Kamis, 24 Desember 2009

TANRIL 2: The Siege of Krog Naum (Nafta S. Meika - 2009)

By FA Purawan

Penerbit: AKOER
Editor: Aries Rayaguna Prima
Tata letak isi: Ibenk Bonanno
Fotografi: Andry Photography
Tebal: 236 halaman

Sebenernya, apa sih alasan untuk eksistensi sebuah SEKUEL?

Mungkin saja kita tak pernah memikirkannya terlampau dalam, mungkin sudah jadi sekedar sebuah kebiasaan. Kalau di era keemasan Kho Ping Hoo, dulu, sebuah sekuel dibikin karena pembaca terbiasa dengan span cerita yang panjang-panjang, mulai dari Sang Master Pulau Es yang punya murid dari piyik sampai jadi Master lagi, terus punya murid piyik lagi sampai jadi Master lagi, Murid piyik-Master-piyik-Master demikian bergenerasi. Dan hebatnya, sidang pembaca/ penggemar pun sampai bisa merunutkan silisah para pendekar itu sampai ke garis-garis suheng, sute, suci, sumoi, supek dan kawan-kawan termasuk sampai silsilah musuh-musuhnya!


Dunia penerbitan punya motivasi yang lebih pragmatis soal sekuel. Sekuel dibikin karena sebuah franchise akan selalu memberi napas panjang buat bisnis, dan lebih sedikit kapital dibutuhkan untuk mengedukasi pasar. Sehingga akhirnya sekuel acap dibikin dengan dasar pemikiran bahwa: ya memang harus dibikin sekuel, aja. Mumpung lagi on demand.

Atau mungkin alasan lebih hakiki, bahwa ceritanya memang simply belum selesai, karena pengarang belum sampai pada keutuhan pemaparan missi karangannya.

Atau sebaliknya justru alasan bombastis, "Woi, aku ngarang EPIK, dan bukan epik namanya kalle, kalo cuma selesai satu edisi". (Ngaku sendiri, diriku pun diam-diam punya menyimpan waham semacam ini dalam pikiranku).

Apapun itu.

Tapi pernahkah kita, berhenti sejenak dari megalomania-sekuelaria, dan bertanya pada pembaca: apa sih yang menyebabkan anda mau menunggu sebuah sekuel (selain dari alasan 'cerita yang belum finish')?

Dan kuimajinerkan, jawaban paling sederhana tapi mendasar justru seperti ini, "Aku hanya ingin kembali pada 'momen' itu lagi".

Yup. Momen. Maksudnya tentu momen bacaan, sesuatu dalam karanganmu yang telah menekuk ruang dan waktu real menjadi ruang dan waktu personal-kekal di dalam taman pikiran pembaca, tempat ia berendam dalam gelora kenikmatan yang kau hadirkan melalui larik-larik tulisan dalam karya mu.

They just want to re-live the moment.

Aku mengambil buku Harry Potter edisi berikutnya, sebetulnya bukan karena aku betul-betul care sama si-yang-bertahan-hidup itu dengan segala masalah heroismenya, gak sepenuhnya. Aku ngambil buku tebal itu, menepuk-nepuk bantal mencari posisi paling nyaman hanya karena aku ingin 'tersihir' oleh pena pengarang dan memasuki Dunia Hoghwarts with all it's splendor dan kehidupan sekolah sihir itu secara 'nyata' dalam imajinasiku sekali lagi.

Saya menganggap ini 'rule of thumb' pertama dalam penciptaan sekuel. Sesuatu yang harus ditemukenali oleh pengarang dan dipegangnya semasa ia mengkreasikan sekuelnya. Sebabnya wajar saja. Pengarang cenderung melupakan ini di saat benaknya dipenuhi kerangka-seting-plot-sambungan-whatever-grandeur yang ada di kepalanya. Bagi pengarang, jajaran jilid 1,2,3, dst adalah jalan menuju cita-cita tertingginya (garis finish kisah, the ever mega climax, mission deliverance dan gazillions of other prima causa kenapa dia menulis novel itu). Terlalu mudah kita melupakan kebutuhan pembaca saat kita memikirkan hal-hal besar itu.

Lantas apa itu, momen? Ini yang lebih susah. Buat satu pembaca, mungkin setting yang memesonanya. Buat pembaca lain, mungkin debar-debar kisah cinta yang belum juga bertaut. Buat pembaca lain, misteri sengkelat-sengkelit yang mengusik pikiran. Masih banyak lagi. Pengarang pasti akan mengalami kesulitan kalau mau melayani semua kemungkinan. Dia hanya bisa punya satu sikap yang paling aman: mempertahankan adonan orisinal sambil mengembangkan sekuelnya dengan menambahkan sedikit-demi-sedikit bumbu pengembangan (plot development) yang dituju. Dalam bahasa manajemennya: Konsistensi.

Fiuhhh, there, I've said it.

Panjang nian pembukaan ini sebelum aku benar-benar masuk ke pembahasan Tanril 2: The Siege of Krog Naum, sebuah sekuel dari mahakarya Nafta S Meika yang sempat menghebohkan khalayak pecinta buku dan penggemar baca (that's it, tertulis di cover belakang), dan sempat dinobatkan sebagai karya Fantasi terbaik di Fikfanindo pada review di sini.

Well, ini caraku untuk memulai menyatakan bahwa Tanril 2 punya issues di area tersebut. Secara umum saya akan mengatakan bahwa mulai titik awal sekuel, pengarang sepertinya mulai terbuai oleh rencana besar penggarapan sekuel (multi jilid, kalo gak salah sudah mencapai lebih dari 6 buku--dalam pikiran pengarang). Udah gitu, seperti pernah diinformasikan oleh pengarang sendiri, ia menyusun naskah orisinalnya dalam bahasa inggris (!). Well mungkin aja si pengarang memang person jenius (gue pikir emang begitu, jujur!). Tapi hukum alam berlaku, even for geniuses, bahwa begitu kita mencoba mengangkat keranjang apel yang lebih besar, maka sedikit apel akan mulai terjatuh berceceran.

Apa saja konsistensi yang tercecer di Tanril 2? Sesungguhnya tidak banyak. Tapi ibarat bendungan, mendingan keretakan kecil segera diinformasikan dan ditambal secepatnya, bukan?

Yang paling penting bagi saya, adalah konsistensi universe Benua Biru Tanril. Dimulai dari yang paling simpel aja. Bangsa Telentium (yang sejarahnya mulai dipaparkan secara ciamik dalam edisi ini), pada prinsipnya terdiri atas mixing kebudayaan besar Clem dan Zirconia. Okay, dan tidak ada pengaruh dari budaya Anglican di sisi manapun. So, nyaris ga ada alasan munculnya istilah-istilah berbahasa Anglic (Anglish, or English, if you still not get it) yang semakin merasuk dalam teks bahkan sampai ke dialog (panggilan "Sir", istilah "Lord" dll). Menurut saya, kadarnya sudah mulai breach dalam setting dan bukan lagi masalah kepraktisan penggunaan istilah. Saya tidak tahu apakah hal ini disebabkan karena naskah orisinal dalam bahasa inggris diterjemahkan ke bahasa Indonesia sehingga meninggalkan masalah semacam itu. Tapi penyisipan istilah bahasa inggris di dalam Tanril 2 mulai saya rasakan mengganggu.

Lalu formatting (dengan mengesampingkan pen-formatan halaman yang masih aja masalah!). Sebagian besar Bab, kalau tidak semuanya karena saya malas menghitung kembali, dibuka dengan penulisan beberapa baris puisi... (kebetulan) dalam bahasa Inggris. Ini format yang baru dikenalkan pada Tanril 2. Dan walaupun tak salah, tetap terasa mengganggu. Tapi bisa saja karena saya memang bukan penikmat puisi dan gak bisa 'membaca' puisi. Makanya saya nggak bisa menemukan kaitan interpretatif antara puisi pembuka bab tersebut dengan isi bab-nya. Makanya kemudian bagi saya puisi-puisi itu akhirnya hanya menjadi waste of page space aja.

Cukup dua hal itu aja, yang gue identifikasikan. Tapi dua hal (kecil) itu udah cukup untuk menghalangi gue menikmati unverse Tanril sebagaimana buku pertama. Apalagi... dengan masih hadirnya ulah gak jelas penerbit yang masiiiih aja menuliskan halaman-halaman Tanril dengan sistem paragraf yang nggak ngikutin standar, font kecil, serta penulisan dialog dengan huruf italic.

Tuh layouter tahu nggak sih, efeknya menulis dialog huruf italic, bagi pembaca?

Itu seperti dialog dalam sunyi, tau gak? Dialognya telepati yang menggunakan benak (Atau, dialog antara Nalia, Jie Bi Shinjin dan Wander yang menggunakan isyarat jari-jemari. Itu baru penerapan italic yang tepat). Dan bagi benak pembaca, itu sangat mengganggu.

Saya masih bisa mengapresiasi sebuah kiat kreatif, apabila kiat itu memang didesain untuk memenuhi tujuan tertentu yang saya selaku pembaca bisa connect. Saya pernah membaca satu novel yang font-nya sengaja dibedakan, menyesuaikan pada POV tokoh dalam novel itu. Penerapan font sedemikian rupa berhasil memperkuat karakter yang dikisahkan dalam novel. Itulah kreativitas yang smart --mendekatkan pembaca pada tujuan pengarang. Tapi kalo yang di Tanril ini, karena pembaca malah terganggu dan dibawa menjauh dari missi pengarang, penerapan nyeleneh malah ga jadi kreativitas. Saya menyebutnya 'ketololan', terutama karena sudah dikritik masih ngotot pula, pointlessly. Sorry.

Kenapa sih, saya blingsatan segini rupa?

Karena saya merasakan sendiri betapa jalinan kisah dan plot apik yang sesungguhnya tertuang dalam Tanril 2 menjadi jatuh ke level yang tak-bisa-dinikmati oleh pembaca. Seperti disuruh nonton film Avatar (yg konon sedang 'in' sebagai film dengan CGI terbaik) melalui TV hitam putih yang gambarnya kemeresek. The Beauty is lost in the statics. Sedihnya, bukan karena nasib, melainkan karena ignorance belaka.

Bicara keapikan buku ini, apalagi yang musti kubicarakan? Masih konsisten sebagus buku pertamanya! Pengarang dengan piawai memperkenalkan karakter-karakter baru yang unik, mengembangkan relasi para tokoh terdahulu sampai pada taraf yang menarik dan manusiawi. Saya paling happy dengan pengembangan karakter Jie Bi Shinjin yang semakin dalam. Di buku ini, bisa dibilang dialah bintangnya. Satu tokoh menarik lain adalah jendral Allen, jendral dengan pilihan karakter yang 'so unlikely', dan suppose to be merupakan lawan yang 'seimbang' bagi Sulran? (I cannot wait to see their showdown!). Si Kucing Tua juga melakukan come-back yang ditunggu-tunggu pembaca (tambahan juga hadir satu tokoh baru yang kayaknya ada sisi Trivial-nya: tokoh ini sepertinya merupakan personifikasi diri si pengarang dalam universe Tanril, hehehe, asyik juga). Everything was done right. Tastefuly.

Lantas tibalah kita pada pertanyaan terakhir, "Bagaimana buku ini setelah dibelah dua?".

Mungkin ada yang belum ngerti konteksnya. Jadi gini. Aslinya: Tanril 2 dibuat kira-kira setebal Tanril 1. Tapi kemudian dengan aneka pertimbangan, akhirnya dipotong menjadi dua jilid terpisah, sehingga bisa dikatakan bahwa buku ini adalah tanril 1,5 dan yang 0,5-nya lagi akan nyusul entah kapan. Entah, apakah disebabkan pertimbangan cost, masalah artistik, atau masalah komersial.

Secara wajar tentunya akan timbul pertanyaan bagaimana reading experience pembaca dengan buku yang dipotong setengah, itu kan artinya klimaksnya berhenti di tengah-tengah?

Well, harus kuakui, paduan komposisi antara penulisan teks yang melelahkan mata dan alur yang memang cukup padat (banyak background diceritakan, terutama dalam bab-bab depan), membuat porsi yang dipilihkan oleh penerbit terasa jadi 'pas'. Pendapatku sih, kalau bukunya dibuat setebal Tanril 1, biarpun ceritanya 'dapet' bagusnya, teteup akan dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan bacaannya. Takutnya dengan problem font ancur begitu, malah bukunya gak pernah diselesaikan oleh pembaca kalau terlalu tebal. So, yeah, the publisher's kind of on a right track, there, untuk satu alasan yang I bet gak terpikir seperti di itu di benak mereka! Hahahah.

So, selamat datang Taril 2. Buat Nafta, again, keep up the good work! You've got my symphaty :-)



FA Purawan

Senin, 21 Desember 2009

SUMMONSTER: Ancaman dari Kegelapan (Rudiyant - 2009)

By Luz B

Pengarang: Rudiyant
Editor: Felicia Suwardini
Penerbit: Cyan Publisher
Design sampul dan layout: Haridesign
Tebal: 390 halaman


Sebenarnya, beberapa rekan di Forum Fiksi Fantasi Dalam Negeri di Pulau Penulis sudah lama meminta aku untuk menulis tentang novel satu ini. Dan sekali lagi, sudara-sudari segala agama dan agami, reaksi pertamaku adalah... meremehkan.

Harap maklum, untuk urusan remeh-meremehkan aku memang susah tobat. Apalagi sekarang udah bukan musimnya segala sinetron hidayahiyahtantowiyahyah yang mengajak kita kepada kebaikan tapi menggambarkan hukuman dari Yang Maha Pengasih dan Penyayang dengan cara yang nyaingin kesadisan ilustrasi psycho manga.

Mengapa aku meremehkan buku ini? Pertama, covernya yang kelihatan dibikin ngasal. Warna merah, ungu, dan item dan gambar dari berbagai sumber diulek seenaknya tanpa diolah menjadi kesatuan yang menarik. Di cover depannya ada naga, background hutan, petir dan foto seorang oknum yang kayaknya pengarang, (tapi bisa juga bukan,) masang pose dan ekspresi yang (dia pikir) keren. Dan si oknum ini nangkring di belakang judul dengan Font Harry Potter: Summonster: Ancaman dari Kegelapan.

Sampai disini ada bagian diriku yang langsung mencap bahwa si pengarang ini narsis sekali. Namun, mari kita bahas cover ini secara adil. Foto itu bisa yang bersangkutan, dan bisa jadi bukan. Dan kalaupun benar foto pengarang, sebetulnya bisa diterima.

Pertama, karena itu haknya dia. It's his book.

Dan kedua, karena paling tidak foto si pengarang itu asli ide, buatan, dan muka dia sendiri! Bandingkan dengan apa yang terjadi di cover belakang: Dengan terang-terangannya si desainer cover menempelkan gambar karakter Vivi Ornitier dari Final Fantasy IX. Ya amplop...

Aku tahu negeri tercinta kita kurang memperhatikan hak kekayaan intelektual, tapi ini? Terang-terangan mencomot gambar dari sebuah game yang cukup dikenal untuk tujuan komersil bisa diterjemahkan sebagai permintaan untuk dihujat oleh penggemar game itu. Jadi, pengarang dan desainer cover yang terhormat, kalau ada hujatan berkenaan dengan cover yang menyayat-nyayat hati anda, nggak usah jejeritan kayak orang-orang caper baru masuk infotainment. Anda sendiri yang minta didzolimi.

Lepas dari pembajakan yang benar-benar tidak tahu malu itu, aku disambut oleh sinopsis yang ditulis dengan font ultra-ruwet yang bikin malas baca. Sebagai servis untuk para pembaca Fikfanindo, ini aku copaskan...

Ini adalah cerita besar yang akan aku torehkan dengan pedang di tanganku. (Sekarang aku ngerti kenapa font itu sedemikian ruwet. Nulisnya pake pedang getoh!) Penuh kemelut dan intrik yang aku sendiri ragu. Karena tanpa sadar aku telah terseret masuk jauh ke dalamnya. Bahkan akhirnya aku takut, bisakah aku kembali ke jalanku.

Para Summoner, pemilik makhluk suci satu persatu tewas mengenaskan. Sumont-Sumont menjadi liar ketika berada di tangan yang salah. Kehancuran alam dan dunia terasa sedekat kerlipan mata. Kitab aneh yang dapat memanggil dan menghidupkan kembali arwah para petarung legendaris muncul. Kekacauan akibat dendam dan ambisi saling tumpang tindih. Belum lagi dendam para ras Black Centaur, urusan para Elf, Dwarf, Mermaid dan Black Magioch. Semua terlihat kisruh.


Bersama keempat sahabatku, kami harus bisa menyelesaikannya dan kembali pulang untuk menjalani kehidupan normal yang sesungguhnya. Walau aku yakin ini akan sulit. Sebab cerita legenda ini, aku yakin akan menjadi kenangan abadi di benak semua orang. Atau paling tidak dapat menjadi dongeng orangtua kepada anaknya sebelum terlelap." (Hmm... orang tua macam apa yang mendongeng soal dendam, memanggil arwah, dan kehancuran dunia pada anaknya yang mau tidur?)


Sinopsis diatas disusul dengan pencantuman endorsement dengan font yang jauh lebih mudah dibaca. Endorsement ini diberikan oleh oleh oknum anonim dengan bunyi sebagai berikut:

Rudiyant benar-benar mampu menerbangkan imajinasi ke Negeri Khayalan di batas tertingginya. Semua terlihat rumit pada awalnya, terlalu banyak urusan dan kepentingan. Belum lagi jumlah karakter yang memiliki karakteristik aneh, unik, konyol dan terhitung hebat-hebat dengan berbagai persoalannya. Rudiyant sosok penulis berkelas!

Lagi-lagi pernyataan yang ngasih beban berat ke si pengarang dan si buku bahkan sebelum cerita dimulai. Aku nggak ngerti kenapa banyak kecenderungan begini dalam buku-buku fiksi fantasi, tapi baiklah...

Penulis berkelas.

Statemen ini kuterima sajalah. Perkara kelas apa--kelas terbang, kelas bantam, kelas bulu, kelas welter, kelas berat, kelas satu es-em-a, kelas kambing--silakan anda putuskan sendiri setelah menelaah buku ini.

Hal berikutnya yang bikin aku ngeremehin buku ini adalah ukurannya. Nyaris seukuran buku saku, dengan tebal 390 halaman. Dikit. Jadi kukira aku pasti bisa menghabiskan buku ini dalam waktu kurang dari 3 hari. The Hunger Games yang jauh lebih tebal saja bisa kuselesaikan kurang lebih 5 jam.

Makanya, ketika seorang teman di FFDN bilang "nggak kuat baca buku ini," aku langsung berkata pada yang bersangkutan, "Kirim sama aku aja, tar aku yang baca dan nulis repiu!"

Dan aku nyeseeel berat nggak mendengarkan nasihat teman dan nyuekin wangsit ghoib berupa tindak pembajakan superpicis di sampul, hanya karena aku ingin menjadi anak baik yang tidak menilai buku dari sampul belaka.

Sungguh, Summonster nggak bisa dibilang "jelek," karena naskah "jelek" sekalipun seharusnya bisa membuatku ketawa nelangsa lewat plothole ngaco atau dialog konyol atau klise menggelikan. Namun, Pakcik dan Makcik, naskah satu ini rupa-rupanya sudah demikian teruk hingga sulit mencari hal yang menarik di dalamnya. Tingkah polah tokohnya bikin kesal, bolong-bolong dalam plotnya alih-alih lucu malah bikin males baca, dialognya so stoopid it will probably scar your brain, seperti berikut ini, ketika dua tokoh cerita ketangkep lagi ngupingin kawanan Black Centaur:

Viron garuk-garuk rambut kepalanya yang tidak gatal, dia berpaling ke Nadiav, "Orang itu ngomong apa Nad...?"

"Katanya kita mengikuti pasukan mereka sejak kemarin...!"

"Ah, mereka bisa saja. Memangnya mereka pikir kita ini kurang kerjaan, apa?" Viron memperlihatkan wajah kurang setuju atas tuduhan pada dirinya. "Memangnya mereka mau kemana sih, kok sampai menyangka kita mau mengikutinya?"


Nadiav menggeleng, "Mana kutahu? Jangan-jangan rombongan mereka ini mau kondangan kali ya...?"


See? Ini sebabnya aku perlu hampir 1 bulan untuk membaca buku ini.

Maka biar kusimpulkan pelajaran yang kudapat dari kebandelanku kali ini: some things can get beyond ugly. Sampai sekarangpun aku masih bertanya-tanya kekuatan tak manusiawi macam apa yang dimiliki pengarang hingga bisa menghasilkan sesuatu seluarbiasa ini.

Mari kita mulai dari plot. Bab 1 langsung memasuki inti permasalahan: Bahwa di dunia Summonster dikenal keberadaan sumont, "arwah suci yang mendekam di dalam spirit crystal yang bisa dipanggil oleh seorang Summoner untuk bertempur." Dalam bahasa Final Fantasy, tergantung dari dialek yang digunakan, Sumont ini kiranya bisa diterjemahkan sebagai Esper/ Summon/ Guardian Force/ Eidolon/ Aeon/ Totema.

Dan alkisah, Di sebuah pondok terpencil, Kakek Ibranz menerima berita bahwa salah satu dari Sumont ini dicuri, dan memperkirakan bahwa si pencuri akan memakai sumont tersebut untuk bertempur pada semacam perang akbar yang akan terjadi pada tanggal 10 bulan 10. Bagaimana ia tahu akan ada peristiwa 10/10? Dari ramalan gurunya yang disampaikan 3 bulan sebelum cerita dimulai.

Maka, logis kiranya jika kakek Ibranz langsung mengirimkan dua protagonis kita, Viron dan Nadiav, untuk menemui gurunya demi menanyakan apa kiranya yang akan memicu pertarungan besar itu.

Hmm... kemaren pas dikasih tahu soal ramalan itu kenapa gag sekalian yah nanyain penyebabnya? Oh well. Ini bisa dijelaskan dengan apa yang kusebut sebagai Postulat Plot Klise Fiksi Fantasi #1: Yang namanya ramalan selalu always itsumo benar. Sebab itulah orang-orang di dunia fiksi fantasi nggak pernah merasa perlu bertanya kalau mau memulai perang atau membunuh seseorang. Mereka selalu menempatkan akalbudi dan pikiran sehat di nomor sekian setelah ramalan.

Cerdas sekali.

Dari titik awal ini, plot berkembang. Aneka pihak/ grup/ organisasi rupanya memutuskan untuk berpartisipasi pada perang akbar 10/10: Kerajaan Valion, Kelompok Red Death, Pasukan Ratu Iblis, Bangsa Mermaid, Black Centaur, grup Black Magioch. Kecuali Kerajaan Valion, semua pihak ini ceritanya berperang karena menginginkan Devdilbook, sebuah kitab yang bisa membangkitkan orang mati, entah untuk dihancurkan atau dipakai membangun pasukan demi memenuhi Motif Penjahat Klise Fiksi Fantasi #1: Menguasai Dunia.

Dan turut terjebak di dalam peperangan ini adalah lima pemuda-pemudi yang terbawa dari dunia kita, terpisah, lalu bertemu kembali di dalam peristiwa 10/10 setelah mengalami nasib yang berbeda-beda.

Apa plot ini bisa menjadi kisah yang menarik? Kukira bisa, walaupun ya... ini plot fikfan standar. Mengingat aku juga kurang mengerti kekuatan misterius apa yang membuat plot ini sama sekali tidak menghibur--dalam arti bahkan tidak membuatku ketawa nelangsa karena kekliseannya-- aku menebak bahwa masalah pertama terletak pada pilihan suasana dan cara bercerita.

Curhat sedikit: Saat menulis, aku selalu merasa bahwa salah satu bagian paling sulit adalah menentukan suasana cerita. Apakah cerita ini akan muram dan gelap dan bikin depresi atau kocak cerah ceria? Dan misalnya suasana cerita ini berubah-ubah, bagaimana menampilkannya agar cerita itu tetap punya satu "rasa" tersendiri, alih-alih menjadi tambalsulam dari berbagai cerita/game/komik/film yang sudah ada?

Kukira penulis salah satunya tersandung di sini. Yang bersangkutan membuat cerita tanpa bisa memutuskan apakah cerita ini mau jadi fantasi serius macam Harry Potter, Narnia, His Dark Materials, atau fantasi komedi ala Discworld-nya Terry Pratchett. Oleh karena itu, mari kita lihat naskah ini dari dua sisi.

Pertama, sebagai fantasi komedi, humor dalam cerita ini terlalu sedikit. Dan sekalinya ada, yang paling lucu pun cuma bikin aku ketawa garing 3 detik. Nih kukutip contohnya:

Ibranz tersenyum kepada muridnya yang terhitung masih sangat belia itu, "kamu pikir untuk apa aku memberikan pedang itu padamu? Kalau cuma untuk berdiam diri ditempat ini kurasa kamu tidak membutuhkan pedang. Untuk latihan sehari-hari kurasa pedang kayu saja cukup untukmu...!"

Mendengar kalimat terakhir Ibranz, si gadis langsung tersenyum. "Jadi kamu masih menggunakan pedang kayu dalam latihan...?" ejek Nadiav. "Payah sekali! Asal Kamu tahu ya, sejak setahun yang lalu guruku sudah memperbolehkanku menggunakan senjata betulan dalam latihan...!"


Ibranz Tersenyum, "kamu itu belum tahu siapa Viron, Nadiav...? Dia itu... pegang pisau aja kepotong, apalagi kalau pegang pedang?"

Para pembaca yang terhormat, apakah anda ketawa saat membaca tiga paragraf diatas? Ada orang yang bilang aku kurang memahami fantasi "ancur", demikian istilah rekan-rekan forum Fiksi Fantasi Dalam Negeri untuk fantasi komedi. Tidak begitu, sebenarnya; untuk menjadi bisa disebut komedi, ada satu syarat utama yang harus dipenuhi suatu karya, yaitu--seperti penampilan TeamLo di Inbox pagi SCTV--ia mengandung kelucuan yang cukup memuaskan selera umum. Itu aja.

(Walau tentu akan lebih baik lagi kalau mereka mau cerdas dan lucu seperti Project Pop.)

Nah, aku paham bahwa penulis ini punya track-record Juara II cerita konyol Gramedia 2008 dan pernah menerbitkan buku humor, tapi buku ini sendiri buatku sama sekali nggak ada lucu-lucunya. Lucu garing aja nyaris nggak, apalagi lucu beneran.

Namun, tentunya valid kalau kita katakan bahwa lucu itu relatif, jadi jika anda meragukan penilaian ini, fair enough. Silakan beli atau pinjam Summonster dari teman anda dan sampaikan pendapat anda setelah membacanya sendiri. Aku tunggu di reply loh, heh, heh, heh...

Nah, kedua, kalau Summonster ini mau jadi fantasi serius, sebetulnya lebih masuk akal, dan kukira penulis juga niatnya sebetulnya kesini. Terbukti dari sinopsis di sampul bahwa cerita ini banyak menggambarkan perang, kehancuran, darah, pemanggilan arwah. Masalahnya, dengan latar semacam itu, joke-joke garing crispy yang diselipkan si penulis jadi mengurangi keseriusan dan kelarutan pembaca di dalam dunia cerita. Ditambah lagi kesukaan penulis untuk menggambarkan dan menjelaskan dunianya dengan istilah-istilah role-playing game semacam...

"Itu Potion, sangat berguna untuk mengembalikan staminamu!"

atau...

"Mp-ku habis ketua! Aku tidak sanggup lagi!"

atau...

Di api, untuk level awalnya berupa bola api, yaitu Fire. Tapi untuk level keduanya bernama Flame, serangan api sebesar kerbau dewasa yang bisa dibayangkan seperti apa kobaran apinya?

Benar-benar mengerikan...!

Ini tiga element dari beberapa element... Konon, puncak serangan element api adalah Hell Grab, Lautan Api Neraka, yang pastinya membutuhkan banyak Mp untuk melakukannya!


Aduh, banget.

Pembaca yang terhormat, ijinkan aku bertanya, apa alasannya seseorang mau baca novel seharga 30k perak yang dibuat seolah-olah RPG kalau dia punya akses ke console (minimal main PS2 dirumah temen) dan bisa main RPG beneran (kaset bajakan dijual 10-15k rupiah?)

I can think of several reasons, actually:

1. Dia nggak punya jari untuk mencet gamepad, (tapi kalau gini ya dia nggak bisa balik halaman buku juga kan... kecuali ada yang balikin.)

2. Dia buta, jadi dia nggak bisa lihat TV (dan ga bisa baca buku juga, kecuali ada yang bacakan untuk dia, atau buku itu ditulis dengan huruf braille, atau dibuat jadi audiobook; pula, di Indonesia ini ada kok kasus orang tunanetra yang hobi bermain game... uhuk*Ramaditya*uhuk...)

3. Dia mati otak/tidak punya IQ yang cukup untuk bisa main game (dan kalau begini toh kemungkinan besar dia ga bisa baca buku juga.)

Dengan logika sederhana ini kita bisa melihat bahwa novel yang dibuat seperti RPG hanya menarik untuk 1) orang yang nggak punya jari dan punya teman yang mau balikin halaman buku untuk dia, dan 2) orang tunanetra yang namanya bukan *uhuk*Ramaditya*uhuk* dan punya teman yang mau bacakan cerita itu.

Dan... oh ya, tentu saja, pasar bisa diperbesar untuk 3) kaum tunanetra yang penasaran dan rela memboroskan waktu mereka, kalau cerita ini diterbitkan dalam audiobook/edisi braille.

Baiklah, perhitungan diatas barangkali berlebihan, tapi maksudku tentunya tersampaikan: Nggak ada gunanya kita memakai deskripsi ala RPG di dalam sebuah novel fantasi yang serius. Itu nggak membuat novel menjadi lebih menarik atau lebih mudah diterima oleh gamer. Jangankan di dalam novel yang dibuat ala-RPG; di dalam RPG sungguhan aja, pernahkah anda menemukan FMV/cutscene seperti yang terjadi di bawah ini...?

"Cloud! Tolong! MP-ku menipis! Aku tidak bisa lagi memakai Summon Bahamut zero!"

Mendengar namanya dipanggil, si pemuda pirang meluncur turun dari kepala Midgar Zolom sambil menggoreskan Buster Sword di sepanjang punggung ular raksasa itu.

"Hiaat! Terimalah ini! Command Materia 2xCut!"


Gelombang tenaga Materia 2xCut yang menyeruak dari pedang besar si pemuda dengan cepat menyebabkan tubuh lawannya terbelah dua. "Tidaaaak!" si monster berteriak. "Aku punya 15.000 HP! Tidak mungkin... sedemikian mudahnya... kalah! Aaaaargh!"


Tanpa menghiraukan erang kesakitan makhluk buas, si pemuda lalu melompat. Ia mendarat mantap, membelakangi tubuh lawannya yang tumbang menjadi dua potongan yang menghempaskan debu di kiri-kanannya. Lalu ia mengulurkan tangan pada gadis yang memanggil namanya tadi.

"Jangan takut Tifa! Aku masih punya Potion! Ini--ambillah!"

Tifa melotot. Kesal. Tiba-tiba saja limit break gauge-nya terisi penuh. Langsung saja ia melakukan serangkaian tendangan dan pukulan yang diakhiri Limit Break terkuatnya, Final Heaven. "Bodoh!" teriaknya sambil terus menghajar Cloud. "Potion itu untuk memulihkan HP, Bukan MP! Elo kan jagoannya. Kok yang geto aja gag mudeng seeeeh?! MAMPUSSSSS!!!! Hiaaattt!! Tendangan Kincir Berputar!!!"


Mohon maaf untuk seluruh penggemar Final Fantasy VII yang membaca artikel ini. (Siapa bilang aku nggak bisa menikmati fantasi komedi? Heh, heh, heh...)

Baik. Ehem. Setelah melihat plot dan suasana cerita yang kacau, mari kita tinjau karakter dan dunia itu sendiri. Aku nggak akan ngebahas satu persatu karakter maupun tempat-tempat ataupun benda di dalam dunianya, karena kayaknya ga ada yang bisa kita pelajari kalaupun kita bedah semuanya satu-satu. Yang menarik dari karakter-karakter dan benda-benda dan dunia Summonster hanyalah satu: naming konyol yang kayaknya mengatakan "Aduhh, jadiin gue sasaran plesetan/cela dong plissss..."

Baca sendiri deh...

1. King Dradont. Oh no you don't.

2. Jenderal Watduks. "What?" *duks* Kayak sound effect orang yang lagi gubrak ke lantai karena guyonan gag lucu.

3. King Vadeworth. Hmm... Darth Vadeworth.

4. Ratu Dsaustet. Sounds like Ratu Santet.

5. Kitab Devdilbook, yang suka diplesetin sebagai kitab Devilgoblok oleh salah satu tokoh. Not that it is funny, though.

6. Difficult Jungle. Hutan yang sulit dilalui karena dipenuhi monster kuat-kuat. Oh yeah, jenius. Kreatif banget penamaannya.

7. Big Croakodille. Croaking crocodile kali yah? Nggak lucu ah.

8. Sumont Gurithae... yang rupanya berbentuk, surprise, surprise, gurita raksasa.

Nama-nama ini mungkin lucu untuk suasana fiksi fantasi komedi, tapi untuk fikfan serius, kukira terang-terangan salah tempat. Sekali lagi, ngocol hendaknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Selain itu perlu diperhatikan tipe humor yang sesuai dengan cerita. Kalau tone cerita dark, cobalah humor dark/sarkastis/sadis. kalau tone cerita memang komedi, slapstick atau humor-humor sugestif mungkin tepat. Jangan humor slapstick dipakai untuk cerita serius di suasana serius pula. Ya jelas gag kena dunk.

Pembaca yang terhormat, sebetulnya aku ingin lebih dalam menelaah buku ini dalam usaha untuk memulung apa-apa yang masih berguna sebagai pelajaran. Sayangnya, aku cuma manusia yang HP-nya terbatas, sementara buku yang awalnya kuremehkan ini ternyata merupakan lawan yang lebih parah daripada boss-boss rahasia semua RPG. Untuk itu biar kusimpulkan sari dari reviewku kali ini: Jangan membajak gambar game untuk cover atau ilustrasi, jangan menulis fantasi serius dengan deskripsi teknis-RPG, dan kalau mau ngocol pertama-tama pastikan dulu kalau anda itu lucu.

Untuk Bang Rudiyant, kuucapkan selamat: (Sum)monster Anda adalah mahkluk pertama yang sukses ses ses ses menghabiskan HPku! Beruntung aku masih punya persediaan Phoenix Down dan Megalixir untuk memulihkan diri.


Luz Balthasaar

Minggu, 29 November 2009

JONGGRANG: Seribu Tahun Kutukan Dendam & Cinta (Bimo S. Nimpuno & Gerry Nimpuno - 2009)


by FA Purawan

Data Buku:

Penerbit: Edelweiss
Editor: -
Desain Sampul: Kebun Angan
Tata Letak: Fitri Yuniar
Tebal: 268 halaman

Hmm, ada apa dengan Roro Jonggrang? Apa daya fantasi yang melingkupi legenda ini sedemikian dahsyatnya sehingga menjadi inspirasi tak putus-putus? Masih banyak legenda lokal yang lain, kan? Tapi kenapa Roro Jonggrang lagi, lagi, -dan lagi? Apa karena ada artefak candi yang segitu gede dan memukau-nya, sehingga legenda itu menjadi terus tersokong hidup sepajang masa.

Nggak salah, si Bandung Bondowoso dulu mengutuk Roro Jonggrang jadi patung batu. Terbukti long-lasting, heheheh. Coba kalau dikutuk jadi kodok, besoknya udah jadi Swikee.


Ada satu lagi buku baru bernuansa Fantasy yang menggunakan perempuan Prambanan ini sebagai latar cerita. Buku berjudul JONGGRANG: Seribu Tahun Kutukan Dendam & Cinta karangan duo pengarang Bimo S. Nimpuno dan Gerry Nimpuno. Ini adalah buku kedua yang direview oleh Fikfanindo menggunakan tema Roro Jonggrang, kalau teman-teman masih inget, yaitu PETUALANGAN JAVA-JOE: Rahasia Kebangkitan Roro Jonggrang karya J.H. Setiawan, linknya ada di sini.

Novel JONGGRANG mengisahkan kutukan yang menimpa Loro Jonggrang, putri Prabu Boko dari Prambanan yang mengakali Bandung Bondowoso sehingga pangeran penakluk dari Pengging itu gagal membuat candi keseribu yang dimintanya. Kutukan itu terus melekat sampai masa kini dan menimpa sepasang kekasih yang jadi tokoh utama buku ini, sehingga keduanya harus membebaskan diri dari cengkeraman Loro Jonggrang dengan menggunakan kekuatan CINTA.

Well, I know, I know. Komennya ntar dulu deh. Sekarang perlu aku beberkan dulu alasanku mengapa buku ini menjadi menarik untuk dibedah di Fikfanindo. Yang pertama, ini adalah buah karya kolaboratif dari sepasang pengarang yang kebetulan berstatus suami-istri (Atau suami-istri yang kebetulan berstatus pengarang? Hayah...). Fokus di 'kolaboratif'nya. Kita lihat bagaimana perpaduan dua benak dapat bersinergi menciptakan satu karya. Kedua, buku ini adalah jajaran kesekian yang mengolah tema 'basi'... uits, jangan marah dulu. Maksudnya topik Roro Jonggrang itu--yang sudah terpakai berkali-kali oleh dozens of writers. Apakah hal baru yang bisa dikreasikannya sehingga buku ini bisa menjadi sosok yang lepas dari bayang-bayang buku lain yg duluan eksis?

Kita mulai dari kemasan: Sampulnya berwarna hijau dengan ilustrasi putri keraton di sudut kiri bawah menghadap pada semacam pusaran cahaya langit di area tengah sampul. Tulisan "JONGGRANG" dengan typografi cukup menarik menghiasi muka sampul, dengan bayang-bayang candi sebagai latar belakang, dengan susunan pucuk-pucuk candi mirip dengan susunan pucuk rumah ibadah di cover novel Kisah 5 Menara. Cover dikerjakan oleh Kebun-Angan, ilustrator yang mengerjakan cover serial terjemahan Percy Jackson & The Olympians (Saya suka karya mereka di serial ini). Lumayan, konsep dan eksekusinya cukup dapet, lah. Hanya penggambaran sosok putri masih terasa agak kartun menurut gue, rada kurang masuk dengan tema buku yang sebetulnya cukup dewasa (baca: serius).

Gimana dengan alur plot? Agak similar dengan JAVA JOE, cerita dibuka dengan adegan pertempuran Bandung Bondowoso vs Prabu Boko. Terus sampai drama kutuk-mengutuk itu, lalu pindah ke masa kini.

Ada satu pendekatan unik yang digunakan para pengarang dalam mengantarkan cerita, yaitu dengan adanya suatu 'karakter pembantu' yang dinamai 'Akselerasi'. Sebetulnya ini bukan orang, dan juga bukan apa-apaan sebab gak dijelaskan lebih lanjut oleh pengarang. Cuma pengarang menggunakan 'Akselerasi' ini sebagai semacam 'kamera' yang mengamati semua adegan. Hebatnya --but at the same time: ancur-nya-- Akselerasi ini digambarkan datang dari ujung alam semesta dengan warp-speed menuju Bumi. Ndilalah mampirnya ya di Prambanan, gitu jhe? (gunakan logat Yogya).

Lho kenapa gue bilang 'ancur'? Sebab karakter akselerasi ini gak punya hubungan sebab-akibat apapun dengan cerita. Dia cuma jadi semacam pengantar aja yang fungsinya juga gak jelas. Gak eksis pun gak apa-apa. Mustinya sih, pengarang bisa memberikan sedikit 'reason' kenapa karakter itu diperlukan, kenapa relevan ada di bukunya.

Alur didesain cukup biasa saja. Straight forward dari awal sampai akhir. Ada a little twist yang sedikiit aja memperkaya (sayangnya, nggak memberi kedalaman pada cerita), padahal kalau aku rangkai-rangkaikan, kayaknya potensial jadi sesuatu yang saling interelated dan membuat cerita jadi lebih berdimensi. Kayaknya pengarang gak melihat hal itu, atau gak mengolahnya dengan baik.

Lepas dari masa Prambanan, masuk setting masa kini, dengan kehidupan tokoh utama bernama Data Sena --yang bekerja di perusahaan IT-- dan kekasihnya Elektra. Yup, pasti anda terjengit, ada orang indonesia bernama Elektra, dan Data. Gue juga sempat membatin koq namanya aneh bener Data (mirip tokoh Star Trek), terus kerja di IT, pulak. Eh ga taunya di halaman 23-24 pengarang udah ngeduluin mencounter dengan pertanyaan yang sama. Ha-ha.

Penggambaran setting masa kininya cukup dapet, dan secara signifikan lebih baik dari pada setting era Prambanan-nya. Untuk setting masa kini yang berlaku seputar kehidupan kantor, rumah, cafe, situasi liburan di Bali, Yogya, wisata candi Prambanan dll, cukup bagus tereksekusi.

Tapi khusus... setting Fantasynya, harus aku puji cukup extra ordinary. But wait, aku belum bicara masalah penulisan/ penceritaan, tapi ide fantasy nya aja dulu. Ada dua setting Fantasy yang cukup dominan di sini, yaitu Prambanan era tahun 800 M-an dan "Alternate Prambanan" di masa kini. Di setting Prambanan tahun 800-an, pengarang menelurkan ide fantasy pembuatan seribu candi yang cukup keren buat gue. Tentu saja, adegan pertempuran Prabu Boko dan pembuatan 1000 candi pastinya udah banyak yang mengolah. Bagaimanapun itu adegan inti dalam kisah Roro Jonggrang klasik. Tapi lihat deh apakah sudah ada yang melukiskan bagaimana cara Jin-jin dedemit pembantu Bandung Bondowoso itu datang?

Keren, look at this:

...Angin berhembus kencang menerjang apa saja yang dihantamnya, termasuk potongan-potongan tubuh yang berserakan di tanah yang berlumuran darah. Namun kejadian yang mencekam ini tidak membuat Bandung berhenti komat-kamit. Justru sebaliknya ia berputar-putar dengan perlahan sambil terus menengadah ke langit melanjutkan manteranya. Di dalam suasana alam yang hiruk-pikuk itu, tiba-tiba tanah bergetar. Getarannya tidak mirip dengan gempa bumi, tetapi lebih mirip dengan getaran magma yang akan keluar dari dalam perut bumi. Tidak lama kemudian muncullah dari dalam bumi, sesosok makhluk yang wujudnya mengerikan. Mula-mula hanya kelihatan kepalanya saja yang menyembul keluar dari dalam bumi. Kulitnya hitam keabu-abuan dan lapuk seperti mayat yang sudah beberapa bulan dikubur di dalam bumi. Matanya memantulkan sinar hijau. Cuping hidungnya besar dan mengenakan anting. Tampak taringnya keluar dari antara kedua bibirnya yang tebal dan menjijikkan. Ketika badannya sudah hampir keluar semua, tampak badannya tidak proporsional sama sekali. Tangan dan kakinya kecil, tubuhnya bungkuk dan perutnya buncit. Kuku-kuku yang panjang berliuk-liuk dan kotor keluar dari masing-masing jari-jari tangannya yang panjang-panjang. Ternyata makhluk bawah tanah itu tidak sendirian. Satu persatu mereka menyembul keluar dari dalam tanah sehingga jumlahnya ratusan bahkan ribuan. Belum selesai makhluk-makhluk lainnya yang sejenis menyembul keluar dari dalam tanah, tiba-tiba sekumpulan awan hitam menerobos dari langit menuju ke medan Prambanan yang kini berubah lebih menyeramkan lagi dari sebelum-sebelumnya. Ketika menyentuh tanah awan hitam itu berubah wujud menjadi kawanan makhluk-makhluk kecil yang menyerupai tuyul yang jumlahnya juga ribuan. Mereka juga ribut dan gerakannya seperti anak-anak kecil yang rakus... (Hal. 9-10)

See? Ide --terutama visualnya-- cukup orisinil dan menggugah.

Juga untuk ide Alternate Prambanan di masa kini. Di saat malam terutama, starting pukul 23.00, Prambanan akan menjadi suatu kompleks istana klasik dimana dayang-dayang, penari, ponggawa dan kereta kencana gaib muncul. Dan yg bikin gue geleng-geleng kepala, semua berlangsung sepermakluman rakyat setempat sampai ke petugas satpam (Petugas Satpamnya gak heran ngelihat ada kereta kencana ditarik enam kuda hitam berlari menembus gerbang tertutup right before his own eyes! Mantap!) A living urban legend! Dunia real dengan dunia khayal bertemu-mix di sini secara apik. Saya suka.

Dengan adanya dua ide setting itu, sebenernya Novel ini berpotensi jadi 'beda'. Sayang sekali, kualitasnya belum bisa mencapai posisi ideal karena beberapa kelemahan. Saya akan list down kelemahan yang bisa saya temukan, sambil sekaligus beberapa komplain terkait pengolahan cerita, hehehe. Here goes:

1. Yang paling parah: kemampuan penulisan, pembuatan prosa atau kalimat. Sayang banget masih kurang bagus, ku bilang malah masih agak berantakan. Liat aja contohnya di paragraf yang saya kutip di atas. Terlihat bahwa adanya DUA pengarang tak menolong dalam hal ini. Entah apakah salah satu gak bisa mengoreksi yang lainnya, atau dua-duanya memang belum punya skill-nya. Kalau saja peran editor bisa lebih ditingkatkan, di sini.

2. Sedikit bolong logika: Pembangunan candi Prambanan pada tanggal 11 November tahun 856-an M atau Abad 9 M (hal 91), peristiwa masa kini terjadi tahun 2009-an. Tapi selisih tahunnya menurut pengarang adalah seribu tahun(an). Well, 800 ditambah 1000 baru nyampenya 1800-an lah, kurang dua abad! Kesalahan remeh, sih, tapi masak matematika sederhana aja terlewat? Tapi anehnya di halaman 3 disebutkan time-line perang Prambanan adalah pada abad 10 M. Antara abad 10 dengan abad 20 memang terpaut seribu tahun. Tapi bagaimana konsistensinya dengan informasi pembangunan Prambanan di tahun 800-an? Artinya perang terjadi setelah candi dibangun? Lha perangnya sendiri seharusnya adalah penyebab dari candi itu dibangun! Ga tahu deh, miss-nya di mana. Kalau menurut gue sih, konsistenkan saja, pilih satu sudut premis yaitu (kalau di sini) premis legenda aja, jangan masukin premis fakta. Aman. Kecuali kalau antara legenda dan fakta 'kebetulan' cocok.

3. Blatant Tourism Promotion: Jangan-jangan dua pengarang ini sempat minta sponsorship dari Pak Jero Wacik! Part selipan promosi wisatanya terasa amat vulgar, sampai ke adegan waiter di Ubud duduk nemenin tamu hotel (sang tokoh) untuk mendeliver obrolan yang pantasnya tercetak di brosur wisata. Well, masih bisa dimaafkan, ketika kisah pariwisataiyah tersebut juga direfer sebagai informasi penting terkait plot, memang. Tapi hari gini, rasanya udah banyak pengarang menghindari kevulgaran yang kayak gitu. Istilah pariwisata perlu dicek lagi, gue baru tahu kalo wisata Arung Jeram masuk kategori Wisata Bahari (hal 55).Promosi tempat-tempat di Yogya juga, buat saya 'masih' berasa dipaksakan, walau pengarang sudah cukup rapi meramunya sebagai tempat-tempat yang dikunjungi para tokoh. Rasanya seperti nonton film laga Steven Seagal yang dipaksain beraksi di lokasi-lokasi pariwisata, just to show *it* to the audience. Lame.

4. Inkonsistensi POV: Mulai dari Bab II: Seribu Tahun Kemudian, buku ini menggunakan sudut pandang Data Sena sebagai POV orang pertama (tokoh aku). Sayangnya tidak digunakan secara konsisten, sehingga acap terselip POV orang ketiga, misalnya POV Elektra. Bahkan di bagian akhir cerita POV bergeser 100% ke Elektra sebagai POV orang pertamanya. Hualah, kita mendalami masalahnya dalam sudut pandang Data, tapi menjalankan penyelesaian masalah melalui sudut pandang Elektra? Buat gue sih jadi gak nyambung, ya. Dan khusus pendekatan POV orang pertama, mengganti POV orang pertama dalam satu cerita menurut gue is a big No-No. Rasanya seperti membaca cerita yang gak selesai, sebab masalahnya diselesaikan oleh 'aku'nya orang laen. Tapi satu misslook juga terjadi di halaman 213, saat tiba-tiba saja dalam POV Data yang berada di Yogya, Data bisa bercerita mengenai aktivitas Elektra yang akan menyusulnya di bandara Soekarno Hatta Jakarta (parah, Data seharusnya dalam kondisi tidak tahu dan tidak peduli pada Elektra, koq bisa muncul POV itu). Udah gitu yang tidak indah juga adalah perpindahan ke POV Elektra seperti petir di siang bolong, alias ujug-ujug terjadi begitu aja mulai paragraf kedelapan di halaman 215. Parah juga di halaman 238 dimana Elektra meyatakan kondisi dirinya mirip dengan relief Kidung Sudamala di Candi Sukuh, sementara yang pergi ke candi Sukuh dan lihat relief itu adalah Data, di adegan pesiar sebelumnya.

5. Loro, atau Roro? Nhah, ini mungkin bakal jadi polemik kebudayaan di tangan orang yang gak ngerti budaya. Maksudnya, gue, yg nggak ngerti budaya Jawa. Pengarang menggunakan sebutan Loro Jonggrang, sementara setahu saya istilah yang benar adalah Roro Jonggrang. Bahasa Jawa-nya Loro, kan kalo nggak berarti (angka) "dua", atau "sakit", tergatung logat membacanya. Sementara kalau Roro itu sebutan untuk seorang puteri, misalnya dalam "Raden Roro". Nah, apakah memang ini semata slip-of-tongue, atau memang ada konvensi penggunaan istilah "Loro" yang sama benarnya dengan istilah "Roro"? Soalnya denger-denger juga ada istilah 'Nyai Loro Kidul' bersamaan ada juga istilah 'Roro Kidul', konon itu dua entitas (?).

6. Beberapa miss-logika juga terjadi, tapi dalam skala kecil sehingga mudah dimaafkan. Misalnya ada adegan Data bermimpi memasuki alam masa lalu dimana dia mendengar suara-suara pedang beradu dan orang-orang berteriak dalam bahasa Jawa Kuno. Ntar dulu,... emang Data ngerti bahasa Jawa Kuno? Bagaimana kalau itu sebenernya bahasa Urdu modern yang dikira bahasa Jawa Kuno? Juga reaksi curiga/ cemburu Elektra yang berlebihan, biarpun justified, tetep aja terasa dipaksakan.

7. Tadi sempat ngomongin ide fantasy keren, saat Bandung Bondowoso memanggil pasukan jin-nya. Terus yang bikin ide keren itu kehilangan momentum kekerenan, adalah: Pengarang mengulang penggambaran adegan yang sama sampai dua kali selain di adegan original. Satu di mimpi Data, satu lagi di adegan puncak saat Loro Jonggrang menawan Elektra, dan keduanya tampil dengan narasi yang nyaris mirip, almost total copas. Udah dua pengarang, lho ini? Koq, males? Atau, kalau mengacu pada teknik, sebetulnya ulangan ke 2 dan ke 3 itu gak perlu serinci yang pertama, sekedar gambaran singkat aja. Pembaca udah paham, koq. Kalau mau rinci, tuliskan dengan cara baru, misalnya dengan dijiwai oleh persepsi sang tokoh POV. Jadi pembaca tetap dapat sesuatu yang unik, gak pengulangan.

8. Late Chatolic Reference: Uhm, gue bukan anti religius-reference-in a novel. Even dalam novel gue (GARUDA-5) pun, gue menggunakan referensi Islam, yang gue timbang-timbang dengan hati-hati, supaya masih 'masuk' untuk dibaca audiens non-muslim. Novel Jonggrang ini menggunakan referensi Katolik, bahkan menjadikannya penyelesaian utama konflik melawan kutukan Bandung Bondowoso. Hanya komplain gue, kenapa referensi ini baru muncul belakangan, setelah halaman 217 sewaktu ada dialog dari Roos, kolega Elektra, "Kamu kan Katolik...dst". Blunggg! Abis itu menggelontorlah segala istilah per-katolik-an mewarnai buku, termasuk konotasi "Aku berada dalam terang" atau "Kau berada dalam gelap". Ugh, Koq jadi novel dakwah? Tapi ya udah. Soal dakwah adalah soal hak dan keyakinan. Aku hormati banget itu. Tapi soal memasukkan referensi teologis belakangan, aku rada gak sependapat. Saranku, masukinlah sejak dari depan, misalnya ada adegan acara keluarga bernuansa Katolik, ato apa gitu (sebisa mungkin jangan klise, tapinya). Tak soal bila pada adegan awal tersebut sang tokoh gak terlibat atau gak terkesan (biasa, kan belon insap). Yang penting pembaca sudah tahu sudut pandang itu sejak awal.

9. Dialog: Eksekusi dialog sebetulnya dah bagus, mengalir wajar. Cuma ada catatan di sana-sini, misalnya si Bandung Bondowoso yang berteriak-teriak menggunakan terlalu banyak konsonan-vokal-dan tanda baca. Si Bandung juga 'gak sengaja' keceplosan menggunakan dialog: "Ngomong aja kamu" (hal 15). Well, mungkin di abad itu gaya bicara seperti itu masih tergolong gaya bicara ningrat, kali ya, alih-alih gaya bencong, hehehe. Kalau menurut konvensi, sich, jika dialog diasumsikan berlangsung dalam bahasa asing (dalam konteks ini tentu bahasa Jawa Kuno), maka penulisannya dalam bahasa Indonesia seyogyanya dalam bahasa baku atau mendekati istilah-istilah baku. Jangan pakai bahasa slang. Nah, beda dengan ejekan Loro Jonggrang-muka-setan di masa kini: "Kasian deh loe!" (hal 242) itu masih tepat ditulis demikian sebab konteksnya si Jonggrang memang bicara dalam bahasa Indonesia, bukan Jawa Kuno. Dalam adegan-adegan latar misalnya di hotel, di cafe, terlampau banyak dialog yang gak perlu, sampe adegan pesan teh saja dibabar dialog tanya-jawab secara lengkap. Sebaiknya lebih efisien aja.

Well, that's it. Lebih kurang sembilan point aja yang bisa saya rinci sekarang. Moga-moga dapat menjadi pembelajaran bersama. Selain dari itu, novel ini memiliki kelebihan dalam pewarnaan budaya yang cukup beragam, referensi-referensi yang digunakan lengkap dan bernas, mengarah pada ketepatan text-book. Tinggal perangkaiannya aja gimana, agar tidak terkesan sebagai tour yang dipaksakan. Status pengarang sebagai pasangan suami-istri sepertinya juga saling melengkapi dalam menuliskan asmara hubungan pria-wanita. So secara pondasi sih, Jonggrang sudah memiliki kelengkapan yang cukup. Yang kurang adalah skill kepengarangan aja, yang masih dapat ditingkatkan. Selamat!


FA Purawan

Rabu, 25 November 2009

Intermezzo: Cynical World

By Luz B

here we stand in ravishing rain
joy is like pain
it feels like a miracle
you can't turn back, you're in chains
never again
return from a cynical world

~Yuki Kajiura, Cynical World


Menjadi seorang sinis itu sangatlah asyik, saudara-saudara. Jika kita melakukan interpretasi atas penggalan lirik lagu yang kukutip diatas, sekali anda menemukan esensi yang diperlukan untuk menjadi sinis, anda tidak akan bisa kembali manis. Jika seorang pemikir pernah berkata agama adalah candu masyarakat, aku akan menambahi bahwa sinisme adalah candu individu.

(Mendadak terdengar pembaca blog serempak berteriak, “Om Puuurrrr! Mampus deh, kenapa sih dikau terima anak sok filosofis ini? Tiadakah karyawan yang lebih baik?”)

Dan dari tangan-tangan mereka mulai terlontar tomat-tomat ranum.

Baik. Demi keselamatan jaket Burberrys berlabel made in China kesayanganku, ada baiknya kita to the point saja. Yang mau kukatakan adalah bahwa sinisme bukan perwujudan kebencian, walau tidak bisa disangkal bahwa orang-orang sinis seringkali dibenci. Terbukti, ketika Sabtu lalu aku mengunjungi Gramedia Plaza Semanggi, aku benar-benar kaget—dan dengan berani mengakui, sangat, sangat senang--melihat sebuah buku dipajang di rak terbitan baru.

Judulnya? Garuda 5: Utusan Iblis, oleh FA Purawan.

Yep. Itu nggak salah tulis, wahai saudara-saudari segala agama dan agami. Silakan ambil time out 5 menit untuk kaget, bersorak, memuji Tuhan, bersujud diiringi lagu religi paling gress, dan mengucapkan selamat kepada bos Blog Fikfanindo, sebelum lanjut membaca tulisan ini.

Begitu senangnya, aku langsung beli buku itu. Padahal, mereka yang mengikuti thread Fiksi Fantasi Dalam Negeri di Forum Lautan Indonesia barangkali tahu bahwa aku pernah membuat review draft original buku tersebut, yang berjudul Pendekar Garuda.

Ini cuplikan pendapatku…

Terkait dengan itu, aku merasa yang kukutip di atas adalah empat monolog sinetron yang dimunculkan sebagai perpanjangan mulut pengarang untuk mempersembahkan iklan layanan masyarakat mengenai isi kitab lontar. Narasi disamarkan jadi lisan karakter dengan cara naroh tanda kutip di depannya.

Ketahuaaaan banget, kayak Ade Rai nyoba nyamar jadi Dewi Perssik dengan nyumpel dada dan pantat pake karung beras.

Satu lagi…

Kasus yang sama juga dengan hubungan Jaka-Prasti yang bikin aku pengen goyang Mulan Jameela. Sumpah, Jaka barangkali adalah Makhluk Tuhan yang Paling Oon. sebagai ketua OSIS dia itu goblok banget sih.

Dan yang paling parah…

To sum it up, masalahku dengan PG adalah:

Karakter kadang kelihatan banget menjadi perpanjangan mulut pengarang...

...dan mereka memiliki motif yang basi...

...atau membicarakan filosofi yang dangkal, menyebabkan...

...tangan pengarang kelihatan banget ngarahin para karakter, yang

...membuat cerita jadi sangat tidak seru. Even the battle narration didn’t save this one, because...

...boros katanya itu membunuh excitement yang seharusnya terkandung di dalam narasi pertarungan!

As you can see, sama sekali nggak manis. Tapi balik ke permasalahan: mengapa, anehnya, despite all my cynicism, ketika melihat buku ini terbit aku justru pingin ke tempat ajeb-ajeb untuk berpestapora merayakan kelahiran para pendekar garuda ini?

Kemungkinan pertama, tentu saja: I am a deranged witch with a taste for sadomasochism. Barangkali ada orang-orang yang merasa perlu mengganti "w" dengan "b", but I don't really mind, because, too bad for them, I'm not their witch.

Terbitnya suatu buku sekalipun sudah dikritik ancur-ancuran seperti ini adalah bentuk bantahan, setidaknya secara parsial. Terlepas dari benar-tidaknya pendapat yang kulontarkan, bantahan adalah penentangan, suatu serangan balik. Dan kalau ada orang yang senang diserang (dan menyerang), itu gejala apa coba kalau bukan sadomasokhisme?

Kemungkinan kedua, melihat Garuda 5 terbit memberiku harapan. Naskah 699 halaman, dari penulis baru, dan ada yang berani menerbitkan? Ada juga penerbit yang segitu gilanya, yak? Kalau begitu, berarti naskahku juga pasti ada jodohnya diluar sana dong?

Dan yang ketiga, seperti apapun aku iri pada mereka yang naskahnya sudah mendapat jodoh, dan bagaimanapun rasa iri itu termanifestasi di dalam subjektivitas dan hinaanku, tetap saja ada kegembiraan melihat naskah milik teman keluar, dengan cover yang bagus, dan judul yang menurutku memuaskan selera oknum-oknum marketing tapi tidak sepenuhnya kehilangan rasa kependekarannya.

Apakah kepuasan itu lahir dari semangat kesetiakawanan? Ataukah itu murni cinta terhadap genre fiksi fantasi? Tidak, barangkali. Yang pertama terlalu mulia dan yang kedua terlalu sinetron. Sejujurnya aku juga sulit menjustifikasi kesenangan manis di dalam jiwa sinis ini. Tapi satu hal lagi yang pasti terjadi selain bahwa aku membeli buku itu adalah, aku semakin bersemangat mengerjakan naskah sendiri.

In other words, aku *uhukuhuk* berterima kasih *uhukuhuk* kepada Om Pur, selaku penulis Garuda 5, karena momen terbitnya Garuda 5 *uhukuhuk* memberi dorongan semangat *uhukuhuk* kepada jiwa sinis yang kadang fatalistis ini. *Gwaaaah~! Muntah darah dan masuk Rumah Sakit karena terlalu banyak bicara manis.*

Time out 5 menit untuk ambulans dan pertolongan pertama.

Nah, setelah aku sedikit pulih, barangkali bolehlah jika ada yang bertanya, semangat apa? Ya tentu saja, *dengan sinisme dan kengenye’an yang sudah kembali pol* semangat untuk membuat naskah yang bisa mengalahkan Garuda 5!

Oleh karena itu saudara-saudara sesama penulis setengah mateng, mari kita semua pesta, bersenang-senang, merayakan harapan yang dibawa Om Pur kepada kita. Dan setelahnya marilah kita menghargai dan menghormati pesan Om Pur di forum Fiksi Fantasi Dalam Negeri: mari kembali ke depan keyboard masing-masing, dan curahkan tenaga anda untuk melahirkan naskah yang lebih baik. Jika ada lagi naskah baru yang terbit, hargailah si penulis dengan berusaha melahirkan karya yang melampauinya, dengan demikian memperbesar dan memperkuat harapan itu setiap kali ada satu diantara buah perjuangan kita yang menemukan jodohnya.

Barangkali benar, seorang sinis sesungguhnya hanyalah seorang idealis yang kecewa.


Luz Balthasaar

Sabtu, 14 November 2009

AERIAL (Sitta Karina - 2009)

By Luz B


Editor: -
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Ilustrasi sampul: Dianing Ratri
Pengerjaan Sampul: Marcel A.W.
Tebal: 319 halaman


"Kamu familiar. Bau darahmu familiar."
"Aku sama sekali tidak mengenalmu."
"Kau tahu siapa aku, Putri."

Ehem. Putri.

Menjadi makhluk skeptis kadang-kadang ada kekurangannya sendiri. Salah satunya, aku langsung merinding kalau dalam sebuah novel ada tokoh cowok yang digambarkan dingin-dingin-ketus dan terus-terusan manggil ceweknya dengan sebutan "Tuan Putri."

Tapi okelah, aku nggak bisa bilang Aerial jelek hanya itu. Jadi mari kita amati buku ini dengan lebih seksama. Dari sampul depan, sangat menarik. Ilustrator sampul mengerjakannya dengan ilustrasi cat air yang bagus, dan ide yang menarik. Matahari dan bulan di sudut berlawanan, dipasangkan dengan cowok dan cewek yang juga ditaruh berlawanan. Daratan ngambang di tengah, dengan pohon-pohon dan air terjun. Pas buat buku dongeng.



Balik ke cover belakang, bertemulah aku dengan tiga kalimat yang sudah kukutip di atas berikut sinopsis. Lalu tibalah kita di baris terbawah. Rupanya ada komen dari editor sebuah majalah remaja, sebagai berikut:


"Reading this novel, I keep on trying to visualize every detail from Sitta's great imagination..."


Great imagination. Baiklah, itu kata kunci yang kutangkap dari endorsemen pertama. Dan yang kedua,


"Sitta Karina adalah penulis novel remaja berjiwa sastra."


Nyastra. Itu kata kunci yang kedua.

Berani juga para endorserwan/endorserwati tersebut ngasih predikat yang segitu berat ke novel dan pengarang ini, wekekeke...

Setelah selesai membaca, aku bisa mengatakan bahwa plot cerita Aerial secara garis besar setia pada sinopsis sampul belakang, yang berarti, kira-kira begini: Sadira dan Hassya adalah Putri Negeri Cahaya dan Pangeran Negeri Kegelapan. Dan klan mereka bermusuhan ala Romeo dan Julio. Kenapa musuhan? Rupanya karena Negeri Cahaya disinari matahari, sementara Negeri Kegelapan nggak. Jadi, Negeri Kegelapan ingin merebut wilayah cahaya, dan sebagai akibatnya, Negeri Cahaya berniat menyerang duluan Negeri Kegelapan.

Lucunya, untuk apa orang-orang Negeri Kegelapan ini pengen sinar matahari, kalau mereka langsung kebakaran kulit begitu kesengat terik? Okelah, pengarang bilang bahwa bangsa kegelapan juga "butuh," ingin "menikmati" dan "memanfaatkan" matahari. Tapi caranya menikmati matahari gimana? Butuh buat apa, juga gag disinggung. Dan kenapa harus matahari, lha wong selama ini terbukti mereka bisa hidup tanpa sumber daya satu itu?

Jadi tolong jangan salahkan aku kalau ngebayangin bangsa Kegelapan ini ternyata punya hobi rahasia berbaring di bawah matahari, kebakar sambil menggelepar-gelepar tapi teriak-teriak nikmat.

Masochistic sunbathers.

Dan mengenai memanfaatkan, dari ucapan penasihat raja kegelapan di hal. 50, kita bisa menyimpulkan bahwa mereka juga belum tahu cara memanfaatkan matahari. Meskipun begitu, saudara-saudara, mereka mau menyulut perang demi mendapatkan sesuatu yang alih-alih mereka ketahui cara memanfaatkannya, justru bisa berbahaya bagi mereka.

Bukan hanya masokhis, rupanya; mereka juga korslet otak.

Cerita berlanjut. Hassya dan Sadira, awalnya saling benci, kini jatuh cinta. Bersamaan dengan itu, Isla, sepupu Sadira, juga jatuh cinta sama orang lain dari negeri Kegelapan. Sayangnya ramalan kuno berkata bahwa dunia mereka bakalan kiamat kalau ada orang dari Negeri Cahaya dan Negeri Kegelapan yang bersatu. Namun, dengan gigih mereka berempat bertekad untuk menghentikan perang dan mencegah kehancuran.

Nah, apa yang dilakukan para jatuhcintawan dan jatuhcintawati yang sudah kusebut diatas untuk menghentikan perang dan mencegah kehancuran? Eng-ing-eng! Isla dan pacarnya membuat rencana rahasia demi perdamaian yang garis besarnya adalah meriset krim anti matahari untuk rakyat Kegelapan supaya mereka bisa berbagi matahari tanpa harus berperang.

Bigsweat. Itu reaksi awalku, yang jujur kuakui terlalu ngenye'. Karena itu mari kita berpikir positif. Bukankah ini unik? Berapa banyak novel menawarkan konsep perdamaian lewat sunblock? Lagian ini cocok dengan penempatan tokoh Isla yang katanya cantik dan cerdas, dan doyan bikin penemuan-penemuan aneh seperti "alat pembuat busa sabun" (hlm. 29)

Sedikit catatan iseng, aku juga punya alat pembuat busa sabun. Namanya loofah, a.k.a spons mandi. So, apparently, in that universe, they need a genius to create something that has the exact same function as a simple loofah. Considering this fact, how smart can the rest of them possibly be?

Sedangkan Antya, adik Sadira, punya cara lain untuk menciptakan perdamaian. Bersama seekor kuda terbang ia berusaha memanggil penolong dari dunia lain, yaitu Laskar dan Sashika, pelajar SMU Surya Ilmu di Jakarta. Untuk apa? Dua hal.

Tujuan 1: cameo/promosi semata dengan membuat kaitan dengan buku karya Sitta Karina yang lain. Kenapa aku bilang semata? Karena di dalam tubuh Sadira dan Hassya, Sashika dan Laskar nggak berbuat apa-apa selain ngucapin beberapa dialog yang rasanya seperti diselipkan ke dalam buku sekedar supaya pembaca ingat kalau ada orang lain di dalam tubuh kedua pangeran dan putri itu. Kalau dialog-dialog selipan itu dihapus, aku rasa nggak akan ada ngaruhnya ke plot utama, dan nggak ngurangin greget cerita juga.

Tujuan 2: Untuk membuat Sadira dan Hassya semakin lengket.

Tunggu dulu. Bukankah katanya, kalau ada orang dari Klan Cahaya dan Klan Kegelapan yang bersatu, dunia kiamat? Ramalan memang belum tentu benar, tapi bagaimana orang-orang ini bisa tahu legenda itu keliru?

Nggak ada penjelasan dari pengarang. Jadi aku tergoda untuk membuat penjelasanku sendiri, yaitu,

a. bahwa para tokoh pasifis ini sebenarnya anggota Sekte Hari Kiamat, dan berniat mencegah perang dengan mengkiamatkan dunia lewat perkawinan mereka, (logis kan, Kalau kiamat, perangnya pasti gag jadi, wekekeke,) atau, yang nggak terlalu fatalistik,

b. mereka menerima wangsit ghoib dari pengarang yang tahu bahwa legenda itu sebetulnya sama sekali nggak penting dan bisa dicuekin!

Para pembaca blog Fikfanindo yang berpikiran kritis,

Kebolongan plot seperti yang kusebut diatas nggak berakhir disini. Demi menghindari spoiler, kukatakan saja kalau ada banyak sekali motif, logika, dan alasan di sepanjang buku yang kacau beliau, atau sedikitnya, kabur. Apakah ini karena diedit sehingga ada bagian-bagian penting yang hilang, atau memang kacau beliau dari sananya, entahlah. We may never know. Or care.

Hal berikutnya yang selalu menarik perhatianku adalah nama-nama tokoh. Kalau dilihat secara sendiri-sendiri, beberapa tokoh namanya bagus sekali. Laskar Adhyaksa, dan Sashika Amunggraha, terutama. Ini nama yang bunyinya Indonesia dan kedengaran enak, dan kupikir nggak pasaran. Thumbs up.

Ada juga nama yang nanggung, setengah Indonesia setengah bule celup, kayak Sirril Syadiran. Ada nama yang kayak nama OS jadoel (Neosys), menganut Jepangisme (Kaien, Ginta), kebarat-baratan (Fletta, Raoul, Franconia) dan berbau Irlandia. (Toireann, Isla, Blath. Yang terakhir ini buatku rasanya aneh karena blath artinya "bunga", klo gag salah, sementara yang punya nama ini cowok.)

Nama-nama ini nggak dengan sendirinya jelek. Yang membuatku protes adalah, nama-nama ini eksis di dalam dunianya secara berantakan. Bayangkan, dua pangeran Kerajaan Kegelapan bisa-bisanya satu dinamai Toireann, dan satunya lagi Hassya. Satu nama Irlandia, satunya Indonesia. Trus ada dua bersaudara Klan Kegelapan satunya bernama Aro, satunya lagi Kanti. Satu bau-bau Romawi, satunya lagi Indonesia.

Ortu mereka pada kenapa tuh pas ngasih nama anak kedua? Dideportasi?

Nama berasa Jepang macam Kaien dan Ginta juga nggak jelas bagaimana bisa eksis dalam dunia dimana hampir sebagian besar bernama Barat. Apalagi Raja Adhyasta, raja Cahaya. Kok dia bernama Indonesia padahal rakyatnya punya nama macam Elena, Micchal, Finn, Jedidah, Nenna, Falkor, dst?

Keporak-porandaan juga terjadi di setting dunia cerita Aerial. Katanya dunia ini terjadi di dimensi yang berbeda, lah, kok ada perang antara orang Viking dan Atlantis di mitologi dunia yang bersangkutan? Dan kenapa juga mereka menyebut Aphrodite dengan cara seperti yang dilakukan orang-orang di dunia nyata?

Bener, di dunia lain bisa saja ada orang Viking dan Orang Atlantis. Philip Pullman di His Dark Materials juga menaruh setting Oxford yang bernama sama dengan suatu lokasi di Inggris. Namun, nama ini ga berasa asal comot. Phillip Pullman memakai nama itu dengan memasukkan deskripsi dan properti dunia yang pas, misalnya dengan menunjukkan kehadiran daemon, atau menyebut arus listrik bukan sebagai "electric current" tapi "anbaric current," yang membuat aku menerima kalau ini Oxford yang berbeda.

Nah, kalau di Aerial? Bisa memang kita mengasumsi kalau itu orang Viking dan Atlantis dan Aphrodite lain. Namun, tanpa penjelasan, deskripsi, maupun properti dunia yang gamblang mendukung bahwa itu adalah Atlantis lain, Viking lain, maupun Aphrodite lain, rasa bahwa itu cuma nama comot-tempel akan tetap menghantui aku.

Bicara soal deskripsi serta properti dunia, bukannya pengarang sama sekali nggak ngasih gambaran akan dunia maupun benda-benda apa aja yang ada di negeri ini. Masalahku adalah, benda-benda itu ditempatkan sebagai anakronisme yang lagi-lagi nggak ada penjelasannya.

*Pembaca blog serempak melempar tomat* "Boooh! Sok Pintar loe, pake istilah anakronisme segala! Sok Canggehhh!!! Sotoyyyy!!!"

*ngelap jus tomat dari muka pake sapu tangan Pierre Cardin*

Oke. Maafkan aku karena demen banget make kata-kata canggih. Maksudnya biar aku terlihat so(k)phisticated gitu lowh, wekekeke...

Buat yang kurang familiar dengan anakronisme, hewan satu ini adalah, sederhananya, istilah untuk menggambarkan penempatan suatu properti di dunia yang mustahil secara alur waktu. Contohnya, mari kita ambil dari satu novel yang pernah dibahas oleh Om Pur: Kamera digital dan senter yang dinamai Ki Cahya Sumilak di The Prince Must Die (Langit Kresna Hariadi).

Anakronisme biasanya dikasih alasan atau latar yang membuatnya bisa diterima di dalam dunia cerita itu, seperti yang terjadi di The Prince Must Die: kamera dan senter itu dibawa ke jaman Singosari oleh seseorang yang melakukan time-travel. Kalau tidak ada penjelasan, barangkali anakronisme itu dimaksudkan untuk humor. Komik-komik Asterix karya R. Goscinny dan A. Uderzo banyak menampilkan yang semacam ini, misalnya cameo The Beatles yang jelas nggak mungkin ada di jaman Inggris jajahan Romawi (Asterix di Inggris), atau fashion show ala Galia (Asterix: Mawar dan Pedang Bermata Dua).

Kalau suatu anakronisme nggak ada penjelasannya dan tujuannya bukan untuk humor, barangkali itu kesalahan yang nggak disengaja. Atau boleh nyomot seenak jidat.

Nah, di Aerial, cerita kayaknya diset di negeri dongeng-fantasi-medieval, terbukti dari adanya gaun putri-putrian dan kuda-kudaan dan pertarungan dengan pedang dan panah. Tapi kok di hal. 26 disebut kalau Negeri Cahaya sudah "mengembangkan teknologi yang dapat menekan kadar karbohidrat di dalam makanan utama mereka, sehingga tidak menyebabkan kegemukan." Hah? Kapan para pangeran-dan-putri-dongeng-medieval ini belajar soal karbohidrat dan obesitas? Dan ide "kurus adalah indah" itu adalah cara pandang yang relatif modern, nggak ada di abad pertengahan.

Apa pengarang ngasih penjelasan soal kenapa ini terjadi? Nggak tuh.

Untungnya, kekacauan macam ini jauh berkurang di bagian belakang-belakang, terutama karena Isla dan penemuan-penemuan anehnya nggak lagi banyak dibahas. Namun, lepas dari kekacauan setting, muncul hal lain yang membuatku ngenye' lagi--karakter!

Aku menolak kalau teenlit/chicklit identik dengan karakter dangkal. Ada banyak teenlit yang karakternya cukup dalam. Sayangnya kebanyakan karakter di Aerial nggak memberi kesan yang kuat ke aku, karena peran, latar, atau motivasi mereka... yeah, well, *sob* dangkal.

Isla misalnya, disebut-sebut secara eksplisit sebagai cewek cantik yang berotak, lengkap dengan atribut buku dan alat-alat aneh. Tapi, ciri yang digembar-gemborkan penulis beda jauh dengan tindak-tanduk si karakter. Silakan kembali ke kasus loofah dan busa sabun yang sudah kusebut diatas.

Lalu Hassya, si pangeran kegelapan yang kata penulis dingin, tapi sifatnya panasan. Apa-apa harus diselesaikan dengan adu pedang, berkelahi, dan berantem. Kalau nggak pake tabok-tabokan, namanya banci. Dan saking ngerasa jantannya, dia menganggap ngasih makan burung sebagai tindakan yang "tidak laki-laki." Hmm... tunggu ntar deh kalau dia udah tua dan miara perkutut kayak Pak Haji depen rumahku!

Berikut, Toireann. Ini contoh karakter yang lumayan, walau jadi kurang berkembang karena porsinya sedikit. Kakak Hassya yang berusaha menciptakan perdamaian tapi sakit kepala karena saran-sarannya dicuekin. Pasalnya? Bapaknya, sang Raja Kegelapan, lebih milih ngedengerin pendapat gak logis dari penasihat bego seperti yang sudah kubahas di atas. (kembali, lihat hal. 50.) Poor guy. Nggak heran dia frustrasi.

Laskar dan Sashika: sebenernya latarbelakang mereka bagus. Laskar yang berangasan, dan Sashika yang pecinta alam. Sayangnya peran mereka cuma sebagai cameo.

Antya: adik tokoh utama yang perannya cuma memanggil Laskar dan Sashika. Sigh...

Dan yang terakhir, si tokoh utama, Sadira. Dia ini juga korban ketidaksinkronan antara gambaran pengarang tentang dirinya dan tingkah lakunya. Pengarang kayaknya setengah mati banget ngegambarin dan mencitrakan Sadira sebagai perempuan mandiri yang kuat dan--pake istilah sok kosmopolitan ah--smart, terlihat dari begitu banyak bagian narasi yang menceritakan bahwa Sadira tidak menyukai duduk tenang dan kegiatan-kegiatan serta tingkah polah kecewek-cewekan.

Lebih parah lagi, cara si penulis bercerita seakan-akan mencitrakan bahwa segala hal yang kecewek-cewekan itu sesuatu yang buruk. Alih-alih menunjukkan emansipasi perempuan seperti yang diniatkan pengarang, bukankah ini justru semakin menginferiorkan kegiatan-kegiatan perempuan sebagai sesuatu yang second-class, berada di bawah kegiatan-kegiatan macho macam berlatih tarung yang disukai Sadira the Warrior Princess?

My point is, karakter cewek yang kuat dan smart itu bukan berarti dia harus macho, bisa mengerjakan pekerjaan cowok, dan membenci hal-hal berbau cewek! Bandingkan ini dengan karakter Adel di Nocturnal (Poppy D. Chusfani), yang digambarkan lincah, berkekuatan super, bisa berpedang, dan justru semakin kuat sebagai seorang karakter karena ada bagian dirinya yang menyukai hal-hal girly, seperti tari balet.

Apalagi, 'kemandirian' Sadira itu digambarkan dengan kalimat-kalimat macam ini:


Sadira diperbolehkan berlatih fisik bersama Jenderal Arth asalkan setelah menikah nanti ia berhenti mengangkat senjata dan menjadi ratu sesungguhnya.

Bukan Sadira kalau otaknya nggak jalan. Tentu saja ia tinggal memanfaatkan perjanjian ini dengan tidak usah menjalin hubungan dengan laki-laki manapun.


Dan setelah pengarang gembar-gembor kalimat ini, tebak apa yang terjadi? Sadira bertemu Hassya, dan langsung deh segala atribut putri macho itu ilang, berganti dengan tingkah kecewek-cewekan yang (katanya) jelek. Si putri akhirnya nggak dapat kesempatan untuk memamerkan keahlian berantemnya, malah disandera, dan, mengikuti pakem nasib putri-putri nan basi, harus diselamatkan.

Benar-benar kuat. Dan smart.

Sedih.

Baiklah para pembaca yang terhormat, mari kita tutup sesi ngenye' kali ini dengan kembali pada kesimpulan endorsemen yang kutarik dari kata-kata bijak para endorserwan/endorserwati di cover belakang buku:


Aerial adalah suatu novel nyastra yang lahir dari great imagination.


*nangis terharu*

Mereka berdua memang sangat baik hati.




Luz Balthasaar

Rabu, 11 November 2009

DUNIA ARADIA (Primadonna Angela - 2009)

By FA Purawan

Data Buku:


Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Editor: -
Desain dan ilustrasi sampul: maryna_design@yahoo.com
Tebal: 257 halaman



~ Chicklit. A great wave that stirred and shaked the literation world, once, and forever. Boldly go where no man has gone before... ~

He he he. Kalo dunia penerbitan ditanya buku-buku apa yang paling KEREN? Jawabannya bisa saja: Buku Fantasy! Tapi kalo ditanya buku-buku apa yang paling LARIS? Dijamin, jawabannya pasti Chicklit! (Atau Teenlit, walau *harusnya* ada perbedaan antara keduanya)

Emang, Chicklit sudah seperti Ratu-nya (atau Puteri-nya?) toko Buku. Dengan proporsi space rak yang makin luas serta makin prominent (diposisikan secara strategis) dari waktu-ke waktu, membuktikan bahwa genre ini tak pernah kekurangan pasar, sekaligus membuat 'iri' genre lainnya (Fantasy termasuk, hayo ngaku! hehehe); apa sih yang bisa membuat buku-buku ini lancar jaya hilir-mudik di konter kasir?

So, muncul deh, ide brilian itu: Gimana kalo ngegabungin Chicklit dengan Fantasy? Kita bakal dapat buku KEREN yang sekaligus LARIS dong?? Wuhuy, bling-bling-bling!

Well, ini attempt ketiga yang kutemukan semenjak Nocturnal (Poppy D. Chusfany) dan Aerial (Sitta Karina) yang berusaha memadukan dua 'kekuatan' dalam dunia literasi komersil menjadi satu paket. Kalau dalam review terdahulu, Nocturnal menduduki posisi bagus. Aerial, belum saya review (upcoming, maybe, setidaknya dari rekan co-reviewer?). Bagaimana dengan Dunia Aradial... ups, Dunia Aradia?



Dunia Aradia karangan novelis Primadonna Angela menceritakan kisah seorang Ratu Penyihir di setting universe yang Chicklit-sangat.

Well, gini loh. Tokoh utamanya Chicklit banget (Cewek in the prime twenties, certain beauty, single and available, has all the money to spend, has her 'style' --walau sedikit berbeda dari taste kebanyakan-- dan untuk meneguhkan taste Chicklitnya minimal satu merk adibusana yang appropriate *harus* numpang lewat, possess something extra ordinary, dan related to some celebrity: ibunya)

Tokoh protagonis cowok juga tipikal Chicklit (ganteng, metrosexual look, tampang jauh dari lokal, dan dari 'luar buku' aja rasanya udah bisa kecium wangi parfumnya, dan most of all: eksis hanya untuk si tokoh utama seorang).

Eksistensi para tokoh juga Chicklit (simple, shallow. Cukup 'alive' untuk menghidupkan cerita, sih. Tapi gak sekompleks dan sedalam yang seidealnya, menurutku.).

Cara si tokoh utama memandang Dunia --walau kadarnya tak terlampau kental, yang artinya masih memiliki lebihan dibanding rata-rata-- juga Chicklit (semua hal terpusat pada dirinya seorang, as if no other existence drove the plot), Cara si tokoh menyelesaikan masalah juga berasa Chicklit (masalah selesai dengan 'mudah', tidak terlalu membutuhkan berbagai preparasi yang biasanya dialurkan sejak awal dalam plot, not so much personal development).

And even, OMG ('hate to say it...) --THE COVER!-- berasa Chicklit Alamak.

So, yeah, kalo kita strip-off everything 'Fantasy' yang ada di buku ini, maka gue cuma dapat a typical Chicklit. Not for me, iya lah. Dan it makes this novel beda posisi dengan Nocturnal di mata gue.

But let's not judge hastily. Kita di sini mau belajar. Dan for info, novel Dunia Aradia ini adalah buku kelima belas yang diterbitkan oleh Pengarang. Sudah ada empat belas portofolio berjajar di belakangnya. Okay, yeah. Mostly Chicklits. Tapi experienced writer she is, nevertheless.

Mari kita lihat apa yang bisa kita pelajari.

Seperti aku bilang, saat seluruh aspek Fantasynya disingkirkan, buku ini memang tak lebih karya Chicklit konvensional. Sekarang let's put the Fantasy factor back. Dan harus diakui, factor ini cukup dikembangkan secara mumpuni oleh Pengarang.

Universe Dunia Aradia adalah universe metropolitan terkini dengan dunia penyihir secara paralel hidup bersama di dalamnya. Sedikit menyerupai universe Harry Potter, with a feminine touch (giggle). Apa yang disusun atau dikonstruk oleh Pengarang dalam universe ini tak terlalu orisinal, sebetulnya. Ada kesan mengambil bit by bit dari setting Fantasy yang sudah ada, dikumpulin dan dicompose menjadi suatu dunia Aradia yang cukup solid.

Satu hal yang menarik, Pengarang menetapkan bahasa Inggris sebagai 'Bahasa Sihir' di universenya. Konsisten dengan referensi nama Aradia 'Morgana', serta referensi Wicca yang dipergunakan, tampaknya Pengarang mengambil sari sistem universe sihirnya dari tradisi Celtic atau Anglic sana, gak jauh-jauh dari Harpot, dan jadinya sama-sama memoyang ke referensi King Arthur dan Camelot (Itu lho, mbah Merlin yg jadi guru besarnya. Walau, Harpot series pakai bahasa latinesque buat mantra-mantranya). Menurut gue ide sederhana tapi mengena dengan tepat.

Ya gak papa, ngambil dari yang sudah ada. Dengan demikian pengarang malah bisa menyusun settingnya secara lebih mendalam. Dan saya pikir, penerapan setting sihir di dalam novel ini tereksekusi cukup bagus. Terutama dari pemilihan mantera sihir yang gak asal dan bernilai sajak, lumayan.

Look at these:
Bring me two shades of story
remove me from any worry
into another dimension, I go, and you go
into another realm we move, to and fro
But this time, I'm bringing the key
But this tima, I can't and won't bring us back to our reality

Kemudian naming system. Yah, gak rumit-rumit sih, straight forward sebagaimana dunia sehari-hari. Dan Khas Chicklit banget. Yaitu nama-nama berbau Barat abiss (maksudnya sih metropolic names, hehehe. Emangnya bener ya Chicklit *wajib* using metropolic names?) liat aja nama: Jasper, Seth, Sylvan (tapi emang mereka gak murni orang lokal juga sih, heheh). Yah secara setting sih cukup masuk ajah, gak ada keberatan dari gue. Catatan untuk kakaknya Aradia, ada dua nama yang dipakai, entah typo atau sengaja: Eir dan Erin. Tidak ada penjelasan dari Pengarang.

Sistem logika, well. Apa yang lo harap dari Chicklit? Gimana ya. Seakan-akan sudah ada 'pakem' yang dipatok buat genre ini: Jangan bikin pembaca mikir terlalu berat (I don't know why Chicks seemed to be held against using their grey matters), so logika apapun yang berjalan di dalam novel ini adalah yang ringan-ringan aja. Sekedar membuat cerita berjalan smooth, tanpa harus terlalu menantang. Padahal kalo mau dilihat di sisi logika sistem sihir, sudah cukup kompleks dan genap Pengarang men-setnya. Yang penting pengarang berhasil membuat saya menikmati bacaannya tanpa perlu bertanya-tanya koq-gini-koq- gitu. Jelek? Ya nggak selalu, lah. Ringan kalo solid malah bagus, toh.

Lantas apa yang masih perlu dikritisi. Lha ini. Hal ini juga sempat bikin saya sedikit bingung, koq pengarang rada missed di part ini, ya: PLOT.

Well, Chicklit atau bukan, mustinya Plot harus bagus, dong. Dan itu adalah something universal. Pembaca pasti ingin dibawa menyusuri sebuah alur yang worthy of reading.

Plot Dunia Aradia inilah, yang gue nilai, kurang begitu baik dieksekusi. Cerita yang cuma 250 halaman memiliki alur yang terasa nggak fokus. Bukan soal paralel side stories, lho ya. Melainkan justru ga terasa adanya tema besar yang mengikat buku ini menjadi suatu 'cerita'. Secara ekstrim, saya bisa membagi buku ini dalam tiga potongan besar episode berurutan: Aradia The Queen of Witches, Aradia with (beautiful, metrosexual) Men, dan Aradia versus Shadowlords, dan ketiganya biarpun berurutan, gak terorganisir sebagai satu rangkaian kesatuan. Tiga hal itu sepertinya klip terpisah aja.

Memang ada benang merah cerita, tentu saja. Tapi at least saya expect ada situasi yang bisa dipertukarkan antar episode tadi untuk membuat plot lebih gurih, misalnya ancaman Shadowlord harusnya sudah terasa di bab-bab depan. Dengan peristiwa apa gitu kek, atau dalam rapat majelis paduka Ratu, gitu? Dan bagaimana peristiwa-peristiwa di bab awal punya signifikansi di bab-bab belakang.

Kalau di buku ini, tiga potongan besar itu terasa berlangsung sendiri-sendiri, sehingga terus-terang saja saya merasa urusan Shadowlord, misalnya, nongol tiba-tiba di halaman 137. Lho, padahal dalam setting ditetapkan bahwa antara kaum Shadowlord versus Penyihir sudah 'berseteru' selama ribuan tahun. Sementara di halaman-halaman depan, gak terasa tuh tingkah laku Aradia sebagai seorang Ratu Penyihir yang (suppose to be) punya peran mengawasi musuh-musuh kaumnya secara ketat. Dan dia bisa 'nggak tahu' beberapa knowledge inti mengenai shadowlord? c'mon!

Well, itu juga akhirnya yang membuat plot holes dan some logical holes mencederai buku ini. Oke lah, untuk Chicklit, shallowness semacam itu mungkin masih bisa diterima. Tapi kalo untuk Fantasy, sih, rasanya jadi cacat yang mengganggu, ya. Terus terang aja saya ngak bisa 'menerima' sebuah peran Fantasy (Ratu Penyihir) yang job descriptionnya ternyata cuma menjadi wasit pertengkaran antara dua penyihir memperebutkan cowok. Atau jadi mentor penyihir pemula.

Emang, Fantasy cenderung sangat berserius-serius diri, apalagi terhadap setting. Terlalu serius? Hehehe. Iya kali ya? Soalnya 'forte'nya Fantasy memang adanya di penciptaan universe. Sehingga pengarang Fantasy gak mungkin gak serius dalam hal itu. Setidaknya, setiap elemen setting harus punya alasan atau landasan cause-effects. Contohnya, ada jabatan Ratu, berarti 'cause'nya adalah ada (sistem) Kerajaan, sementara Kerajaan eksis be'cause' ada kaum dan wilayah yang perlu pengaturan dan 'effect'nya jadi ada hirarki. And so on and so on.

Kalau di Dunia Aradia, elemen setting semacam itu kurang tergali secara maksimal, walaupun saya yakin pengarang sudah menciptakan strukturnya secara cermat. Mungkin karena keterbatasan halaman, mungkin juga karena desain plotnya (or the lack of it?), mungkin karena karakter genrenya yang nggak memerlukan pendalaman semacam itu? Tapi suwer, gue jadi geli waktu dibuku ada kalimat: "JK Rowling adalah Queen of All Witches, bertahun-tahun sebelum Aradia". Lho ini gimana, sih? Ini posisi Ratu koq mirip sama posisi ketua arisan ibu-ibu? Padahal di lain pihak, ketika pengarang demikian erat menyulam dunia sihirnya dengan kehidupan kita sehari-hari, dunia rekaan Pengarang jadi instantly memiliki impact yang luas, make believe yang menjadi mudah berhasil.

Ketidak sinambungan plot juga memiliki efek negatif berupa informasi yang seolah sekonyong-konyong muncul, sehingga bahkan saya sampai mengira telah terjadi kesilapan editing. Misalnya tentang Shadowlord di atas. Gimana ya? Apakah memang sudah tuntutan genre? Bayangkan bagaimana rasanya membaca sebuah novel yang berisi adegan belanja-belanji, atau lirak-lirik cowok, atau kepusingan urusan domestik di depan, lalu ujug-ujug switch situasi genting bersama Darklords? Kalo ungkapan bodoh gue sih: What The ****???

Lalu salah satu yang cukup membuat kening saya berkerut: informasi bahwa leader Shadowlord yang tadinya disangka ayah Aradia teryata saudara tiri ayahnya. Pivot point sedahsyat itu cuma hadir melalui beberapa kata di halaman 241, dalam bentuk diceritakan pulak. Ouch. There goes the excitement.

Nah, bicara mengenai 'diceritakan', saya juga harus berkomentar pada cara pengarang bercerita. Well, ini bukan masalah penulisan semacam skill bikin kalimat, skill pemilihan kata dll, yang Pengarang sudah pasti mumpuni, lah. Tapi pada pilihan 'gaya' yang digunakan Pengarang untuk bercerita.

Apakah terpengaruh oleh tradisi Chicklit juga? Gak tau deh. Tapi saya merasa bahwa banyak penceritaan naratif, much like gossipers telling stories. Harusnya nggak aneh, sebab teknik seperti ini sangat wajar dilakukan. Tapi suatu 'feel' yang terasa gak pas di sini, cukup banyak adegan kunci berlalu tak seperti kita mengalaminya langsung, melainkan seperti diceritakan oleh orang lain.

Akibatnya jadi terasa kurang seru. Bahkan sampai tingkat mengesalkan (untuk diri saya). Contohnya saat adegan klimaks... wait. Come to think of it, jadinya nggak ada adegan klimaks! Lha wong adegan klimaksnya: si Aradia bertempur, diserang, pingsan dan... pindah bab. Masuk Epilog, semua udah beres. Diceritakan bahwa si Jasper anu-anu-anu ... tapi itu bukan adegan langsung, itu secondhand opinion.

Gak puas?? Jelaslah! Tapi aku jadi mikir, sekali lagi, apa karena realm-nya adalah Chicklit maka norma semacam itu jadi biasa? Aku mikirnya gini: pembaca chicklit mungkin nggak terbiasa dengan suatu adegan yang intense, sehingga pengarang pun menyesuaikan dengan shy-away dari adegan klimaks. So dengan paradigma seperti itu, buat saya jadinya gak aneh bila Pengarang lebih memilih untuk menginvestasikan halaman-halaman bukunya pada detail belanjaan, atau busana, atau cowok keren, dibandingkan urusan peperangan dunia penyihir. Padahal, pengarang mampu loh, menggambarkan pertarungan sihir yang keren!

Bicara detail dunia sihir, harus diakui buku ini cukup kuat. Walau mungkin bukan pada detail visual seperti Harry Potter dengan visual-fiestanya yang menawan, Dunia Aradia memiliki kekuatan pada detail sistem 'ilmu' sihirnya itu sendiri. Setiap mantera dikonstruksi dengan cermat, dan sistem sebab-akibat sihir-nya terjaga baik. Ada hukum Three Laws segala untuk mengatur dunia sihir. Ada historical 'track-back' ke legenda Menara Babel segala, yang membuat settingnya jadi terasa 'wuah'. Aku bayangkan kalo setting ini diolah secara lebih 'fantasy', bakalan jadi karya yg keren.

Juga dalam menggambarkan adegan kehidupan sehari-hari, pengarang sangat bersinar. Pembaca merasa sangat nyaman mengikuti kehidupan si Ratu sihir ini, sampai pada tahap kita merasa mereka bener-bener 'alive' di sekitar kita secara wajar. Konflik Tante-Keponakan antara Aradia dengan Jasper, berasa 'domestik' banget seolah-olah mereka sudah tetangga kita sendiri. Kurasa, memang faktor ini merupakan salah-satu kekuatan genre Chicklit, yang membuat mereka mudah diterima oleh market.

Namun demikian, ketika kita memposisikan buku ini sebagai sebuah buku Fantasy, terasa bahwa semua berlangsung dangkal. Nggak cukup 'depth' atau 'oomph' yang membuat saya selaku penggemar Fantasy merasa fullfiled.

Lalu, apa harga pengalaman empat-belas buku yang disandang Pengarang terhadap karya ini? Well, selain teknis penulisan yang oke punya, ada satu kompetensi yang harus bisa kita pelajari juga, yaitu keahlian dalam mengemas novel. Aku salut banget sama Sinopsis di halaman belakang. Singkat tapi high-impact. Dan kuat banget bahasa komunikasi genre-nya.

Lihat nih:

Aradia Morgana. Pertengahan dua puluhan. Selain karena menjadi penerjemah, tuntutan pekerjaan membuatnya banyak bepergian. Tidak dengan menggunakan kendaraan biasa, namun dengan cara teleportasi!

Itu satu paragraf yang nggak sekedar singkat, tapi sangat komunikatif dan langsung menohok. Dan mengandung semua elemen kunci novel ini, mulai dari karakterisasi Chicklit banget-nya, sampai kejutan elemen fantasy-nya di ujung paragraf! (pas bagian teleportasi).

Pembaca akan langsung hooked dan penasaran. Terjadilah penjualan saat itu juga, hehehe. Jarang gue lihat sinopsis seefektif ini dalam terbitan-terbitan Fantasy lokal. Tapi emang sih, gue gak tahan liat ilustrasi sampul belakang (yg tentu saja Chicklit abiss): Cewek diapit dua cowok metroseksual abisss (sambil liat ke cermin dan membandingkan --oh, dimanakah mereka meletakkan perut orang-orang itu?)

Well, demikianlah pembelajaran saya atas Novel Ratu Penyihir ini. Dunia Aradia adalah sebuah upaya penciptaan setting secara cermat dan saksama, renyah dan akrab, yang disajikan melalui racikan plot yang kurang lezat. Restorannya cuakep, mewah, tapi masakannya gak kuasa menggoyang lidah. Memuaskan? Buat gue sih, kurang puas, ya.

Coba disempatkan si koki lebih lama memasaknya, atau lebih mantap bumbunya. Mungkin akan jadi restoran yang punya magic spell untuk terus didatangi, dan didatangi lagi :)

Salam,



FA Purawan