mengenai typesetting atau ejaan. Apakah memang tidak ada konvensi ejaan dalam tata-cara penulisan dialog dalam novel? Flow baca saya sangat terganggu dengan moda penulisan new paragraf setiap kali ada tanda petik dialog. Jadi setiap kali seorang karakter berbicara, maka lay-outer selalu menempatkan line dialognya sebagai paragraf baru, regardless konteks bicaranya bagaimana.

Sehingga sering suatu dialog yang sebetulnya merupakan kelanjutan dari aksi sebelumnya, menjadi putus-flow. Contohnya seperti ini:

Amir menjawab,

"Selamat Pagi, bu guru"

-----------------------

Padahal seharusnya lebih pas (sesuai konvensi?) bila dituliskan seperti ini:

Amir menjawab, "selamat pagi, bu guru".

----------------------

Akibat dari moda penulisan seperti di atas, terus terang saya membacanya jadi seperti terlompat-lompat (secara mental), dan ini sangat mengurangi kenikmatan membaca.

Padahal, buku ini menggunakan ukuran, jenis font serta pengelompokan spacing intra paragraf yang paling enak di mata. I wish buku lain seperti ini, alih-alih menggunakan font sans sheriff untuk body text dengan ukuran gede dan penulisan rapat-rapat yang membuat white areanya jadi malah lebih dominan dibanding huruf! Nah, untuk Fireheart, tulisannya enak di mata dan mudah dibaca.

Di luar semua kekurangan, saya menganggap serial Fireheart ini, walaupun belum menjadi sebuah epik atau saga yang memukau, tetap memiliki kelebihan berupa paket universenya yang lengkap dan well thought, sekalipun itu pinjaman dari universe eksisting lain. Demikian lengkapnya sehingga akan mudah bagi siapapun (tidak hanya pengarang) untuk membuat produk spin-off yang berlandaskan universe Eternia. Dan kurasa, hal itu merupakan suatu hal yang baru dan prestasi tersendiri dalam konteks industri penulisan Fantasy di tanah air.

Buat Andry Chang, selamat, dan cepetan dikebut aja tuh sekuelnya,... hehehe,...

Salam,


FA Purawan

Senin, 15 September 2008

IORI: Terperangkap di Negeri Mimpi (Lian Kagura - 2007)



Data buku:

Penerbit: Lingkar Pena Kreativa
Editor: Birulaut
Ilustrasi: Widhi Saputro
Desain Sampul: Widhi Saputro
Layout Naskah: Ricky Andy Yoga
Tebal: 256 hal

Tempat jalan-jalan favorit saya adalah toko buku. Dan salah satu toko buku yang saya favoritkan adalah MP Boookstore yang terletak di jalan Puri Sakti Jakarta Selatan, dekat kuburan Jeruk Purut. MP Bookstore menjadi favorit saya karena di sanalah saya biasa nongkrong sambil menanti usainya jam sekolah TK anak saya di hari Sabtu, dan selain itu, karena koleksi buku-buku yang cukup jarang saya temukan di toko buku lain.

Apa yang hebat dari koleksi buku-buku MP Bookstore? Adalah bagian buku-buku diskon di bawah tenda depan di parkiran, yang menarik minat saya. Sudah beberapa kali ini saya menemukan buku-buku clearance yang tidak pernah saya lihat terpajang di Gramedia atau toko buku lain. Tentu saja, to my ultimate pleasure, banyak di antaranya adalah buku Fiksi Fantasi karya pengarang lokal.

Jadi, ternyata cukup banyak karya lokal yang tidak pernah merasakan gengsi beredar di mall-mall atau "toko buku terkemuka" seperti iklan-iklan buku jaman dulu, dan tahu-tahu berakhir di clearance bin in a parking lot (sadis!). Sementara kita jejeritan mengeluhkan minimnya karya-karya fantasy lokal.

Tanya siapa.

So, here we are, salah satu buku 'baru' yang saya temukan di tumpukan clearance sale (diskon cuma 20%, siiih, ga clearance-clearance amat), berjudul IORI: Terperangkap di Negeri Mimpi, karya Lian Kagura terbitan 2007. Covernya berwarna hitam (lagi-lagi!) bercampur merah marun, dengan gambar seorang pemuda duduk di sebuah singgasana, berlatar belakang perempuan cantik, serta serigala berbulu biru dan seorang bocah gundul bermata putih bersimpuh di kaki singgasana.

Well, langsung aja kesan Fantasy-Misteri menguar dari ilustrasi sampul, diperkuat dengan Typografi font berwarna merah darah yang oke banget. Sekilas mirip grafik Manga bergenre misteri. Dan di sinopsis halaman belakang, antara lain terdapat kalimat seperti ini: Ia ingin bangun, tapi tak bisa. Ia terjebak dalam mimpi itu.

Nah, satu lagi Fantasy yang bersetting dunia Mimpi!

Tak sabar saya buka buku itu dan mulai menikmati isinya. Pada lembar halaman pertama, pandangan mata langsung terbentur pada kalimat Basmalah dalam huruf latin. Ingatan saya langsung terpaut pada karya-karya Fantasy Islami yg pernah marak pada tahun 2002-2004-an. Hmm,... pada kemana semua itu sekarang, yah? Apakah sekedar euforia yang sudah padam? Tapi anyway, dengan pembukaan seperti itu saya langsung menduga bahwa novel ini akan memiliki nuansa Islami yang kental, minimal pasti ada tokoh uztad-nya.

Dan rupanya, pengarang ingin memulai kisahnya dengan sehalaman puisi yang sejujurnya nggak begitu mengesankan. Bukan pada isinya (yg bicara tentang cinta dan dipersembahkan pada Bunda), melainkan lebih pada tata letak baris-baris puisi yang nggak enak dipandang dan tak tahu apa maksudnya disusun demikian. Padahal kalau disusun wajar saja mungkin lebih 'dapet' maksudnya.

OK, enough of that. Kisah dibuka dengan bab pertama berjudul "Kesedihan itu Datang". Dan begitu saya membaca, saya langsung tertohok dengan suasana 'noir' yang teramat pekat. Kisah berputar pada tokoh Iori, seorang cowok SMA yang baru saja kematian Ibundanya. Pengarang bener-bener memberikan suasana stressful dan depresif banget, memainkan tragedi diramu dengan kenangan-kenangan, siapa yang nggak langsung berleleran karenanya. Kesedihannya tidak membuat saya ingin menangis, however, melainkan membuat saya begitu tertekan dan dimakan oleh rasa duka, seolah-olah saya sendiri ikut merasakan kesunyian dan kehilangan besar di hati saya. Merinding.

Menurut saya, kemampuan pengarang membuat suasana 'dark' itu adalah suatu keistimewaan penulisan. Dan bab pertama ini memang telah membuat tone seluruh novel langsung terdefinisi di depan. Yak, gelap dan muram.

Selanjutnya kisah mengalir dengan perjanjian gaib Iori dengan tokoh 'Humunkulus' yang mendatanginya dalam mimpi, mungkin konsepnya mirip 'The Sandman', semacam devil yang menguasai Dunia Mimpi. Humunkulus, yang secara unik digambarkan sebagai bersosok perempuan cantik namun bersuara maskulin (Bencoong, dooong?), menjanjikan akan menghidupkan kembali ibu Iori (dipanggil Ummi) dengan barter satu jiwa lain yang dicintai Iori, satu jiwa tiap purnama.

Manteeeb, premis 'cakar monyet' yang guaranteed membuat setiap pembaca penasaran. Siapakah yang menjadi korban-korban berikutnya? Bagaimana tokoh utama melepaskan diri dari perjanjian gaib itu?

Sejak perjanjian itu, secara tiba-tiba saja Iori mendapatkan Ummi-nya hidup kembali. Kebahagiaan pun kembali mengisi kalbunya, jenis kebahagiaan yang setara dengan dependensi oedipus complex tokoh Trapani di Novel Laskar Pelangi (good psychology, BTW, dan sangat manusiawi, koq). Namun setiap purnama Iori harus menjadi semacam eksekutor ritual pengorbanan di dunia mimpi, yang secara nyata menewaskan orang-orang dekat Iori, mulai dari paman, kakek, dst. Sampai akhirnya cewek pujaan hati pun harus ikut menanggung akibatnya (ouch! tragis banget). Selain itu Iori juga mendadak jadi punya kekuatan ekstra dan temperamen yang lebih ganas, dengan ciri mata berkilat merah, serta kostum jubah hitam yang cool sebagai bonus.

Lewat Tiga Purnama, Iori mulai gerah dengan korban-korbanan ini. Tentu saja plot kemudian berlanjut pada bagaimana upaya Iori (dan orang-orang dekatnya) untuk melepaskan diri dari cengkeraman Humunkulus, dimainkan oleh si Kim, sahabat Iori, di bawah bimbingan Uztad Judin (gotcha! Tuh, kan, ada uztadnya,.... hehehe,....)

Well, as we all can see, perjalanan plot lebih-kurang standar, lah, buat cerita-cerita semacam "perjanjian gelap" gini. Dan penyelesaian di bawah pimpinan uztad yang punya ngelmu kudu untuk melawan kesaktian Humunkulus juga terasa amat klise. Nyaris tidak ada yang baru dengan alur-alur cerita sejenis dalam Sinetron Hidayahiyah ato Kiamat Udah Ampir Mampir.

Serasa gak cukup klise, novel pun masih ditutup dengan 'petuah' mengenai hubungan pria-wanita yang digambarkan melalui adegan pernikahan tokoh Kim dan Yuni, oleh siapa lagi kalo bukan Uztad Judin (Petuah yang kelihatan seperti pesan sponsor partai karena sangat jauh berselisih tema dengan tema utama novel). Eh, Iorinya nggak tahu nasibnya kemana lagi. Mati, kayaknya, tapi gak jelas juga.

Kalo sekedar baca komentar sampai sini, saya yakin yang ada di bayangan temen-temen pasti plek-ketiplek adegan sinetron misteri Illahi. Tapi kalo sudah baca sendiri, niscaya ada satu hal yang akan amat membedakan novel Iori dengan kisah-kisah klise Islamiyah konvensional. Baik berdasarkan referensi Sinetron, atau berdasarkan referensi Novel sejenis (yg terakhir ini harus kuakui, relatif).

Apa yang membedakan Iori? Catat: Pengolahan alam mimpi-nya, top banget. Sebagian besar adegan di novel ini berlangsung dalam alam psikologis si Iori, dan alam itu terwujud (dengan penggambaran yang amat realistis) dalam kehidupan mimpi Iori saat berinteraksi dengan Humunkulus.

Dalam review Dream of Utopia, saya mengatakan alam mimpi DoU karya Sammy sebagai sebuah ilustrasi fantasy yang indah. Untuk Iori, keindahan justru ada dalam penggambaran alam mimpi yang dark dan nyaris psikosis (sakit jiwa). Alam mimpi dalam karya Lian adalah alam mimpi yang sangat cair, imaji dapat berubah wujud mengikuti keadaan mental tokoh bersangkutan (which is, memang demikian lah alam mimpi seharusnya), dan akibat adanya intervensi tokoh Humunkulus, alam mimpi Iori juga menjadi berwujud gelap dan meneror secara visual. Imaji-imaji potongan tubuh (mutilasi), ruangan yang terlantar, langit merah, kesunyian yang menggigit, membuat pembaca seperti dibawa ke alam yang sangat asing, sekaligus sangat nyata menggambarkan kondisi psikologis sang tokoh. Dan di beberapa situasi, alam mimpi Iori bahkan bisa menyelusup ke mimpi orang lain, sampai bisa untuk kirim 'salam tampar' segala.

Karena penggambaran alam mimpi yang keren ini lah, saya cukup confident untuk memasukkan Iori dalam kelompok genre Fantasy. Mungkin Fantasy-Supernatural-Islami, kali yeee,... Mungkin aja secara garis besar pengarang ingin membuat novel Supernatural-Islami aja. Tapi unsur fantasy memang nggak bisa diabaikan, mengingat banyak adegan penting novel ini memang berlangsung dalam setting dunia alternatif yaitu dunia mimpinya si Iori.

Even adegan klimaks, saat Kim dan Uztad Judin berusaha membebaskan Iori dari Humunkulus, juga berlangsung dengan cara Kim dan si Uztad me-raga sukma masuk ke dalam mimpi Iori.

Nah bicara adegan klimaks, ini juga rasanya yang agak mengecewakan. Perjuangan Kim, Uztad, dan Iori mengalahkan Humunkulus rasanya terlalu 'cemen'. Jagoan-jagoan itu keok menghadapi kesaktian si bencong, lalu dengan tanpa alasan tiba-tiba saja bisa terjadi 'transfer energi' antara ketiganya, sehingga Kim menjadi SuperKim yang perkasa menghantam lawan! Ahh,.. gitu banget. Sebagai sebuah novel yg sarat dengan nuansa Islami, mengapa penyelesaian masalah tidak dengan cara yang 'Islami'?

Udah gitu, ada adegan finale yang ngga gue mengerti. Mengapa --setelah Humunkulus berhasil dikalahkan pun-- si Iori kemudian mengambil langkah yang sangat kontra Islami, yaitu 'bunuh diri' menggunakan pisau pengorbanan? Untuk keperluan apa? Biar ketemu ibunya di alam baka? (Part ini sebetulnya kurang jelas diceritakan, tapi saya coba ambil kesimpulan itu aja).

Terus-terang, bagi pandangan Islam, itu salah banget. Nggak tahu deh kenapa Pengarang mengambil rute tersebut.

Sebenernya sih, kalo gue jadi yang mengarang (heheh, mulai deh ngusilin karya orang). Saat Humunkulus akan mengambil the next one yang kamu cintai, perlawanan Iori yang paling Islami seharusnya adalah,... "Yang kucintai hanyalah Allah!". Nah, habis perkara, silakan Humunkulus berurusan sama Yang Bersangkutan! Hehehe,... (Tapi itu kata gue, lho. Yang kalo dibikin novel, pasti gak lebih dari dua halaman udah kelar,.. hahaha. Di mana asyiknya, ya?)

Lepas dari masalah Islami atau kurang Islami, tentunya hal-hal seperti itu adalah hak prerogatif pengarang. Setiap pengarang tentu punya alasan sendiri atas pilihan-pilihan alurnya ataupun penyelesaian konflik dalam karyanya.

OK, masukan terakhir untuk novel Iori, adalah novel ini kelihatannya akan lebih bagus apabila pengarang (atau editor?) tidak semena-mena memotong adegan. Saya mendapat kesan bahwa dalam proses penulisan, sesungguhnya pengarang telah menulis lebih banyak dari draft final, dan telah terjadi pemotongan-pemotongan terhadap draft.

Lha, bukannya demikianlah proses normal dalam editing? Ya, proses normal, kecuali bila menghasilkan editan yang aneh, saya sebutnya 'jumping plots'. Ada beberapa tempat yang ketara bahwa ada sesuatu yg hilang dalam teks. Hal itu menjadi cukup parah ketika sesuatu yang hilang itu punya relevansi terhadap plot. Akibatnya pembaca jadi mengerenyit sebab terasa ada sesuatu yang hilang, atau lompatan adegan yang terasa tidak koheren.

Di luar kekurangannya yang menyebabkan saya ilfil dengan novel ini, karya ini saya puji dalam beberapa aspek: pertama dari keterampilannya mengantarkan suasana 'noir' yang keren banget, ekspresif banget; kedua karakter antagonis Humunkulus yang unik dan cukup mengesankan baik dari penampilan maupun karakterisasinya (Bad Guy Award 2008!), ketiga kedalaman psikologis para tokoh, terutama tokoh protagonis yang 'cacat mental' berhasil dihadirkan kecacatannya secara realistik, sehingga kita bisa paham banget kenapa Iori ngga bisa terima kehilangan ibu tapi bisa terima kehilangan kekasih.

Usul? Masih perlu dikasih usul? Ya kalo boleh usul, gimana kalo tokoh Uztad kita ganti aja dengan karakter lain yang lebih unik, misalnya mantan uztad yang sempat murtad (terus beriman kembali karena terlibat urusan ini), atau aki-aki gak penting yang ternyata menyimpan misteri sebagai musuh bebuyutan Humunkulus, atau apa lah, asal bukan uztad jagoan. Yang kayak gitu kayaknya udah terlalu generik, kurang cespleng!

Teruntuk Kang Lian, selamat atas Novelnya, kang!

Salam,


FA Purawan

Rabu, 10 September 2008

TRANSPONDEX: Mesin Cinta Lintas Waktu (Ronny Fredila - 2006)



Data Buku:
Penerbit: GagasMedia (Seri FantasyLit)
Editor: Denny Indra
Desain Cover: Hendrayanto
Tata Letak: Wahyu Suwarni
Tebal: 282 Hal


Kalau lihat sub-judulnya saja, niscaya saya juga tidak akan percaya kalau Novel karya Ronny Fredila, Staff Swalayan Hypermart ini, merupakan sebuah novel fantasy. Bayangan apa yang melintas saat membaca kalimat, "Mesin Cinta Lintas Waktu"? Uaah, mesin cinta, Jek.

Apalagi dipadu dengan desain cover warna merah, dengan siluet tubuh seorang wanita yang mengesankan bayang-bayang tanpa busana, O.M.G., rasanya frasa "Mesin Cinta" jadi memiliki arti tersendiri (wink-wink).

Tak heran bila judul Transpondex bagiku langsung menimbulkan asosiasi judul obat kuat semacam Viagra, Cialis, seperti yang sering terlihat di plank toko A Ceng atau A Kiaw (Ho'oh, gue cuma lewat, koq,...)

Padahal, Transpondex adalah singkatan dari suatu istilah yang cukup Tekno: Transportation Machine for Dimensions and Time Exchange, mesin transportasi untuk keperluan pertukaran Dimensi dan Waktu. Gimana, keren, kan? Dan alat "Time-Machine" inilah yang kemudian dilabeli sebagai 'mesin-cinta'. Jadi kawan-kawan, tolong hapuskan saja bayangan anda mengenai mesin cinta yang lain yang berada di luar lingkup novel ini,... hehehe.

Setelah sekian kali saya terpapar oleh genre Fantasy Kerajaan, Ksatria, Peri dan Penyihir, akhirnya mampir lagi sebuah genre Fantasi Fiksi Ilmiah terbitan tahun 2006, lagi-lagi tak saya temukan di toko buku melainkan di Pameran Buku IKAPI, yang menandakan bahwa novel ini tinggal memasuki fase bersih-bersih gudang. Oh, begitu kejamnya kah para penerbit terhadap kehidupan genre Fantasy,... hehehe,... apa boleh buat, hukum pasar memang berlaku di sini. Kalo bukan buku laris, jangan harap dapat kesempatan napas panjang. Sedih, tapi memang demikian alam sudah menggariskan.

So, kembali ke novel. Transpondex adalah sebuah karya yang diposisikan sebagai "Science Fiction" oleh GagasMedia melalui seri FantasyLit (baca secara Inggris, ya. Jangan baca secara Indonesia, agak-agak saru). Setelah saya baca, well ada sebagian kecil plot driver yang memang berbau ilmiah, terutama mengenai konsep dimensi waktu dan time-space continuum. Tapi kalau saya boleh berkomentar, sesungguhnya novel ini lebih dominan sebagai sebuah roman aksi berbau tekno, aja. Soalnya aspek time-travel agak kurang begitu didekati secara ilmiah di sini, melainkan secara populer aja, mirip dengan angle film Back to The Future I, II, & III yang disutradarai Steven Spielberg dan dibintangi oleh Michael J. Fox itu.

Tapi jujur aja sih, biarpun ngga ilmiah, spekulasi time-travel di novel ini diramu secara meyakinkan dengan logika cukup terjaga, dan mampu mendrive sebuah cerita roman aksi yang lumayan menghibur. Masuk juga konsep-konsep paralel universe dll sebagai bumbu. Tidak terlalu baru, sih. Tapi setidaknya cukup fresh untuk khasanah novel lokal.

Selain aspek 'fiksi ilmiah' berupa time travel, karya ini juga memiliki aspek lain yang cukup kuat, yaitu sebagai sebuah novel silat. Jadi tepatnya adalah sebuah novel silat dalam setting futuristik. Nah, aspek ini malah aku pikir lebih dominan sebagai penggerak dan pewarna cerita, di mana hampir adegan penting novel ini di dominasi oleh pertarungan silat antara tokoh-tokoh protagonis dengan antagonis.

Jadi singkatnya cerita novel ini adalah sebagai berikut: Tokoh utama si Rima anak SMA, memiliki Ayah bernama Prof. Suhendra yang punya obsesi untuk menciptakan mesin waktu guna kembali ke masa lalu dimana Maminya Rima dinyatakan hilang dalam sebuah penerbangan komersial. Prof. Suhendra bekerja sama dengan Prof. Mohindra dan seorang Prof lagi yang misterius, berhasil memecahkan sandi sebuah manuskrip dari jaman Majapahit yang mengindikasikan cara membuat sebuah mesin waktu, dan ceritanya si prof berhasil membuat mesin waktu yang dinamakan Transpondex. Namun tepat pada saat si Prof melakukan test perdana alat itu, tiba-tiba masuk lah sekelompok prajurit futuristik dari the other side, yang langsung menculik si Prof, dengan pesan bahwa alat si Prof sudah membuat anomali dalam ruang-waktu, sehingga masa depan menjadi kacau dan ada tokoh-tokoh dari jaman yang berbeda menjadi campur aduk di masa depan. Si prof diculik untuk memperbaiki semuanya, albeit di bawah ancaman bedil.

Tentu saja, si tokoh kita yang ternyata cukup jago silat, harus ikut menyusul ke masa depan untuk menyelamatkan sang ayah.

And listen to this: di masa depan sang tokoh bertemu dengan Kerajaan Majapahit in the Future, menjadi murid Nenek Srikandi, bergabung dengan Pandawa Empat: Arjuna, Bima, Nakula, Sadewa, untuk melawan raja Tapak Lodaya (yg menggulingkan Hayam Wuruk), yang disupport oleh Pasukan Kurawa dibawah pimpinan Dursasana, Duryudana dan lain-lainnya.

So you see, it's yet another cerita wayang dalam setting non-wayang. Sejenis dengan Arjuna mencari Cinta, tapi dalam tempo beberapa abad lebih Futuristik, hehehe. Dan silat menjadi menu utama.

Dengan ramuan seperti ini, saya menganggap pada akhirnya Novel ini berusaha merevitalisasi karakter-karakter pewayangan dalam setting yang berbeda dari pakem. Istilahnya, pengarang ingin menggunakan Arjuna dkk dalam setting futuristik, ya kemudian dibuatlah plot time-travel dan kekacauan time-space continuum yang memberi pengarang alasan yang 'valid' untuk mempertemukan tokoh-tokoh sejarah yang berasal dari jaman yang berbeda dalam satu belanga. Akhirnya yang kejadian adalah Rima bertemu Arjuna, Bima, Nakula, Sadewa, Srikandi, Prof Drona, Dursasana, Duryudana, Bill Gates, sampai Hitler segala, dalam ramuan campur aduk yang, well,.... sensasional, tapi nggak 'dalem'.

Maksudnya, karakter-karakter sejarah ini gak punya kepribadian yang utuh, sekedar sensasi yang dipinjam untuk melancarkan cerita aja. Persis karakter game fighting semacam Street Fighters ataupun Tekken.

Selain dari suasana persilatan futuristik, novel ini juga menghadirkan aroma teenlit dalam setting Rima di jaman kini, ada sekolah, ada tawuran, ada cowok pedekate, ada dream guy, well, the usual stuff. Cuma di akhir aja pengarang memberi twist yang menggabungkan dua setting berbeda itu dalam konklusi yang mendekati napas teenlit juga.

Jadi alurnya kira-kira: 1> Setting Kini, 2> Setting Futuristik menyita mayoritas halaman, 3> kembali ke setting kini sebagai konlusi.

Terus apa yang bisa diambil dari novel ini? Well, kalo temen-temen baca ramuan setting di atas, tentu temen-temen akan berasumsi bahwa novel ini memiliki setting amburadul hasil dari ramuan karakter asal tempel. Nyaris bener. Tapi di sisi lain pengarang punya suatu kelebihan yang mengakibatkan setting amburadul ini masih bisa 'jalan' sebagai sebuah novel hiburan.

Yaitu, kelebihan pengarang, adalah cara bercerita yang cukup mengasyikkan ditunjang oleh logika yang kuat 'ngejagain' plot dan setting. Dengan gaya penulisan yang rileks, jujur apa adanya namun tetap terangkai secara baik dan benar, pengarang memberi saya stamina untuk bisa menyelesaikan buku ini cukup dalam tiga hari. Kemampuan menjaga logika cerita membuat saya tidak terlalu banyak nanya atau banyak berhenti (misalnya ngebolak-balik ke halaman depan lagi karena ada yg rasanya aneh), sebab pengarang senantiasa menjaga agar informasi logis dalam plotnya tetap tersedia pada point dimana diperlukan.

Dan ini berarti memang usaha yang harus seksama, sebab plot time related chaos emang bukan topik logika yang 'gampang' dicerna, apalagi di sisi pengarang yang harus lebih menguasai hubungan sebab akibat lintas waktu. Paling tidak, walau plot hole masih terasa di sedikit tempat, pengarang berhasil mendeliver cerita menjadi suatu alur yang cukup koheren. Tapi dalam aspek logika, pengarang juga agak 'kejeblos' justru di akhir cerita, yaitu time-space continuum yang rusak ternyata bisa bener lagi karena faktor 'kebetulan'. Ah ketahuan, lagi buru-buru pengen nyelesaikan novelnya, tuh. Hehehe,...

Masuknya tokoh Bill Gates dalam cerita menggantikan Prof Drona, juga terasa agak dipaksakan. Tapi apa mau dikata, toh setting karakternya memang sudah dibuat amburadul dari sononya, sehingga twist semacam itu memang sah terjadi dalam setting cerita ini. Termasuk ujug-ujug muncul tokoh (Adolf) Hitler yang bisa silat sebagai the ultimate nemesys.

Kelebihan lain adalah adegan silat yang cukup seru, dan lumayan menerapkan prinsip-prinsip ilmu silat ala standar. Silat ini cukup memberi warna yang unik pada novel, serta memberi adegan aksi yang seru dan gegap gempita. Walau sebagai catatan, penggambaran adegan silat secara apa-adanya (keluarin jurus ini-itu dengan kedahsyatan ini-itu, efeknya ini-itu) memang cukup bisa menghadirkan aksi, namun belum tentu menimbulkan kesan mendalam terhadap pembaca. Mungkin analoginya adalah nonton film kung-fu mainstream Hongkong yang minim special effect, vs Chrouching Tiger atawa Hero yang penuh efek visual indah. Mana pertarungan yg lebih meninggalkan kesan?

Jujur aja, ngga ada perkembangan plot yang cukup berarti sepanjang novel, laksana pop corn movie biasa aja. Paling ada satu cabang plot yang cukup menyita emosi dan karenanya jadi perhatian khusus saya, yaitu saat Rima dan ayahnya finally bertemu dengan Maminya. Itu adegan yang paling monumental, saya rasa.

Juga menjadi suatu pertanyaan buat saya, di tengah generasi dua ribuan ini, apakah tokoh-tokoh pewayangan seperti Arjuna, Bima, dkk itu masih 'bunyi'? Untuk gerenasi 80-an macam saya, karakter Arjuna memang masih lekat dalam ingatan sebagai sosok 'Cowok Ultimate' dalam dunia wayang. Saya bahkan masih sempet nonton wayang orang Sriwedari di Solo jaman saya kelas 5 SD, dari jam 8 malem sampai jam 3 pagi. Tapi sekarang semua sudah menjadi dunia lama yang terlupakan oleh Indonesia. Saya kira pemilihan tokoh-tokoh pewayangan untuk dimasukkan ke setting modern menjadi usaha yang tak terlalu efektif, simply karena generasi sekarang udah gak kenal siapa itu Arjuna dkk.

Sebagai konlusi dari pembelajaran kita kali ini dengan topik studi Novel Transpondex, ya mungkin singkat aja: kalo pengarang dapat menjaga logika ceritanya secara pas, maka setting amburadul pun ternyata masih bisa workable, at least untuk sekedar menjadi novel ini enak dibaca aja, tanpa harus menyisipkan missi atau harapan-harapan lebih dari itu.

Dan nyatanya, novel ini memang masih lebih bisa dinikmati dibanding the other terbitan GagasMedia FantasyLit yang barusan juga saya review,.... (wink)

Mas Ronny, it's been a nice reading!

Salam,


FA Purawan

Selasa, 02 September 2008

CARDAN: Inside and Outside The Hinkal Core (Chandra Adhitya Winarno - 2007)


Data buku:
Penerbit: Gagas Media
Penyunting: Feba Sukmana
Penata letak: Yanto
Desain sampul: Okeu Yoseph Kurniawan
Tebal: 325 halaman

Hitam, adalah warna terkeren buat sebuah cover novel. Setidaknya begitulah anggapan saya selama ini (itu juga yang membuat saya mengeset blog saya dengan warna hitam, hehehe). Seolah ada otoritas tersendiri yang dipancarkan oleh warna ini, yang membuat siapapun yang melihat tak berani bermain-main dan menganggap saya serius, serius kuadrat. Apalagi, kalau Hitam dipadukan dengan Gold, hmm,.. tidak saja serius, tapi juga high-class. Demikian yang saya rasakan saat melihat cover novel CARDAN: Inside and Outside The Hinkal Core karya Chandra Adhitya Winarno ini. Balutan warna hitam dengan font keemasan membuat novel ini terkesan ningrat, membuat saya berharap-harap muluk terhadap isinya,...

Tapi, ooops, kelihatannya Jurus Judge by The Cover terchallenge lagi, di sini. Apa ini? Tulisan Cardan yang --walaupun jelas dan paduan putih-emasnya cukup serasi-- kenapa dibikin membesar di tengah seperti sign SIRKUS? Tapi emblem garuda pudarnya looks soooo cool! Oh, rupanya paduan tulisan Cardan dan emblem mengesankan bentuk perisai, well boleh juga. Yang paling bagus di cover ini adalah pemilihan Font & tata letak tulisan Inside & Outside The Hinkal Core. Hanya sayang, lukisan garuda itu harusnya bisa lebih detail.

Cover yang keren, karya Okeu Yoseph Kurniawan.

Dan sampai sini udah dapat di sum-up kesimpulan atas seluruh novel. Yaitu: Covernya keren.

Novelnya sendiri, gimana?

Sayangnya, ya cuma itu yg bisa kubilang: Covernya keren. Novelnya,... jeblok.

Menurutku ini novel terburuk yang pernah mampir di blog gue, untuk saat ini. Aaaakh?! (disbelief), benarkah? Demikian 'nista'nya kah? Apa dosa yang sudah dilakukan pengarang dalam menulis novelnya?

Ugh. Mungkin dosanya hanya satu, yaitu pengarang belum bisa menulis. Titik. Saat seorang pengarang yang tidak bisa menulis berusaha err, menulis, maka segenap ide besar yang ada di kepalanya jadi rapuh seperti kastil pasir disapu ombak. Hilang semua keindahan kecuali tinggal onggokan tumpukan kata-kata yang memusingkan.

Seberapa parah, sih, kemampuan penulisan pengarang? Well, aku tampilkan berupa contoh saja, yah.


Dari Novel Cardan, hal. 1 - 2:

Langit malam ini sangat indah, ketiga bintang yang selalu menerangi malam memancarkan cahaya berbeda warna putih, merah dan biru. Para leluhur menamakan bintang putih Joan, Sanggu untuk bintang merah, dan Colt untuk bintang yang berwarna biru. Mereka menganggap bintang-bintang tersebut sebagai lambang tiga elemen, yaitu udara, api, dan air.

Di daratan ini terdapat sebuah kerajaan kecil bernama Tolan. Sebuah kerajaan kecil dengan letak strategis, tepat di tengah-tengah Garinka. Tolan adalah kerajaan transit bagi para pedagang dari seluruh pelosok Garinka. Tak heran, hal ini membuat Tolan menjadi sebuah kerajaan yang cukup makmur. Dan karena itu juga, Tolan menjadi kerajaan terbesar di Garinka.

Namun, dibalik semua kelebihannya, Tolan sedang mengalami peperangan. Sebuah perang besar antara Tolan dan Sync, perang antara dua kerajaan yang sudah saling bermusuhan sejak ratusan tahun lalu. Mereka menamakannya perang Zonega.

Seorang jendral perang Tolan sudah banyak memenangkan perang namun ia belum pernah melawan ribuan pasukan yang begitu membabi buta. Sepertinya bagi pasukan itu membunuh seorang Tolan merupakan hal terindah dalam hidup, sebuah mimpi yang ditanamkan dari kecil oleh orangtua mereka.

Pedang jendral Tolan sudah berlumuran darah, entah berapa banyak nyawa yang telah ia cabut dengan pedang itu. Banyak mayat tergeletak di kanan-kirinya, dari pihaknya maupun musuh.

Ia berlari menuju kawannya yang terluka karena terkena busur panah di kaki kirinya. Ia memeluk lalu membaringkan tubuh kawannya di atas tanah, berteriak marah kemudian kembali membantai sekitar sepuluh pasukan musuh di sekitarnya. Jenderal TOlan itu ahli dalam pertarungan jarak dekat, bakat yang digalinya semasa berlatih di akademi perang.

Ia kembali melihat kawannya terluka. Bagaimana Cardan sepertinya bisa begitu lemah, sedangkan aku..., pikirnya sambil memeriksa luka kawannya. Sifatnya memang pencemburu, meskipun pangkatnya cukup tinggi ia masih saja ingin menjadi seorang cardan. Status yang dari dulu ia idamkan dan nantikan. Sebenarnya ia tahu benar bahwa untuk menjadi seorang cardan, ia harus dipilih oleh langit.

Kini cemburunya semakin memuncak, ia berdiri dan menghujat langit. Tak lama kemudian terdengar suara yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri.

---------------------------------------------------


Mendingan baca dulu dua-tiga kali, biar meresep. Baru abis itu baca ulasan gue di bawah ini.

Perhatikan, di atas itu lebih kurang adalah bagian prolognya, per paragraf. The whole prolog aku salinkan dengan tujuan agar pembaca blog ini dapat meresapi 'opening' seperti apa yang dituliskan oleh pengarang sebagai indikasi cara dia bercerita selanjutnya di buku tersebut.

Kalau rekan-rekan menganalisis tiga paragraf awal, tentu rekan-rekan bisa memperkirakan alur dari prolog, yaitu (1) suasana malam sebagai pembuka cerita (dan actually tuh paragraf ngomongin 3 bintang penting yg menghiasi langit malam). (2) Sebuah negeri bernama Tolan (tapi Garinka-nya apa gak dijelasin), (3) Situasi politik Tolan,...

Tapi paragraf 4-nya, dengan begitu gak nyambungnya, langsung masuk dalam adegan perang. Halah! Dan cobalah perhatikan isi dari paragraf ke-empat tersebut:

Seorang jendral perang Tolan sudah banyak memenangkan perang namun ia belum pernah melawan ribuan pasukan yang begitu membabi buta.

ini aja udah kalimat yang subyek-predikat-obyek nya ngaco, kayaknya kurang tanda baca ataupun kata sambung.

Sepertinya bagi pasukan itu membunuh seorang Tolan merupakan hal terindah dalam hidup, sebuah mimpi yang ditanamkan dari kecil oleh orangtua mereka.

kalimat selanjutnya ini gak nyambung dengan Subyek "Jendral", sebab Subyek tiba-tiba berubah menjadi merefer ke "pasukan yang begitu membabi buta". Terus tau-tau berubah lagi ke subyek yang lain:

Pedang jendral Tolan sudah berlumuran darah, entah berapa banyak nyawa yang telah ia cabut dengan pedang itu.

yang dilanjutkan dengan kalimat ini:

Banyak mayat tergeletak di kanan-kirinya, dari pihaknya maupun musuh.

Yang kalau dikaitkan dengan kalimat sebelumnya, mengesankan bahwa pedang sang jendral sudah mencabut banyak nyawa nggak cuma musuh melainkan juga dari pihaknya sendiri! So, the whole paragraph is a mess!!

Terus paragraf berikutnya bikin ketawa lagi:

Ia berlari menuju kawannya yang terluka karena terkena busur panah di kaki kirinya.

(Kena busur aja luka? cemen banget,..... iye-iye, gue tahu, maksudnya kaki kirinya ketancep anak panah. BTW, Fatal ya? Panah beracyun,.. kalee?). Atau 'busur' dianggap sebagai kata kerja?

Ia memeluk lalu membaringkan tubuh kawannya di atas tanah, berteriak marah kemudian kembali membantai sekitar sepuluh pasukan musuh di sekitarnya. Jenderal TOlan itu ahli dalam pertarungan jarak dekat, bakat yang digalinya semasa berlatih di akademi perang.

Ini juga series of incoherent actions. Maksudnya sih bisa kutangkep, tapi masih mendingan juga sastranya Sinchan yg "BABI PERGI,... BABI PULANG" itu, hehehe. Terus membantai sepuluh PASUKAN??? Maksudnya sepuluh PRAJURIT, Kallii,...?

Selanjutnya penggambaran aksi dalam kalimat dan paragraf lanjutannya benar-benar menggambarkan seorang jendral yang lagi bingung dan depresi banget, bukan lagi perang (ini jendral atau prajurit rank & file, sich? Koq sibuk amat di garis depan. Yang ngatur strategi di war room, terus siapa? Sekretarisnya, kali?)

So, need I say more mengenai keancuran gaya penulisan ini? Menurut gue sih, contoh prolog ini memberi indikasi tak terbantahkan bahwa pengarang masih belum menguasai tata penulisan yang benar (tak usah dulu ngomongin 'baik' dalam dua serangkai 'baik dan benar'). Walau jelas aku sudah punya masukan dalam aspek-aspek logika, tapi terpaksa masukan itu aku simpan dulu sebab pengarang menghadapi problem yang lebih besar, yaitu kemampuan menuangkan ide secara benar melalui tulisan.

Itu, lho, pelajaran Subyek-Predikat-Obyek, itu lhooo,....

Lha kalo seorang pengarang belum bisa menuliskan kalimatnya secara benar, bagaimana dia akan berhasil mentransfer ide ceritanya? Dan Hallooow,... para editornya lagi pada ngopi-ngopi di mana sih? Kalimat kayak di atas itu koq bisa lolos? Padahal itu di bab awaaaal banget, loh? (Wajar bila Editor agak loose di tengah-tengah buku. Tapi gimana kalo udah loose sejak AWAL buku?)

Untuk selanjutnya, penyakit yang sama melanda seluruh naskah sehingga membuat buku ini menjadi terlalu sulit untuk dicerna. Saya sendiri harus membaca bagai orang buta berjalan. Maju-stop-maju-stop-maju-stop dst. Satu bulan lebih untuk buku cuma setebal tiga ratus halaman.

Oke, kalau saya cuma mencela, ya semua orang bisa mencela, ya nggak? Lantas apa yang bisa dipelajari dari karya ini supaya pengarang dan temen-temen aspiran penulisan Fantasy dapat membuatnya lebih baik lagi?

Pertama, mungkin dari segi penyusunan kalimat s.d.a., ya. Biarpun kita masih punya ruang untuk 'mempermainkan' struktur kalimat secara kreatif, tetap saja ada aturan utama yang harus diikuti. Dan aturan itu memang ada sejak dulu karena suatu alasan, yaitu agar ide dapat terkomunikasikan secara tepat, dengan tetap memelihara kewarasan dan keruntutan berpikir pembacanya :) Kalau pengarang keenakan mengaduk-aduk pikiran pembaca dengan jumbling words, maka dia belum bisa dikatakan sebagai pengarang, melainkan psikopat, hehehe.

Kedua, mungkin pengarang juga perlu mengembangkan 'sense' untuk pemanfaatan kata/ istilah. Bagaimanapun, istilah tidak dapat dipertukarkan secara terlalu merdeka, sebab setiap kata atau istilah sesungguhnya memiliki pengertian khas, yang bila salah pakai akan mengaburkan atau mengacaukan makna. Berikut contoh kasus di Cardan:

Di samping Aras, seorang pria berbaju zirah--dengan tinggi badan yang lebih pendek darinya--tiba-tiba meremas tangan Aras dan berkata, "Tangan yang kuat, cukup kuat untuk mengangkat pedang atau tombak!"

Well, secara kalimat, paragraf contoh di atas tidak punya masalah berarti. Tapi kalo anda menganggap kalimat di atas tidak 'bermasalah', mungkin cara berpikir anda masih menggunakan gaya penulisan berita, bukannya gaya penulisan cerita. Pada 'gaya berita', kalimat adalah fakta kering, sekedar mendeskripsikan kejadian tanpa penafsiran lebih lanjut. Dalam 'gaya cerita', sebuah kalimat dibaca secara tafsir, pembaca berusaha memahami adegan dengan menggunakan imajinasi yang digiring oleh naskah.

Coba aja bayangin adegan ini: si pria MEREMAS tangan Aras, di suatu toko. Untung aja ngomongnya nggak gini, "Tangan yang kuat, ya boooo,..." (gedubrak.com)

Saya temukan banyak kekeliruan semacam itu di sekujur novel, sehingga semata susunan pengkalimatan yang dibikin oleh pengarang jadi gagal untuk mendeliver cerita sebesar ide yang dimilikinya, bahkan menggiring ekstra tafsir yang terkadang menggelikan, seperti contoh di atas.

So, gimana supaya kalimat di atas tidak disalah-tafsirkan sebagai 'gay novel'? (tentu saja, kita tidak usah capek-capek memikirkan hal ini bila si pengarang memang meng-intensikan novelnya sebagai 'queerlit'! Ha ha, tapi saya kira bukan itu intensi pengarang, tentunya?)

Tentu saja, pengarang musti memperhatikan setting dan cara berinteraksi yang tepat, dan pada akhirnya memilih istilah yang tepat. Saya akan memberi alternatif semacam ini:

Di samping Aras, seorang pria berbaju zirah--dengan tinggi badan yang tak melebihi pundak Aras-- tiba-tiba berhenti di sisinya dan mengamati tangan Aras penuh minat. Lalu tanpa permisi ia meraih pergelangan tangan Aras dengan pegangan sekuat penjagal sapi. Aras meringis kesakitan sekaligus keheranan, dan mencoba melawan dengan menarik lepas tangannya. Si Baju Zirah justru tertawa girang dan membetot tangan Aras lebih kuat lagi, membuat Aras harus mengerahkan tenaganya lebih besar lagi. Terjadi tarik-menarik yang cukup ulet, sampai akhirnya Si Baju Zirah melepas tangan Aras sembari terbahak, "Ha ha ha, hebat kau, nak! Tangan yang kuat, cukup kuat untuk mengangkat pedang atau tombak!" ujarnya dengan nada memuji yang tulus.

Pelajaran ketiga, adalah bahwa pembaca tidak bisa dijejali dengan terlalu banyak nama. Saat pengarang mengintrodusir SETIAP nama kepada pembaca, pembaca harus membuka file ingatan guna memasukkan nama itu dalam konstelasi cerita. Kenapa, sebab pembaca harus mengingat tokoh tersebut, apa posisinya, apa perannya, dalam cerita, ketika menjumpai nama itu seratus dua ratus halaman sesudahnya. The bad di Cardan, adalah terlalu banyak nama yang tidak cukup diikat dengan konteks, akibatnya terlalu banyak open file di kepala pembaca, yang membuat pembaca menjadi mudah tersesat.

Tata penamaan terkesan masih separuh asal. Pengarang menciptakan konvensi tiga nama untuk kebanyakan tokoh-tokohnya, seperti Aras Boma Palawa, Divin Shinta Wordane, Zavier de Voco dan lain-lain. Tapi sungguh sulit mengingat rangkaian tiga nama tersebut karena pengarang tidak punya konvensi mengenai cara mengintrodusir nama-nama tersebut.

Umumnya, nama-nama rumit/ kompleks harus diintrodusir seawal mungkin, setidaknya pada saat tokoh bersangkutan pertama kali dihadirkan oleh pengarang di panggung cerita. Dalam novel ini, nama Putri Divin termasuk yang diintrodusir pada saat yg tepat. Tapi jangan lah menghadirkan nama lengkap tiga kata itu setelah melewati sekian puluh halaman, guaranteed, pembaca akan sulit mengingatnya. Sebagai contoh, nama Aras Boma Palawa baru muncul di bab 3, sebelumnya hanya Aras saja. Dan kemunculan nama lengkap itupun tidak memiliki signifikansi apa-apa, muncul begitu saja dalam kalimat, "Pada waktu yang sama di dalam hutan Dio, Aras Boma Palawa merebahkan tubuh di tanah yang dihiasi pepohonan yang luar biasa besar dan lebat".

Di luar konvensi nama-tiga-kata, saya juga punya problem dengan nama asal caplok. Bagaimana sebuah nama ARAS BOMA PALAWA, bisa hadir di setting Cardan ini? Bagaimana bisa ada nama SHINTA di antara DIVIN WORDANE, gimana ada nama ZAVIER DE VOCO? Apakah setting novel bersentuhan dengan budaya India atau Spanyol? Belum lagi inkonsistensi nama-nama panggilan. Aras dan Divin dipanggil berdasarkan nama depannya, tapi Voco, dipanggil berdasarkan nama belakang.

Demikian juga dengan konsep locale yang agak sulit dimengerti, dan tak dijelaskan lebih jauh sehingga membingungkan pembaca, seperti:

Apa itu Garinka, sebuah benua, atau Kerajaan? Apa hubungannya dengan kerajaan Tolan, lalu ada kerajaan Memoard, ada Sync, ada Zonega? Ada pula nama Hinkal di dalam kerajaan Tolan, apakah maksudnya nama Kota Hinkal? Nama-nama tempat ini tidak dilengkapi dengan penjelasan yang memuaskan, setidaknya untuk memudahkan pembaca dalam membayangkannya.

Tampaknya memang pengarang menggunakan strategi 'imajinasi tak terbatas' dalam mengarang nama-nama di novelnya, sehingga seakan-akan nama-nama itu diambil secara sembarangan, dari berbagai sumber. Beberapa nama malah mengesankan bahwa pengarang menggunakan buku manual komputer sebagai referensi penamaan, tengok aja nama-nama: Sync (dari Synchronization), Memoard (seperti Memory, kan?), Links (pranala), Ada Hinkal 'Core' (Core duo?), Logite (Logitech?), Alt (liat, di keyboard lo tuh!). Yah, sebagai proses kreatif sih, nggak salah-salah amat. Tapi setidaknya tetap harus ada reasoning yang memadai dalam proses pengarang menciptakan nama-nama untuk digunakan dalam universenya. Paling dikit, ya agar bisa mensustain 'believeability', dah.

Misalnya, menggunakan nama-nama yang diambil dari dunia komputer seperti di atas, untuk setting novel sci-fi atau techno-thriller. Atau menggunakan nama-nama binatang untuk setting semi fabel (contohnya di novel Anansi Boys-nya Neil Gaiman). Kesesuaian semacam itu akan memudahkan imajinasi pembaca, serta memberi nuansa 'aura' yang pas buat novel.

Lantas, apa sisi positif Cardan?

Satu hal yg bisa saya sebutkan, plot (dalam pengertian yang amat-amat-amat-amat dasar) cukup memiliki daya pikat, dan ada ide 'besar' di belakangnya. Kalau bicara susunan plot, Cardan cukup standar buat kisah-kisah Fantasy, bahkan plot Cardan menjadi lemah akibat kurang kuatnya hubungan sebab-akibat digelar di dalam jalinan kisah novel ini. Tapi pengarang memiliki beberapa cabang plot yang tak biasa, yang cukup memberikan kejutan kecil. Antara lain pengkhianatan Raja Links, yang walaupun motifnya terasa ngga substansial, telah membuat novel ini memiliki 'warna' yg beda. Demikian juga keberanian pengarang untuk mengakhiri novelnya dengan situasi tragik, sesuatu yang jarang dilakukan oleh penulis kita.

Tentu maksudnya dapat diraba, yaitu dengan tragik ini, pengarang berharap untuk menumbuhkan rasa penasaran yang kuat di sisi pembaca, agar termotivasi untuk membeli sekuelnya. Dan saya pikir itu strategi yang cukup bagus.

Sayang sekali, strategi itu tidak berhasil 'mengugah' buat saya, dikarenakan sekujur novel telah dikerjakan secara too bad, badly written sehingga saya tidak berselera bahkan untuk membacanya ulang, alih-alih ngikutin serialnya sampai selesai. Seperti koki yang punya bahan-bahan makanan yang bagus dan mahal, tapi ngga bisa memasak dan mencampur bumbu yang enak. Hasil akhirnya ya tetep aja orang jadi ogah memakan masakannya.

Kan jadi sayang, ya?

Buat pengarang, selamat, karya pertama anda sudah eksis. Emang (karya yang ini) masih belum bagus buat saya, tapi bukan berarti anda ngga bisa menelurkan karya bagus di masa mendatang. Terus aja perdalam skill menulis anda, belajarlah sama ahlinya! Sukses, dah!

Salam,

FA Purawan