Goran, bacanya mungkin 'goran', ala Indonesia, atau bisa juga 'gorang', dengan cara pengucapan Jepang. Kenapa gitu? Kita bahas ntar.
Kembali muncul satu novel fiksi / fantasi karya pengarang lokal, diterbitkan oleh penerbit Serambi. Covernya langsung menohok memproklamirkan diri sebagai sebuah 'space-novel' dengan gambar planet bumi, sembilan titik bintang, serta sepasang mata menatap tajam. Gak jelas, itu sorot mata tokoh protagonis atau antagonis. Maia, anakku yg berusia nyaris 3 tahun membantuku melakukan review ini dengan mencoba melakukan interpretasi, "bapaknya lagi marah ya, yah?". Maksudnya bapak-bapak yg matanya di gambar itu lagi marah-marah. Ok, he must be the bad guy, then :)
Tidak ada detail mengenai pengarang. Namun kelihatannya ini novel perdana beliau, atau saya yang memang kurang tahu tokoh-tokoh pengarang generasi sekarang. Boleh jadi Imelda A Sanjaya sudah punya sederet judul dalam portfolio kepengarangannya.
Membaca Goran, jauh lebih nyaman dibanding novel-novel yg terlebih dulu sudah saya review di blog ini. Penyebabnya karena bukunya memang tipis (hanya 336 hal), dengan layout yang relatif lega dengan font cukup besar.
Tapi ada lagi faktor lain yang membuat novel ini juga lebih mudah dikunyah: Adegannya pendek-pendek.
Itu cukup menjelaskan bahwa ada style tertentu yang dipakai pengarang. Dan saya jadi cukup salut atas hal itu, terlepas apakah itu pilihan yang disengaja atau style bercerita si pengarang emang udah dari sononya begitu. Bahwa 'eh ternyata ada style kayak gini, ya' itu saja sudah membuat saya cukup mengapresiasi.
Walau saya juga bisa nggak setuju dengan style-nya. Itu soal lain.
Adegan pendek-pendek = Style? Mungkin lebih dari itu. Dalam mengikuti plot yang singkat-singkat, berpaling dari satu tokoh ke tokoh lainnya, dan speed cerita yang menjadi lambat karenanya, Saya merasakan (to my ashtonishment), bahwa saya bukan seperti membaca novel, melainkan seperti sedang membaca,.... Manga!
(buat yang belum tahu, Manga, dibaca 'mang-ga' adalah komik jepang. Yang memang memiliki kekhasan dalam cara bercerita, yang berbeda dari pakem komik barat. Sehingga bahkan gambar-gambar manga pun sampai dianggap sebagai suatu karya sastra tersendiri)
Uniknya Goran, membaca tulisan si pengarang, rasanya persis seperti menikmati gambar manga. Bukan dari semata-mata dari deskriptifnya, tapi juga dari cara pengarang mengolah setting dan menempatkan tokoh-tokoh, persis seperti cara manga bercerita.
Sesungguhnya tidak aneh, mengingat saat ini manga memang sudah menjadi makanan sehari-hari kita, sehingga bisa saja cara bertuturnya terserap dan menjadi style penulisan seorang pengarang.
Spekulasi pengaruh manga ini juga muncul dalam pilihan setting yang dilakukan si pengarang, dimana mengambil Jepang sebagai titik awal setting tokoh utama, Aniki Kodama, tinggal. Sedikit penasaran aja di sisi saya, apakah pengarang memang sangat familiar dengan budaya Jepang. Kelihatannya sih begitu. Tapi rasanya nama 'Aniki',.. koq ngga terasa jepang yah? Atau mungkin nama-nama jepang modern udah seperti itu, saya kurang tahu. Atau bisa juga Aniki adalah nama umum buat orang-orang suku Ainu (orang jepang asli yang konon berbeda dengan orang jepang yg datang belakangan dari tanah Korea). Tapi kelancaran pengarang menuturkan kehidupan di jepang, terlepas apakah dia pernah mengalaminya sendiri atau 'mengalami' lewat membaca manga, cukup menghidupkan cerita di dalam pikiran pembaca.
Pengarang memilih berbagai setting budaya untuk diaduk dalam karyanya. Ada setting Jepang, ada setting Mongolia, ada setting Cina, dan tambahan satu setting lagi di planet Vida sebagai setting sentral. Penggambaran masing-masing setting cukup realistis, cukup believable walaupun saya nggak bisa bener-bener terlarut di dalamnya. Mungkin karena 'tone' komedi yang bertaburan di sana sini, sebagai bagian intergral dari style manga yang dilakoninya.
Saya bahkan bisa membayangkan butir-butir keringat khas manga mengalir dari kening tiap tokoh yang 'kena' adegan semacam, "Capeee deh,..." :) pokoke manga banget!
Tapi itu dia, entah bagaimana, tone komedi yg digunakannya memang membuat novel terasa lebih nyaman dan gampang dikunyah. Beberapa joke, terutama kalo udah mengenai sepasukan prajurit Mongol dibawah komando 'letnan' Kamuchuk dan Panglima Sam (Kamuchuk, good Mongolian name. Sam? Nggak cool. Sebenernya lebih asik nama Panglima Sam jadi Kamuchuk aja!), asli kocak dan bener-bener bikin ketawa. Namun di sisi lain, itu juga yang membuat kening gue jadi agak berkerut. Bangunan kisah novel ini menjadi sedikit 'gak kena' akibat tone komedi tersebut.
Tapi itu menurut saya looh,.. udah berkaitan dengan selera. Siapa tahu justru tone seperti itu yang lebih disukai pembaca muda. Kembali, humor manga memang suka muncul seenak udel kagak terkait konteks.
Keunikan lainnya adalah tokoh-tokoh ciptaan pengarang yang cukup hidup, dan tak lepas terkesan manga-ish juga. Tokoh utama Aniki, Jepang banget. Tokoh Orphann, seperti gambaran anak bule dalam tarikan tinta manga Jepang. Tokoh Xin Ai dari Cina, juga menarik digambarkan sebagai salah satu tokoh utama yang berlawanan dengan pakem: rada bogel (gendut pendek) dan gak cantik-cantik amat. I like it. Ada tokoh dengan penggambaran unik lainnya seperti Soil, sahabat Orphann di planet Vida, cewek yang justru mengesankan maskulinitas dengan wajah yang keras dan kepala botak, dan tanda-tanda cinta yang mendalam pada Orphann. Dan lain-lain.
Bagaimana dengan setting planet Vida? Well, seharusnya ini menjadi sentral cerita, dan saya agak gamang, apakah pengarang sudah mempertimbangkan setting ini secara lebih mendalam. Vida adalah sebuah planet yang memiliki 3 matahari yang tampaknya mengelilingi planet itu tidak dalam waktu yg sama, tapi kadang-kadang sempat muncul bersamaan atau menghilang bersamaan dalam waktu tertentu. Selain itu planet Vida juga memiliki sekitar 40-an bulan/ satelit yang bisa dilihat dengan mata telanjang sampai pada pesawat-pesawat yang hilir mudik dari Vida ke masing-masing bulan. Astronomically, it should be VERY CLOSE range! Oh iya, ada indikasi juga bahwa sebagai planet, Vida tidak berbentuk bola melainkan agak bulat telur (referensinya di halaman berapa ya? Lupa aku).
Nah, di sini lah challenge untuk pengarang bermula. Dan tampaknya pengarang harus buka-buka buku Astronomi lagi neh,.. hehehe. Pertama mengenai bentuk planet yang oval. Apakah secara astronomis hal itu dimungkinkan? Planet terbentuk dari material gas yang berotasi akibat gaya gravitasi tata surya dengan matahari sebagai sumbu rotasi tata surya. Dan planet diketahui juga tidak hanya berputar dalam satu sumbu terus menerus, ada pergeseran sekian derajat. Dalam hal itu, mestinya sih beban akan terbentuk secara merata sehingga sebuah planet most likely akan berbentuk bola (kalaupun bukan bola sempurna, tetap tidak akan sampai berbentuk telur).
Bentuk-bentuk selain bola masih dimungkinkan untuk planetoid, yaitu benda angkasa yang cukup besar, yang mungkin saja dulunya pecahan dari suatu planet.
Jadi kalaupun kita mau mengadopsi setting Vida ini, maka kita harus mengasumsikan Vida sebagai sebuah planetoid yang ditinggali manusia. Itu juga bisa menjelaskan kenapa bisa ada bulan-bulan dalam posisi berdekatan. Terutama karena perbedaan skala yg nyaris 1:1 antara planet induk (Vida) dengan satelitnya. Bulan biasanya berukuran lebih kecil dan ada jarak astronomis tertentu terhadap planet induk. Soalnya mengingat cara terbentuknya melalui gas yang berotasi, tentu masuk akal bila posisinya terlampau dekat maka si bulan akan terserap dalam planet induk sejak dulu-dulu. Dan sebagai contoh Jupiter, planet raksasa di tata surya kita, perbandingan ukuran antara planet induk dengan bulan-bulannya pasti tidak 1:1.
Yang lebih seru, bagaimana bisa ada planetoid seukuran Vida di lokasi yang sekarang? Itu bisa menjadi twist cerita yang menarik. Karena nggak mungkin Vida merupakan planet induk yang terpecah secara natural. Kalo sebuah planet mengalami "nova" (mestinya sih yg bisa nova cuma matahari atau 'star-class planet') pastilah ledakannya menghancurkan planet-planet kecil di sekitarnya. Dengan keberadaan bulan 40 biji yang masih 'intact', berarti Vida adalah sebuah planetoid yang berasal dari tempat lain! Bagaimana caranya bisa berada di sana? Apakah ada teknologi tertentu yang telah memindahkannya? Apakah ada hubungannya dengan ras manusia (yg persis sama dengan Bumi) yang mendiami tempat itu? Bakal jadi setting yang menarik, loh.
Tapi 'flaw' yang lebih serius justru terdapat dalam konsep 3 matahari Vida. Mungkin pengarang sempat lupa bahwa seharusnya planetlah yang berotasi terhadap matahari, bukan matahari mengelilingi planet! Jadi mestinya kondisi ada 3 matahari yang posisinya tidak menetap relatif terhadap planet, rada nggak mungkin. Apalagi, Matahari seyogyanya merupakan bintang yang menjadi pusat tata-surya, dalam pengertian bahwa planet-planet di tata surya itu akan mengelilingi satu matahari. Nah kalo ada tiga, mustinya sih tiga yang jadi satu pusat, bukan tiga pusat tata-surya dalam satu lokasi sekaligus. Kondisi Vida dengan tiga matahari di posisi relatif yang berlainan, baru mungkin terjadi apabila rotasi Vida berubah-ubah tidak dalam satu sumbu. Secara dongeng sih boleh-boleh aja. Tapi secara ilmiah, kondisi itu akan mengakibatkan iklim yang sangat kacau, yang tidak mungkin menghasilkan kehidupan.
Tuh, panjang lebar deh aku ngebahas hal-hal ilmiah yang bahkan oleh pengarangnya ataupun pembacanya nggak dipersoalkan,... hehehe,.... jadi ribet sendiri, ya?
Kembali muncul satu novel fiksi / fantasi karya pengarang lokal, diterbitkan oleh penerbit Serambi. Covernya langsung menohok memproklamirkan diri sebagai sebuah 'space-novel' dengan gambar planet bumi, sembilan titik bintang, serta sepasang mata menatap tajam. Gak jelas, itu sorot mata tokoh protagonis atau antagonis. Maia, anakku yg berusia nyaris 3 tahun membantuku melakukan review ini dengan mencoba melakukan interpretasi, "bapaknya lagi marah ya, yah?". Maksudnya bapak-bapak yg matanya di gambar itu lagi marah-marah. Ok, he must be the bad guy, then :)
Tidak ada detail mengenai pengarang. Namun kelihatannya ini novel perdana beliau, atau saya yang memang kurang tahu tokoh-tokoh pengarang generasi sekarang. Boleh jadi Imelda A Sanjaya sudah punya sederet judul dalam portfolio kepengarangannya.
Membaca Goran, jauh lebih nyaman dibanding novel-novel yg terlebih dulu sudah saya review di blog ini. Penyebabnya karena bukunya memang tipis (hanya 336 hal), dengan layout yang relatif lega dengan font cukup besar.
Tapi ada lagi faktor lain yang membuat novel ini juga lebih mudah dikunyah: Adegannya pendek-pendek.
Itu cukup menjelaskan bahwa ada style tertentu yang dipakai pengarang. Dan saya jadi cukup salut atas hal itu, terlepas apakah itu pilihan yang disengaja atau style bercerita si pengarang emang udah dari sononya begitu. Bahwa 'eh ternyata ada style kayak gini, ya' itu saja sudah membuat saya cukup mengapresiasi.
Walau saya juga bisa nggak setuju dengan style-nya. Itu soal lain.
Adegan pendek-pendek = Style? Mungkin lebih dari itu. Dalam mengikuti plot yang singkat-singkat, berpaling dari satu tokoh ke tokoh lainnya, dan speed cerita yang menjadi lambat karenanya, Saya merasakan (to my ashtonishment), bahwa saya bukan seperti membaca novel, melainkan seperti sedang membaca,.... Manga!
(buat yang belum tahu, Manga, dibaca 'mang-ga' adalah komik jepang. Yang memang memiliki kekhasan dalam cara bercerita, yang berbeda dari pakem komik barat. Sehingga bahkan gambar-gambar manga pun sampai dianggap sebagai suatu karya sastra tersendiri)
Uniknya Goran, membaca tulisan si pengarang, rasanya persis seperti menikmati gambar manga. Bukan dari semata-mata dari deskriptifnya, tapi juga dari cara pengarang mengolah setting dan menempatkan tokoh-tokoh, persis seperti cara manga bercerita.
Sesungguhnya tidak aneh, mengingat saat ini manga memang sudah menjadi makanan sehari-hari kita, sehingga bisa saja cara bertuturnya terserap dan menjadi style penulisan seorang pengarang.
Spekulasi pengaruh manga ini juga muncul dalam pilihan setting yang dilakukan si pengarang, dimana mengambil Jepang sebagai titik awal setting tokoh utama, Aniki Kodama, tinggal. Sedikit penasaran aja di sisi saya, apakah pengarang memang sangat familiar dengan budaya Jepang. Kelihatannya sih begitu. Tapi rasanya nama 'Aniki',.. koq ngga terasa jepang yah? Atau mungkin nama-nama jepang modern udah seperti itu, saya kurang tahu. Atau bisa juga Aniki adalah nama umum buat orang-orang suku Ainu (orang jepang asli yang konon berbeda dengan orang jepang yg datang belakangan dari tanah Korea). Tapi kelancaran pengarang menuturkan kehidupan di jepang, terlepas apakah dia pernah mengalaminya sendiri atau 'mengalami' lewat membaca manga, cukup menghidupkan cerita di dalam pikiran pembaca.
Pengarang memilih berbagai setting budaya untuk diaduk dalam karyanya. Ada setting Jepang, ada setting Mongolia, ada setting Cina, dan tambahan satu setting lagi di planet Vida sebagai setting sentral. Penggambaran masing-masing setting cukup realistis, cukup believable walaupun saya nggak bisa bener-bener terlarut di dalamnya. Mungkin karena 'tone' komedi yang bertaburan di sana sini, sebagai bagian intergral dari style manga yang dilakoninya.
Saya bahkan bisa membayangkan butir-butir keringat khas manga mengalir dari kening tiap tokoh yang 'kena' adegan semacam, "Capeee deh,..." :) pokoke manga banget!
Tapi itu dia, entah bagaimana, tone komedi yg digunakannya memang membuat novel terasa lebih nyaman dan gampang dikunyah. Beberapa joke, terutama kalo udah mengenai sepasukan prajurit Mongol dibawah komando 'letnan' Kamuchuk dan Panglima Sam (Kamuchuk, good Mongolian name. Sam? Nggak cool. Sebenernya lebih asik nama Panglima Sam jadi Kamuchuk aja!), asli kocak dan bener-bener bikin ketawa. Namun di sisi lain, itu juga yang membuat kening gue jadi agak berkerut. Bangunan kisah novel ini menjadi sedikit 'gak kena' akibat tone komedi tersebut.
Tapi itu menurut saya looh,.. udah berkaitan dengan selera. Siapa tahu justru tone seperti itu yang lebih disukai pembaca muda. Kembali, humor manga memang suka muncul seenak udel kagak terkait konteks.
Keunikan lainnya adalah tokoh-tokoh ciptaan pengarang yang cukup hidup, dan tak lepas terkesan manga-ish juga. Tokoh utama Aniki, Jepang banget. Tokoh Orphann, seperti gambaran anak bule dalam tarikan tinta manga Jepang. Tokoh Xin Ai dari Cina, juga menarik digambarkan sebagai salah satu tokoh utama yang berlawanan dengan pakem: rada bogel (gendut pendek) dan gak cantik-cantik amat. I like it. Ada tokoh dengan penggambaran unik lainnya seperti Soil, sahabat Orphann di planet Vida, cewek yang justru mengesankan maskulinitas dengan wajah yang keras dan kepala botak, dan tanda-tanda cinta yang mendalam pada Orphann. Dan lain-lain.
Bagaimana dengan setting planet Vida? Well, seharusnya ini menjadi sentral cerita, dan saya agak gamang, apakah pengarang sudah mempertimbangkan setting ini secara lebih mendalam. Vida adalah sebuah planet yang memiliki 3 matahari yang tampaknya mengelilingi planet itu tidak dalam waktu yg sama, tapi kadang-kadang sempat muncul bersamaan atau menghilang bersamaan dalam waktu tertentu. Selain itu planet Vida juga memiliki sekitar 40-an bulan/ satelit yang bisa dilihat dengan mata telanjang sampai pada pesawat-pesawat yang hilir mudik dari Vida ke masing-masing bulan. Astronomically, it should be VERY CLOSE range! Oh iya, ada indikasi juga bahwa sebagai planet, Vida tidak berbentuk bola melainkan agak bulat telur (referensinya di halaman berapa ya? Lupa aku).
Nah, di sini lah challenge untuk pengarang bermula. Dan tampaknya pengarang harus buka-buka buku Astronomi lagi neh,.. hehehe. Pertama mengenai bentuk planet yang oval. Apakah secara astronomis hal itu dimungkinkan? Planet terbentuk dari material gas yang berotasi akibat gaya gravitasi tata surya dengan matahari sebagai sumbu rotasi tata surya. Dan planet diketahui juga tidak hanya berputar dalam satu sumbu terus menerus, ada pergeseran sekian derajat. Dalam hal itu, mestinya sih beban akan terbentuk secara merata sehingga sebuah planet most likely akan berbentuk bola (kalaupun bukan bola sempurna, tetap tidak akan sampai berbentuk telur).
Bentuk-bentuk selain bola masih dimungkinkan untuk planetoid, yaitu benda angkasa yang cukup besar, yang mungkin saja dulunya pecahan dari suatu planet.
Jadi kalaupun kita mau mengadopsi setting Vida ini, maka kita harus mengasumsikan Vida sebagai sebuah planetoid yang ditinggali manusia. Itu juga bisa menjelaskan kenapa bisa ada bulan-bulan dalam posisi berdekatan. Terutama karena perbedaan skala yg nyaris 1:1 antara planet induk (Vida) dengan satelitnya. Bulan biasanya berukuran lebih kecil dan ada jarak astronomis tertentu terhadap planet induk. Soalnya mengingat cara terbentuknya melalui gas yang berotasi, tentu masuk akal bila posisinya terlampau dekat maka si bulan akan terserap dalam planet induk sejak dulu-dulu. Dan sebagai contoh Jupiter, planet raksasa di tata surya kita, perbandingan ukuran antara planet induk dengan bulan-bulannya pasti tidak 1:1.
Yang lebih seru, bagaimana bisa ada planetoid seukuran Vida di lokasi yang sekarang? Itu bisa menjadi twist cerita yang menarik. Karena nggak mungkin Vida merupakan planet induk yang terpecah secara natural. Kalo sebuah planet mengalami "nova" (mestinya sih yg bisa nova cuma matahari atau 'star-class planet') pastilah ledakannya menghancurkan planet-planet kecil di sekitarnya. Dengan keberadaan bulan 40 biji yang masih 'intact', berarti Vida adalah sebuah planetoid yang berasal dari tempat lain! Bagaimana caranya bisa berada di sana? Apakah ada teknologi tertentu yang telah memindahkannya? Apakah ada hubungannya dengan ras manusia (yg persis sama dengan Bumi) yang mendiami tempat itu? Bakal jadi setting yang menarik, loh.
Tapi 'flaw' yang lebih serius justru terdapat dalam konsep 3 matahari Vida. Mungkin pengarang sempat lupa bahwa seharusnya planetlah yang berotasi terhadap matahari, bukan matahari mengelilingi planet! Jadi mestinya kondisi ada 3 matahari yang posisinya tidak menetap relatif terhadap planet, rada nggak mungkin. Apalagi, Matahari seyogyanya merupakan bintang yang menjadi pusat tata-surya, dalam pengertian bahwa planet-planet di tata surya itu akan mengelilingi satu matahari. Nah kalo ada tiga, mustinya sih tiga yang jadi satu pusat, bukan tiga pusat tata-surya dalam satu lokasi sekaligus. Kondisi Vida dengan tiga matahari di posisi relatif yang berlainan, baru mungkin terjadi apabila rotasi Vida berubah-ubah tidak dalam satu sumbu. Secara dongeng sih boleh-boleh aja. Tapi secara ilmiah, kondisi itu akan mengakibatkan iklim yang sangat kacau, yang tidak mungkin menghasilkan kehidupan.
Tuh, panjang lebar deh aku ngebahas hal-hal ilmiah yang bahkan oleh pengarangnya ataupun pembacanya nggak dipersoalkan,... hehehe,.... jadi ribet sendiri, ya?
Justru itulah, moga-moga dengan keribetan ini, rekan-rekan sekalian menyadari bahwa excitement dalam menuliskan kisah fiksi ilmiah bisa menghebat luar biasa kalau kita mau menyisipkan pertimbangan-pertimbangan ilmu (astronomi, kek, antropologi, kek, sejarah, kek, dll) di dalamnya.
Okeh, kalo gitu lanjut ke cerita lagi. Sebagai konsekuensi dari tipisnya buku dan pengadeganan yang pendek-pendek, maka plot berjalan cukup-sangat-lambat. Demikian lambatnya sehingga saya sempet curiga. Ini halaman udah mau habis tapi koq belum sampai ke klimaks, ya? Dan ternyata, kecurigaan itu terbukti. Sampai habis halaman,... ternyata cerita masih belum habis!!!
Ooohhh,.. jebule iki ada maksud-maksud cerbung atau mungkin trilogi tooh??
Koq ga di-mention sama sekali sih? Gue merasa dikhianati oleh pengarang. Setelah gue baca judulnya lagi lebih teliti, memang ini bakalan jadi trilogi. Alasannya, pengarang membuat sub judul "Sembilan Bintang Biru". Dan dalam cerita, ternyata baru 'muncul' 3 Bintang. Yak,.. artinya, masih akan ada enam bintang lagi, yang diperkirakan akan muncul 3 di buku kedua, dan 3 lagi di buku ketiga.
Menyenangkan, heh? Sayangnya buat aku, enggak. Kalau mau bikin trilogi, bilang aja 'napa? Dari awal. Supaya gue juga punya ekspektasi yg pas. Keburu kecele bikin gue ngga respek, man! Entah, etika kayak gitu masih dihargai atau enggak sih, dalam industri penulisan sekarang ini. Tapi jujur ini hanya masalah preferensi pribadiku aja seh, orang lain bisa aja ga masalah dengan ini. Toh begitu terbit buku 2 maupun 3, yang udah terlanjur suka dengan petualangan Aniki, Orphann, Xin Ai dan kawan-kawan, pasti akan menyambarnya dari rak pajang.
Oh iya, mengenai Goran, dibaca Goran atau Gorang? Kenapa gue tanya itu, soalnya buku ini 'kan mengambil settingan Jepang, bertutur seperti manga, dan berlucu-lucu dengan cara yang manga-ish. Nah, mau dibaca Goran, atau Gorang, silakan simpulkan sendiri.
ngGantung, yach?! Hehehe rasain. Emang enak?
Salam,
FA Purawan
5 komentar:
maas, maf, minta izin untuk dimuat di situs serambi.
trims,
sidik
Sumonggo, Mas. Semoga bermanfaat.
Salam,
FA Purawan
sempat baca novel ini sekilas pas FPI kemarin, tadinya sih tertarik, tapi ritmenya hancur sewaktu adegan planet vida dimulai.
pas udah mulai baca adegan vida langsung males deh, kok rasanya atmosfir yang dibangun ama pengarang sejak adegan si aniki muncul runtuh pada satu halaman (baca: langsung malas lanjutin)
ngomong2 nama "Aniki" itu kocak banget, ntah si pengarang sengaja atau ga sengaja, soalnya artinya "abang" -> bayangin deh ada nama orang Indonesia dikasih nama "abang" atau "kakak", garing
Kayaknya emang iya ya.
Pas bagian si Aniki-nya itu sebenarnya (kalo mnrt saya) udah bagus. Adegan2nya sederhana, gak boros kata, mudah dipahami, dan ada lucu2nya juga. Segar dan renyah deh pokoknya.
Yang terbayang dalam kpl saya, ini drama keluarga yang bgus banget. Tentang seorang anak laki-laki, dengan ibunya yang single parent.
Tapi udah bagian yang ada "maling2annya" alias pas di planet vida itu...
Wah, ini maksudnya apa? Kok kerasa beda banget dengan waktu pake sudut pandangnya Aniki.
Bingung bacanya.
Awalnya smpt ragu sama nih novel, tp pas baca bab 1 dan seterusnya justru mlah keterusan. Emang pas muncul cerita planet vida, alurnya agak kacau sihh. Dibilang kacau ya lantaran tiap partnya kependekan dan pindah settingnya kecepetan. Mulailah sdikit bingung. Dan tmbah deket ending aq tmbah bingung (ini klimaksnya masa dikit bgt)
Bener d.. trnyata nih novel ada lanjutannya, hiks (ngerasa ditipu). Apa sih salahnya nulis trilogi atau seri pas di judul ?! :( asli bikin bad mood
Posting Komentar