Sabtu, 26 Juli 2008

DREAM OF UTOPIA: Maiden of Tears (Sammy Balladrom - 2008)

Data Buku:
Penerbit: Diwanteen
Editor: F Assegaf & Achmad Rifki
Setting & Layout: mps creativa
Sampul: Faisal Rangga
Tebal: 565 halaman.

Mimpi, adalah langkah pertama seorang manusia memasuki dunia fantasi. Ga berlebihan anggapan itu, mengingat di situlah gerbang pertama kita menyadari bahwa ada 'dunia' lain di balik dunia yang kita kenal. Dan di 'dunia' itulah kita mulai mengalami sebuah dunia yang tanpa batas wilayah, tak berbatas ruang dan waktu, di mana kita bisa menjelajah tanpa halangan, satu-satunya pembatas hanyalah ketika tiba waktu pagi :)

Mimpi, adalah Fantasy dalam bentuk yang paling dikenal oleh umat manusia.

Tak heran, bahwa banyak kisah Fantasy yang lekat dengan dunia mimpi. Mungkin cerita Fantasy paling awal yang saya kenal yang terkait mimpi ini adalah kisah Alice in Wonderland. Dan tentunya, masih banyak kisah Fantasy yang punya hubungan lekat dengan mimpi. Dan seluas dunia mimpi itu sendiri, kupikir apa yang bisa digali dari dalamnya sebagai bahan pembuatan cerita Fantasy bisa dianggap tak terbatas, seluas imajinasi manusia.

Dream of Utopia, sebuah novel perdana dari pengarang yang baru lulus SMA, Sammy Balladrom, termasuk salah satu yang menggali dunia mimpi ini secara kreatif.

Tersebutlah Alvernod Wolfric, dipanggil Verno, seorang remaja di kota Magestone, USA, yang mendapatkan sebuah tawaran aneh, untuk bergabung dengan dunia mimpi Dream Utopia, dimana setiap anggotanya bisa keluar dari mimpi mereka yang semu, dan masuk ke dalam mimpi yang nyata (maksudnya realistik). Di Dream Utopia, mereka dapat mengalami sebuah dunia alternatif yang memukau, alam yang amat berbeda, Elfa, Animala, Planta, dan kekuatan-kekuatan sihir. Setiap kali mereka tidur di alam nyata, akan terbangun di Dream Utopia. Dan sebaliknya, bila tidur di Dream Utopia, akan terbangun di Dunia nyata. Dan bonusnya, tubuh tetap segar seperti biasa. Dan advantage-nya, di dunia Dream Utopia, kamu akan tetap mengingat segala hal yang terjadi baik di dunia nyata maupun di Dream Utopia, sementara disadvantage-nya, di dunia nyata kamu akan melupakan apa yang terjadi di Dream Utopia (Now, why would somebody want to have that, beats me! Apa gunanya bermimpi indah kalo gak bisa mengingatnya?).

Ini premis yang sangat menarik, dan easily sangat workable untuk dikembangkan dalam sebuah novel. Gini dong, bikin ide, gak usah susah-susah, gak usah grande-grande-an, sederhana tapi langsung bisa nge-gas. Berkahnya, penulis bisa lebih concern mikirin aspek kepenulisan untuk membuat ceritanya menjadi lebih memikat pembaca.

Membaca Dream of Utopia, saya sungguh terkesan. Pengarang memiliki kemampuan bertutur yang lancar dan terang, dengan balancing yang pas antara action, narasi dan dialog. Pengarang memang memilih setting non Indonesia, dengan alasan yang hanya diketahuinya sendiri mengapa. Tapi penerapan setting non-lokal (dalam hal ini nuansa negeri paman Sam) berhasil diterapkan secara baik dan natural. Kalo saya bilang bahwa kesannya persis seperti membaca novel terjemahan dari pengarang luar nagri, jangan buru-buru anggap itu sebagai komplimen, karena buat saya bisa nulis kayak orang bule itu nggak terlalu membanggakan. Menjadi komplimen ketika saya merasakan tulisan Sammy lancar tanpa memaksa, sekalipun bersetting bukan Indonesia. Artinya pengarang sudah melakukan balancing yang amat baik untuk menjaga agar tulisannya dinikmati secara konsisten dan koheren. Ada banyak karya tulis lokal yang secara aneh memposisikan orang Amerika seperti berpikir dan bertindak secara Indonesiawi (kalau orang indonesia berpikir dan bertindak secara Amerikawi, itu udah gak aneh lagi sekarang, hehehe). Rasanya style menulis pengarang sudah bebas dari kesalahan-kesalahan gegar budaya, seperti penulisan dialog "Dong, Deh" dan semacamnya dalam setting yg supposedly non-Indonesia, dan juga berhasil membuat bahasa percakapan dalam dialog menjadi tak terlampau kaku atau 'maksa'.

Hanya ada sedikit banget kesalahan, yang hanya mungkin dipersoalkan oleh mulut-mulut cerewet macem gue punya, hehehe. Misalnya penyebutan Mrs. untuk tokoh-tokoh gadis yg masih pada remaja (kudengar cukup lazim untuk kesopanan? tapi karena konteksnya disini penyebutan kepada mereka selaku siswi, mustinya yg lebih tepat adalah Miss). Kemudian nama Verno, dipanggil singkat sebagai "Ver,.." koq rada aneh untuk orang Amerika. Mustinya sebagaimana nama Dalton yang dipanggil "Dalt,", Verno juga lebih cocok dipanggil, "Vern,"

Selebihnya, cukup perfect. Dan kelebihan lain yang saya rasakan adalah keberhasilan Sammy untuk membuat "page turner", alias novel yang membuat kita mampu membaca terus dan gak terasa membalik halaman demi halaman. Membaca Dream of Utopia, sekilas terasa bagaikan membaca Harry Potter, dan ITU adalah sebuah komplimen!

Proficiat juga untuk dunia fantasi yang diciptakan oleh Pengarang. Benar-benar dunia yang dipenuhi imajinasi. Dunia Dream Utopia adalah bagaikan dunia dongeng, dan pengarang berhasil menggambarkan itu melalui deskripsi yang amat kaya, melibatkan warna-warna, bentuk-bentuk fantasi, hewan fantasi, sampai dengan konsep fantastik (misalnya rumah pohon raksasa Yggdrasil yang terdiri dari ribuan kamar). Begitu mudah dibayangkan oleh pembaca, sekaligus rasanya begitu mudah divisualisasikan secara indah oleh seorang ilustrator kompeten. Dan yang penting, saya merasakan bahwa semua khayalan itu memang hadir pada tempatnya, tidak terasa seperti mengada-ada atau tempelan (biasanya terasa demikian apabila sistem logikanya kedodoran).

Mari saya ambilin contoh:

Terbentang luas hamparan rumput hijau kebiruan--hamparan rumput di dalam sebuah pohon raksasa--memantulkan sinar matahari dari embun-embun yang menggantung di ujung rumput. Bunga peony, chrysanthemum, hyacinth, hydrangea biru dan merah jambu, jasmine, anggrek, ros, melati, dahlia, kamboja, dan berbagai bunga liar menjalar menguasai seluruh bebatuan dan pilar-pilar menjulang--seolah menunjukkan keanggunan luar biasa yang mereka miliki. Patung-patung berbentuk animala dan elfa tersusun rapi mengelilingi lingkaran tengah pohon.

Sebuah kolam besar terlihat tak jauh dari hadapan mereka, dikelilingi oleh tujuh kolam segitiga yang lebih kecil, airnya sebening kristal, serta memunculkan pelangi lengkung sempurna di atasnya. Puluhan ikan melompat dari dalamnya, ikut menghirup udara segar yang ada--menyapa mereka dengan kombinasi warna bagai lukisan seorang maestro. Beberapa Elfa berpakaian gaun mengkilap bermain berpasangan, membentangkan sayap-sayapnya yang mungil, melayang menyenangkan di atas permukaan rumput. Kelinci dan tupai berjalan kesana-kemari, melompat dengan riang. Lapangan rumput ini dikelilingi pilar-pilar cokelat, membentuk lingkaran pohon yang tingginya entah berapa lantai. Pohon raksasa ini terlihat bagai tabung berongga. Di kiri-kanan terlihat lorong lebar--sebenarnya membantuk lorong lingkaran--berlantaikan marmer, campuran warna coklat dan peach.

(suasana di dalam Yggdrasil, hal. 158-159)



Masih banyak yg lebih bagus dari ini, cuma saya males ngetikin semuanya, hehehe,.. mendingan baca aja bukunya sendiri. Dan rasanya ini novel layak baca, kalaupun sekedar cuma ingin menikmati penggambaran dunia Dream Utopianya aja! Wisata Fantasi, adalah salah satu elemen daya tarik yang hanya ada di genre Fantasy. Pengarang cukup pandai untuk memanfaatkannya semaksimal yang ia bisa.

Hal lain yang patut dipuji dengan dua jari jempol adalah kreativitas Pengarang dalam memberi nama-nama, terutama nama-nama property dalam dunia Dream Utopia-nya. Pengarang mampu memadu-padankan istilah-istlah bahasa Inggris menjadi suatu nama baru yang tetap konsisten dengan konsep baru yang dinamainya itu. Penamaan ini memberi excitement tersendiri dalam konteks fantasy, serta memunculkan definisi khas yang langsung lekat dalam imajinasi pembaca. Lihat beberapa contoh berikut ini:

Eleafator: magic lift yang terbuat dari anyaman daun
Aerosnake: Ular raksasa bersayap, bisa terbang, sering dipakai sebagai sarana transportasi udara
Elfiend: Elf yang berasal dari Dark Utopia, musuh Elfa
Dolphant: Animala persilangan Dolphin dan Elephant, berbentuk lumba-lumba yang memiliki gading, dipakai sebagai sarana transportasi air.

Pengarang juga memiliki sistem sihir yang cukup solid, disebutnya sebagai Natural Arts yang terdiri dari:

Hydromancy
Pyromancy
Aeromancy
Psychomancy

Tentunya masing-masing terkait dengan elemen yang diwakilinya: Air, Api, Angin, Jiwa.

Pendeknya, untuk buku yang satu ini, pengarang tampak sudah mempersiapkan Universenya secara lengkap dan detail, satu hal yang sangat saya puji untuk sebuah karya literasi Fantasy.

Selain setting yang unik dan komprehensif, jangan lupakan karakter-karakternya. Untuk karakter ini menurut saya sudah cukup standar dan bagus. Ada Verno si tokoh utama, Marsha yang juga menjadi lead role, Claire yang cerdas, Fantasia (Fan) yang artis penyanyi terkenal, dan masih banyak tokoh lain manusia maupun Elfa yang tampil cukup sesuai porsi masing-masing, membentuk susunan cast yang cukup menghidupkan cerita. Miriplah dengan tipikal tokoh-tokoh ala Harry Potter, sekalipun mungkin dalam hal karakterisasi masih kalah matang. Untungnya, hal ini masih bisa dikejar dan dikembangkan dalam novel sekuel. Setting yang solid akan sangat memudahkan hal ini.

Lantas apa yang bisa saya utarakan sebagai masukan?

Well, sebagai sebuah karya perdana, rasanya terlalu too good to be true, ya, kalo gak ada kelemahan? Hehehe,... menurut saya sih ada sedikit kelemahan yang bukan bersumber dari kemampuan pengarang dalam menulis atau berfantasi.

Di bagian-bagian awal, tempo cerita terasa enak melaju, dengan actions yang cukup memikat walaupun latar belakangnya kurang dijelaskan. Tak apa, sebab pembaca sadar bahwa cerita masih baru mulai. Memasuki bab Ujian ke Dream Utopia (masuk dunia mimpi rupanya harus diuji dulu), plot tambah memikat. Walaupun logika saya sempat berkali-kali terchallenge, berkali-kali pula saya menegasikannya, memaklumkannya semata karena emang lagi enak ngikutin ceritanya aja. Apalagi saat masuk dunia Dream Utopia secara utuh, wuah, saya sampai terkagum-kagum. Kira-kira sampai pertengahan buku setebal 500-an halaman ini.

Pas sampai pertengahan,.... (biasa, syndrom buku tebal!), mulai terasa slowing down. Aspek penceritaan tetap bagus, sih, cuma sebagai pembaca saya mulai bertanya-tanya. Ada cukup banyak pertanyaan yang saya ucapkan, antara lain (1) apa sih tujuan dari plot-plot ini? (2) mengapa rasanya mulai 'aneh', (3) saat fokus-fokus mulai bergeser pada konflik dan masalah, saya jadi check back dan memperhatikan kembali apa yang sudah terjadi dan apa arah pengarang selanjutnya.

Bukan salah pengarang sepenuhnya. Biasalah dalam suatu novel, pembaca akan disuguhi hal-hal memukau di bagian depan, sebelum kemudian mulai masuk ke inti permasalahan. Setelah hal-hal ajaib di awal mulai terasa biasa-biasa aja, otomatis otak saya akan mencari-cari masalah. "Trus ngapain, neh?" begitu kali, jika si otak bisa ngomong. Akibatnya, otak mulai menguraikan segala anomali yang dirasakannya. Saya harus berulang kali mengingatkan otak saya bahwa ini dunia mimpi, anomali itu dimungkinkan oleh logika cerita. Tapi dasar otak, teteup aja ngotot.

Beberapa hal ditanyakannya,

"Aneh deh, ngapain untuk masuk Dream Utopia aja pakai tes-tes yang segitu aneh? Udah gitu, apa relevansi tes-tes itu kemudian?"

"Dream Utopia ini ada yang ngatur (merintah), ya? Dan pemerintahnya itu ternyata tukang 'tipu'! Ternyata mereka ngerekrut anak-anak itu cuma untuk dijadikan pasukan melawan Dark Utopia. Kalo gue jadi orang tua murid di Yuna, gue udah bikin petisi, tuh."

"Dream Utopia sudah berusia 20.000 tahun lebih, dan ADA yang menciptakan!! Koq ngga hal itu ngga terefleksikan dalam cerita secara memuaskan?"

"Anak-anak ini di dunia nyata udah sekolah, eh di Dream Utopia SEKOLAH LAGI! Sekolah untuk mempertahankan diri, katanya. Lhah, kenapa gue harus mau masuk dalam dunia mimpi yang sama bahayanya dengan dunia nyata? udah gitu SEKOLAH! Boy I hate that word!" (Harap maklum, otak saya memang membenci sekolah, semata berdasarkan pengalamannya selama sembilan belas tahun di sistem pendidikan RI. Well, dia memang nggak bisa disalahkan, hehe).

"Kalo orang mati di Dream utopia, di dunia nyata dia mati juga gak ya?"

Terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas, saya hanya nyengir aja menanggapinya.

"Untuk apa orang 'hidup' di Dream Utopia?"

Tek, untuk yg satu ini, terpaksa saya tercenung.

Well, mungkin di titik itulah ide saya dengan ide Sammy Balladrom gak ketemu. Saya orangnya terlalu serius, sehingga nggak bisa menemukan apa point terpenting dari all the fuss about this dream world, apabila segala alasan dan segala konflik mengenainya tidak terjelaskan secara memuaskan. Saya tahu, kadang Fantasi tidak selalu membutuhkan penjelasan. Tapi sebagai pembaca, saya paling malas kalau masih ada ruang-ruang kosong di kepala saya.

Ada orang bikin sebuah dunia mimpi Dream Utopia dua puluh ribu tahun yang lalu, untuk motivasi yang belum dijelaskan, dan lantas ada dunia lawan berupa Dark Utopia, yang mati-matian berusaha menerobos portal ke Dream Utopia untuk maksud yang juga kurang jelas. Bahwa Dark Utopia juga dianggap the bad guys, okelah. Tapi penjahat di dunia nyata aja ada alasannya kenapa jadi penjahat. Kemudian selama ini Dream Utopians merekrut warga Magestone melalui surat bersampul hijau itu, kenapa? Masih menjadi pertanyaan menggantung.

Gara-gara pertanyaan tersebut, upaya saya menikmati setengah buku ke belakang terus terang menjadi terganggu. Bukan salah pengarang, tapi salah saya sendiri. Gara-gara itu, konflik utama novel mengenai usaha para Guardiana mengantar Maiden of Tear ke Havarma Coast menempuh kesulitan (yg rasanya merupakan semacam ujian juga, karena sebetulnya mereka bisa lewat jalur lain yang lebih nyaman) guna menutup Portal, menjadi perjalanan yang tak terlampau menarik lagi bagi saya. Itulah jeleknya otak saya. Ketika masalah utamanya belum diaddress secara memuaskan, otak saya langsung menegasikan hal-hal lain sebagai sekedar tempelan belaka.

Padahal, apabila saya membaca tanpa prasangka apapun, jalinan cerita tetap merupakan kisah memukau yang sulit dicari tandingannya. Dream Utopia menetapkan siapa Maiden of Tear yang ke tiga belas, kemudian melakukan ujian (lagi) untuk mendapatkan Guardiana, kemudian Maiden of Tear dan Guardiana menempuh perjalanan berbahaya, memasuki alam Dream Utopia yang semakin ajaib, memecahkan berbagai persoalan, sampai akhirnya showdown melawan pasukan Dark Utopia di portal Havarma Coast. Padahal ada Treetop Lodge, padahal ada Lake of Undine (yang demikian imajinatif), padahal ada paduan suara Fan dan Syrenia yang memukau (sayang menyanyinya pakai bahasa Elfa yang kurang meyakinkan. Kalo dibikin pakai bahasa Inggris dengan makna yang pas, kurasa akan jauh lebih menggetarkan!), adegan klimaksnya juga terasa a wee bit keburu-buru, padahal ini sebuah kisah seru, sebetulnya :)

Jadi, kesimpulannya sebagai masukan saya: kalau pengarang berkenan memuaskan otak saya, please kembangkan sebagian plot untuk memperjelas misteri mengenai Dream Utopia yang belum tersingkap ini. Kenapa semua hal menjadi seperti sekarang. Tapi kalo gak berkenan, ya ga apa-apa juga, sih. You already have a great story :)

Sebagai penutup, saya mo kritik dua hal yang kurasa bukan porsinya Pengarang, tapi porsinya Penerbit.

Pertama mengenai sampul, yang kurasa sangat tidak do justice terhadap naskah top notch-nya pengarang ini. Ilustrasi sampul berupa gambar kepala cowok yang tiduran di rumput sambil menutup matanya. My God maksudnya apa? Ekspresi anak itu seperti anak bule yang lagi mikir "Cilaka, gue lupa ngerjain PR Mrs. Easton,", atau mungkin ekspresi si bintang basket yang lagi nyaris pingsan dan mimisan akibat kehantam bola basket di kepala. Nggak banget!! Font judul terlalu tipis dan kurang kontras (warna hijau keemasan di atas latar belakang warna hijau), sehingga ngga langsung terbaca di antara deretan buku di rak pajang. Cover belakang berisi sinopsis kepanjangan yang ditulis dengan huruf berfont ukuran 6 point, kali. Nggak kebaca di mata gue yang udah plus-minus-silindris ini!

Jangan salahkan pengarang, bila penjualan buku kurang menggembirakan. Itu akibat dari bad cover design!


Pokoknya, desain cover Dream of Utopia ini bener-bener merusak jurus "Judge by the Cover" gue, karena pertama kali ngelihat, jujur gue ngerasa ni buku 'murahan' banget, pasti ceritanya norak. Dan amboi ketika saya salah 100 persen, maka kesalahanku itu aku timpakan back-to-back pada desainer sampulnya! He he he,... (sorry ya mas ilustrator, saya tahu pemilihan gambar sampul bukan semata-mata ada di Anda, koq).

(Kalau saya ditanya ilustrasi apa yang pas buat sampul buku ini? Jawaban saya udah pasti: Gambar Pohon Yggdrasil, yang dilukis oleh ilustrator Fantasy yang kompeten.)

Yang Kedua, adalah mengenai Judul: Dream of Utopia.

Pertama baca judul itu di rak pajang, saya sempat mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang janggal. Kupikir-pikir lagi makna kata-kata itu menjadi, "Memimpikan (suatu) Utopia", tapi mustinya inggrisnya adalah Dreaming of an Utopia. Atau mungkin "Mimpinya si Utopia", koq masih aneh ya? Ah! Pokoknya itu terasa seperti Bahasa Inggris yang 'salah', aja.

Lantas di dalam bukunya, pengarang secara konsisten dan benar selalu menuliskan Dream Utopia, bersanding dengan Dark Utopia, atau Orientation Utopia, which is kuanggap benar karena masing-masing jelas menyebutkannya sebagai suatu nama tempat yang memiliki properti sifat-sifat tertentu.

Dan belakangan, aku dapat statement dari pengarang bahwa judul aslinya memang Dream Utopia, tapi kemudian 'curiously' disampul tercetak Dream of Utopia dengan sub judul: Maiden of Tears (Di halaman dalam aja masih tercetak judul original, Dream Utopia (Perjalanan di Dunia Mimpi)).

Aku nggak tahu kenapa dan darimana sang Penerbit punya ide se-misleading itu, tapi dugaan sementaraku saat ini adalah bahwa ini merupakan usaha para Agen Dark Utopia yang sedang menjalankan misi mencegah buku Dream Utopia laris di kalangan penggemar Fantasy (halah!)

Well, demikian aja kritiknya. Sedikit, khan? Kurasa dengan segala kelebihan dan pesona yang dimilikinya, nggak berlebihan bila untuk saat ini, Dream of Utopia karya Sammy Balladrom aku nobatkan sebagai The Best Fantasy in my List, menggeser posisi Ledgard, untuk sementara.


So, untuk Sammy, selamat datang penulis Fantasy baru Indonesia! You have a great work! Lanjutannya kami tunggu.

Untuk temen-temen penggemar Fantasy, kurasa tidak salah kalau aku rekomendasikan buku ini untuk dibaca. Layak beli, juga lah. Please support para pengarang potensial dengan membeli bukunya, jangan minjem atau nge-ebook. Biar gimanapun, kalo ga ada profit, ga mungkin bisa terbit kisah lanjutannya, dan kita juga yang rugi. He he he,...

Salam,


FA Purawan

Minggu, 06 Juli 2008

ENTHIREA: Pertempuran Dua Dunia (Aulya Elyasa - 2008)



Enthirea,

Kalo temen-temen kemudian merasa terkenang pada yang ijo-ijo royo-royo, jangan keburu merasa heran dulu, atau lantas mendaftarkan diri pada paguyuban Green Peace, atau World Wildlife Fund, ato lebih ekstrim lagi, ke majalah Trubus.

No, it's only your uncosciousness' kicking in. Kalo anda tau-tau mikir yang ijo-ijo, itu kemungkinan karena Enthirea adalah otak-atik 'kreatif' dari kata: Anthurium, tanaman berdaun hijau lebar yang bikin banyak orang jadi sinting dan nekat membeli dedaunan dengan harga milyaran. Nah kalo kebeneran ada ulet ga sengaja jatoh ke pot anthurium itu dan memakan sedikit daonnya, tuh, si ulet baru aja makan makanan ulet TERMEWAH sedunia! He he he,...

Coba deh, mirip khan? Enthirea, Anthurium,...

Boleh aja dibilang sebagai kreativitas, namun sadly, that's the only thing 'creative' about this book.

(He he he, mungkin gue memang a bit exagerated. Okelah, masih banyak kreativitas lain. Tapi akui aja, kalimat di atas itu memang provokatif dan atraktif, khan?)

Pengarang, Aulya Elyasa, adalah seorang Psikolog berusia 25 tahun, yang sekalipun sudah banyak berkecimpung dalam dunia penulisan, antara lain berupa puisi, psikologi populer dan fiksi fantasi, menyatakan bahwa Enthirea adalah novel pertamanya, yang direncanakan akan terbit sebagai Trilogi. Punya moto: CARPE DIEM (mottonya alm. Fuad Hassan juga, yach?), dan saat ini sedang menyelesaikan buku kedua Enthirea: Delapan Pelindung.

Which is, menjadi saat yang tepat untuk buru-buru menginformasikan review ini kepada beliau, supaya ada kesempatan bagi pengarang untuk habis-habisan memperbaiki teknik penulisannya. Dan kalau kubilang habis-habisan, itu bisa berarti sepuluh kali battle di Helm's Deep pun belum tentu bisa memenangkan kelemahan novel ini (yang belum tahu Battle of Helm's Deep, baca dulu The Two Towers, kali ye). Well, yeah, buku satu ini memang masih merupakan karya yang 'lemah' banget. Justru menjadi pertanyaanku, apakah sebaiknya pengarang melanjutkan kelemahan yang sama ke buku dua (sehingga jadi konsisten), atau banting setir dan memperbaiki buku kedua sehingga menjadi suatu karya yang 'melompat' dari buku satu. Dilema, oh dilema,....

Enthirea adalah sebuah kisah Fantasy epik klasik dengan plot klasik: seorang nobody yang ternyata merupakan somebody yang bertugas untuk menyelamatkan everybody.

Pusing? Ala begitu aja koq pusing. Coba anggap nobody adalah 'Hobbit dari Shire', Somebody adalah 'Ring Bearer', dan Everybody adalah 'Middle Earth', sounds familiar? Sekarang ganti nobody menjadi 'Penebang Kayu', Somebody menjadi 'Pelindung', dan Everybody menjadi 'Benua Enthirea'. Jadi jelas, khan? Kalo mau motif, tambahkan seorang Dewa Kegelapan (Orgath) yang bermaksud menguasai Dunia. Dan biar rame, tambahin Elf, Kurcaci dan Goblin along the way.

And, you've got a story, right? Sayangnya, tidak sesimpel itu. Sebuah 'story' baru bisa eksis apabila ada believability. Dan untuk bisa meyakinkan dan mempengaruhi pembaca, ada banyak hal yang harus digarap. Sayangnya, Enthirea belum maksimal menggarap hal-hal ini.

OK, bagaimana saya melihat Enthirea sebagai suatu keseluruhan? Saya melihatnya sebagai sebuah karya di mana pengarang merencanakan plot dengan cukup matang, membuat kerangka cerita yang baik, tetapi tidak menyulam, merangkai dan menjahit plot itu dengan kata-kata, kalimat, dialog, narasi, dan deskripsi pilihan yang menjadikannya selembar 'kain' cerita yang memukau.

Kalau mau dirangkum, area kelemahan Enthirea ada di dalam hal-hal ini:


  1. Setting yang kurang meyakinkan

  2. Logika yang kacau

  3. Dialog yang 'corny'.

Bicara urut nomor, deh.


Untuk setting, pengarang tampaknya sudah memikirkan cukup dalam. Adanya peta di halaman belakang novel juga cukup membantu (walaupun akhirnya terasa ada kekacauan kala membandingkan peta dengan deskripsi dari pengarang. Tar kubahas). Penamaan tempat maupun tokoh juga seperti sudah memikirkan kaitan antara nama-nama tempat dengan latar belakang penamaannya, atau penggolongannya (walau tak sekompleks yang kuharapkan dari seorang penulis dewasa, tapi mungkin beliau punya alasan tersendiri terkait target pasar) demikian juga dengan nama-nama tokoh. Walau jujur, gue agak ketawa saat pengarang menetapkan tokoh utama dengan nama Elyaz, alter ego banget sih. Tapi itu normal dan hak pengarang, anyway.

Namun kelemahan setting sangat terasa dalam hal 'penghidupan' setting guna mendukung cerita, supaya cerita menjadi hidup di pikiran penonton dan setting menjadi bagian dari cerita; bukan sekedar seperti panggung tempat para aktor beraksi, atau diorama di museum-museum yang diam membeku di bawah tatapan mata pengunjung. Membaca Enthirea rasanya seperti membaca sebuah business report: Tadinya gini, abis itu gini, kemudian nantinya akan menjadi gini, tetapi masih ada gini, dst. Sibuk, dan gak sempat lihat-lihat keindahan, padahal meetingnya di Bali,... hehehe. Kembali, hiperbola ku aja sih.

Menurut saya kelemahan pengarang adalah terlalu irit dalam mendeskripsikan situasi, property, landscape, bahkan tokoh-tokoh dalam novelnya. Memang, novel ini memiliki POV orang pertama (tokoh Aku) sebagai narator cerita. POV pihak pertama cenderung membatasi daya ungkap kepada Pembaca, sebab seluruh hal di novel itu menjadi 'terfilter' oleh pikiran perasaan dan tindakan tokoh utama. Tapi POV itu tak lantas harus membuat deskripsi menjadi minim, kan? Padahal sebagai novelis fantasy, pengarang punya tugas yang obvious, yaitu menghidupkan fantasi pembaca!

Dan Goblin! Kenapa masih pada ngotot menggambarkan Goblin sebagai sosok Orc? Goblin itu mempunyai gambaran tipikal seperti kakek-kakek cebol berkepala besar, bukannya monster besar berkulit gelap. Melihat 'kekeliruan' sosok Goblin ini, kemudian keberadaan Dark Elf, mungkin pengarang terinspirasi dari konfigurasi rasial yang ada di novelnya Ataka. Atau kalo gak gitu, berarti ada deskripsi ganda mengenai goblin ini di dunia mitologi barat.

Bicara point 1, Setting, saya hanya dapat mengatakan bahwa Pengarang belum berhasil mengolah settingnya menjadi suatu bangunan yang believable, dikarenakan -mungkin- oleh deskripsi yang minim. Kalau mau diperbaiki, mungkin dengan memperkaya detail dan menguatkan relasi setting dengan tindakan para tokoh. POV orang pertama sesungguhnya cukup potensial untuk mendeliver setting secara detail sekaligus berimbuhan emosi dan nilai sesuai karakter tokoh utama, bisa detail sekaligus unik. Di tangan pengarang yang mumpuni, Fantasy POV orang pertama bisa menjadi feast yang luar biasa. Tentunya untuk itu, diperlukan sistem logika yang 'masuk akal' sebagai perekat dan penjelas.

Logika, nah ini yang kacau abbasss,... saya akan menjabarkan melalui beberapa contoh:

Pada penyerangan Faerun, dikatakan pasukan penyerang terdiri atas 3000 infantry, 500 pemanah, dan 5 raksasa tempur, sementara di pihak Faerun terdiri atas 1000 sukarelawan yang cukup mampu memanah karena merupakan pemburu andal. Ditambah dengan Elyaz sebagai pelindung, Lefial dan Arvea sebagai Elf yang menguasai sihir-sihir dahsyat. So the odds will simply be 1:3 atau 1:4. Udah gitu dalam paruh pertama adegan perang, ternyata para jagoan dan penduduk Faerun sudah dapat mengeliminasi 1500 lawan berkat penggunaan sihir dan panah. Nah, sampe sini kan oddsnya sudah berubah tinggal 1:2. Tapi pengarang tetap me'nambahkan' jumlah penyerang agar terkesan overwhelming dengan menyebutkan Goblin yang berjumlah 'ribuan'.

Well, memang Faerun pada akhirnya harus jatuh, cuma pengarang kurang berhasil memberikan situasi yang logis dalam peperangan ini karena logika perangnya kurang berjalan.

Logika perang di pegunungan Arga juga demikian, sejumlah 15.000 pasukan antagonis melawan 10.000 pasukan protagonis yang diuntungkan oleh situasi alam. Kalo pengarang lebih mempelajari ilmu strategi perang terutama bagaimana sifat-sifat infanteri, kavaleri dan artileri, serta bagaimana pengaruh kekuatan di antaranya, kayaknya pengarang bisa membuat adegan perangnya lebih believable. Perangkatnya udah ada, koq.

Tapi main-main dengan angka, ini juga masih harus dipertimbangkan oleh pengarang. Bikin pasukan dengan jumlah besar, itu secara universe Fantasy, sebetulnya susah, lho. Untuk mencapai hitungan 10.000 pasukan saja, seharusnya effortnya nggak main-main, mulai dari harus mencari orang-orang berfisik sehat dengan rentang usia yg cukup (ada persoalan demografis), kemudian menyediakan tempat latihan, perlengkapan, logistik dan lain sebagainya, perang on-foot semacam itu akan membutuhkan empat-lima tahun sekedar untuk persiapannya saja!

Ambil contoh perang Mataram, yang untuk jalur perjalanan pasukan saja, logistiknya menjadi demikian besar dan kompleks, meninggalkan jejak-jejak peradaban sampai sekarang berupa kampung-kampung dengan penamaan terkait Mataram. Untuk mencapai Batavia, sekedar buat numpang lewat aja Sultan Agung harus 'menaklukkan' banyak daerah terlebih dulu, baik melalui penaklukan fisik maupun diplomatis, yang tentunya ngga cuma dalam semalam.

Dalam setting LOTR, bahkan Saruman yang mampu menciptakan "tens of thousands" pasukan Uruk-Hai, sampai memerlukan untuk menghancurkan hutan-hutan di sekitar Eisengard dalam skala yang mampu membuat Treebeard murka seketika (yang pastinya sangat cepat untuk ukuran Ents!).

Artinya, makin besar jumlah pasukan pun akan makin besar effort untuk membuatnya, termasuk effort politis, effor budaya maupun effort logistik.

Bandingkan dengan komposisi pasukan bayaran Arga yang bisa mencapai 10.000 (padahal dalam deskripsi camp-nya, tidak terkesan sampai berjumlah segitu besar). Pertanyaan sederhananya: SIAPA yang mampu membayar untuk pasukan sejumlah itu? Tidak ada kerajaan yang memerlukannya, dan tidak ada background situasi politik yang memotivasi tersedianya military reserve sampai segitu banyak. Bahkan konsep pasukan bayaran aja gak begitu jelas di novel ini.

"Tapi kan gue bikin cerita Fantasy, dimana semua kemungkinan dapat terjadi?" biasanya akan muncul pembelaan seperti ini. Well, boss, JUSTRU dalam cerita Fantasy (yang bener), pengarang punya tugas untuk menjelaskan semua kejadian mengikuti sistem logika yang dapat diterima oleh pembaca, terserah itu logika sesuai dunia nyata, atau logika ciptaan pengarang sendiri. Tanpa di-back-up sistem logika yang kokoh, alih-laih menjadi literary Fantasy, karya tersebut akan cuma mampu berada dalam kelompok 'pure-ngayal'.

Kemudian contoh lagi mengenai logika lokasi sesuai deskripsi pengarang. Ini simpel aja, sebab bisa diperbandingkan dengan gambar peta yang disupply oleh pengarang; Mengenai jalur perjalanan dari Eslunia menuju Pegunungan Arga. Lihat kutipan ini:


"Dari Eslunia, kita akan berjalan ke Utara melewati gunung Ro. Dari situ kita akan berjalan ke arah Tenggara sampai kita menemukan mata air Fianha. Perlu aku sampaikan pada kalian, sebelum mencapai mata air Fianha, kita akan melewati perbukitan Krana yang terbentuk dari karang yang sangat terjal dan berbahaya. setelah kita sampai di Fianha, kita akan meneruskan perjalanan ke Timur menuju pegunungan Arga, kalian mengerti. Apakah ada pertanyaan?"

Coba liat petanya dulu,...


Nah, kalo gue ikut di sana, gue pasti akan bertanya, "Ngapain susah-susah? kita jalan aja ke Timur terus, kemudian ke Utara dikit, pastilah ketemu Pegunungan Arga (versi Pengarang), which is beda sama versi pembuat peta!" hehehe,...

Nah kalau mau konsisten sama Peta, harusnya briefingnya sangat sederhana, "Kita jalan ke Utaraaaa,... terus, nanti ketemu lah sama pegunungan Arga!"

Inkonsistensi ini, menunjukkan bahwa pengarang agak mengabaikan aspek logika lokasi dalam novelnya. Emang sih, menggambarkan sebuah lokasi fantasi adalah hal yang amat sulit, saya akui hal itu. Belum tentu bayangan yang ada di kepala pengarang dapat terjabarkan secara tepat di pikiran pembaca. Itu sebabnya pengarang Fantasy kerap membuatkan peta imajiner untuk pembacanya. Tapi janganlah kemudian pembuatan peta itu hanya jadi faktor gimmick doang, tetap harus in-line dengan setting ceritanya.

Satu aspek logika alam juga jadi kacau di novel ini.

Pada sub-plot masalah mata air Fianha yg disabotase oleh pasukan kegelapan sehingga menjadi keruh & berbau, dikisahkan bahwa sabotase dilakukan dengan cara menancapkan semacam tongkat sihir di tengah sungai Elstran yg merupakan pelimpahan dari mata air Fianha. Nah, gak logisnya adalah bagaimana sesuatu di hilir bisa berpengaruh pada mata air di hulu.

Hukum air sudah jelas berlaku bahwa apa-apa di hulu akan berefek ke hilir, tapi tidak sebaliknya. Terserah kalo pengarang mau memainkan kartu sihir di sini, tapi setidaknya logika yg lempeng kudu tetep dijaga.

Logika menjadi semakin bubrah bila mengingat bahwa sabotase ini membuat mata air Fianha menjadi tidak enak diminum, sementara air minum suppose to be diambil langsung dari sumbernya, dan sumbernya dikatakan tidak tercemar!

Jadi, pengarang ingin membuat situasi di mana pencemaran di hilir membuat rasa air di mata air (yg tidak tercemar) menjadi rusak! Sungguh nggak kena ke logika mana pun. Kenapa nggak dibikin saja bahwa mata airnya yang memang disabotase. Toh pengarang dapat saja membuat posisi mata air tersebut berada dalam gua yang jauh di dalam tanah, yang rupanya sudah dikuasai musuh, dan kemudian musuh menancapkan tongkat sihir di situ bla, bla, bla. Itu jauh lebih masuk akal.

Masih ada gegar logika yang lain, misalnya bagaimana jagoan yg terkepung koq bisa begitu saja meloloskan diri dengan berlari (biasanya meninggalkan comrade in arms nya dengan melodrama, "Cepat! Selamatkan dirimu! Kau terlalu penting untuk mati! Dan seterusnya lo pasti dah tau dah! Kalo lo mati sekarang, sekuelnya bakalan gak terbit!") dan seolah-olah di saat itu para pengepung seperti memutuskan untuk berkumpul di satu sisi saja dan memberi peluang pada si jagoan untuk lolos tinggal glanggang colong playu...

Terus Elf Hitam Zatra yang merampok Elyaz di tengah hutan, jebul-jebule adalah seorang jendral intelijen dari kerajaan Elf Hitam. Kalo temen-temen nanya ngapain seorang jendral nyambi jadi perampok di hutan? Gue mungkin cuma bisa jawab: sejak BBM naik, apapun bisa terjadi, man!

Terus ada adegan si Zatra ini, yang mampu bergerak secepat The Flash, menggunakan kesaktiannya untuk melenyapkan debu-debu pasir beterbangan menutupi pandangan, dengan cara berlari cepat mengelilingi debu sehingga debu-debu itu terangkat ke udara dan hilang. Well, satu hal yang lupa dipikirkan, debu kena angin, bukannya menghilang malah makin kacau semuanya, lah! Angin yang mengangkat debu di tengah justru akan menyedot debu dari samping dan seterusnya,...

Need I say more? Cyukyup, kali ye,...

Lalu mengenai dialog yang saya bilang 'corny'.

(BTW, corny itu apa sih, kak?)

Naaa, itu juga yang gue kagak tahu percis. Masak, dialog kayak 'jagung'? He he he, dasar gue sok pakai istilah asing yg gue gak tahu artinya. Tapi terserahlah, buat gue dialog di Enthirea tidak terasa enak dicerna, dan banyak yang terasa dipaksakan. Kalau boleh menduga, sepertinya karena Pengarang terlalu kompulsif menyebut nama tokoh dalam dialog.
Ini buat contoh, tapi imajiner aja ya, supaya bisa hiperbolis dikit :)


"Gunsa kau hendak kemana?"
"Elyaz aku hendak ke tebing itu."
"Gunsa untuk apa kamu ke tebing itu?"
"Elyaz aku ingin mengamati matahari terbenam"
"Gunsa maukah kau kutemani"
"Boleh saja Elyaz"
"Ehm, Gunsa, betapa indahnya matahari terbenam"
"Betul Elyaz, ha ha ha"
"Gunsa apa yang kau ingat"
"Elyaz aku teringat kampung halamanku"


Sampai sini, udah eneg, belum? Berasa sinetron latino gak seh? Apakah setiap bicara kita 'wajib' menyebut nama lawan bicara? Cukup banyak dialog dibabar dengan cara seperti itu, sampai pada porsi ter-notice oleh ku dan membuatku ingin menjedot-jedotkan jidat ke tembok kamar. Sumpah gue nyaris gak percaya kalo yang menulis dialog seperti ini adalah bukan seorang anak SMP berusia 14 tahun bernama Ataka. Wait,... Ataka bikin dialog way better than this!

Kurasa, banyak sekali yang harus diimprove oleh pengarang dalam hal merangkai dialog. Selain kekurang wajaran dalam menyebutkan nama-nama person terlampau sering, sebagian besar dialog dalam novel juga belum berhasil mendeliver emosi dan motivasi dari pengucapnya, dengan demikian dialog tidak berfungsi membangun karakterisasi para tokoh. Oleh karenanya, tokoh-tokoh di novel ini jadi terasa dangkal, terlepas apakah itu merupakan intensi pengarang atau tidak.

Sekedar pendapat pribadi saya aja: menurut saya dialog adalah nyawa sebuah novel, yang sangat mencerminkan ciri khas gaya seorang pengarang. Mungkin saja banyak pengarang bisa menghasilkan gaya yang 'mirip' saat menuliskan deskripsi suatu lokasi, misalnya. Tapi kalau sudah bikin dialog, biasanya ciri khas penulis itu langsung muncul. Dan dialog pun mampu menggambarkan banyak hal, nggak cuma content yang diomongin sang tokoh saja. Energi peristiwa novel banyak berpusar di perihal dialog ini. So, dialog itu puenting, boss. Jadi, kalau seorang pengarang meningkatkan kemampuannya merangkai dialog, menurutku itu sudah berarti si pengarang sedang mendevelop gaya penulisan khas nya.

Buat gue, pengarang yang top banget penulisan dialognya, sampai saat ini adalah Arswendo Atmowiloto. Well, yours may vary. Ga papa. Yang penting bagaimana kita belajar dari para senior itu untuk ngedevelop gaya yang pas buat kita sendiri.

Okeh (tarik napas panjang), selain tiga faktor yang perlu diimprove di atas, kupikir Enthirea adalah sebuah gagasan yang cukup workable untuk sebuah novel. Pengarang nyata-nyata sudah membangun plotnya dengan cukup bagus, antara jalan lurus, tikungan maupun persimpangan semuanya saling terkait dan saling menunjang. Karakter masing-masing tokoh juga cukup terbangun, walaupun belum sampai pada kedalaman yang 'pas' untuk pembaca dewasa; kalau untuk pembaca remaja, udah lumayan cukup, lah. Plot twist di ujung novel pun mampu menimbulkan efek kejut pada diri pembaca dan membuat penasaran akan buku sekuelnya. Padahal, love storynya cukup kacangan sebelum plot twist itu,... hehehe,...

Bicara love story, pengarang memang menyelipkan kisah cinta antara tokoh utama dengan love interestnya, seorang putri Elf berusia 500 tahun (cinta memang gak pandang usia, man!), yang digambarkan sangat platonic, kagak ada passion-passionnya acan. Angle ini menyebabkan saya berpikir bahwa novel ini memang ditargetkan untuk pembaca remaja. Dan menurut gue sih, memang cukup pas lah buat sekitar remaja SMP-an, yang belum kenal apa itu pheromone :).

Demikian pula adegan-adegan kekerasan digambarkan cukup terkendali, dalam arti gak mengumbar darah secara berlebihan sebagaimana sering kukritik di novel-novel bertarget remaja (sic!). Cuma ada satu 'cacat' aja dalam menggambarkan hubungan tokoh Alator dengan calon istrinya Frigga, yang dikatakan "menghabiskan waktu malam dengan Frigga". Well, ga frontal nudity gitu, sich. Tapi gue berharap pengarang bisa sedikit wise untuk menghindarkan kesan "R" rating pada novel yang akan dibaca remaja-remaja SMP ini. He he he,...

Tumben, gue baru menyentuh desain cover dan ilustrasi di bagian akhir review, nih?

Well, untuk desain cover sih buat gue rasanya cuma so-so aja ya. Gak terlalu bagus, tapi masih dalam satu league dengan novel-novel bertarget bocah SMP, dengan warna-warna biru-kuning-merah menyolok. Ada gambar nemesys berbaju zirah yang mengesankan musuh besar, serta gambar empat jagoan berjajar. Di bagian dalam, ada ilustrasi empat jagoan yang sama dengan sedikit keterangan detail. Di halaman belakang ada gambar Peta Enthirea.

Cuma ada satu rasa penasaran saya aja. Desain cover dan ilustrasi dikerjakan oleh Catur Ary, yang nampaknya sudah mengerjakan sebagian besar ilustrasi untuk buku Fantasy yang ada. Dan terutama yang mengerjakan Ledgard, yg pernah aku puji. Pasalnya, koq eksekusi mas Catur di Ledgard beda banget dengan di Enthirea, ya? Di sini kayaknya kurang begitu rapih. Coba aku sandingkan contoh perbandingan berikut:

Gak tahu apa penyebabnya, moga-moga bukan karena honorarium yang beda, ya mas! He he he,...

OK kawan-kawan, demikianlah kesan saya setelah membaca Enthirea buku pertama: Pertempuran Dua Dunia. Satu hal yang ingin aku masukkan sebagai catatan penutup:

Saya tampak cerewet banget mengkritisi aspek logika dan setting dalam sebuah novel fantasy, demikian cerewetnya sampai mungkin saja pembaca (atau pengarang) akan mempertanyakan, "Untuk apa seserius itu? Santai ajalah, yang penting kan novel ini dapat dinikmati?". Seolah-olah saya 'tega' menghancurkan karya orang hanya gara-gara saya nggak puas dengan aspek teknis semacam logika dan setting universe.

Well, moga-moga sikap ini dapat dimengerti sebagai perwujudan perhatian dan caring terhadap perkembangan penulisan Fantasy lokal. Saya berangkat dari pengamatan bahwa tradisi penulisan fantasy lokal belumlah berakar kuat. Apalagi bila kita belajar dari sejarah literasi di Indonesia, genre Fantasy 'practically' baru muncul setelah euforia Harry Potter merambah dunia. Saya inget betul, Gramedia baru menerbitkan terjemahan Lord of The Rings setelah Harry Potter, dan itupun kukira ditrigger oleh produksi Film Lord of The Rings-nya Peter Jackson. Padahal LOTR sudah dianggap karya klasik Fantasy sejak puluhan tahun!

Karena 'kependekan' sejarahnya, dan minimnya referensi, wajar bila masih banyak pengarang kita belum 'grip' banget apa yang disebut dengan kisah Fantasy itu seharusnya, dan masih rancu dengan segala aspek yang berbau 'khayal' semata. Padahal Fantasy pun tetap mengacu pada pakem-pakem dasar penulisan di dalam genre apapun, yaitu bangunan setting dan bangunan logika yang 'utuh' untuk mengantarkan cerita. Perbedaannya hanya pada model bangunan setting & logikanya saja, yang masih terbuka untuk didefinisikan kembali oleh pengarang, dalam batas-batas yang masih bisa diikuti (dan dipercayai) oleh pembaca.

Dan memang, dengan terbukanya definisi, pengarang justru harus lebih serius dalam mengembangkan universe yang diciptakannya, harus lebih hati-hati dan lebih seksama. Tak seperti genre novel drama umum, yang universenya sudah tergelar dalam bentuk jadi, universe fantasy adalah ibarat kertas kosong yang harus secara hati-hati dirancang oleh pengarang. Karena kalo merancang universe-nya 'bolong', itu akan menyedot seluruh cerita ke dalam selokan 'unbelievability' bagaikan bath-tube dibuka sumbatnya. Cerita akan kehilangan kredibilitas dan kehilangan enjoyment.

Anyway, kuliahnya segini aja, gak usah berat-berat. He he he,... Kan lebih enak belajar bersama-sama, sambil nge-review karya-karya lokal yang terus bermunculan, dan berkatnya kita bisa memperbaiki karya-karya yang akan datang. Sebuah proses yang pastinya, menyenangkan!

Buat mas Aulya Elyasa, selamat datang di jajaran penulis Fantasi Indonesia, kita tunggu karya-karya selanjutnya.


Salam,


FA Purawan