Sabtu, 31 Oktober 2009

FUTATSU NO NAGAREBOSHI - Kisah 2 Bintang Jatuh (hikozza - 2009)

Dear rekan-rekan pembaca. Posting ini menandai satu babak baru dalam Blog Fikfanindo.

Setelah sekian lama flying solo, kurasakan adanya kebutuhan untuk memperluas basis reviewer pecinta Fiksi Fantasi di blog ini. Penyebabnya, karena multi-pendapat tentu akan memperkaya pembelajaran kita. Di samping itu, kecepatan penerbitan Fiksi Fantasi di negeri kita sudah mulai meningkat, review musti tampil lebih cepat, dan tangan saya sendiri tidak bisa memenuhi tuntutan kecepatan itu.

So, saya putuskan untuk menambah jajaran penulis review di Fikfanindo dengan personae-personae yang mencintai Fiksi & Fantasi dan bersedia membagi kecintaannya melalu pembelajaran bersama di Fikfanindo. Moga-moga saya bisa mengundang beberapa penulis untuk meramaikan blog ini.

Untuk yang pertama, please perkenalkan Luz Balthasaar, seorang penulis yang sudah punya reputasi cukup mumpuni di Forum Pulpen (Lautan Indonesia dot com) dengan tulisannya yang tajam namun mengandung analisis kuat. Well, seperti dia sering bilang, reviewnya bukan untuk 'big babies', dan at times, bisa jauh lebih frontal dan pedas dibanding saya, hehehe. Tapi saya termasuk penggemarnya, dan belajar banyak dari sudut pandangnya. Moga-moga kehadiran Luz memperkaya pembelajaran rekan-rekan sekalian.

Kita ucapkan buat Luz, selamat datang di Fikfanindo!

Salam,

FA Purawan
==================================
Luz B says:

Sebelum mulai mereview, aku kontributor baru blog Fikfanindo ingin mengucapkan terima kasih kepada Om F.A. Pur atas undangannya mengisi blog.

Buat para pembaca blog Fikfanindo, salam kenal dari Luz B, alias Bones, yang mulai hari ini akan membantu Om F.A. Pur membahas novel-novel fiksi fantasi Indonesia!
==================================
By Luz B

Data Buku:

Pengarang: hikozza
Penerbit: BukuKatta
Penyunting: Jody Setiawan
Desain Sampul: isthis comic
Tebal: 223 halaman


Kalau kita melihat covernya, sungguh mudah sekali meremehkan buku ini, terutama bagi anda yang merasa anggota sekte tukangcela akut atau fundamentalis manga garis keras. Gambar dua pasang tangan. Satu mengeluarkan asap putih (uap keringat?), satu lagi memegang gagang katana, berlatarbelakang lacquerwork Jepang dan tulisan judul Futatsu no Nagareboshi: Kisah 2 Bintang Jatuh, dan nama pengarangnya, hikozza (Dengan huruf "h" kecil.)

Nggak jelek. Tapi apa daya sensor apriori negatif langsung bereaksi. "Aha, novel Jepang buatan orang Indonesia!"



Buat mereka yang berpikiran terbuka, rangkaian kata tersebut diatas nggak akan menimbulkan masalah. Tapi buat dua golongan yang kusebut diatas, berani tebak deh, reaksinya gak jauh-jauh dari nyengir sambil membatin, "Yeah right."

Dan begitu kita balik bukunya... wow. Aku jamin seringai-seringai ngenye' itu bakalan bertambah lebar. Silakan lihat secuplik cerita di sampul belakangnya:

"Pernah kuceritakan pada kalian, sebuah kisah tentang sosok bermata Iblis. Sosok yang selalu menaburkan ketakutan, kengerian, bahkan kematian bagi siapapun yang melihatnya..."

Kalau dibilang pernah, ya pernahlah Bang. Samurai fiktif yang jago pedang, mantan pembantai, dan memiliki mata merah yang disebut Mata Iblis. Hmm... Sa***murai Deep***er Ky***o, kan?

Pada waktunya kita akan menyadari bahwa jalan cerita novel ini nggak berfokus pada seorang Oni***me n***o Ky***o wannabe. Namun, itu memerlukan penjelajahan sampai sekitar halaman sekian belas, dan naruh penggalan cerita yang agak bau wannabe ini membuatku mengambil buku dengan niat yang keliru: ingin ngakak melihat kekonyolan sebuah novel yang berusaha menjiplak sebuah manga terkenal.

Di lain pihak, toh buku itu kuambil. Terlepas dari apapun niatnya, a sale is a sale. Buat penerbit, itulah yang terpenting.

Jadi? Wannabe atau strategi marketing yang cerdas? Silakan tentukan sendiri.

Begitu buka sampul, aku sadar bahwa ini bukan buku yang berdiri sendiri, tapi bagian akhir dari kisah Samurai Cahaya. Sayang, pencarianku akan buku-buku sebelumnya berbuah nihil, maka sehubungan dengan itu aku nggak akan segitu gencarnya bertanya kalau ada yang tidak dijelaskan dalam plot.

Mari kita mulai dari halaman karakter. Benar-benar seperti lazim dalam sebuah manga, ada halaman perkenalan karakter. Minus gambar wajahnya, tentu. Membaca nama-nama yang tertulis di halaman itu membuatku merasa aneh. Ashikaga Tekauji. Torigawa Tokoru. Yokushimaru Yoko. Yokushimaru Natsu. Sayaka Aoki. Yoshida Maya...

Tiga nama pertama, nggak kedengaran seperti nama Jepang yang sungguhan dipakai. Terutama Tekauji, Torigawa, dan Yokushimaru. Sedikit catatan, nama-nama ini memang bisa ditulis dalam kanji, terlepas dari kanji apa yang dipakai, dan keanehan arti macam apa yang dihasilkan; "Torigawa", misalnya, akan tertulis sebagai "Sungai Burung." Aneh? Banget. Apalagi kalau yang dibayanginnya memang sengaja yang meleng-meleng.

Nama-nama ini nggak terasa Jepang otentik. Sepertinya pengarang memotong-motong suku kata dan memasang-masangnya supaya berbunyi Jepang. Kreatif, tapi kalau mau lebih berasa otentik Jepang, mungkin lebih baik pakai nama orang Jepang sungguhan pada era itu?

Dan yang kedua, Sayaka Aoki dan Yoshida Maya. Ada inkonsistensi dimana Sayaka Aoki ditulis nama dulu baru nama keluarga, sedang Yoshida Maya sebaliknya. Selain itu, kedua nama ini adalah nama orang Jepang jaman sekarang. Kalau nama perempuan Jepang yang agak bau jadul itu misalnya Oshin, Oshizu, Kaede, Haru, Kiyo, Kinue. Sama seperti di Indonesia, dulu Cut Nyak Dien sekarang Cut Tari, Cut Memey, Cut Keke, Chang-Cut-Ers, Wakakaka...

Dan terakhir, sedikit soal Yokushimaru Natsu dan Yokushimaru Yoko: Yoko dan Natsu itu setahuku nama perempuan. Kok di ceritanya cowok tulen anak-bapak?

Cerita dibuka dengan prolog yang baru ketahuan maksudnya di halaman 184-185, tapi mungkin akan menarik dan nyambung bagi orang yang sudah membaca prekuelnya. Lanjut ke tuturan tentang Shoja, si tersangka Oni***me n***o Ky***o wannabe yang kusebut diatas. Setelah beberapa paragraf menceritakan kematian Shoja, cerita langsung masuk ke salah satu alurnya, yaitu cerita tentang Sano Ryu, seorang manusia yang (katanya) bukan manusia biasa. Sano Ryu nantinya bertemu dengan anak perempuan Shoja, yang sedang melarikan diri dari ancaman orang yang membunuh ayahnya, dan di dalam perjalanan bertemu dengan sekumpulan orang yang membantunya balas dendam.

Paralel dengan alur Sano Ryu, ada hikayat Kitai, pria hilang ingatan yang ternyata seorang ahli waris keshogunan, yang lalu kembali ke kampung halamannya untuk menuntut kedudukan yang seharusnya jadi miliknya.

Baik. Kalau ada yang bertanya mengapa ada dua alur seperti itu, aku juga gag bisa ngasih jawaban selain dari mungkin ada sesuatu pada prekuelnya, atau ada hal yang direncanakan pada sekuelnya, yang memaksa novel ini jadi 2-in-1. Yep, 2-in-1; dari awal sampai akhir, dua alur itu cuma bertemu pada beberapa paragraf di halaman 47-48. Setelah itu gag jelas apa kaitannya, atau saking nggak pentingnya terlewatkan olehku.

Kesimpulan: dua kisah dalam satu buku, diceritakan bergantian, tapi tidak berhubungan.

Bagus atau jelek? Yang jelas berpotensi bikin gemes pembaca yang menunggu tanda-tanda pertemuan besar atau kaitan yang signifikan dari 2 alur bintang jatuh itu.

Untuk ceritanya sendiri, mereka yang sudah kenyang baca manga dan nonton anime bertema fantasi-samurai barangkali bakal bosan. Nggak ada hal di buku ini yang nggak bisa kita dapat dari membaca manga-manga bertema samurai.

Namun, mereka yang haus akan kisah apapun yang berlatar samurai dan Jepang feodal bisa jadi terhibur. Pasalnya, pengarang lumayan serius menyiapkan setting ceritanya. Sampe ada daftar pustaka segala yang memuat semua buku referensi yang dipakai oleh si pengarang, diantaranya buku tentang zen dan folklor; dan unsur inilah yang menyumbangkan warna fantasi timur yang subtil ke dalam latar cerita.

Kalau aku bilang fantasi disini, jangan diharapkan bentuknya berupa sihir-sihir, jurus-jurus pedang separuh khayal yang keren macam Amakakeru Ryuu no Hirameki-nya Himura Kenshin, atau makhluk-makhluk gaib (walau memang sih, cerita ini menyinggung soal tengu dan rubah ekor sembilan.) Elemen fantasi disini dimasukkan hanya sebagai latar pendukung yang subtil, berupa kejadian maupun keanehan di dalam dunianya yang bikin aku segan menjatuhkan novel ini sebagai novel samurai biasa maupun novel sejarah. So, pengarang menawarkan perspektif bahwa elemen fantasi di dalam novel fantasi nggak selalu mengambil sebagian besar center stage, dan nggak harus overt berupa sihir dan mantra dan jurus dan artefak-artefak aneh.

Elemen fantasi ini diantaranya tampak pada kekuatan "seribu kupu-kupu" Sano Ryu yang baru kelihatan banget di bagian ending, pohon pemberi jawaban yang membuka ingatan Kitai, kisah pedang kayu Hidetoshi yang terbuat dari kayu ajaib yang harus ditempa seperti besi, asal-muasal mata iblis Shoja, and so on.

Hasilnya, buku ini lumayan believable. Jepang feodalnya berasa, folklor Jepang dan zen menyumbang elemen fantasi yang cocok dengan dunianya, walaupun kadang-kadang pengarang menaruh beberapa paragraf penjelasan budaya yang kelihatan seperti copas dari buku referensi. Tapi paragraf macam ini nggak segitu banyaknya hingga bikin aku merasa (terlalu) dikuliahi.

Sayangnya, pengarang kecolongan pada beberapa detail yang kadang membuat dunia cerita ini terlihat nggak otentik, alias kulitnya doang Jepang sementara jeroannya masih Indonesia. Misalnya, yang paling ngeganggu, menyebut katana dan nodachi sebagai samurai. Buat kaum fundamentalis manga ini barangkali tak terampuni, dan buat sekte tukangcela, sasaran hujat yang empuk.

Aku sendiri nggak habis pikir, kenapa dengan bahan riset yang cukup, si pengarang masih membuat kekeliruan seperti ini. Apalagi karena yang bersangkutan kelihatannya bisa membedakan wakizashi dan tanto. Kemungkinan yang terpikir olehku adalah,
  1. Si pengarang memang gag tahu, dan aku cuma bisa bilang itu luarbiasa hebat banget padahal ada referensi sekian abreg (yang numpang nempel) di daftar pustakanya, atau,
  2. Si pengarang tahu seharusnya senjata-senjata itu disebut nodachi dan katana, tapi atas kehendak sendiri atau orang lain, (editor?) mengubahnya menjadi samurai dengan alasan orang Indonesia lebih terbiasa menyebut katana sebagai samurai. Akibatnya, ada suasana rancu yang muncul ketika pada beberapa bagian si pengarang menggambarkan sesuatu dengan kalimat semacam, "Si samurai mengangkat samurainya."
Eswete dah. Salahkaprah kok dilestarikan, bukannya dibenahi?

Kan bisa aja tetep pakai katana, tapi di bagian daftar istilah-nya dimasukin penjelasan kalau katana itu adalah pedang yang dipakai oleh samurai, yang oleh orang Indonesia terlanjur disebut samurai.

Lalu, keanehan lain, halaman 175. Minor sih, tapi menarik, dan bisa jadi pelajaran untuk siapapun yang sedang belajar menulis: seorang tokoh di dalam cerita itu bilang "Ini mungkin takdir yang digariskan Amaterashu untuk keluargaku..."

Lain dari kenggakjelasan maksud pengarang menulis nama dewi matahari Amaterasu-Omikami sebagai Amaterashu, yang ingin kusoroti disini adalah cara pengarang menaruh Amaterasu sebagai pengganti Tuhan.

Tanya, Bang: Sadarkah anda bahwa kepercayaan sinkretis Buddhisme-Shintoisme Jepang itu politeisme, sementara agama samawi itu monoteisme? Dalam politeisme, tugas-tugas kedewaan dibagi di antara banyak dewa, berbeda dari sistem monoteisme dimana semua urusan dipegang satu Tuhan. Dan sepanjang yang kutahu, dalam jajaran dewa-dewi Jepang, Amaterasu bukanlah dewi yang berwenang menggariskan takdir manusia; maka, paralelisme Tuhan dan Amaterasu ini nggak cocok.

Atau, dalam bahasa yang nggak terlalu sok intelek: jangan asal main ganti mentang-mentang dua-duanya menempati posisi tertinggi. Lihat dulu job description mereka sama apa nggak.

Mirip dengan ini, waktu menceritakan festival di Gifu, ada permainan berbalas haiku. Maksudnya barangkali analogi dengan berbalas pantun dalam budaya Indonesia. Bener sih haiku dan pantun sama-sama berbentuk puisi pendek, tapi Bang, memangnya dalam budaya asli Jepang ada permainan berbalas haiku? Haiku 'kan biasanya dituliskan untuk menggambarkan cuaca dan musim dan keadaan/kejadian di alam, bukan untuk "diperbalaskan" seperti pantun?

Sama dengan yang diatas, lihat dulu bentuk dan kegunaan haiku. Jangan karena sama-sama puisi, lantas anggapannya bisa dipakai untuk permainan balas-balasan juga.

Terus lagi, waktu si daimyo rese' Wabashi Kita membawa batangan emas untuk Panglima Takezaki Genzei. Langsung aku jadi kebayang batangan emas macam punya U.S. official gold reserve di Fort Knox. Bukannya Jepang kuno itu pake lempengan/plat/stempel emas, yang bentuknya kayak uang kepingan yang dipegang manekineko/kucing pemanggil rejeki itu?

Itu setting. Sekarang tokoh. Daftarnya:
  1. Kana: Anak Shoja yang mewarisi mata iblis ayahnya, mau balas dendam atas kematian ayah-ibunya.
  2. Sano Ryu: teman perjalanan Kana yang (digambarkan oleh pengarang sebagai) bukan manusia biasa tapi terus-menerus menyatakan secara lisan bahwa dirinya hanyalah orang lemah.
  3. Kitai: Pria amnesia yang ternyata ahli waris keshogunan, kawin dengan seorang gadis desa terus setelah malam pertama meninggalkan istri (lelaki buaya darat?) untuk kembali ke tanah keluarganya, padahal kalau kita baca dari flashbacknya, sebelum itu ia sudah rela pergi dari tanahnya dan membiarkan orang lain menjadi ahli waris. (Gag ikhlas?)
  4. Yoshida Maya: istri Kitai yang ditinggalin terus nyusul suaminya setelah melihat kura-kura berkepala dua.
  5. Putri Ayu: lengkapnya, Kawabachi Ayu. Dipanggil Putri Ayu. *merinding* Okay...
  6. Saigai!: Yeah, itu namanya, "Saigai!" (kedengaran kayak Saykoji?) dengan tanda seru, konsisten di sepanjang buku, mengapa begitu, jangan tanya padaku, uwooow~...

Nggak usah dibahas satu-satu pun, dari komentar-komentar diatas udah ketahuan apa yang mau kusampaikan secara umum: karakter-karakternya biasa, standar cerita fantasi samurai, dengan sedikit rasa Indonesia. Nggak ada yang terlalu mengesankan.

Sedikit protes soal mata iblis Shoja dan Kana, kenapa mata iblis ini, walaupun dijelaskan bagaimana mereka mendapatnya, ternyata nggak ada signifikansinya dalam cerita? Nggak memiliki kekuatan khusus, atau peran apapun, nggak bikin mereka jadi punya kekuatan super atau kepribadian lain atau apapun. Memang sih, jadinya nggak Oni**me n***o Ky***o wannabe, tapi lalu nggak ada fungsinya juga. (Jadi, buat apa dunk?)

Dan bagian terakhir, gaya penulisan. Sebetulnya bagus, kalimat-kalimatnya jelas dan nggak ada yang mendayu-dayu atau berasa keju. Namun, dialognya kadang-kadang kepeleset memakai struktur informal yang terlalu lokal walau dibumbui kosakata asing, seperti, "Coba kau isikan takezutsu-nya dulu!" (Hlm. 74) dan ini mempertajam aura Jepang celup yang terus menghantuiku sepanjang membaca buku.

Akhir kata, kuakui kesan awalku terhadap buku ini terlalu meremehkan. Nggak, buku ini barangkali bukan Sa**murai Deep***er Ky***o wannabe. Buat hikozza, aku akan mengakui jujur kalau karya anda punya setting bagus dan cerita yang standar untuk tema fantasi-samurai, walau sayangnya terganggu oleh nuansa Jepang celup yang, alih-alih membebaskan khayalanku menuju Jepang feodal, membuatnya terperangkap dalam sebuah scene Japan Matsuri dengan bintang tamu mas-mas berlogat Tegal medok yang cosplay jadi Sephiroth. Alamak~!


Luz Balthasaar

Selasa, 06 Oktober 2009

SAHARA: Ketika Aladdin, Ali Baba, dan Sinbad Bertarung dengan Jin Sakti (Nugraha Wasistha - 2009)


Data Buku:

Penerbit: Serambi
Penyunting: Moh Sidik Nugraha
Penyerasi: Eldani
Pewajah isi: Siti Qamariyah
Tebal: 335 halaman


Saat pertama kali melihat sampul novel ini terpajang di toko buku, sempat saya mengira bahwa novel karya Nugraha Wasistha ini bergenre humor atau komedi seribu-satu malam, atau lelucon ala sufi semacamnya kisah-kisah Abunawas, yang lazimnya dikata-pengantari oleh seorang Kyai Anu bin Fulan.

Sampulnya berwarna merah, sedikit ornamen geometris ala Timur Tengah, dan spot hitam membentuk asap dan siluet tiga orang Bhagdad seperti sedang bertengkar memperebutkan tempat parkir onta. Belum lagi judul yang dibuat apa-adanya, tanpa bermaksud bermanis-manis atau bersastra-ish layaknya novel. Liat nih: SAHARA: Ketika Aladdin, Alibaba dan Sinbad Bertarung dengan Jin Sakti. Wooosh, seolah ada 'ayat-ayat abunawas' melintas di latar belakang benak gue.

Tapi sesuatu dalam sinopsis buku yang membuatku menyimpulkan bahwa ini adalah karya novel, yang somehow berusaha membuat suatu alternate situations dimana tokoh-tokoh fiksi Sinbad, Aladdin, dan Ali Baba berada pada ruang-waktu-tempat yang sama.

Aku cuplikkan abstraknya di sini:

Sinbad, petualang yang menjadi mubalig. Dia berkelana ke seluruh dunia untuk berdakwah kepada para penjahat besar dengan pilihan: tobat atau mati!

Ali Baba, masa kecil yang tragis membawanya jadi pencuri cilik yang paling licin di seluruh Arab. Julukannya adalah tikus gurun yang selalu menemukan jlaan masuk maupun keluar dalam semua aksinya.

Seorang sultan muda yang misterius bernama Aladdin meminta bantuan mereka untuk mendapatkan kembali lampu wasiatnya di Sahara.

Ketiganya menjadi kawan sekaligus lawan. Di tengah perjalanan menuju jantung gurun terganas di dunia itu, mereka haru smengatasi bajak laut. Bahkan mereka terjebak dalam permainan Jin Sakti penghuni lampu ajaib

Okey, interesting,...

Tiga karakter terkenal dalam cerita seribu satu malam, bahkan tiga-tiganya udah masuk dalam jajaran film Disney. Tapi tanpa mengaitkan dengan karakter yang udah duluan eksis dalam film, saya menemukan premis yang masih unik dalam karakter besutan mas Nugraha ini. Misalnya si Sinbad, yang punya kredo: Tobat atau mati! Terasa nuansanya jadi beda dengan Sinbad orisinal.

Dan saat mulai kubuka halaman pertama menyimak petualangan ala seribu satu malam dikombinasi aura Indiana Jones,... well, I'm hooked until the last page!

Lagi-lagi, gue ditipu sama Cover. Gak bilang covernya jelek, sih. Cuma menggiring ke arah persepsi yang salah aja. Kupikir novel banyol gak tahunya it's a Fantasy, and a good one.

Cerita dibuka dengan adegan Sinbad di geladak sebuah kapal. Apa uniknya? Hehehe. Sinbad di sini adalah seorang mubalig separo baya. Dan dia sedang berada di geladak kapal bajak laut yang dipimpin kapten Blackbeard, si bajak laut legendaris. Dan si mubalig Arab ini sedang berdakwah untuk mengembalikan para bajak laut ke jalan yang benar. Masalahnya, dia berdakwah dalam kondisi basah kuyup dan terikat erat dengan jaring, di bawah ancaman pedang berkilat para bajak terganas di laut mediterrania.

Tentunya dia sanggup meloloskan diri, melalui rangkaian action yang mensignifikansi kekerenan adegan-adegan aksi di dalam buku ini dari awal sampai akhir. Sedap. Membacanya seolah merekaulang sebuah tontonan film laga seribu satu malam yang penuh koreografi loncat-ayun-salto-sana-sini, dipadu ketangkasan bela diri macam film kungfu. Sangat menghibur.

Selain adegan-adegan aksinya, novel ini juga memiliki line dialog yang top punya. Luwes sekali si pengarang ini, membuat dialog antar budaya (ada kebudayaan arab, inggris, amerika) secara pas dan berkarakter. Menggunakan bahasa arab, mantap. Menggunakan setting bahasa Inggris, pas juga. Setiap kalimat dialog tertata dengan penuh perhitungan, memasukkan unsur karakter pengucapnya yang di-infuse dengan perbedaan budaya dan latar belakang kehidupan masing-masing.

So, gaya bicara Sinbad beda banget dengan Ali Baba biarpun sama-sama arab. Saat menghadapi counterpart bangsa Inggris pun, Sinbad punya cara bercakap-cakap yang kelihatan beda. Susunan dialog para tokok-tokohya, cara lempar umpan dan tangkapannya, juga menunjukkan kelas yang Smart dan mengasyikkan. Menurut gue sih, dialog-dialog dalam buku ini adalah termasuk yang terbaik.

Juga karakterisasinya. Tokoh-tokoh yang awalnya digambarkan hitam-putih ini ternyata memiliki kedalaman dimensinya masing-masing. Sinbad tampak perkasa dan tanpa kompromi terhadap orang tak beriman (rada stereotip fanatics juga, sih), dalam perjalanan cerita menemukan pelajaran yang menggoyahkan kekerasan dogmanya. Ali Baba yang super-cerdik, tumbuh dengan egoisme tinggi dari seorang yang survive di alam keras, akhirnya menumbuhkan compassion terhadap orang lain. Bahkan tokoh-tokoh antagonis pun digambarkan memiliki karakter yang berdimensi.

Satu ciri yang kuat dalam novel ini adalah tempo ceritanya yang gesit, cepat. Dan terasa 'visual' banget. Ternyata profil penulisnya menyebutkan bahwa Nugraha Wasistha adalah jebolan Desain Komunikasi Visual yang sering jadi juara komik. Well, pantesan aja.

Setting novel ini adalah dunia Arab tahun 1856. Lumayan eksis zaman itu di tangan pengarang. Area di Turki cukup lengkap dijabarkannya, kehidupan budaya masyarakat, property khas seperti Bazaar (pasar), Hammam (pemandian), dan Caravanserai (drive-in khusus Caravan. Unik nih, bahkan di film-film Indiana Jones aja belum gue temui referensi bangunan kayak gini, padahal masukakal banget) mewarnai penggambaran Istanbul di abad 19. Keren, realistik dan nggak membosankan.

Trus, apa lagi ya? Inilah saatnya semua elemen-elemen kuat digabung menjadi suatu karya yang menarik. Kalau sudah menjadi satu kesatuan, yang matters tinggal gimana plotnya, gimana temanya, gimana missinya ingin disampaikan oleh pengarang.

Mungkin singkat aja kukomentarin, biar gak terlalu spoiler. Jalannya plot cukup mulus dan lurus, semakin masuk dalam suasana fantasy-adventure, aksi filmikal sampai pada plot twist di ujung yang cukup logis gak asal twist doang. Satu hal yang aku suka adalah filosofi yang mendukung character development, terutama terhadap dua tokoh utama, Sinbad dan Ali Baba. Juga detail-detail psikologis masing-masing karakter. Dan konklusi dari segala plot ini adalah: Iman dan Akal yang menyelamatkan segalanya!

Lantas protesnya apa? Well, untuk materi sebagus ini, pengarang (sudah) memilih hanya single edisi (Gasp, surprise!). Gak terlalu kelihatan bakal ada sekuel, kalau pun ada kayaknya juga bakalan beda nuansanya. Itu aja sih, sayang gak jadi serial, hehehe.

Tapi aku yakin, mas Nugraha Wasistha kalo bikin novel lagi, pasti minimal bakal sama kerennya!

Go for it, it's a quite recommended read!


FA Purawan