Pertama-tama, gue sebel dengan buku yg over-rated, melalui reviews yg (bagi gue) menyesatkanku.
Kedua, gue lebih sebel lagi karena ini menyangkut sebuah karya Fiksi-Ilmiah! Genre yg sudah menjadi kesukaan saya semenjak baca karya Isaac Asimov sampai dengan novel-novel StarWars (gak cuma episode 1-6, loh. Ada terusannya kisah keluarga Organa-Solo, Luke-Mara Jade dll.).
Novel: Hozzo, Ferres yang Hilang, adalah sebuah 'attempt' untuk menjadi sebuah karya novel fiksi-ilmiah, dimana --excuse me-- saya anggap buku ini telah gagal mencapainya. More on this later, deh.
Pertama-tama mengenai pengarang. Saya nggak menemukan identitas pengarang I.B.G.Wiraga di dalam buku ini. Yg saya tebak sih beliau orang Bali, dari referensi tokoh asal Bali di Novel ini. Sliweran di internet mengindikasikan bahwa beliau berusia 20 tahunan, dan buku Hozzo ini adalah karya perdananya.
Kemudian mengenai genre Fiksi-ilmiah. Genre fiksi ilmiah adalah sebuah genre penulisan novel/ fiksi yg menggunakan ilmu pengetahuan sebagai dasar logika cerita, BUKAN semata novel yang menggunakan hal-hal ilmiah sebagai latar cerita. Ini beda jauh. Pada novel fiksi-ilmiah "I Robot" karya Isaac Asimov, segi "Science fiction"nya bukan ada pada sosok-sosok Robotnya, atau kecanggihan teknologi masa depannya, melainkan justru pada permainan logika "Three Laws of Robotics" yg begitu ciamik. Atau dalam seri "Foundations", Asimov secara jenius mempostulasikan sebuah ilmu yg merupakan percampuran antara matematik-psikologi-sejarah yang kemudian mempengaruhi dan meramalkan tumbuhnya suatu peradaban.
Kita banyak banget kejebak pada kesalahan ini, dimana hal-hal yg dianggap futuristik, atau canggih, atau luar angkasa, langsung dimasukkan dalam genre fiksi-ilmiah. Alih-alih Science-Fiction, sebenernya ada satu lagi genre yg lebih populer, yaitu Space-opera, alias bercerita a la opera, yg berlatar belakang 'space things'. (Emang akhirnya banyak juga yg menyama-ratakan genre ini dengan SF, padahal spiritnya sangat berbeda). Bintang di genre ini gak lain dari seri Star Wars. Kalau ku bilang, Hozzo adalah Space opera dengan sedikit detektif-detektifan. Satu cirinya adalah, plot yg ada di dalam cerita novel jenis itu sama sekali tidak melibatkan ilmu pengetahuan, melainkan plot biasa aja seperti perebutan kekuasaan, percintaan, petualangan, baik vs buruk dll.
Having said that, banyak sekali gagasan dalam Hozzo yg 'terinspirasi' dari StarWars, terutama era Episode 1 s/d 3 (Phantom Menace s/d Revenge of The Sith), misalnya inpirasi landscape planet Hexamuxes yg tampak mirip Naboo, atau kehidupan bawah airnya mirip penggambaran kaum Ganguin (yg ras-nya Jar-jar itu loh), dengan berbagai variasi. Aneka ragam ras Alien tanpa penjelasan yg logis juga tampak mengikuti pakem StarWars Ep. 1-3. Dalam hal ini harus kita bedakan dengan Ep. 4-6, dimana ras Alien yg ada di dalamnya bener-bener dideskripsikan sampai pada hal-hal antropologisnya.
Dan memang, dalam penulisan fiksi-ilmiah, ilmu antropologi cukup banyak mendapat porsi.
Sementara dalam space-opera hal itu memang gak terlalu dipedulikan. Yg diambil cuma 'eksotisme' a la fantasi angkasa luar aja sebagai latar belakang. Itu exactly yang dilakukan oleh Hozzo. It's okay. Tapi yg membuat saya gemezz, sampai sejauh ini kemampuan pengarang "fiksi-ilmiah" kita (dan seluruh perangkat produksi termasuk editor sampai penerbit) ternyata masih ketinggalan, sejaman dengan era Flash Gordon belaka. Banyak karya "fiksi-ilmiah" yg cuma terjebak dalam mencipta-ciptakan nama-nama aneh, istilah-istilah asing (tapi nggak ada dasar penalarannya), masukin pesawat ruang angkasa, planet asing, kemudian kerajaan alien yg teknologinya cuangggih (tapi apa efek teknologi tersebut pada kehidupan masyarakat? kenapa masih menggunakan pola kerajaan? Sementara kita yg teknologinya masih 'primitif' sudah mengadopsi pola pemerintahan republik? dan seterusnya, pusing juga bikin science-fiction? hehehe). Contoh lain, betapa perbedaan teknologi yg supposed to be sangat jauh antara manusia dan alien (sebutan sembarangan yg digunakan di novel ini untuk merujuk pada 'humanoid' yg bukan Homo Sapiens) ternyata tak menghasilkan perbedaan kultur sehari-hari, alien itu ternyata tetep aja nonton video, main 'games', piknik, bikin infotainment, dsb. Artinya pengarang cuma memindahkan pola pikir dan setting kehidupan yg dia alami (bumi) ke dalam setting luar angkasa, itu aja. Padahal, kalau mau serius, perbedaan fisiologi tubuh aja sudah membuat sebuah perbedaan kultur yang sangat besar!
Ada juga sedikit misslook dalam penggunaan teknologi. Kaum Alien punya alat penerjemah universal yg disebut WET. Kalau pakai WET, maka sekian juta bahasa planet bisa kau mengerti, lah. Tapi kenapa dalam dialog antara anggota Hozzo (yg difasilitasi oleh WET) masih muncul kosa-kata asing tercampur dengan kosa-kata bumi? Misalnya, untuk si alien Hege, dia menyebut ayahnya dengan kata "Dher". Lalu dalam dialog dengan anak-anak bumi bisa muncul kalimat seperti ini, "Dher memanggil kita ke ruang tengah". Lho, kalau WET berfungsi baik seharusnya kalimat yg muncul adalah "Ayah memanggil kita ke ruang tengah". Atau kalau WETnya rusak, kalimatnya menjadi "Dher wozwasuhg gigrt gdtarusrge uik uik uik" Itulah, keasyikan main kata-kata 'eksotis', pengarang jadi kurang teliti.
Belum kalo ngeliat ilustrasi,... masih begitu-begitu aja imajinasi illustrator terhadap hal-hal yg berbau teknologi. Mestinya illustrator SF punya background minimal menggambar teknik (gambar mesin etc). Dan itu masih belum dimiliki perangkat penerbitan kita. Dan numpang tanya, itu maksudnya gambar "kuku macan" di cover depan itu apa ya? Koq ga ketemu relevansinya di dalam cerita.
Atau gue yg expect too much dari buku Hozzo? Mungkin aja. Sebab ternyata pun, buku ini diposisikan sebagai buku fantasi anak-anak. Mungkin itulah sebabnya segi Fiksi-ilmiah sebaiknya dilupakan, kita masuk aja ke space-opera.
Setelah mengesampingkan hal-hal "fiksi-ilmiah"nya, ternyata masih ada segudang kegemesan yg terpaksa harus saya telan selama membaca buku ini. Pertama mengenai lokalisasi. Saya sempat bingung dengan pilihan lokasi Windfall (possibly di USA) sebagai titik sentral berangkatnya cerita. Ada Bali dan seorang tokoh asal Bali, tapi itupun hanya sekedar tempelan. Apa alasannya di USA? nggak jelas banget. Hal ini sempat membingungkan saya, terutama karena banyak penulisan dialog mengesankan bahwa dialog merupakan terjemahan dari bahasa inggris ke dalam bahasa Indonesia. Karena dua hal itu, saya sempat menyangka bahwa novel ini bukan karya lokal, melainkan terjemahan, hehehe.
Kemudian mengenai plot yg melantur (sebagaimana tulisan review saya ini ) tanpa arahan logika yg jelas. Ada kecelakaan pesawat yg dramatis, ada musibah gedung runtuh, ada 'penculikan' sekelompok anak ke luar angkasa ke planet lain tanpa kejelasan motif dan tanpa kemungkinan kembali ke Bumi lagi. Herannya, anak-anak itu koq ngga stress sama sekali ya? Nggak logis. Peristiwa2 di dalam novel ini tidak berfungsi sebagai plot yang menggiring tokoh2nya (ataupun pembaca) mengambil keputusan-keputusan logis tertentu yang akhirnya membentuk rangkaian peristiwa (sebab-akibat) yg disebut sebagai sebuah "Kisah" atau "Cerita". Banyak peristiwa "aneh" yang dibiarkan tanpa penjelasan, sehingga terkesan sebuah peristiwa hanya hadir sebagai penambah-nambah tebal halaman belaka.
Tokoh2 di dalam novel ini diposisikan bak boneka yg kebetulan ditempatkan pada satu situasi, tapi tidak punya kekuatan untuk menentukan arah cerita. Contoh paling jelas adalah pembentukan kelompok detektif cilik multi ras (human + alien) Hozzo. Ngga ada motif yg jelas dan alasan yg masuk akal. Yg aku tangkep, anak-anak yg diculik ke luar angkasa ini iseng-iseng bikin kelompok detektif sekedar mengisi waktu karena alasan mereka disuruh quit school into the spacecraft masih belum jelas serta kebetulan ada pangeran hilang neh yuk kita selidiki sambil berdarma wisata keliling galaksi. Err,.. siapa yg bayar, neh? Dan yg bikin gemes lagi, ngga ada aktivitas detektif sebagaimana dilakukan oleh, katakanlah anak-anak lima sekawan, sapta siaga, atau lain-lain. Object yg harus diselidiki ternyata 'conveniently' tergabung dalam kelompok detektif ini tanpa sengaja, alias dijeblosin gitu aja sama pengarang. Dan sebagai akibatnya kelompok itu mengalami berbagai sabotase menegangkan selama piknik. Kenapa para Galactic Mafia itu gak ngundang Bobba Fett aja sekalian buat ngehabisin pangeran yg menyamar? heheh. Even sekalian aja nyamar jadi anggota Hozzo, toh kelompok itu segitu cairnya! (sampe detik ini pun gue masih nggak punya gambaran pasti, sebenernya anggota Hozzo itu berapa orang dan siapa saja. Rasanya ada banyak nama keluar-masuk tanpa kejelasan status dan peran). Ini mestinya sih jadi spoiler, tapi God, gue sampai nggak segan mengungkapkannya sebagai akibat "capee deeh" ngebaca buku ini selama berbulan-bulan untuk dapetin data-data di atas.
So, the big story is, ayok jalan-jalan keliling galaksi menikmati fantasi luar angkasa dan ketegangan-ketegangan tak beralasan, dan mampir jadi pahlawan galaksi on the way. Sadly, plot begitu ancur pun sebenernya masih bisa menarik apabila pengarang mau kasih benang merah "reason" di dalamnya. Selipan beberapa pengetahuan ilmiah maupun 'spiritual' (sumpe, ada penjelasan karma/ reinkarnasi segala) hadir tanpa konteks yg kuat. Sayang, sebenernya.
So. 500 halaman terbuang sekedar bikin pegel tangan
Review endorsement mengatakan, wah fantasinya mencengangkan, dunianya mengagumkan, tokoh2nya menarik,... well. mungkin kalau dilihat secara satu-persatu seperti itu, memang masih bisa dinikmati. Tapi bila saya mengharapkan adanya sebuah 'kisah', maka petualangan Hozzo (mencari) Ferres yang Hilang ini tidak menceritakan apa-apa.
Sigh,... another forest being wasted to nothing? hehehe,... ya gak gitu lah. Tetep harus ada apresiasi terhadap gagasan dan waktu yang sudah dituangkan oleh pengarang. Faktanya, pengarang Fiksi-ilmiah (yg pseudo sekalipun apalagi yg bener!) masih sangat sedikit. Paling besar yg kita punya adalah Om Djokolelono, setelah itu belum ada lagi. Moga-moga IBG Wiraga dan yg lainnya segera meningkatkan wawasan fiksi-ilmiahnya dan menyusul dengan karya-karya yg lebih baik.
Salam,
FA Purawan
Kedua, gue lebih sebel lagi karena ini menyangkut sebuah karya Fiksi-Ilmiah! Genre yg sudah menjadi kesukaan saya semenjak baca karya Isaac Asimov sampai dengan novel-novel StarWars (gak cuma episode 1-6, loh. Ada terusannya kisah keluarga Organa-Solo, Luke-Mara Jade dll.).
Novel: Hozzo, Ferres yang Hilang, adalah sebuah 'attempt' untuk menjadi sebuah karya novel fiksi-ilmiah, dimana --excuse me-- saya anggap buku ini telah gagal mencapainya. More on this later, deh.
Pertama-tama mengenai pengarang. Saya nggak menemukan identitas pengarang I.B.G.Wiraga di dalam buku ini. Yg saya tebak sih beliau orang Bali, dari referensi tokoh asal Bali di Novel ini. Sliweran di internet mengindikasikan bahwa beliau berusia 20 tahunan, dan buku Hozzo ini adalah karya perdananya.
Kemudian mengenai genre Fiksi-ilmiah. Genre fiksi ilmiah adalah sebuah genre penulisan novel/ fiksi yg menggunakan ilmu pengetahuan sebagai dasar logika cerita, BUKAN semata novel yang menggunakan hal-hal ilmiah sebagai latar cerita. Ini beda jauh. Pada novel fiksi-ilmiah "I Robot" karya Isaac Asimov, segi "Science fiction"nya bukan ada pada sosok-sosok Robotnya, atau kecanggihan teknologi masa depannya, melainkan justru pada permainan logika "Three Laws of Robotics" yg begitu ciamik. Atau dalam seri "Foundations", Asimov secara jenius mempostulasikan sebuah ilmu yg merupakan percampuran antara matematik-psikologi-sejarah yang kemudian mempengaruhi dan meramalkan tumbuhnya suatu peradaban.
Kita banyak banget kejebak pada kesalahan ini, dimana hal-hal yg dianggap futuristik, atau canggih, atau luar angkasa, langsung dimasukkan dalam genre fiksi-ilmiah. Alih-alih Science-Fiction, sebenernya ada satu lagi genre yg lebih populer, yaitu Space-opera, alias bercerita a la opera, yg berlatar belakang 'space things'. (Emang akhirnya banyak juga yg menyama-ratakan genre ini dengan SF, padahal spiritnya sangat berbeda). Bintang di genre ini gak lain dari seri Star Wars. Kalau ku bilang, Hozzo adalah Space opera dengan sedikit detektif-detektifan. Satu cirinya adalah, plot yg ada di dalam cerita novel jenis itu sama sekali tidak melibatkan ilmu pengetahuan, melainkan plot biasa aja seperti perebutan kekuasaan, percintaan, petualangan, baik vs buruk dll.
Having said that, banyak sekali gagasan dalam Hozzo yg 'terinspirasi' dari StarWars, terutama era Episode 1 s/d 3 (Phantom Menace s/d Revenge of The Sith), misalnya inpirasi landscape planet Hexamuxes yg tampak mirip Naboo, atau kehidupan bawah airnya mirip penggambaran kaum Ganguin (yg ras-nya Jar-jar itu loh), dengan berbagai variasi. Aneka ragam ras Alien tanpa penjelasan yg logis juga tampak mengikuti pakem StarWars Ep. 1-3. Dalam hal ini harus kita bedakan dengan Ep. 4-6, dimana ras Alien yg ada di dalamnya bener-bener dideskripsikan sampai pada hal-hal antropologisnya.
Dan memang, dalam penulisan fiksi-ilmiah, ilmu antropologi cukup banyak mendapat porsi.
Sementara dalam space-opera hal itu memang gak terlalu dipedulikan. Yg diambil cuma 'eksotisme' a la fantasi angkasa luar aja sebagai latar belakang. Itu exactly yang dilakukan oleh Hozzo. It's okay. Tapi yg membuat saya gemezz, sampai sejauh ini kemampuan pengarang "fiksi-ilmiah" kita (dan seluruh perangkat produksi termasuk editor sampai penerbit) ternyata masih ketinggalan, sejaman dengan era Flash Gordon belaka. Banyak karya "fiksi-ilmiah" yg cuma terjebak dalam mencipta-ciptakan nama-nama aneh, istilah-istilah asing (tapi nggak ada dasar penalarannya), masukin pesawat ruang angkasa, planet asing, kemudian kerajaan alien yg teknologinya cuangggih (tapi apa efek teknologi tersebut pada kehidupan masyarakat? kenapa masih menggunakan pola kerajaan? Sementara kita yg teknologinya masih 'primitif' sudah mengadopsi pola pemerintahan republik? dan seterusnya, pusing juga bikin science-fiction? hehehe). Contoh lain, betapa perbedaan teknologi yg supposed to be sangat jauh antara manusia dan alien (sebutan sembarangan yg digunakan di novel ini untuk merujuk pada 'humanoid' yg bukan Homo Sapiens) ternyata tak menghasilkan perbedaan kultur sehari-hari, alien itu ternyata tetep aja nonton video, main 'games', piknik, bikin infotainment, dsb. Artinya pengarang cuma memindahkan pola pikir dan setting kehidupan yg dia alami (bumi) ke dalam setting luar angkasa, itu aja. Padahal, kalau mau serius, perbedaan fisiologi tubuh aja sudah membuat sebuah perbedaan kultur yang sangat besar!
Ada juga sedikit misslook dalam penggunaan teknologi. Kaum Alien punya alat penerjemah universal yg disebut WET. Kalau pakai WET, maka sekian juta bahasa planet bisa kau mengerti, lah. Tapi kenapa dalam dialog antara anggota Hozzo (yg difasilitasi oleh WET) masih muncul kosa-kata asing tercampur dengan kosa-kata bumi? Misalnya, untuk si alien Hege, dia menyebut ayahnya dengan kata "Dher". Lalu dalam dialog dengan anak-anak bumi bisa muncul kalimat seperti ini, "Dher memanggil kita ke ruang tengah". Lho, kalau WET berfungsi baik seharusnya kalimat yg muncul adalah "Ayah memanggil kita ke ruang tengah". Atau kalau WETnya rusak, kalimatnya menjadi "Dher wozwasuhg gigrt gdtarusrge uik uik uik" Itulah, keasyikan main kata-kata 'eksotis', pengarang jadi kurang teliti.
Belum kalo ngeliat ilustrasi,... masih begitu-begitu aja imajinasi illustrator terhadap hal-hal yg berbau teknologi. Mestinya illustrator SF punya background minimal menggambar teknik (gambar mesin etc). Dan itu masih belum dimiliki perangkat penerbitan kita. Dan numpang tanya, itu maksudnya gambar "kuku macan" di cover depan itu apa ya? Koq ga ketemu relevansinya di dalam cerita.
Atau gue yg expect too much dari buku Hozzo? Mungkin aja. Sebab ternyata pun, buku ini diposisikan sebagai buku fantasi anak-anak. Mungkin itulah sebabnya segi Fiksi-ilmiah sebaiknya dilupakan, kita masuk aja ke space-opera.
Setelah mengesampingkan hal-hal "fiksi-ilmiah"nya, ternyata masih ada segudang kegemesan yg terpaksa harus saya telan selama membaca buku ini. Pertama mengenai lokalisasi. Saya sempat bingung dengan pilihan lokasi Windfall (possibly di USA) sebagai titik sentral berangkatnya cerita. Ada Bali dan seorang tokoh asal Bali, tapi itupun hanya sekedar tempelan. Apa alasannya di USA? nggak jelas banget. Hal ini sempat membingungkan saya, terutama karena banyak penulisan dialog mengesankan bahwa dialog merupakan terjemahan dari bahasa inggris ke dalam bahasa Indonesia. Karena dua hal itu, saya sempat menyangka bahwa novel ini bukan karya lokal, melainkan terjemahan, hehehe.
Kemudian mengenai plot yg melantur (sebagaimana tulisan review saya ini ) tanpa arahan logika yg jelas. Ada kecelakaan pesawat yg dramatis, ada musibah gedung runtuh, ada 'penculikan' sekelompok anak ke luar angkasa ke planet lain tanpa kejelasan motif dan tanpa kemungkinan kembali ke Bumi lagi. Herannya, anak-anak itu koq ngga stress sama sekali ya? Nggak logis. Peristiwa2 di dalam novel ini tidak berfungsi sebagai plot yang menggiring tokoh2nya (ataupun pembaca) mengambil keputusan-keputusan logis tertentu yang akhirnya membentuk rangkaian peristiwa (sebab-akibat) yg disebut sebagai sebuah "Kisah" atau "Cerita". Banyak peristiwa "aneh" yang dibiarkan tanpa penjelasan, sehingga terkesan sebuah peristiwa hanya hadir sebagai penambah-nambah tebal halaman belaka.
Tokoh2 di dalam novel ini diposisikan bak boneka yg kebetulan ditempatkan pada satu situasi, tapi tidak punya kekuatan untuk menentukan arah cerita. Contoh paling jelas adalah pembentukan kelompok detektif cilik multi ras (human + alien) Hozzo. Ngga ada motif yg jelas dan alasan yg masuk akal. Yg aku tangkep, anak-anak yg diculik ke luar angkasa ini iseng-iseng bikin kelompok detektif sekedar mengisi waktu karena alasan mereka disuruh quit school into the spacecraft masih belum jelas serta kebetulan ada pangeran hilang neh yuk kita selidiki sambil berdarma wisata keliling galaksi. Err,.. siapa yg bayar, neh? Dan yg bikin gemes lagi, ngga ada aktivitas detektif sebagaimana dilakukan oleh, katakanlah anak-anak lima sekawan, sapta siaga, atau lain-lain. Object yg harus diselidiki ternyata 'conveniently' tergabung dalam kelompok detektif ini tanpa sengaja, alias dijeblosin gitu aja sama pengarang. Dan sebagai akibatnya kelompok itu mengalami berbagai sabotase menegangkan selama piknik. Kenapa para Galactic Mafia itu gak ngundang Bobba Fett aja sekalian buat ngehabisin pangeran yg menyamar? heheh. Even sekalian aja nyamar jadi anggota Hozzo, toh kelompok itu segitu cairnya! (sampe detik ini pun gue masih nggak punya gambaran pasti, sebenernya anggota Hozzo itu berapa orang dan siapa saja. Rasanya ada banyak nama keluar-masuk tanpa kejelasan status dan peran). Ini mestinya sih jadi spoiler, tapi God, gue sampai nggak segan mengungkapkannya sebagai akibat "capee deeh" ngebaca buku ini selama berbulan-bulan untuk dapetin data-data di atas.
So, the big story is, ayok jalan-jalan keliling galaksi menikmati fantasi luar angkasa dan ketegangan-ketegangan tak beralasan, dan mampir jadi pahlawan galaksi on the way. Sadly, plot begitu ancur pun sebenernya masih bisa menarik apabila pengarang mau kasih benang merah "reason" di dalamnya. Selipan beberapa pengetahuan ilmiah maupun 'spiritual' (sumpe, ada penjelasan karma/ reinkarnasi segala) hadir tanpa konteks yg kuat. Sayang, sebenernya.
So. 500 halaman terbuang sekedar bikin pegel tangan
Review endorsement mengatakan, wah fantasinya mencengangkan, dunianya mengagumkan, tokoh2nya menarik,... well. mungkin kalau dilihat secara satu-persatu seperti itu, memang masih bisa dinikmati. Tapi bila saya mengharapkan adanya sebuah 'kisah', maka petualangan Hozzo (mencari) Ferres yang Hilang ini tidak menceritakan apa-apa.
Sigh,... another forest being wasted to nothing? hehehe,... ya gak gitu lah. Tetep harus ada apresiasi terhadap gagasan dan waktu yang sudah dituangkan oleh pengarang. Faktanya, pengarang Fiksi-ilmiah (yg pseudo sekalipun apalagi yg bener!) masih sangat sedikit. Paling besar yg kita punya adalah Om Djokolelono, setelah itu belum ada lagi. Moga-moga IBG Wiraga dan yg lainnya segera meningkatkan wawasan fiksi-ilmiahnya dan menyusul dengan karya-karya yg lebih baik.
Salam,
FA Purawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar