Jumat, 23 Januari 2009

Ranah Sembilan, a Novel (Dewi Sartika - 2008)



Penerbit: OASE bekerja sama dengan Penerbit Sembilan - Publishing
Editor: Yessy, Tofik M, Anisa Ami
Perancang Sampul: Tutu, Urip Saputra
Layouter: Restu Damayanti
Ilustrator: Poetra
Tebal: 247 halaman

Wah, ini satu lagi kasus menarik.

Coba, apa yang anda pikirkan terhadap sebuah kisah berikut ini:

Alkisah, tersebutlah sebuah tempat yang dikenal dengan julukan Ranah Sembilan, sebuah wilayah di mana sembilan kekuatan saling berhadap-hadapan menjaga keseimbangan semesta persilatan.

Delapan perguruan utama: Partai Naga, Partai Bulan, Partai Bintang, Partai Matahari, Partai Teratai Merah, Partai Macan Putih, Partai Bangau Biru, Partai Kipas Terbang, bahu membahu menyatukan upaya dan mengesampingkan ego masing-masing, guna menjaga Gerbang Lembah Iblis, dimana satu kekuatan tak terkalahkan, satu kekuatan Hitam, satu yang harus dijaga sepanjang jaman, memancangkan panji-panjinya. Sang Kaisar Langit, pemilik ilmu tertinggi di seluruh Jagat, beserta lima murid yang nyaris tak tertandingi: Dewa Air, Dewa Petir, Dewa Api, Dewa Angin, Dewa Bumi.

Menjanjikan, eh?



Coba take alook at this, deskripsi karakter yang termuat di web-site sembilan publishing:


BIXI

Cowok berkepribadian ganda ini bukan orang jahat, juga bukan orang baik. Kalau punya kemauan pasti akan dikejarnya. Murid tertua dari Kaisar Langit ini termasuk jenius dan memiliki level imdok tertinggi (level 8 tingkat tengah) padahal usia aslinya baru 25 (mau masuk 26). Kepribadiannya yang lain adalah bocah perempuan berusia 10 tahun yang menguasai ilmu bidadari. Senjatanya, macam-macam, tapi lebih pada kemampuan jurus-jurusnya. Orangnya teramat percaya diri. Memiliki simbol di keningnya sebagai simbol Dewa Api. Pergi bertualang dengan Lea karena kepribadiannya yang lain menyukai Lea. Agak-agak tidak peduli, kecuali hal-hal yang dianggapnya penting yang kadang-kadang malah mengagetkan orang sekitarnya (misal, kalau marah karena bonekanya hilang, dia bisa membunuh siapapun yang disangkanya merusak bonekanya) minuman favoritnya tuak, terutama yang beraroma harum dan manis dan kue-kue yang rasanya manis. Lebih suka mengembara, tapi kadang-kadang kalau bosan kembali ke Lembah Iblis dan tinggal di sana untuk beberapa minggu atau bulan.

Keren, penggambaran karakter yang cukup unik.

Tambahkan keterangan: "Pemenang Sayembara Novel DKJ 2001 + Juara 2 Adikarya IKAPI 2005"

So, you will think you got good stuff, here? Think again.

Buku ini merupakan kasus unik, sebab gabungan dari beberapa faktor "juara" ternyata belum tentu menghasilkan material juara (please excuse the pun). Maksud saya, buku ini punya basic plot set yang menarik, ide yang boleh juga, bahkan dikerjakan oleh semacam team (liat aja editornya terdiri dari 3 orang, desain sampul 2 orang!), dan pengarangnya pun "sudah punya nama".

Singkat aja, apa yang membuat faktor-faktor juara dalam buku ini tak berhasil menjuarakannya di mata saya? Jahitannya kacau.

Jahitan pertama, adalah pengisian setting. Well, pengarang udah bikin kerangka setting yang potensial, sesungguhnya. Ada suatu wilayah dalam ranah fantasi persilatan dimana delapan perguruan bersama-sama memagari sebuah perguruan yang dianggap sesat demi mencegahnya melakukan kekacauan. Mungkin agak mengingatkan temen-temen pada setting Thio Bu Ki di film Tai Chi Master yang dibintangi Jet Lee. Bisa dibayangkan betapa banyak kisah seru bisa dibangun di dalamnya.

Sayang, kain yang bagus itu dijahit dengan detail-detail yang nggak sinkron. At least, bagi saya nggak sinkron. Entah kalo pengarang mau memaksakan sih boleh-boleh aja. Detail yang saya maksud adalah hal-hal 'kecil', misalnya seperti konvensi penamaan para karakter. Dalam dunia Ranah Sembilan, nama-nama hadir begitu saja tanpa koherensi, tanpa latar belakang budaya yang meyakinkan. Berkali-kali saya harus mengerutkan kening dalam ketidak percayaan, bagaimana pengarang bisa begitu aja come up dengan nama-nama seperti Amon, Sion, Gillian, Bixi, bahkan saya sempat mikir kenapa orang-orang Ranah Sembilan bisa mentah-mentah menelan nama Lea dan Diana begitu aja dalam dunia mereka (Well, helloooow reviewer,... di tengah-tengah cool names like, Gillian,.. like,.. Bixi,.. nama Diana malah jadi sound sooo plain, gadis desa, ya gak siih? Selera lo payah, deh --from an anonymous dissatisfied review reader:) )

Yeah, ehm. Oke,... terusin.

Detail gak make-sense lain adalah bagaimana setting budaya Ranah Sembilan diolah oleh pengarang. Di satu saat Ranah Sembilan terasa bagai setting silat Tiongkok, di saat lain terasa seperti setting Lord of the Rings. Tidak ada 'sense' budaya yang teguh memfondasikan cerita. Even untuk sekedar budaya rekaan ala Fantasy, Ranah Sembilan terasa sangat kurang solid. Dalam gambar ilustrasi saya juga mendapatkan tokoh yang digambar mengenakan sepatu boot berkancing paku ala cyberpunk yang tidak sinkron dengan setting (Dateng dari mana tuh, teknologi kancing?). Tampaknya untuk aspek budaya ini pengarang asal comot atau asal jeplak aja, yang penting ceritanya jalan. Well, gak tau kalo untuk pembaca lain, tapi kalo untuk gue, cara penulisan semacam itu akan langsung membuat disbelieve gue meningkat tajam. Jadinya gue susah meyakini dunia ciptaan pengarang alih-alih menikmatinya.

Kegagalan pengarang membuat setting yang meyakinkan, telah membuat novel ini jadi terasa 'shallow', kalo menurut gue sih.

Dan akibatnya ke logika gimana? Ya ndilalah sama dan sebangun kacaunya. Banyak hal gak logis berlangsung dalam alur cerita Ranah Sembilan. Lea dan Diana dari Dunia yang sama dengan kita (Jakarta), tiba-tiba saja kejeblos masuk dalam Ranah Sembilan setelah melewati sebuah pintu yang dibuka dengan kunci ajaib (mirip konsep key maker dalam Film Matrix). Kuncinya dikasih oleh seorang kakek misterius,... (Arrrrgh, plot Bobo banget!) Eh ladalah, mengalami kejadian musykil kayak gitu reaksi para karakter utama itu terasa gak logis. Udah gitu orang-orang di Ranah Sembilan juga bertingkah tak kalah aneh, masak liat handphone si Lea, kaleng hairspray, korek api gas, kagak ada yang bereaksi gimana gitu,... padahal itu barang yang suppose to be sangat 'alien' dalam Dunia Ranah Sembilan.

Kalau kita mempelajari alur dalam sebuah novel fantasy (manapun), maka akan senantiasa ada satu 'titik' yang kita sebut aja sebagai "moment of truth", yaitu sebuah titik dimana terdapat semacam peralihan dari Dunia kita ke Dunia Fantasy. Di titik itu, pengarang mulai 'memasukkan' konsep fantasynya ke dalam wilayah pemahaman pembaca. Moment tersebut dapat berada di bagian mana saja di buku, walau umumnya memang terletak di bagian-bagian awal. Boleh jadi ada di Bab 2-3, boleh jadi sudah ada sejak kata pembuka pertama (PS: Satu eksekusi moment of truth yang cukup berani pernah dilakukan oleh Sekar Ayu Asmara dalam bukunya "Pintu Terlarang", moment of truth itu baru diintroduksi pada bab terakhir, membuat pembaca shock abisss :), keren!)

Contoh moment of truth: dalam cerita Narnia, misalnya saat si kecil Lucy memasuki lemari tua dan muncul di sebuah alam aneh bersalju. Atau dalam Harry Potter, pembaca menyadari suatu setting yang 'tak biasa' ketika seorang kakek tua berkacamata bulan sabit menjentikkan korek zippo dan lampu jalanan mati satu per satu.

Pada titik tersebut, pengarang mengintrodusir keberbedaan antara Dunia yang dikisahkan dalam novel, dengan Dunia pembaca sehari-hari (hence the term 'Fantasy' came from). Cara introduksi yang paling umum adalah dengan menggunakan sudut pandang tokoh utama, yang baru memasuki dunia Fantasy itu dan terpapar pada hal-hal yang 'berbeda' dengan dunia sebelumnya. Atau bisa juga pengarang langsung membeberkan narasi mengenai perbedaan tersebut, dan menempatkan pembaca sendiri sebagai saksi yang mengamati perbedaan-perbedaan yang ada, sehingga perlahan-lahan pembaca 'masuk' ke dalam Dunia Fantasy yang diciptakan pengarang.

Di sinilah proses kritikal sedang terjadi. Bila pengarang tepat membawa pembaca 'tour' masuk ke dunia Fantasynya tanpa memaksa, maka pembaca akan hidup di dalamnya, mempercayai setiap aspek yang digambarkannya, dan mulai ikut bertualang bersama tokoh utama dalam mencapai tujuan si tokoh. Tapi bila gagal, maka pembaca akan berdiri di pinggir ring sambil bersikap kecewa dan melontarkan kritik-kritik ketidak percayaan terhadap cerita.

Satu aspek penting dalam pengenalan setting baru --selain aspek perbandingan visual antara Dunia nyata dengan Dunia Fantasy-- adalah reaksi para tokoh terhadap keberbedaan Dunia tersebut. Reaksi para tokoh ini akan mewakili reaksi pembaca, apabila dihadapkan pada situasi yang sama. Bayangkan kalau anda bangun tidur dan tiba-tiba menemukan diri anda terapung-apung di atas sebuah sekoci di tengah samudra. Apa reaksi anda? Apakah akan menjerit, "Mamiiiiii,...!!!!", atau melihat pergelangan tangan, "Huaah, jam berapa sekarang? Mampus gue bakal telat masuk sekolah, neh."

Lalu dalam tahapan pengenalan berikutnya, mulai terjadi relasi psikologis sang tokoh dengan lingkungan barunya. Dia mulai mengenali kebiasaan-kebiasaan baru, gejala alam yang baru, mulai dapat 'dekat' dan memahami local people, dan mulai dipahami juga oleh local people. Semua merupakan proses yang akan diikuti oleh pembaca, tidak saja dalam rangka mendeliver cerita, tetapi juga dalam rangka memasukkan pembaca dalam suasana yang sama. Proses ini tidak bisa disepelekan, sebab melalui proses inilah kelak pembaca dapat memahami cerita secara utuh, termasuk memahami motif-motif tindakan dari para tokoh dalam novel tersebut, dan signifikansinya terkait situasi dan kondisi yang ada.

Ketika proses ini tak ada, hasilnya adalah 'logika loncat' seperti yang saya rasakan dalam Ranah Sembilan. Adaptasi dua kakak-beradik berusia 17 tahun itu di sebuah dunia asing misterius sangat luar biasa cepat, sehingga saya langsung berkesimpulan bahwa untuk mereka pindah dimensi adalah pekerjaan sehari-hari. Tengok reaksi Lea berikut ini,

"Rasa kelapa. Padahal aku ingin kacang ijo..." (hal 20).

Saat itu Lea mengomentari rasa roti yang dimakannya, Roti yang berada dalam kantong belanjaan yang ikut terteleportasi ke Ranah Sembilan. Time-line, sekitar 5 menit semenjak tersadarkan diri di sebuah tempat asing. Hmm,... dalam novel lain mungkin sang tokoh utama already muntah saat menyadari bahwa dia terbuang ke suatu dimensi lain, alih-alih makan roti,.. hehehe,...

Kalau menurut saya sih, pengarang kurang berhasil mengeksekusi moment of truth ini sehingga Dunia Ranah Sembilan jadi kurang terasa meyakinkan dan polah tokoh-tokoh utama Lea dan Diana menjadi kurang begitu mengesankan. So jadilah masalah dalam hal detail setting dan logika.

Kemudian kelemahan logika lain yang perlu juga disorot adalah penggunaan konsep mata uang dalam sebuah setting Fantasy, terutama setting Fantasy pra-modern. Dalam Ranah Sembilan, mata uang yang digunakan adalah Zeni. Harga budak sekitar 10.000 Zeni-an, dan harga pengobatan Mata untuk kasus kebutaan, adalah 10 juta Zeni. Well, ada sedikit miss di sini. Dalam sebuah setting kebudayaan pra modern, alat tukar adalah benar-benar barang-fisik yang ditransaksikan secara fisik. Artinya setiap kali 'membayar', maka akan dilakukan secara si A memberikan alat tukar (uang) kepada si B, langsung hand to hand. Oleh karena itulah, dalam sebuah kultur pra modern, value alat tukar umumnya menjadi sangat sederhana. Misalnya cuma 1 keping perunggu, terus mungkin 1 keping perak untuk 1000 perunggu, dan 1 keping emas untuk 1000 perak. Oleh karena sifatnya yang ditransaksikan hand-to-hand, akan menjadi sangat tak praktis bila seorang pembeli dan penjual harus menghitung juta-an kepingan Zeni one-by-one. Unless, settingnya memungkinkan orang menghitung uang berdasarkan beratnya dompet atau bobot kantong uang, hehehe.

Implikasinya, dalam budaya semacam ini nyaris tak terbayangkan sebuah nilai harga yang mencapai angka jutaan, wong ribuan keping saja udah bikin jari kapalan. Orang akan lebih cenderung menggunakan misalnya 3 keping emas, dimana nilainya setara dengan tiga juta keping perunggu. So, angka sepuluh juta Zeni itu secara logika setting nggak masuk akal, lebih masuk akal bila menjadi katakanlah 10 keping GoldZeni, ato apa gitu, dimana nilai itu merupakan nilai yang sangat mahal bagi orang-orang Ranah Sembilan.

Konsep juta-milyar, itu baru ada pada konsep moneter modern, dimana nilai uang adalah virtual alias maya, tidak mengikuti barang fisik tertentu. Makanya jumlahnya bisa juta-juta, dan transaksinya bisa pakai kartu kredit, hehehe,...

Tapi kan bisa dibikin mata uang 10 Zeni, 100 Zeni, 1000 Zeni etc? Kayak uang Rupiah. Well, bisa aja, tapi konsep seperti itu membutuhkan adanya suatu sistem moneter yang melatar belakangi setting Ranah Sembilan, sebab artinya kan harus ada pihak yang MENCETAK (atau men-cor?) uang-uang tersebut, menjaga peredarannya laksana Bank Indonesia, mencegah pemalsuan, dll. Nota bene, sudah mengandung adanya sistem perbankan, ya itu mah moneter modern, lah. Bahkan sudah mengandung adanya suatu Pemerintahan yang kuat sebagai backing sistem moneter tersebut.

Untuk karakterisasi, problemnya cukup unik juga. Pengarang piawai bikin karakter dasar dengan ide-ide segar, tapi anehnya gagap dalam mengembangkan karakter dasar tersebut. Misalnya tokoh Diana, yang dikatakan berusia 17 tahun, artinya masih sekitar usia SMA, lah. Tapi di Ranah Sembilan dia ujug-ujug menguasai ilmu kedokteran (sampai se ekstrim punya kemampuan mengoperasi retina mata orang! Woo hoo, SMA-nya di mana tuh biar gue buruan daftarin anak gue dari sekarang!!). Untuk keahlian ini pengarang menyelipkan informasi bahwa Diana suka membaca buku-buku kedokteran, plus belajar sama tokoh Tabib Gila dalam waktu seminggu. Yeah right, dan gue bisa gantiin SBY cukup dengan membaca "The Idiot Guide to Become a President"!

Karakter Bixi yang punya double personality juga merupakan karakter yang menarik. Sebetulnya banyak kejadian heboh yang bisa dikembangkan dari karakter tersebut, yang dalam novel ini kurasakan masih belum maksimal. Di web site juga tertulis indikasi adanya persaingan asmara antara para Dewa murid-murid Kaisar Langit, yang sayang sekali kurang begitu dikelihatan dalam novel.

Satu detail yg gue anggap gak perlu, adalah penggunaan istilah 'imdok' untuk mengganti istilah tenaga dalam. Sesuatu yang terasa mubazir, sebab istilah 'tenaga dalam' juga tetap dipakai oleh pengarang, dan kata imdok itu sendiri juga gak punya fungsi apa-apa lagi selain dipakai sebagai: imdok. Persoalannya, tanpa mengganti istilah "tenaga dalam" dengan "imdok" pun pembaca ngga kehilangan apa-apa, ga ngaruh. Itu seperti mengganti kata Sendok dengan Cungpu, tapi kemudian gak jelas kebutuhannya dalam cerita.

Kalo kita belajar dari Harry Potter yang menciptakan kata "Muggle", kita masih bisa menangkap keselarasan kata tersebut dengan bahasa induknya (bahasa Inggris), dan dari segi ekspressi juga mengandung rasa 'merendahkan' yang mewakili pikiran para penyihir terhadap orang biasa. Untuk kata 'imdok', biar saya bulak-balik kiri-kanan depan-belakang saya gak bisa punya feeling dari mana munculnya kata tersebut dan apa pentingnya kata tersebut diciptakan, sementara penggunaan 'tenaga dalam' sendiri sudah cukup sufficient dan gak merusak cerita in any way. Kenapa bisa begitu? Mungkin masalah terbesar adalah tidak adanya constructed language yang memback-up keberadaan kata tersebut, sehingga terkesan kata itu muncul aja dari udara kosong.

Terus terang, gue sempat mengira buku inilah yang sudah memenangkan penghargaan sebagaimana tertera di atas, sesuai informasi yang saya ambil dari sampul depan buku. Wajar dong, bila gue mengira demikian. Makanya setelah membaca sekitar dua bab, gue sempat terheran-heran, apa ada yang aneh dengan otak para juri DKJ 2003, materi kayak gini (kacaunya) koq bisa didapuk jadi juara. Saking heran bin penasaran, gue search di internet, dan barulah gue tahu bahwa yang dimaksud "Juara" adalah sang pengarangnya, Dewi Sartika, melalui sebuah novel berjudul Dadaisme, Oh, gitu rupanya. Memang sampul itu sedikit menipu, hehehe,.... walau gak kriminal-kriminal amat. Ya gapapa lah.

Jahitan berikutnya yang kuanggap kacau, adalah plotting. Dan ini pun bisa menjadi catatan unik. Garis besar plottingnya sebetulnya standar, tentang petualangan dua orang asing di sebuah negeri pesilat, menghadapi intrik-intrik persilatan seperti pencurian kitab-kitab penting, pendekar mengambil murid, jagoan tanpa tanding, usual Kho Ping Hoo stuff. Di luar plot "Terlempar ke Dunia Lain" yang udah terlalu klise itu, sebenernya alur cerita Ranah Sembilan gak terlalu jelek. Apalagi pengarang mengisinya dengan variasi karakter yang, jujur aja, cukup menarik. Tapi ada satu hal yang membuat novel ini menjadi jatoh ke level pretensiusisme (halah!) yang membuatnya gak enak dinikmati secara gak perlu.

Pengarang menerapkan teknik non-linear dalam alur penceritaannya. Maju-mundur, loncat depan-belakang-samping, etc. Lantas apa yang aneh? Toh banyak penulis menerapkan strategi yang sama, untuk membuat alur menjadi lebih menggigit.

Well, kalo menurut gue sih, penerapan alur non-linear dalam kasus ini gak terlalu tepat, atau gak tereksekusi dengan bagus. Yang ada, jadinya pembaca seperti dibolak-balik secara nggak perlu dan mencecerkan kenikmatan membaca di sepanjang jalan. Entah gimana, gue merasakan alur loncat-loncat yang digunakan pengarang justru memadamkan efek klimaks dari cerita alih-alih membuilding-up tension sebagaimana yang diinginkan. Akibat dari loncat-loncat ini pula, perkembangan karakter tiap tokoh menjadi kurang terasa, sebab di sisi pembaca tidak cukup sempat tumbuh 'intimacy' untuk menyelami pribadi atau persoalan masing-masing tokoh, padahal tiap tokoh sudah diset memiliki basic character yang menarik untuk dieksplorasi.

Dan 'gong'nya kekacauan plot ini justru berada di akhir halaman, bahwa setelah membalik 247 halaman dengan penuh kesabaran, gue gak menemukan ENDING! Gila, ini ending-gantung-paling-gantung yang pernah gue temuin, dan betapa ingin gue menggantung penulis yang bikin ending gantung segantung ini,...hehehe. At the end, cerita gak bergulir ke mana-mana sebab tidak ada klimaks yang signifikan. Seolah-olah semua tokoh akhirnya duduk di akhir halaman bersama-sama, dan kompak ngomong sama pembaca, "Tungguin kita di sekuel-nya yaaa!" (Hyperbolic expression intended!). Il-fil banged, gue!

Kelemahan jahitan yg lain adalah dalam ilustrasi. Penerbit memilihkan ilustrasi ala Manga yang eksekusinya agak kasar. Untungnya gambar discan dalam proporsi kecil-kecil, sehingga tampak lebih rapih. Tapi terus terang aja gaya manga menurut gue gak terlalu kuat mendukung cerita, apalagi ada masalah 'saltum' seperti yang sempat gue singgung di atas. Di dalah satu halaman ada gambar pencarian Buronan Senyo Gelap, pembunuh berdarah dingin, yang digambarkan memakai sesuatu serupa Jaket kulit dipadu-padankan dengan sesuatu serupa T-shirt, mengingatkanku pada bintang sinetron Korea. Sekali lagi, bukan gambarnya jelek, tapi dalam genre Fantasy, semua aspek harus bisa saling melengkapi untuk membuat dunia yang believable dalam pikiran pembaca. Dan khusus untuk ilustrasi, harap ingat bahwa dalam ilustrasi ada part yang tampak jelas bagi pembaca, yaitu properties (barang-barang, pakaian, aksesoris). Properties itu harus kompak dengan konsep settingnya. Kalo gak kompak kan jadinya aneh.

Tapi BTW, novel ini menghadirkan ilustrasi peta yang bagus, dan desain sampul yang lumayan, terutama dalam hal keberanian membuat gimmick nge-bolongin cover dengan bentuk mirip angka sembilan. Yah, bikin terasa fresh aja, dan menjadi menarik di rak penjualan.

Sisi positif lainnya buku ini, adalah bahasa yang terstruktur baik. Ga percuma lah, pengarang jadi juara DKJ, memang kemampuan tulisnya sudah prima. Mungkin genre Fantasy-nya aja yang masih belum dikuasai oleh beliau, sehingga jahitannya jadi gagap begini.

So, pelajaran apa yang bisa kita petik di Ranah Sembilan? I guess: Setting-setting-setting, detail-detail-detail, logika-logika-logika

Mau-mau-mau,..???


FA Purawan