Minggu, 26 Juli 2009

MANTRA-Rahasia Kitab Malaikat (Sutanto Ari Wibowo - 2009)


Penerbit: DIVA Press
Editor: Elis Widayanti
Tata Sampul: Gobaqsodor
Tata Isi: A. Budi
Pracetak: Ita, Dwi, Yanto
Tebal: 413 halaman

Sebuah Novel Menggetarkan, demikian bombastisnya tag-line, yang bahkan dengan percaya-diri-sangat sampai dibubuhkan berkali-kali bersanding judul. Saya catat ada di empat tempat: cover depan, cover belakang, punggung cover, dan judul dalam. Sehingga, bisa saja orang menyangka judul lengkap Novel ini adalah: MANTRA (Rahasia Kitab Malaikat) Sebuah Novel Menggetarkan.

Haduuh, susah amat jualan di hari gini, hehehe.

Sebuah karya perdana dari Sutanto Ari Wibowo, seorang lulusan STM otomotif mantan pekerja swasta di daerah Cikarang yang --demi obsesinya menjadi pengarang-- memutuskan untuk kembali ke Kampung halaman di Kabo, Beluk, Bayat, Klaten.



(Lho kok malah menjauh ke kampung, to Mas? Bukannya komunitas penulis-pengarang itu justru mendekat ke Kota, setidaknya ke sentra-sentra Pendidikan/ Kampus? Tapi mungkin di kampung suasananya lebih asik, dan lebih menggugah inspirasi, ya. Siapa tahu? hehe.)

MANTRA mengambil genre Fantasy, sebuah genre yang masih saja dipersepsikan sebagai genre 'gampang' karena --konon-- cukup bertumpu pada imajinasi pengarang yang tentunya tak berbatas. Sehingga dengan gampangnya seolah setiap kemungkinan dapat terjadi, dan semuanya dapat diciptakan sebesar kekuasaan pengarang sebagai pemilik imajinasi. Lho, kenapa gue jadi sinis? Sebab agaknya melihat keterlalupedean Pengarang/ Penerbit membikin tag-line seperti di atas, saat dibandingkan dengan materi yang diterbitkan, kuindikasikan pola pikir Pengarang dan Penerbitnya pun belum jauh-jauh dari salah kaprah itu.

Dipikir bikin kisah Fantasy itu gampang?

Let's see, tinggal bikin kerajaan, bikin musuh kerajaan, terus bikin chaos, bikin Raja-Permaisuri-Keluarga kena masalah, terus bikin si tokoh yang jadi the chosen-one, terus kasih si tokoh suatu 'kunci' untuk menjadi ultimate hero, terus bikin arch enemy yang jadi pelayan-agen-nya the ultimate enemy, terus bikin pertempuran ultimate hero melawan ultimate enemy, akhirnya terus bikin adegan pengangkatan ultimate hero menjadi Raja baru. Done!

Terus untuk memperkuat 'rasa' Fantasy, marilah kita bikin nama-nama berbau asing. Yeah! Gak usah tanya bagaimana nama-nama itu terwujud. Ini Fantasy, man! Imajinasi tak terbatas, man! Apapun bisa dibikin dan jangan kekang kreativitasmu dengan dogma-dogma yang memenjaramu!

(Sebenernya, kalaulah MANTRA sekedar menerapkan rumus 'lugu' di atas, aku nggak akan terlalu mencak-mencak. Itu rumus khas pengarang-fantasy-pemula, tak salah-salah amat, walau sebaiknya dihindari oleh pengarang-pengarang yang udah terpapar sama Blog Fikfanindo,.. hehehe *sok penting mode-ON*. Tapi MANTRA punya faktor-faktor 'ngasal' lainnya yang membuat novel ini menjadi jelek di mata gue. Gue jelasin nanti aja).

Yeah, kalo pembaca udah ngikutin saya sampai sini, pasti udah bisa memperkirakan penilaian saya terhadap novel ini. Yup. MANTRA bukanlah novel yang bagus, alih-alih menggetarkan. Tapi itu justru menjadi materi yang 'bagus' buat Fikfanindo, bukan? Dari mana lagi kita belajar menulis lebih baik, selain dari membedah karya-karya ngga bermutu? (OK, I'm being too selfishly rude, here. Gue perhalus: karya yang masih memiliki sejumlah kelemahan, karena sesungguhnya kelemahan adalah milik kita bersama!). Minimal kita bisa mengetahui apa saja yang musti kita hindari. Dan thanks to mas Sutanto dan DIVA Press, pembelajaran kita kali ini menjadi sungguh -ehm- 'menggetarkan'.

Pertama, let's talk about desain cover. Gak jelek, sebenernya. Cover langsung berbicara sebagai novel Fantasy, dengan montase grafis berupa wajah seorang gadis bercadar tertutup setengah, seorang pria tampak punggung berbusana ala Victorian, sebuah istana di tengah padang gurun, serta sesosok (kemungkinan tokoh antagonis) tentara berbaju zirah model Timur dengan wajah Mongoloid. Sedikit-banyak mengambil nuansa trendy Novel-novel 'Islami' yang berebutan memirip-miripkan diri dengan Ayat-Ayat Cinta-nya Kang Abik (memiripkan cover, tepatnya), namun dengan properties yang lebih unik yaitu busana dan istana yang sangat mengesankan Fantasy. Well, biar bukan seleraku, kupikir Covernya cukup menjual, lah. Dan ceweknya sumpah mirip banget sama Cameron Diaz, gak tahu tuh si Graphic Designer, Gobaqsodor, dapet comot dari Film mana, hehehe. Tapi suwer, ini contoh Cover yang by itself akan sukses menarik pembaca untuk membeli novel, tanpa tahu bahwa antara Cover dan isi gak terlampau berhubungan.

Di cover belakang tercetak Sinopsis Novel yang --sampai ada yang protes juga di Forum-- semata mencuplik halaman Prolog. Gila. Those act alone udah cheap, belum ditambah dengan penjabaran sinopsis-prolog yang --dengan polosnya-- langsung membeberkan kualitas-kualitas mediocre buku ini sejak paparan pertama! Dari mana aku bisa bilang begitu? Well, ini sekedar kesan pribadi aja kali yee,... tapi I cannot help it. Radar gue langsung mengatakan ada yang 'salah' saat sebuah Sinopsis yang udah ketahuan banget plot dan 'gimana bakal diolah'nya, menutup dirinya dengan mengatakan: "Simak cerita seru novel menggetarkan ini yang akan membuat Anda tegang dan bergidik dari awal hingga akhir!"

Yah, gak ada salahnya sih jual diri, tapi, gimana ya? Statemen seperti "Tegang" dan "bergidik" itu rasanya terlampau bombastis, seperti juga "menggetarkan". Akibatnya jadi overpromise. Dan celakalah overpromise kalau di ujungnya ternyata "under-deliver". Dan aku ngaku di sini: Statemen seperti itu sumpe gak bikin aku penasaran akan 'seru'nya novel, melainkan sebaliknya, penasaran seberapa bad it can get!. Point: hati-hati dengan janji anda!

Sinopsis halaman belakang itu juga sukses membuat radar gue bereaksi berkat sejublek nama-nama aneh yang tertera di situ: Raja Keindizie Romein, Kerajaan Afzein, Kerajaan Dombire, Ratu Nivera. Wow, Paragraf pertama udah slaps 4 nama asing. Dilanjutkan dengan: Raja Keintjizie Romein, Panglima Romuza, Kizzorgy Poesie, Kakek Herdtqolf. Altogether udah 8 nama 'fantasy-wanna-be', bahkan sebelum cerita dimulai!

Gue nyengir. Gak kebayang ada berapa lagi di dalam.

Dan cengiran gue bersambut dengan setidaknya data berikut ini.

Here goes, 'Fantasiyah Names' in order of appearance:

1. Keindizie Romein
2. (Kerajaan) Afzein
3. (Kerajaan) Dombire
4. Nivera
5. Keintjizie Romein
6. Romuza
7. Kizzorgy Poesie
8. Herdtqolf
9. Giffins
10. Qollie Poesie
11. Vidderol
12. Willhole
13. Bibi Lily
14. Meltrein
15. Sally Poesie
16. Tuan Poddy
17. Tuan Ogst
18. Tiffany
19. Grins
20. Litta Peavey
21. Hirroqla
22. Zerrox
23. Tuan Verrys Vortin
24. Snerpen
25. Blackky
26. Geevon
27. Hanks
28. Bobby Boot
29. Fingger
30. Schakel Volt
31. Carry Catzel
32. Maigrett Hutson
33. Reizen
34. Cycloon
35. Tuan Nuttigheid
36. Zavier Lattosa

Plus:
37. (Jurang/ Pantai) Ruttcivil
38. (Burung) Reuz
39. (bukit) Soury
40. (tenaga) Xyfort
41. (pegunungan) Winstille
42. Lottuse
43. (lambang) Edelblitt

Nah, rekan-rekan lihat sendiri, ada 43 names, 43 incoherent names bermunculan di buku ini, ada nama-nama yang bahkan baru hadir belakangan di halaman-halaman buntut. Dan perhatikanlah nama-nama tersebut, coba baca urut satu persatu dan coba temukan apakah ada suatu benang merah, suatu kesamaan 'rasa' yang bisa mengacu pada suatu kesinambungan budaya, bahasa, yang menjadi dasar pengucapan nama-nama itu. Bagaimana pengaturan nama manusia, nama hewan, nama fam/ keluarga dll.

Nope. It's just incoherent names, taken from thin air, I guess. Udah gitu trus bacanya gimana, ga jelas. Ambil contoh nama Herdtqolf. Mari kita baca Herdtqolf sekali, Herdtqolf dua kali, Herdtqolf delapan kali,... pegel gak? Tapi perhatikan satu 'benang merah' dari penulisan nama-nama di atas: sebagian besar menggunakan dobel konsonan. Perlunya apa dibuat begitu, rasaya gak terlalu jelas, mungkin sekedar gaya cipta sang pengarang aja.

(Ooh, jadi agar terasa 'Fantasy', sebuah nama aja harus dibikin 'rumit', ya?)

Tentu saja nggak. Bahkan kita bisa belajar dari Stephen King dalam bukunya: "Stephen King on Writing". Ada contoh yang bagus. Stephen King membuat sebuah nama tokoh Mr. Ostermeyer dalam draft novelnya: The Hotel Story (judul finalnya menjadi: Room 1048). Dan belakangan beliau me-find-replace nama tersebut dengan nama yang justru lebih gampang, Mr. Olin.

Lho, kenapa? Bukankah Mr. Ostermeyer lebih keren, gitu lowh? Ternyata pertimbangannya simpel tapi cukup substansial, antara lain:

1. Dengan merubah nama ytd 9 huruf menjadi 4 huruf, dia sudah memperpendek jumlah halaman draftnya secara cukup signifikan.
2. Rencananya naskah itu juga mau dijadikan audiobook (novel yang dibacakan), dan dia ngebayangin betapa repotnya sang Narator, atau dirinya sendiri, bila setiap saat harus mengucapkan Mister Ostermeyer berulang-ulang.

Nah, seorang Stephen King aja punya strategi dalam membuat nama tokoh. Bagaimana dengan kita? Okelah, mungkin ga perlu siapin strategi yang macem-macem, cukup gimana kalau kita mengkonstruksikan nama-nama yang 'masuk akal' dalam Universe kita, gak usah bikin 'aneh' just for the sake of 'aneh'.

Ada juga komentar dari teman-teman di Forum Pulpen (http://www.lautanindonesia.com/), bahwa penamaan Kizzorgy Poesie sebagai tokoh protagonis terasa gak cocok. Kizzorgy Poesie (kalau diurai bisa menjelma menjadi sesuatu yang berkonotasi,... not too appropriate) yang dipanggil: Zorg, dikomentari lebih cocok menjadi nama tokoh antagonis, misalnya nama monster atau penjahat. Rasanya aku setuju juga. Nama memang membawa karakter terpendam. Pengarang mestinya lebih jeli, walaupun kontradiksi dalam hal nama masih mudah diselamatkan melalui penjabaran karakterisasi yang kuat.

Bicara karakterisasi, buat saya di MANTRA ini masih di bawah standar, bahkan terancam lebih rendah lagi akibat inkonsistensi perilaku terhadap plot. Karakter yang ada semata hitam-putih, dengan perilaku klise. Dan yang bikin parah adalah pengarang tidak mengendalikan perilaku mereka agar konsisten terhadap plot. Dalam banyak adegan, setiap tokoh bisa bertindak di luar karakter. Dan cacat ini paling terasa di adegan-adegan 'ngebanyol' yang dibuat oleh pengarang.

Eh, gue bukannya anti humor. Tapi seyogyanya humor diperlakukan sebagai plot device dalam posisi dan porsi yang relevan. Humor salah-tempat akan membuat excitement adegan menjadi rusak. Mirip sama situasi dimana seorang manager membuat lelucon di dalam rapat yang dihadiri Direktur Utama, terus karena leluconnya garing, bukannya hadirin tertawa dia malah dipelototin pak Dirut.

Banyolan 'asal' di novel ini,.. begitu bejibun sampai --bagi saya-- bener-bener ngerusak seluruh buku! Umumnya banyolan di sini dieksekusi dalam bentuk pertengkaran verbal antara dua tokoh. Ada antara Zorg dengan his side-kick Giffin, antara Zorg dengan kakek Herdtqolf, antara Zorg dengan Romuza (musuhnya!), tokoh A dengan tokoh B, B-C, C-D, B-D, you get the picture. Pertengkaran-gak penting-ngeselin macam itu bisa terjadi dalam segala situasi. Situasi rileks, situasi tegang, bahkan dalam situasi bergidik (jangan lupa, Novel ini menjanjikan anda 'tegang' dan 'bergidik', kan? Hehehe).

Kalo mau ngebayangin, bayangkanlah sebuah adegan film Fantasy yang dibintangi oleh para pelawak Srimulat plus Haji Bokir dkk, dan di tengah-tengah adegan suspense mulailah mereka bertengkar --dengan usaha keras untuk terlihat lucu-- bisa dengan komentar-komentar non-sequitur konyol atau adegan slapstick. Dan terus-terang, saya nggak bisa tertawa untuk itu. Entah bagaimana dengan anda. Atau kalau mau pengandaian lain, lihat saja ulah trio Komeng-Adul-Olga berusaha melucu dengan inkoherennya dalam Gong Show-TransTV, sehingga ulah mereka justru menihilkan pertunjukan para bintang tamu (yg udah berlatih dengan keringat dan darah untuk tampil di TV) secara miserably ngga lucu.

So humour, I think is the worst part of this book.

Cacat lainnya yang sebetulnya gak terlalu fatal, tapi cukup menimbulkan pertanyaan bahkan mengarah ada kesimpulan 'dangkal-setting' untuk novel ini, adalah penggunaan properties yang rada 'ngasal' (baca: gak jelas dasar teorinya).
Perhatikan properties berikut ini:

1. Kunci Ajaib
2. Rompi Anti Baja
3. Jubah Tak Terlihat
4. Alat Perekam + Charger
5. Senapan Bius
6. Sepatu Karet
7. Foto
8. Jam dinding
9. Jam tangan
10. Film (ref: Film-film percintaan)
11. Perangkap tikus berukuran sangat besar
12. Gas air mata
13. Pistol
14. Laba-laba pelacak yang kalau marah menggigit hidung orang
15. Minuman Coklat
16. Minuman Ginseng hangat
17. Senter
18. Per-loncat Sepatu
19. Alkohol
20. Kemenyan
21. Semen

Sebagian besar properties muncul begitu aja tanpa penjelasan darimana dapatnya, bagaimana cara kerjanya, teknologinya dll. Perkecualian untuk beberapa pernik yang dibuat oleh Tuan Poddy (Tuan ini apa kerjanya di istana, gak jelas. Kayaknya semacam penemu, tapi kelihatannya hanya bekerja untuk menciptakan barang-barang yang 'kebetulan' dibutuhkan oleh Zorg! Gak ada referensi dia bikin inventions lainnya untuk kehidupan istana tersebut); Misalnya Sepatu karet, Sepatu ber-per, Alat Perekam, Senapan Bius.

Dan itu pun gak dijelaskan teknologinya secara nalar. Salah satu contoh adalah alat perekam portabel, diceritakan bisa digunakan untuk record dan playback audio (MP3 player ala Fantasy!), yang MENGGUNAKAN BATERAI DAN HARUS DICAS (Catatan: Kata-kata "di-charge" bener-bener ditulis "di-cas"! Apakah memang demikian menurut KBBI?). Numpang tanyaa Baaang! Ntu dicasnya di stekker nyang mannnahh??? Di istana ini gak ada stekker!!

Alamak! Ga tau lagi harus komentar gimana. Kayaknya kalau gue maksain analisis yang 'proper' malah akan kedengeran sebagai orang sotoy. Tapi beberapa properties memang seperti kontradiktif keberadaannya dengan setting dimana universe MANTRA dibangun. Seperti misalnya alat perekam itu, musti dicas di mana, wong setting Afzein sepertinya tidak ada listrik. Terus gimana bisa ada FOTO keluarga (ini keluarga petani, mind you) itu cuci-cetaknya dimana? Fuji Film? Kenapa gak disebut lukisan aja, yang lebih masuk akal. Dan keanehan-keanehan semenyolok itupun dibiarkan berlalu tanpa penjelasan.

Jubah Tak Terlihat, yang suppose to be barang 'rahasia' (udahlah, telak-telak niru Harry Potter nich!), tadinya kupikir hanya ada satu stel dan gak banyak orang di kerajaan itu yang tahu bahwa ada barang kayak gituan. Gak tahunya di adegan akhir, bisa dipakai oleh empat orang,.. berarti ada empat stel, dong! Oh nggak, boss: ada SE-LEMARI! Wahahaha (becanda).

Dan sepertinya merupakan barang yang biasa aja beredar, secara ngga ada yang heran-setengah-mokad ngelihat Jubah Tak Terlihat (BTW, gimana caranya melihat Jubah Tak Terlihat, yach? *Garuk-garuk pala*). "Wuits, so apa masalahnya," tanya lo? Itu Grand issue, bro. Kalau keberadaan barang antik semacam Jubah Tak Terlihat itu sudah common di istana tersebut, maka seluruh kehidupan sosial akan berubah. Akan ada cara-cara yang umum untuk mencegah orang menerobos privasi orang lain menggunakan jubah tersebut, akhirnya efektivitas barang macam itu juga akan ter-compromise. Kepikir sekarang, gimana konsekuensi timbal-balik untuk fakta yang kelihatan remeh ini? Yup, inilah yang bikin kenapa Fantasy gak segampang Pure-Ngayal.

Zorg punya "Kunci Ajaib" (entah gimana asal-muasalnya) yang bisa dipakai membuka berbagai macam pintu, tapi ngga sekalipun dipakai untuk membuka rantai narapidana yang mengikat kaki si Zorg selama bertahun-tahun. Look who's been so smart afterall.

Rantai ini pula. Ini adalah termasuk jenis "Properti seingetnya". Maksudnya hanya di-mention oleh pengarang dikala inget, dan diabaikan keberadaannya dikala pengarang lupa. Berbagai action yang menjadi mustahil, seperti berlari, menendang, berjalan-jalan di tengah mayat-mayat-berbelatung-terinjak-di kepala-matanya-loncat tanpa 'ewwww-nya' nyangkut, mengendap-endap tanpa mengganggu gerakan (atau bergemerincing acan) dikerjakan pada saat rantai masih terpasang sentosa di kaki si Zorgie.

Lupa,... lupa-lupa-lupa, lupa lagi rantai-nya. :)

Contoh "Properti seingetnya" yang lain adalah Prajurit Afzein. Gak jelas tuh istana punya berapa prajurit dan ada dimana. Kadang kalo lagi diperlukan (oleh pengarang) ada satu dua yang menjaga koridor. Tapi di adegan lain gak eksis. Bisa aja ada adegan dimana prajurit seolah menghilang semua, sehingga tokoh-tokoh itu bisa berkeliaran di istana tanpa kepergok satu prajurit pun. Tapi, laginya mau perang, tau-tau langsung ada 4500, sementara di halaman-halaman sebelumnya seratus pun gak terasa keberadaannya. Yang 4500 di hal. 389 aja bisa bengkak jadi 7000 hanya dua halaman setelahnya di hal. 391!

So ini peringatan buat semua pengarang termasuk saya juga. Please selalu ingat dengan kondisi fisik-mental setiap karakter kita, properti setting kita, setiap waktu. Error kasus Rantai di atas adalah contoh ekstrim-tapi-nyata, sementara dalam kasus yang lebih sederhana (oleh karenanya sangat mungkin kita overlook) mungkin terjadi juga dalam karya-karya kita.

Terus ada propety burung kesayangan kakek Herdtqolf yang meneteskan air mata kehidupan (Fawkes, anybody?) bernama Geevon. Rupanya inilah the secret recipe dari ketabiban kakek Herdtqolf! Tapi nih burung gak sembarangan bisa meneteskan air mata kehidupan! Harus dinyanyiin dulu oleh kakek sendiri dengan lagu seperti ini:

Ketika sayapmu patah
Kau takkan bisa terbang
Ketika kakimu luka
Kau takkan sanggup menerkam

Menangislah, Geevon yang lucu
Sahabatmu sedang menunggu.

Tak lama setelah itu, Geevon terhanyut oleh suasana dan segera mengeluarkan air mata (hal.344)

(silently, aku juga mengeluarkan air mata. You know how & why)

Setelah names & properties dibelejetin secukupnya, apa lagi yang bisa kita gali dari novel ini?

Gimana ya, Pengarang memang masih perlu belajar menulis lebih baik (kita pun juga!). Dari apa yang saya baca, saya melihat kualitas tulisan mas Susanto masih naik-turun. Kadang ada frasa yang bagus, tapi frasa lain justru jeblok. Saya merasakan inkonsistensi, seolah yang menulis itu bukan satu orang yang sama.

Tulisan mas Susanto, apabila dibaca dalam kelompok kecil-kecil, misalnya satu paragraf saja, masih terasa Okay. Tapi kalau dilihat bangunan-besar nya, maka akan terlihat sambungan-sambungan logika, sambungan irama, sambungan suasana dan sejenisnya masih terasa rapuh.

Terus, siapa itu yang punya ide ngawur menjadikan Sinopsis sebagai Prolog?? Prolog koq ngebeberin overall plot? Mendingan juga adegan pembuka "un-balsaming-nya si Zorg" itu, rasanya cukup kuat digunakan sebagai Prolog (terlepas dari isi adegannya, yang menurut gue merupakan konsep adegan paling ancur yang pernah gue baca. Tapi kreatif nevertheless!). Atau ya ga usah pakai prolog sama sekali juga gapapa, koq.

Satu catatan dalam teknis penulisan, atau tepatnya di sini adalah pembagian informasi/ adegan, Pengarang cenderung menyampaikan informasi terkait satu adegan secara sekaligus menjelang adegan tersebut dieksekusi. Misalnya mau menyampaikan adegan A, maka segala informasi terkait adegan A tersebut disajikan 'ngumpul' dalam paragraf-paragraf yang menduluinya. Memang di satu sisi teknik itu membuat pembaca keep informed. Tapi sekaligus juga membuat pembaca yang cerdas akan langsung dapat menebak apa yang akan terjadi, dan bacaan jadi kurang seru. Kurasa pengarang perlu mengembangkan teknik penyajian informasi secara berjenjang dan bertahap, supaya hasil karyanya lebih appealing. Ini juga buat menjaga agar 'grand-design' cerita juga dapat terpelihara.

Terus kelemahan logika adegan juga banyak terjadi. Yang paling mendasar aja, soal time-line (alur waktu-- adalah merupakan landasan hubungan logika sebab-akibat dalam plot sebuah novel) masih belum diperhatikan dengan baik. Informasi time-line agaknya kacau atau baur. Saya mencoba menyarikan dan menemukan kira-kira seperti ini:

Saat Zorg bayi --> serangan pertama kerajaan Dombire. Ayah Zorg, Raja Keindizie, tewas.
Masa kanak-kanak --> Somehow Zorg jadi anak petani, kekuasaan dipegang oleh Raja Keintjizie. Sudah berteman dengan Tiffany di kampung, dan Giffins (gak dijelaskan berteman dengan Giffins di mana, tapi disebutkan sebagai teman masa kecil)
Umur 10 tahun --> Zorg dipenjara seumur hidup karena membawa kotak berisi peledak Nexus (sic!), selama di penjara sering ditengokin Giffins.
Umur 14 tahun --> keluar dari dungeon, rubah status menjadi tahanan-pencuci-piring
Umur 16 tahun --> Raja Keintjizie meninggal diguna-guna.
Umur 17 tahun --> status menjadi pemelihara taman,
Umur 18 tahun --> time-line saat ini. Entah gimana dia dibunuh dan entah kenapa bodynya dibalsem selama dua hari, dan sepuluh hari lagi adalah penentuan Raja ketiga. Kalo keturunan Raja yang sah gak nongol maka Panglima Romuza menjadi Raja.

Time line di atas disajikan secara campur aduk, informasinya bertebaran di berbagai tempat, sehingga --jangankan pembaca-- Pengarangnya tampaknya juga bingung dan rancu, sehingga sempat terjadi kesalahan. Misalnya Permaisuri (ibunya Zorg) dikatakan masih hidup, sementara tampaknya yang dimaksud adalah Permaisuri (kakak iparnya Zorg) (Hal.65)

Juga kondisi Kota Afzein dimantrai oleh Ratu Nivera (sehingga menjadi kota yang diselubungi force-field mematikan, gak ada orang yang bisa keluar-masuk Kota) dikatakan sudah berlangsung "beberapa puluh tahun" (hal.410), sementara peristiwa penyerangan itu berlangsung saat Zorg bayi (it means only 18 years ago, max!)

Terus apa logika yang mendasari konsep: Sepuluh hari lagi penobatan Raja, kalo Kizzorgy gak muncul maka kekuasaan beralih ke Romuza? So, ada 'peraturan kerajaan' di mana kerajaan bisa vakum selama dua tahun tambah-kurang sepuluh hari untuk menunggu 'datang'nya sang keturunan,...wait! SIAPA yang tahu Kizzorgy (the other Son) masih hidup?? He's been declared dead since the FIRST attack, that is 18 years ago! Ga seorang pun suppose to be tahu bahwa Kizzorgy selamat di tangan seorang petani gandum (yang menanam gandumnya di sawah, BTW). Orang-orang Afzein gak ada kerjaan itu gak punya alasan apapun untuk menunda cari Raja baru sampai 2 tahun sejak meninggalnya Raja Keintjizie!

Sekarang logika motivasi para karakter. Let's see:

1. Kizzorgy yang narapidana cilik turns to be heir to the throne: Motivasi terbesar dalam hidupnya adalah cuma makan Daging Panggang dan Kepiting Bakar. Nothing else. Kenapa dia mau-mau aja didapuk jadi calon Raja dari kerajaan yang udah semena-mena mengabuse kebebasannya selama bertahun-tahun tanpa peri-kemanusiaan, dengan cerita-cerita bullshit soal him-being-the-heir-of,... itu aja udah gak kena. Belum soal kitab rahasia malaikat-(ini ntar gue kupas tersendiri)-cum-tato-sayap-malaikat bla-bla-bla,... ini gak maen logika. Ini mainnya Egosentrisme!

2. Kakek Herdtqolf: aki-aki gak punya kerjaan jelas (Tabib kerajaan?) yang tanpa penyebab jelas juga telah membalsem tubuh Kizzorgy (kalo cuma mati suri dua hari ngapain juga diawetkan sih?) dan ujug-ujug merejuvenate-nya trus mengatakan bahwa dialah sang pangeran. Motivasinya adalah menjadi mentor dan penyampai kitab pusaka rahasia malaikat. Dan mukul pantat si Zorg along the way.

3. Giffins: kurcaci sidekick yang ukuran tubuhnya bisa meninggi secara gak disadari oleh pengarang (biasaaa,... "property seingetnya"!). Motivasinya dalam cerita adalah makan, buang air besar (seriously!), menggerutu, bertengkar dan menolong sahabatnya Zorg setulus-tulusnya tanpa mengharap imbalan apapun kecuali bisa nyabet jatah makan siang Zorg untuk dirinya.

4. Tiffany: cewek cantik kekasih-sahabat masa kecil Zorg yang,.... ga punya motivasi kecuali sebagai pemanis cerita. She's a doll not a person.

5. Romuza: panglima kepercayaan Raja yang membelot menjadi penjahat sejahat-jahatnya. Motivasinya berubah-ubah sesuai suasana hati pengarang, demikian pula sifatnya yang sebelumnya (konon) kejam/ sadis, bisa menjadi lembek/ cengeng, terutama setelah menjalani adegan slap-stick pemukulan hidung yang bertubi-tubi itu. Terus gak ngerti gue, kenapa nih orang dengan kekuasaannya yang besar (pengganti Raja, gitu loh!) gak --gampangnya-- tangkep aja si Kizzorgy dan langsung dieksekusi, gak usah pake aksi ploy-ploy-an pake silent asassin segala. That smart@ss stays in YOUR castle, for G*d's sake!! Now let's hear a quote from the He-who-is-most-feared Romuza, "Kau tidak keberatan kan, Anak muda? Atau, aku harus menyuruh pengawalku untuk mencubit pahamu sebagai tanda permintaanku?" (Hal. 43). Awwww, Bo! Ngeri dewh akikaw!!

6. Ratu Nivera: Musuh sejati, yang nggak menginginkan apa-apa kecuali menjadi musuh sejati kerajaan Afzein! Tulus bangetz. I mean, setelah membunuh dua Raja. Dia cuma memagari Kota Afzein dengan Bad-spell untuk tujuan yang gak jelas (apa gunanya mengurung penduduk berpuluh tahun dan minta tumbal tiap enam hari sekali? Tuh penduduk seharusnya udah mokad abis di tiga bulan pertama karena kelaparan!), lalu duduk-duduk di Istana kegelapan bersama pasukannya dalam adegan-adegan yang sangat-banget-mirip-adegan-kethoprak.

7. Dan karakter-karakter lain yang timbul-tenggelam dari panggung hanya sebagai figuran dari aksi-gaya si tokoh utama: Kizzorgy Poesie!

Omong soal timbul-tenggelam dari panggung, dan kethoprak, gue jadi kepikir bahwa cara Pengarang menghandle para karakter novel ini mirip banget sama gaya Dalang mengeluarkan wayang dari kotak untuk satu adegan lalu memasukkan kembali setelah adegan selesai, silih berganti. Rasanya persis seperti itu. Artinya para karakter seolah tak punya hal lain untuk dikerjakan selepas dia berurusan dengan si Zorg. Tidak punya 'kehidupan' lain.

Ya itulah, manajemen Motivasinya masih belum bagus. Siapa melakukan apa karena apa, masih gak terlalu dicermati oleh pengarang. Semua masih terpusat pada sosok Zorg seorang.

Ini juga aku sebut sebagai Egosentrisme. Everything is about Zorg.

Come to think of it, mendingan dia dinamain Egos aja, daripada Zorg, hehehe. Seluruh cast-karakter dalam buku ini seolah didesain hanya buat mengglorify si Zorg, even sampai cara Zorg melakukan monolog aja, ujung-ujungnya terasa hanya buat efek self-glorification. Yeah, I know about alter-ego. Gimana pengarang mensublimasi ego dirinya ke dalam ego tokoh utama novel. Itu naluriah wajar, manusiawi. Tapi this is already over the top, man! Pembaca sampai gak kebagian tempat.

Segitu egosentris sampai berpengaruh ke logika cerita juga. Dalam hal ini pengarang terlampau 'menjagokan' tokohnya sehingga dia berada di luar 'batas' karakter yang logis dalam universe Afzein.

Contohnya dalam hal mumbo-jumbo tato sayap malaikat sampai tenaga Xyfort (tenaga-dalam yang namanya seperti merk obat). Konon katanya, tenaga ini hanya dimiliki oleh pewaris Raja. Dan dengan tenaga inilah akhirnya si Zorg bisa membabat habis monster-monster ganas termasuk mengalahkan Ratu Nivera, dengan perlawanan relatif enteng. Well, ada yang terlupakan. Logikanya ngga cuma si Zorg yang punya Xyfort, mustinya abangnya si Keintjizie dan bokapnya si Keindizie juga punya lah, dan bahkan mereka suppose to be lebih menguasai Kitab Rahasia Malaikat dibanding si Zorg (soalnya belajarnya lebih serius, ga kayak si Zorg yang cuma sempat baca sepotong-sepotong). Tapi koq mereka gak berdaya melawan si Ratu jahat itu, ya? Cuma Zorg yang hueebbats!

Trus adegan sembah-sembahan, adegan sanjung-menyanjung dan penyebutan pangeran (sok gak mau dipanggil pangeran, tapi gimana gitu lowh),... oh well.

Logika setting lokasi: lumayan error walau gak fatal juga, mengingat MANTRA hanya melibatkan sedikit lokasi, yaitu Ruang Bawah Tanah untuk Babu, Ruang Penyiksaan, Area Istana (Kamar Romuza, Ruang Kerja Romuza dan kamar beberapa tokoh lain), Desa Keramat-tempat-orang-buang-Mayat, dan Istana Dombire yang berada di dalam gua di langit (???). Sedikit kekaburan setting aja, karena ada plot bahwa KOTA Afzein dipagari dengan Mantra jahat, tapi para tokoh bisa berjalan ke DESA KERAMAT. Well, memang gak dijelaskan apakah Desa tersebut berada di dalam atau di luar batas Kota. Tapi dengan asumsi perjalanan 1 jam dengan berjalan kaki (Zorg kakinya dirantai, tapi tampaknya kecepatan jalannya tak beda dengan rekan-rekannya yang gak dirantai), maka wajar saja mengasumsikan dalam setting kerajaan semacam Afzein ini bahwa letak Desa macam itu setidaknya berada di luar batas kota.

Logika aksi-reaksi: nah ini yang terparah. Sebagian besar aksi-reaksi dalam Novel ini berlangsung secara unbelievable. Bagaimana aksi kakek Herdtqolf yang mengawetkan jasad Zorg yang disangka mati padahal belum mati, gak jelas alasannya. Reaksi Romuza setelah tahu Zorg adalah sang pangeran yang hilang, juga terasa gak logis. Kemudian situasi ketegangan hidup-mati antara Zorg vs Romuza (pada saat Zorg -babu/ tahanan; tertangkap menyusup ke kamar Romuza -penguasa/ pengganti Raja) diselesaikan dengan dialog ala tebak-tebakan, dan Zorg can get away without dire consequence, kayak polah kanak-kanak aja. Sulit bagi saya untuk tegang, atau bergidik, atau tergetar akibat adegan semacam itu. Inilah yang membuat novel Mantra menjadi terasa sangat lemah.

Wokeh, ngomongin jeleknya terus dari tadi. Sekarang kita ngomongin bagusnya.

Hal positif yang sudah diraih oleh mas Susanto antara lain adalah: cara bertutur yang jelas. Clear. Pengkalimatannya mudah dimengerti oleh pembaca. Alur cerita berjalan cukup lancar (memang timbul pertanyaan di sana-sini dikarenakan aspek logikanya), dan kalau pembacanya gak banyak protes kayak saya, maka dia niscaya masih bisa mengikuti ceritanya. Susunan alur-plot sendiri lumayan, lah, walau gak terlalu kompleks juga. Penggunaan berbagai perangkat unik (walaupun konsistensi logikanya bermasalah) untuk menyelesaikan berbagai hambatan dalam petualangan si Zorg ini juga menunjukkan bahwa Pengarang punya potensi kreativitas yang baik.

Oke sebagai penutup, mengenai judul MANTRA dan KITAB RAHASIA MALAIKAT. Ini deserves pembahasan tersendiri.

Konsep Mantra merupakan tema-besar Novel ini, yang walaupun disampaikan secara tergagap-gagap, tetap merupakan sebuah konsep menarik by itself. Saya bisa menangkap grand idea-nya Mas Susanto, mengenai adanya suatu rangkaian mantra yang mampu mendatangkan kekuatan spiritual, dan jujur saja konsep yang tertuang dalam mantra itu sebenernya cukup bagus.

Saya kutip salah satu Mantra di sini:

"Hilangkanlah dirimu dari segala keterpurukan, percayalah pada hatimu untuk mendapat kekuatan dari Tuhan"

atau

"Malaikat penguasa api. Bumi hanyalah sebongkah bola besi. Kemurnian api suci menghancurkan kayu, tanah, air, dan besi. Jadilah api suci, maka tunduk segala batari"

Well,... susunan kata-katanya masih belum begitu pas memenuhi persyaratan sebagai sebuah mantra atau kantata, tapi the idea is there. Dan bahwa kata-kata di atas punya khasiat tertentu, itu boleh juga.

Cuma memang pengolahannya harus mendalam. Apalagi di sini kita bicara spiritual-strength. Dalam Novel, si Zorg yang baru membaca mantra satu kali aja udah mengalami semacam 'kerasukan' energi. Rasanya itu membuat the whole concept jadi terasa hambar. Akan lebih menarik apabila terjadi pergulatan batin, proses pemahaman sang tokoh akan makna lahir-batin dari kata-kata tersebut. Si tokoh harus sampai pada pemahaman yang sempurna, sebelum ilmu tersebut terwujud dalam dirinya.

Mekanisme seperti itulah yang akan membuat konsep Mantra, Ilmu, yang macam ini menjadi menarik.

Terus mengenai Kitab Rahasia Malaikat, obyek utama dalam Novel ini yang --sayangnya-- cuma berperan sebagai obyek mati semata. Di sini pengarang kurang maksimal mengolah konsep sebuah ilmu 'tinggi' yang tersimpan dalam sebuah kitab, menanti saatnya digali oleh the chosen one. Mungkin konsep kayak gitu masih 'ketinggian' juga buat sang pengarang, ya? Sampai terekspresikan dalam tulisannya sendiri seperti ini:

...mengambil sebuah buku yang sangat tebal, mirip kitab, berjudul Rahasia Malaikat dari laci mejanya... Tak lama setelah itu, kakek memandangku cukup lama dengan mata elangnya, kemudian menyodorkan buku tebal yang mirib kitab itu di depanku (hal.17).

Gak usah pakai "mirip kitab" lah itu udah jelas kitab, mas! Apa bedanya? Kemudian penamaan KITAB RAHASIA MALAIKAT yang beda jauh dengan sub-judul RAHASIA KITAB MALAIKAT, itu juga menunjukkan bahwa konsep buku ini lebih sebagai tempelan, alih-alih grand idea. Sayang, sebenernya.

Okeh rekans, jadi begitulah hasil pembelajaran yang bisa saya share lewat buku MANTRA: Rahasia Kitab Malaikat - Sebuah Novel Menggetarkan.

Moga-moga menjadi manfat buat kita bersama. Mas Susanto, gak usah kecil hati. Saya memang bilang novel ini (masih) jelek. Tapi ingat, Anda bukan novel anda. Novel anda hanyalah potret kapasitas anda di masa lalu. Sementara anda bisa belajar lagi, giat mengembangkan diri lagi sehingga anda akan menjadi penulis yang lebih baik di masa datang. Kerja keraslah, and welcome di dunia kepengarangan!

Salam,

FA Purawan

Selasa, 07 Juli 2009

THE PRINCE MUST DIE! (Langit KH - 2007)



Penerbit: Iqra - Smart Media
Editor: Didik Hermawan
Illustrator: NasSirun PurwOkartun
Desain Cover: NasSirun PurwOkartun
Tata Letak: KamarkeciL studio
Tebal: 276 halaman


Sebelum dilanjutkan, saya tegaskan dulu bahwa kekacauan penempatan huruf kapital di atas bukan ulah saya salah mengetik, melainkan memang sudah demikian dari sono-nya. Now why would someone think THAT as a sign of coolness --sEPerTi gAya AnaK gAUl GheTOO looH-- it beats me!

Sebaiknya gue ikut-ikutan menciptakan gaya baru dengan membuat review: yng mnghlngkn slrh hrf vkl dr tlsn spnjng lm bls prgrf sprt n!

Gimana? Keren gak, gue???

(Capee deh,...)



Oke, selamat gini hari pembaca blog ku yang budiman. Berikut hadir sebuah karya yang sangat menarik untuk kita pelajari, yang intinya bagaimana belajar dari seorang pengarang senior yang mencoba menulis dengan gaya remaja-remaja gaul dan mendapatkan 'fall flat in the face' sebagai hasilnya!

Sorry pak LKH, you used to be pengarang idola saya. Sekarang,... well, setidaknya setelah saya selesai dengan review ini, saya akan melupakan pak LKH pernah menuliskan novel ini dan oleh karenanya tetap --dengan kalem-- menganggap bapak sebagai pengarang idola saya!

Sebuah novel tipis dengan judul berbahasa Inggris: The Prince Must Die! (PMD), Bersampulkan siluet 3 sosok pria seperti mahasiswa (aneh sebab tokoh pria di novel ini cuma dua orang dari empat, dan dua laginya adalah cewek), judul plus efek percikan darah serta jargon: Petualangan Menembus Batas, dan latar belakang berupa gapura disambar petir. Terus-terang konsep covernya sama sekali gak menjual, kalau saja tidak ada nama Langit Kresna Hariadi di pojok kiri atas, sehingga penggemar LKH bisa menangkap kaitan gapura tersebut dengan 'bau-bau'nya karya LKH.

Pak LKH sebagaimana dalam sambutannya, sedang berusaha masuk ke dunia remaja --satu hal yang diakuinya sendiri sebagai sulit minta ampun-- dengan meng-create sebuah novel remaja bertema fantasi-sejarah. Ceritanya tentang empat remaja di tahun 2007 yang tersedot balik ke masa lalu straight to Singasari di jamannya Ken Arok, dan terlibat petualangan kecil di sana.

Sekilas, jadi teringat novelnya Djokolelono "Terlempar ke Masa Silam" kalo gak salah begitu judulnya.

Jadi idenya gak terlampau orisinil, tapi tetap saja menarik. Apalagi, LKH sudah terbukti piawai mengolah universe Majapahit di novel Gajah Mada. Maka ngomongin Ken Arok rasanya tak akan sulit bagi beliau.

Ya, ngomongin universe Ken Arok-nya, memang gak masalah lagi. Tapi saat ngomongin universe remaja 2007-an, beliau is in BIG trouble!

Let's start. Pertama-tama kalo mo ngomongin dunia anak muda (coba dengar kata-kata saya ini; seolah-olah saya punya kredibilitas untuk bicara mengenai anak muda. Hahahah!) sebaiknya pengarang-pengarang jadul (and that includes: ME!) jangan sungkan-sungkan untuk minta bantuan pada anak muda. Setidaknya untuk satu aspek sederhana-tapi-mendasar: Nama tokoh.

Yeah. Kan gak sulit, untuk minta dibikinin nama tokoh. Tinggal minta tolong aja, hehehe. Dengan tokoh-tokoh bernama: Nauval, Marshanda, Lenggang, dan Emilia, Pak LKH seolah menarik garis batas dengan kaum pembaca muda yang akan merasakan nama-nama macam itu bukan nama yang "Gue-banget". Well, those names just 'proper' as older-people's state of mind. Itu nama-nama yang ada dalam frame berpikir orang-orang tua. Remaja akan merasa asing terhadapnya, dan bahkan akan 'merusak'nya (baca: mendekonstruksikan) agar lebih sesuai dengan alam mereka. Kita liatlah di sekolah-sekolah atau di komunitas gaul (atau bahkan hal yang sama kita alami di kala remaja dulu: nama bagus-bagus bikinan orang tua dirusak jadi nick-names kacau! hehehe). So "Marshanda" akan berubah menjadi "Shanda" atau "Syanda", "Nauval" mungkin akan berubah menjadi "Nopal" atau "Opal", "Emilia", masih agak normal, tetap "Emilia" atau "Emil". "Lenggang",... well no teen alive will accept the name 'Lenggang' anyway,...

Ngomong deh sama pengarang muda, aku garansi Pak LKH bakal kebajiran usulan nama yang cucok, hehehe.

Yang kedua, dialog. Seorang pengarang senior semacam pak LKH tentunya sudah sangat paham betapa dialog harus terasa 'real', sehingga bahkan beliau pasti secara serius mempertimbangkan gaya berdialog dalam novel Gajah Mada, misalnya. Bagaimana membedakan gaya bicara antar prajurit Bhayangkara (ini saya referensikan sebab saya sangat menyukai iklim keprajuritan dalam novel beliau ini, yang saya anggap beda dengan penulisan tema sejenis) dengan gaya bicara menghadap Raja dll. Dan ke-pas-an penulisan tersebut merupakan ukuran kompetensi seorang penulis. Pastinya, seorang penulis akan serius mempelajari hal itu.

Mau nulis gaya dialog Narapidana, gaya dialog Pialang Saham, gaya dialog Polisi, tentunya masing-masing akan secara serius dipelajari. Bahkan sangat mungkin pengarang sampai harus masuk ke komunitas sasaran untuk melakukan riset.

Untuk gaya dialog di PMD, terutama yang anak muda, terasa banget nggak 'real'nya. Mungkin pak LKH kurang meriset di tengah kesibukannya. Bagian terlemah saya pikir adalah dialog antara Nauval dan Lenggang; terasa seperti dialog mahasiswa tahun 70-an, angkatannya Ali Topan dkk. Jadi kurang enak ngalirnya, membuat novel jadi terasa gak realistik. Untuk gaya dialog Singasari-an, udah pas. Demikian pula gaya dialog yang terjadi dalam konteks Orang-tua vs Anak, atau Guru vs Murid.

Trouble Ketiga, adalah dalam gaya penulisan. Mungkin pak LKH sedang mencoba gaya baru untuk mendekatkan diri pada kaum muda, dan mungkin beliau merasa menemukan semacam 'formula' yang dipikirnya tepat untuk membuat sebuah novel terasa sebagai 'remaja'. Beliau mencoba membuat tulisan dengan paragraf-super-pendek (Note: saya curiga, formula ini beliau saripati-kan melalui pengamatan atas mode penulisan Chicklit dan Teenlit mutakhir di Indonesia!)

Kayak gini, nih.

Paragraf Singkat.

Gak banyak yang ditulis.

Tapi membuat 'speed' membaca jadi cepat.

Belum-belum udah buka halaman lagi.

Dan lagi.

Dan lagi,...

Well, penerapan gaya paragraf pendek begini gak salah, sebenernya. Dan memang terbukti membuat pembacaan novel menjadi cepat. Tapi sorry-sorry aja, pendekar yang biasa mainkan senjata tombak pun kadang bisa gagap saat bertarung cuma pakai pisau. Artinya, mau kuasai gaya paragraf pendek pun, jurusnya harus dipelajari dan dikuasai, jangan pakai jurus paragraf panjang yang sekedar dipotong-potong supaya jadi pendek belaka.

Saya akan kutipkan cuplikan dari novel PMD dibawah ini:

Namun meski telah dua puluhan tahun berumah tangga, Pak Farhan masih sering terkaget-kaget melihat istrinya. Ia merasa menjadi orang yang paling mengenal Antini karena ia suaminya, akan tetapi sering kali Antini menjadi sosok yang misterius, pintar menyimpan rahasia.

Seperti kali ini ketika Antini menyerahkan buku Tabungan.

Ternganga Pak Farhan melihat angka-angka dalam buku tabungan itu.

"Lima belas tahun kamu menabung sampai sejumlah ini?" tanya Pak Farhan.

Nilai uang itu, Pak Farhan bahkan bisa mengukur nilai sebuah rumah baru atau untuk membeli rumah baru.

Tidak ada keharuan seperti kali ini, ketika Pak Farhan mendapati istrinya ternyata sosok yang luar biasa.

Lama Pak Farhan memeluk istrinya.

(halaman 17)

I don't know about you, tapi kalo menurut gue sih 7 paragraf pendek itu udah bisa 'bunyi' cukup dengan satu atau dua paragraf normal, dan setidaknya akan terasa lebih bagus sebab ditulis oleh pengarang yang sudah 'paham' jurusnya. Sementara gaya eksperimen pak LKH ini, bagi saya malah seperti menyimak seseorang yang jarang bicara, yang menginformasikan suatu hal secara sepotong-sepotong. Not impressive, actually.

Untuk hal ini, sebenernya pendapat saya masih 50:50. Oke aja sih kalo pak LKH mencoba suatu gaya alternatif baru, sekalian belajar. Tapi di sisi lain, saya juga lebih senang membaca novel yang matang bukan coba-coba, hehehe.

Di luar tiga trouble yang sudah saya sebutkan di atas, Novel ini memang tidak terlalu jatuh kualitasnya, disebabkan kompetensi pengarangnya memang sangat pegang peranan, antara lain dalam mengolah plot secara mumpuni dan terutama dalam pengolahan setting Singasari yang buat saya justru lebih believable dibanding setting modern-nya!

Highlight setting Singasari yang saya paling suka adalah saat orang-orang di jaman dulu itu menemukan benda "Senter" untuk pertama kalinya, dan terkaget-kaget oleh adanya sebuah tongkat yang bisa memancarkan cahaya luar biasa terang, dan kemudian menamakan benda tersebut dengan: Ki Cahya Sumilak. Hahaha, keren dan orisinil, terasa pas banget di segala aspek. Mulai dari kekagetan yang alami, sampai pada penerapan budaya yang cerdik, bahwa orang-orang jaman segitu memang hobby untuk menamai suatu benda menurut kesaktian yang dimiliki atau diharapkan untuk dimiliki oleh benda tersebut. Itu part persentuhan time-travel yang paling pas menurut gue.

Nah, bicara tentang plot Time-travelling, meminjam tradisi kisah-kisah seperti Back to The Future, The Time Machine dll, novel ini menjadi 'kena' bolong logika besar seperti lapisan ozon bolong kena gas freon.

Plot time-travel PMD sudah dimulai dari adegan sampingan berupa raibnya kamera digital milik Nauval, dan ndilalah sebulan kemudian berada dalam sebuah kotak perunggu terkunci yang terpendam dalam tanah sejak beberapa ratus tahun lalu, yang baru ditemukan saat ada penggalian tanah buat keperluan septic tank di rumah Nauval.

Woookeeeh, keajaiban time-travel, neh. Dan detik itulah pak LKH terjebak dalam rumitnya time-space continuum yang menguras ketelitian dan kecergasan demi mempertahankan logika cerita.

Bolong logika pertama langsung menohok: Kamera Digital yang suppose to be sudah mengalami time-travel ke 800 tahunan yang lampau dan ditemukan kembali 800 tahun kemudian di dalam kotak perunggu itu,... ternyata masih bekerja dengan baik.

Baru gue tahu ada batere yang bisa awet tanpa dicharge selama 800 tahun! Gak bocor dan gak merusak sirkuit elektronik. Wow, pemilik kamera itu sungguh beruntung, wkwkwkwkwk.

Bolong logika berikutnya: Rumah Nauval terletak di Solo-Jateng, sementara drama Ken Arok dkk berlangsung di Singasari (area Malang-Jatim). Gak jelas bagaimana Kotak perunggu (tempat kamera ditemukan) beserta kaca cermin berbingkai nan ajaib itu bisa terkubur di tempat yang jauh dari Singasari. Jadi selain time-travel, ada juga antar-kota naik travel. Hehehehe,... kalo udah gini, kayaknya kartunya jadi gak sci-fi, atau semi-sci-fi sekalipun. Ini pasti pakai kartu Magic lagi, yang paling aman, paling bisa menjelaskan semua hal secara tanpa perlu penjelasan logis.

Bolong logika terakhir untuk urusan Time-Travel, adalah di akhir cerita dimana puncak adegan meliputi rombongan Nauval meloloskan diri balik ke masa depan sambil membawa pangeran Anusapati (putra Ken Arok, yang dimaksud sebagai The Prince dalam judul novel ini), yang ceritanya mo diobatin oleh dokter-dokter masa depan, dan demi kepentingan 'sejarah' dan plot (bahwa kamera itu kelak akan ditemukan dalam kotak perunggu) maka kamera diserahkan kepada Ken Dedes untuk disimpan di masa lalu. Sampai titik itu, sih, masih in-plot, lah. Tapi pembaca yang kritis pasti akan segera bertanya,... Lha si Anusapati bakal 'pulang' pakai apa? (untuk yang belum baca bukunya, mungkin belum paham maksud pertanyaan barusan. Begini, Kamera Digital Nauval, tepatnya lampu blitz-nya, adalah kunci untuk mengaktifkan pintu dimensi yang terdapat dalam cermin ajaib. Kala ceminnya difoto pakai blitz, clap! Maka cermin akan menjadi pintu antar tahun 2007 ke tahun 1222 vice-versa. Nah di akhir cerita, kamera di serahkan ke masa lalu sementara si Anusapatinya masih di masa kini, karena mau dioperasi. Gak jelas tuh anak akhirnya dipulanginnya gimana,...)

Selain kebolongan logika soal time-space continuum, pak LKH juga membuat candaan (yang bagi saya kurang lucu, tapi ya sudahlah) mengenai reaksi orang-orang di masa lalu terhadap berbagai perangkat modern yang dibawa oleh rombongan dari masa depan itu. Rombongan Nauval, kontradiktif dengan tekad mereka untuk tidak mengubah sejarah (tekad yang gagah yang sering dicanangkan oleh para Time-Traveller!), malah menyuguhkan perangkat elektronik modern ke majelis Singasari yang terdiri dari Raja Ken Arok, beserta seluruh perangkat istana sampai prajurit-prajuritnya. Halah, HG. Wells atau Jules Verne bisa berguling di kuburnya, nih, tokoh-tokoh pak LKH udah melanggar pantangan time-traveller! Hehehe.

Tokoh Emilia memamerkan pada orang-orang Singasari barang-barang berupa kamera, handy talkie, handphone, permen, rokok, sampai laptop pada orang-orang Singasari. Sebagai lelucon, memang cukup asyik membayangkan reaksi mereka, reaksi tipikal orang kampung macam film Gods Must Be Crazy. Tapi secara pakem cerita time-travelling, itu sudah breach sejarah yang serius!

Apakah tidak logis bila perbuatan seperti itu akan merubah jalannya sejarah? Bayangkan bahwa orang Istana Singasari pernah mengenal sebuah barang ajaib bernama laptop, hal itu akan mentrigger budaya dalam skala yang hebat, sampai-sampai bisa dispekulasikan adanya benda-benda hasil budaya yang mencitrakan seperti laptop, ekstrimnya bahkan bisa terukir dalam prasasti candi, kinarya kayu atau logam dan sebagainya. Yah, itu kalau memang mau mebuat pertimbangan serius dalam sebuah novel sci-fi atau Fantasy, ya. Kalo cuma mo buat novel canda-candaan sih ga papa.

Dengan pengaturan alur cerita semacam ini, saya memang cenderung menduga pak LKH tidak sedang terlalu serius saat membuat novel ini. Setidaknya, tak seserius kala beliau membuat Gajah Mada atau Candi Murca. Mungkin bagi pak LKH novel tipis ini tak ubahnya rekreasi, sekedar pengalihan mental dari project-project serius yang beliau kerjakan. Dan juga ada sisipan missi kampanye kepengarangan di dalamnya, melalui tokoh Marshanda yang digambarkan menjadi pengarang remaja yang cukup sukses, trus ada adegan ceramah Marshanda tentang teknis bikin novel di hadapan teman-temannya. Jadi inget episode sinetron ACI, hehehe.

So, apa yang bisa kita pelajari? Well, satu hal mungkin bagi pak LKH novel macam ini adalah sekedar rekreasi. Tapi bagi kita-kita, setidaknya novel ini mengajarkan pada kita apa sebaiknya yang dilakukan bila kita mencoba masuk ke sebuah setting yang un-familiar: 1) Riset, dan 2) Cross-check sama rekan yang berkompeten.

Tapi ada satu pelajaran filosofis yang menarik bagi diri saya pribadi, mengenai filosofi "There is no Try, only Do" (Yoda - Empire Strikes Back, Kalo ga salah). Maksud saya, hasil akhir novel ini menunjukkan mudaratnya sikap coba-coba (try) dalam melakukan suatu hal. I mean, even seorang pengarang senior pun bisa terjebak melahirkan karya yang 'tanggung', karena di awal niatnya memang bukan serius mengkreasikan. Saya bisa membayangkan bahwa dengan sikap 'try' tersebut, saya tidak akan total mendalami suatu masalah. Saya akan melakukan apa yang saya anggap fun, dan akan berhenti pada garis batas yang saya ciptakan sendiri, entah itu garis batas berupa 'kenyamanan', 'kesantaian', 'keterbatasan waktu', 'ketidak-tahuan', 'kemalasan', 'kesulitan', 'ke-not-worthy-enough-an', dan sejenisnya. Dan begitu ketemu garis batas itu, saya akan dengan santai menyingkir, sehingga akhirnya saya tidak berada dalam posisi 'total'.

Bedanya dengan filosofi "Do", adalah saat melakukannya, saya akan melakukan secara total, sehingga apapun hambatan yang hadir, akan dianggap sebagai 'challenge'. Dan siapapun pasti akan mencoba mengalahkan challenge alih-alih menghindarinya. Pada akhirnya, filosofi "Do" ini akan membawa saya pada self-discovery mengenai seberapa jauh kapasitas maksimal saya pada saat itu.

Dan saya percaya, dua filosofi itu akan membawa kita pada hasil akhir yang benar-benar berbeda.

Pak LKH, sekali lagi terima kasih atas pembelajarannya, pada hari ini.

Salam,


FA Purawan