Data buku:
Penerbit: Lingkar Pena Kreativa
Editor: Birulaut
Ilustrasi: Widhi Saputro
Desain Sampul: Widhi Saputro
Layout Naskah: Ricky Andy Yoga
Tebal: 256 hal
Tempat jalan-jalan favorit saya adalah toko buku. Dan salah satu toko buku yang saya favoritkan adalah MP Boookstore yang terletak di jalan Puri Sakti Jakarta Selatan, dekat kuburan Jeruk Purut. MP Bookstore menjadi favorit saya karena di sanalah saya biasa nongkrong sambil menanti usainya jam sekolah TK anak saya di hari Sabtu, dan selain itu, karena koleksi buku-buku yang cukup jarang saya temukan di toko buku lain.
Apa yang hebat dari koleksi buku-buku MP Bookstore? Adalah bagian buku-buku diskon di bawah tenda depan di parkiran, yang menarik minat saya. Sudah beberapa kali ini saya menemukan buku-buku clearance yang tidak pernah saya lihat terpajang di Gramedia atau toko buku lain. Tentu saja, to my ultimate pleasure, banyak di antaranya adalah buku Fiksi Fantasi karya pengarang lokal.
Jadi, ternyata cukup banyak karya lokal yang tidak pernah merasakan gengsi beredar di mall-mall atau "toko buku terkemuka" seperti iklan-iklan buku jaman dulu, dan tahu-tahu berakhir di clearance bin in a parking lot (sadis!). Sementara kita jejeritan mengeluhkan minimnya karya-karya fantasy lokal.
Tanya siapa.
So, here we are, salah satu buku 'baru' yang saya temukan di tumpukan clearance sale (diskon cuma 20%, siiih, ga clearance-clearance amat), berjudul IORI: Terperangkap di Negeri Mimpi, karya Lian Kagura terbitan 2007. Covernya berwarna hitam (lagi-lagi!) bercampur merah marun, dengan gambar seorang pemuda duduk di sebuah singgasana, berlatar belakang perempuan cantik, serta serigala berbulu biru dan seorang bocah gundul bermata putih bersimpuh di kaki singgasana.
Well, langsung aja kesan Fantasy-Misteri menguar dari ilustrasi sampul, diperkuat dengan Typografi font berwarna merah darah yang oke banget. Sekilas mirip grafik Manga bergenre misteri. Dan di sinopsis halaman belakang, antara lain terdapat kalimat seperti ini: Ia ingin bangun, tapi tak bisa. Ia terjebak dalam mimpi itu.
Nah, satu lagi Fantasy yang bersetting dunia Mimpi!
Tak sabar saya buka buku itu dan mulai menikmati isinya. Pada lembar halaman pertama, pandangan mata langsung terbentur pada kalimat Basmalah dalam huruf latin. Ingatan saya langsung terpaut pada karya-karya Fantasy Islami yg pernah marak pada tahun 2002-2004-an. Hmm,... pada kemana semua itu sekarang, yah? Apakah sekedar euforia yang sudah padam? Tapi anyway, dengan pembukaan seperti itu saya langsung menduga bahwa novel ini akan memiliki nuansa Islami yang kental, minimal pasti ada tokoh uztad-nya.
Dan rupanya, pengarang ingin memulai kisahnya dengan sehalaman puisi yang sejujurnya nggak begitu mengesankan. Bukan pada isinya (yg bicara tentang cinta dan dipersembahkan pada Bunda), melainkan lebih pada tata letak baris-baris puisi yang nggak enak dipandang dan tak tahu apa maksudnya disusun demikian. Padahal kalau disusun wajar saja mungkin lebih 'dapet' maksudnya.
OK, enough of that. Kisah dibuka dengan bab pertama berjudul "Kesedihan itu Datang". Dan begitu saya membaca, saya langsung tertohok dengan suasana 'noir' yang teramat pekat. Kisah berputar pada tokoh Iori, seorang cowok SMA yang baru saja kematian Ibundanya. Pengarang bener-bener memberikan suasana stressful dan depresif banget, memainkan tragedi diramu dengan kenangan-kenangan, siapa yang nggak langsung berleleran karenanya. Kesedihannya tidak membuat saya ingin menangis, however, melainkan membuat saya begitu tertekan dan dimakan oleh rasa duka, seolah-olah saya sendiri ikut merasakan kesunyian dan kehilangan besar di hati saya. Merinding.
Menurut saya, kemampuan pengarang membuat suasana 'dark' itu adalah suatu keistimewaan penulisan. Dan bab pertama ini memang telah membuat tone seluruh novel langsung terdefinisi di depan. Yak, gelap dan muram.
Selanjutnya kisah mengalir dengan perjanjian gaib Iori dengan tokoh 'Humunkulus' yang mendatanginya dalam mimpi, mungkin konsepnya mirip 'The Sandman', semacam devil yang menguasai Dunia Mimpi. Humunkulus, yang secara unik digambarkan sebagai bersosok perempuan cantik namun bersuara maskulin (Bencoong, dooong?), menjanjikan akan menghidupkan kembali ibu Iori (dipanggil Ummi) dengan barter satu jiwa lain yang dicintai Iori, satu jiwa tiap purnama.
Manteeeb, premis 'cakar monyet' yang guaranteed membuat setiap pembaca penasaran. Siapakah yang menjadi korban-korban berikutnya? Bagaimana tokoh utama melepaskan diri dari perjanjian gaib itu?
Sejak perjanjian itu, secara tiba-tiba saja Iori mendapatkan Ummi-nya hidup kembali. Kebahagiaan pun kembali mengisi kalbunya, jenis kebahagiaan yang setara dengan dependensi oedipus complex tokoh Trapani di Novel Laskar Pelangi (good psychology, BTW, dan sangat manusiawi, koq). Namun setiap purnama Iori harus menjadi semacam eksekutor ritual pengorbanan di dunia mimpi, yang secara nyata menewaskan orang-orang dekat Iori, mulai dari paman, kakek, dst. Sampai akhirnya cewek pujaan hati pun harus ikut menanggung akibatnya (ouch! tragis banget). Selain itu Iori juga mendadak jadi punya kekuatan ekstra dan temperamen yang lebih ganas, dengan ciri mata berkilat merah, serta kostum jubah hitam yang cool sebagai bonus.
Lewat Tiga Purnama, Iori mulai gerah dengan korban-korbanan ini. Tentu saja plot kemudian berlanjut pada bagaimana upaya Iori (dan orang-orang dekatnya) untuk melepaskan diri dari cengkeraman Humunkulus, dimainkan oleh si Kim, sahabat Iori, di bawah bimbingan Uztad Judin (gotcha! Tuh, kan, ada uztadnya,.... hehehe,....)
Well, as we all can see, perjalanan plot lebih-kurang standar, lah, buat cerita-cerita semacam "perjanjian gelap" gini. Dan penyelesaian di bawah pimpinan uztad yang punya ngelmu kudu untuk melawan kesaktian Humunkulus juga terasa amat klise. Nyaris tidak ada yang baru dengan alur-alur cerita sejenis dalam Sinetron Hidayahiyah ato Kiamat Udah Ampir Mampir.
Serasa gak cukup klise, novel pun masih ditutup dengan 'petuah' mengenai hubungan pria-wanita yang digambarkan melalui adegan pernikahan tokoh Kim dan Yuni, oleh siapa lagi kalo bukan Uztad Judin (Petuah yang kelihatan seperti pesan sponsor partai karena sangat jauh berselisih tema dengan tema utama novel). Eh, Iorinya nggak tahu nasibnya kemana lagi. Mati, kayaknya, tapi gak jelas juga.
Kalo sekedar baca komentar sampai sini, saya yakin yang ada di bayangan temen-temen pasti plek-ketiplek adegan sinetron misteri Illahi. Tapi kalo sudah baca sendiri, niscaya ada satu hal yang akan amat membedakan novel Iori dengan kisah-kisah klise Islamiyah konvensional. Baik berdasarkan referensi Sinetron, atau berdasarkan referensi Novel sejenis (yg terakhir ini harus kuakui, relatif).
Apa yang membedakan Iori? Catat: Pengolahan alam mimpi-nya, top banget. Sebagian besar adegan di novel ini berlangsung dalam alam psikologis si Iori, dan alam itu terwujud (dengan penggambaran yang amat realistis) dalam kehidupan mimpi Iori saat berinteraksi dengan Humunkulus.
Dalam review Dream of Utopia, saya mengatakan alam mimpi DoU karya Sammy sebagai sebuah ilustrasi fantasy yang indah. Untuk Iori, keindahan justru ada dalam penggambaran alam mimpi yang dark dan nyaris psikosis (sakit jiwa). Alam mimpi dalam karya Lian adalah alam mimpi yang sangat cair, imaji dapat berubah wujud mengikuti keadaan mental tokoh bersangkutan (which is, memang demikian lah alam mimpi seharusnya), dan akibat adanya intervensi tokoh Humunkulus, alam mimpi Iori juga menjadi berwujud gelap dan meneror secara visual. Imaji-imaji potongan tubuh (mutilasi), ruangan yang terlantar, langit merah, kesunyian yang menggigit, membuat pembaca seperti dibawa ke alam yang sangat asing, sekaligus sangat nyata menggambarkan kondisi psikologis sang tokoh. Dan di beberapa situasi, alam mimpi Iori bahkan bisa menyelusup ke mimpi orang lain, sampai bisa untuk kirim 'salam tampar' segala.
Karena penggambaran alam mimpi yang keren ini lah, saya cukup confident untuk memasukkan Iori dalam kelompok genre Fantasy. Mungkin Fantasy-Supernatural-Islami, kali yeee,... Mungkin aja secara garis besar pengarang ingin membuat novel Supernatural-Islami aja. Tapi unsur fantasy memang nggak bisa diabaikan, mengingat banyak adegan penting novel ini memang berlangsung dalam setting dunia alternatif yaitu dunia mimpinya si Iori.
Even adegan klimaks, saat Kim dan Uztad Judin berusaha membebaskan Iori dari Humunkulus, juga berlangsung dengan cara Kim dan si Uztad me-raga sukma masuk ke dalam mimpi Iori.
Nah bicara adegan klimaks, ini juga rasanya yang agak mengecewakan. Perjuangan Kim, Uztad, dan Iori mengalahkan Humunkulus rasanya terlalu 'cemen'. Jagoan-jagoan itu keok menghadapi kesaktian si bencong, lalu dengan tanpa alasan tiba-tiba saja bisa terjadi 'transfer energi' antara ketiganya, sehingga Kim menjadi SuperKim yang perkasa menghantam lawan! Ahh,.. gitu banget. Sebagai sebuah novel yg sarat dengan nuansa Islami, mengapa penyelesaian masalah tidak dengan cara yang 'Islami'?
Udah gitu, ada adegan finale yang ngga gue mengerti. Mengapa --setelah Humunkulus berhasil dikalahkan pun-- si Iori kemudian mengambil langkah yang sangat kontra Islami, yaitu 'bunuh diri' menggunakan pisau pengorbanan? Untuk keperluan apa? Biar ketemu ibunya di alam baka? (Part ini sebetulnya kurang jelas diceritakan, tapi saya coba ambil kesimpulan itu aja).
Terus-terang, bagi pandangan Islam, itu salah banget. Nggak tahu deh kenapa Pengarang mengambil rute tersebut.
Sebenernya sih, kalo gue jadi yang mengarang (heheh, mulai deh ngusilin karya orang). Saat Humunkulus akan mengambil the next one yang kamu cintai, perlawanan Iori yang paling Islami seharusnya adalah,... "Yang kucintai hanyalah Allah!". Nah, habis perkara, silakan Humunkulus berurusan sama Yang Bersangkutan! Hehehe,... (Tapi itu kata gue, lho. Yang kalo dibikin novel, pasti gak lebih dari dua halaman udah kelar,.. hahaha. Di mana asyiknya, ya?)
Lepas dari masalah Islami atau kurang Islami, tentunya hal-hal seperti itu adalah hak prerogatif pengarang. Setiap pengarang tentu punya alasan sendiri atas pilihan-pilihan alurnya ataupun penyelesaian konflik dalam karyanya.
OK, masukan terakhir untuk novel Iori, adalah novel ini kelihatannya akan lebih bagus apabila pengarang (atau editor?) tidak semena-mena memotong adegan. Saya mendapat kesan bahwa dalam proses penulisan, sesungguhnya pengarang telah menulis lebih banyak dari draft final, dan telah terjadi pemotongan-pemotongan terhadap draft.
Lha, bukannya demikianlah proses normal dalam editing? Ya, proses normal, kecuali bila menghasilkan editan yang aneh, saya sebutnya 'jumping plots'. Ada beberapa tempat yang ketara bahwa ada sesuatu yg hilang dalam teks. Hal itu menjadi cukup parah ketika sesuatu yang hilang itu punya relevansi terhadap plot. Akibatnya pembaca jadi mengerenyit sebab terasa ada sesuatu yang hilang, atau lompatan adegan yang terasa tidak koheren.
Di luar kekurangannya yang menyebabkan saya ilfil dengan novel ini, karya ini saya puji dalam beberapa aspek: pertama dari keterampilannya mengantarkan suasana 'noir' yang keren banget, ekspresif banget; kedua karakter antagonis Humunkulus yang unik dan cukup mengesankan baik dari penampilan maupun karakterisasinya (Bad Guy Award 2008!), ketiga kedalaman psikologis para tokoh, terutama tokoh protagonis yang 'cacat mental' berhasil dihadirkan kecacatannya secara realistik, sehingga kita bisa paham banget kenapa Iori ngga bisa terima kehilangan ibu tapi bisa terima kehilangan kekasih.
Usul? Masih perlu dikasih usul? Ya kalo boleh usul, gimana kalo tokoh Uztad kita ganti aja dengan karakter lain yang lebih unik, misalnya mantan uztad yang sempat murtad (terus beriman kembali karena terlibat urusan ini), atau aki-aki gak penting yang ternyata menyimpan misteri sebagai musuh bebuyutan Humunkulus, atau apa lah, asal bukan uztad jagoan. Yang kayak gitu kayaknya udah terlalu generik, kurang cespleng!
Teruntuk Kang Lian, selamat atas Novelnya, kang!
Salam,
FA Purawan
Apa yang hebat dari koleksi buku-buku MP Bookstore? Adalah bagian buku-buku diskon di bawah tenda depan di parkiran, yang menarik minat saya. Sudah beberapa kali ini saya menemukan buku-buku clearance yang tidak pernah saya lihat terpajang di Gramedia atau toko buku lain. Tentu saja, to my ultimate pleasure, banyak di antaranya adalah buku Fiksi Fantasi karya pengarang lokal.
Jadi, ternyata cukup banyak karya lokal yang tidak pernah merasakan gengsi beredar di mall-mall atau "toko buku terkemuka" seperti iklan-iklan buku jaman dulu, dan tahu-tahu berakhir di clearance bin in a parking lot (sadis!). Sementara kita jejeritan mengeluhkan minimnya karya-karya fantasy lokal.
Tanya siapa.
So, here we are, salah satu buku 'baru' yang saya temukan di tumpukan clearance sale (diskon cuma 20%, siiih, ga clearance-clearance amat), berjudul IORI: Terperangkap di Negeri Mimpi, karya Lian Kagura terbitan 2007. Covernya berwarna hitam (lagi-lagi!) bercampur merah marun, dengan gambar seorang pemuda duduk di sebuah singgasana, berlatar belakang perempuan cantik, serta serigala berbulu biru dan seorang bocah gundul bermata putih bersimpuh di kaki singgasana.
Well, langsung aja kesan Fantasy-Misteri menguar dari ilustrasi sampul, diperkuat dengan Typografi font berwarna merah darah yang oke banget. Sekilas mirip grafik Manga bergenre misteri. Dan di sinopsis halaman belakang, antara lain terdapat kalimat seperti ini: Ia ingin bangun, tapi tak bisa. Ia terjebak dalam mimpi itu.
Nah, satu lagi Fantasy yang bersetting dunia Mimpi!
Tak sabar saya buka buku itu dan mulai menikmati isinya. Pada lembar halaman pertama, pandangan mata langsung terbentur pada kalimat Basmalah dalam huruf latin. Ingatan saya langsung terpaut pada karya-karya Fantasy Islami yg pernah marak pada tahun 2002-2004-an. Hmm,... pada kemana semua itu sekarang, yah? Apakah sekedar euforia yang sudah padam? Tapi anyway, dengan pembukaan seperti itu saya langsung menduga bahwa novel ini akan memiliki nuansa Islami yang kental, minimal pasti ada tokoh uztad-nya.
Dan rupanya, pengarang ingin memulai kisahnya dengan sehalaman puisi yang sejujurnya nggak begitu mengesankan. Bukan pada isinya (yg bicara tentang cinta dan dipersembahkan pada Bunda), melainkan lebih pada tata letak baris-baris puisi yang nggak enak dipandang dan tak tahu apa maksudnya disusun demikian. Padahal kalau disusun wajar saja mungkin lebih 'dapet' maksudnya.
OK, enough of that. Kisah dibuka dengan bab pertama berjudul "Kesedihan itu Datang". Dan begitu saya membaca, saya langsung tertohok dengan suasana 'noir' yang teramat pekat. Kisah berputar pada tokoh Iori, seorang cowok SMA yang baru saja kematian Ibundanya. Pengarang bener-bener memberikan suasana stressful dan depresif banget, memainkan tragedi diramu dengan kenangan-kenangan, siapa yang nggak langsung berleleran karenanya. Kesedihannya tidak membuat saya ingin menangis, however, melainkan membuat saya begitu tertekan dan dimakan oleh rasa duka, seolah-olah saya sendiri ikut merasakan kesunyian dan kehilangan besar di hati saya. Merinding.
Menurut saya, kemampuan pengarang membuat suasana 'dark' itu adalah suatu keistimewaan penulisan. Dan bab pertama ini memang telah membuat tone seluruh novel langsung terdefinisi di depan. Yak, gelap dan muram.
Selanjutnya kisah mengalir dengan perjanjian gaib Iori dengan tokoh 'Humunkulus' yang mendatanginya dalam mimpi, mungkin konsepnya mirip 'The Sandman', semacam devil yang menguasai Dunia Mimpi. Humunkulus, yang secara unik digambarkan sebagai bersosok perempuan cantik namun bersuara maskulin (Bencoong, dooong?), menjanjikan akan menghidupkan kembali ibu Iori (dipanggil Ummi) dengan barter satu jiwa lain yang dicintai Iori, satu jiwa tiap purnama.
Manteeeb, premis 'cakar monyet' yang guaranteed membuat setiap pembaca penasaran. Siapakah yang menjadi korban-korban berikutnya? Bagaimana tokoh utama melepaskan diri dari perjanjian gaib itu?
Sejak perjanjian itu, secara tiba-tiba saja Iori mendapatkan Ummi-nya hidup kembali. Kebahagiaan pun kembali mengisi kalbunya, jenis kebahagiaan yang setara dengan dependensi oedipus complex tokoh Trapani di Novel Laskar Pelangi (good psychology, BTW, dan sangat manusiawi, koq). Namun setiap purnama Iori harus menjadi semacam eksekutor ritual pengorbanan di dunia mimpi, yang secara nyata menewaskan orang-orang dekat Iori, mulai dari paman, kakek, dst. Sampai akhirnya cewek pujaan hati pun harus ikut menanggung akibatnya (ouch! tragis banget). Selain itu Iori juga mendadak jadi punya kekuatan ekstra dan temperamen yang lebih ganas, dengan ciri mata berkilat merah, serta kostum jubah hitam yang cool sebagai bonus.
Lewat Tiga Purnama, Iori mulai gerah dengan korban-korbanan ini. Tentu saja plot kemudian berlanjut pada bagaimana upaya Iori (dan orang-orang dekatnya) untuk melepaskan diri dari cengkeraman Humunkulus, dimainkan oleh si Kim, sahabat Iori, di bawah bimbingan Uztad Judin (gotcha! Tuh, kan, ada uztadnya,.... hehehe,....)
Well, as we all can see, perjalanan plot lebih-kurang standar, lah, buat cerita-cerita semacam "perjanjian gelap" gini. Dan penyelesaian di bawah pimpinan uztad yang punya ngelmu kudu untuk melawan kesaktian Humunkulus juga terasa amat klise. Nyaris tidak ada yang baru dengan alur-alur cerita sejenis dalam Sinetron Hidayahiyah ato Kiamat Udah Ampir Mampir.
Serasa gak cukup klise, novel pun masih ditutup dengan 'petuah' mengenai hubungan pria-wanita yang digambarkan melalui adegan pernikahan tokoh Kim dan Yuni, oleh siapa lagi kalo bukan Uztad Judin (Petuah yang kelihatan seperti pesan sponsor partai karena sangat jauh berselisih tema dengan tema utama novel). Eh, Iorinya nggak tahu nasibnya kemana lagi. Mati, kayaknya, tapi gak jelas juga.
Kalo sekedar baca komentar sampai sini, saya yakin yang ada di bayangan temen-temen pasti plek-ketiplek adegan sinetron misteri Illahi. Tapi kalo sudah baca sendiri, niscaya ada satu hal yang akan amat membedakan novel Iori dengan kisah-kisah klise Islamiyah konvensional. Baik berdasarkan referensi Sinetron, atau berdasarkan referensi Novel sejenis (yg terakhir ini harus kuakui, relatif).
Apa yang membedakan Iori? Catat: Pengolahan alam mimpi-nya, top banget. Sebagian besar adegan di novel ini berlangsung dalam alam psikologis si Iori, dan alam itu terwujud (dengan penggambaran yang amat realistis) dalam kehidupan mimpi Iori saat berinteraksi dengan Humunkulus.
Dalam review Dream of Utopia, saya mengatakan alam mimpi DoU karya Sammy sebagai sebuah ilustrasi fantasy yang indah. Untuk Iori, keindahan justru ada dalam penggambaran alam mimpi yang dark dan nyaris psikosis (sakit jiwa). Alam mimpi dalam karya Lian adalah alam mimpi yang sangat cair, imaji dapat berubah wujud mengikuti keadaan mental tokoh bersangkutan (which is, memang demikian lah alam mimpi seharusnya), dan akibat adanya intervensi tokoh Humunkulus, alam mimpi Iori juga menjadi berwujud gelap dan meneror secara visual. Imaji-imaji potongan tubuh (mutilasi), ruangan yang terlantar, langit merah, kesunyian yang menggigit, membuat pembaca seperti dibawa ke alam yang sangat asing, sekaligus sangat nyata menggambarkan kondisi psikologis sang tokoh. Dan di beberapa situasi, alam mimpi Iori bahkan bisa menyelusup ke mimpi orang lain, sampai bisa untuk kirim 'salam tampar' segala.
Karena penggambaran alam mimpi yang keren ini lah, saya cukup confident untuk memasukkan Iori dalam kelompok genre Fantasy. Mungkin Fantasy-Supernatural-Islami, kali yeee,... Mungkin aja secara garis besar pengarang ingin membuat novel Supernatural-Islami aja. Tapi unsur fantasy memang nggak bisa diabaikan, mengingat banyak adegan penting novel ini memang berlangsung dalam setting dunia alternatif yaitu dunia mimpinya si Iori.
Even adegan klimaks, saat Kim dan Uztad Judin berusaha membebaskan Iori dari Humunkulus, juga berlangsung dengan cara Kim dan si Uztad me-raga sukma masuk ke dalam mimpi Iori.
Nah bicara adegan klimaks, ini juga rasanya yang agak mengecewakan. Perjuangan Kim, Uztad, dan Iori mengalahkan Humunkulus rasanya terlalu 'cemen'. Jagoan-jagoan itu keok menghadapi kesaktian si bencong, lalu dengan tanpa alasan tiba-tiba saja bisa terjadi 'transfer energi' antara ketiganya, sehingga Kim menjadi SuperKim yang perkasa menghantam lawan! Ahh,.. gitu banget. Sebagai sebuah novel yg sarat dengan nuansa Islami, mengapa penyelesaian masalah tidak dengan cara yang 'Islami'?
Udah gitu, ada adegan finale yang ngga gue mengerti. Mengapa --setelah Humunkulus berhasil dikalahkan pun-- si Iori kemudian mengambil langkah yang sangat kontra Islami, yaitu 'bunuh diri' menggunakan pisau pengorbanan? Untuk keperluan apa? Biar ketemu ibunya di alam baka? (Part ini sebetulnya kurang jelas diceritakan, tapi saya coba ambil kesimpulan itu aja).
Terus-terang, bagi pandangan Islam, itu salah banget. Nggak tahu deh kenapa Pengarang mengambil rute tersebut.
Sebenernya sih, kalo gue jadi yang mengarang (heheh, mulai deh ngusilin karya orang). Saat Humunkulus akan mengambil the next one yang kamu cintai, perlawanan Iori yang paling Islami seharusnya adalah,... "Yang kucintai hanyalah Allah!". Nah, habis perkara, silakan Humunkulus berurusan sama Yang Bersangkutan! Hehehe,... (Tapi itu kata gue, lho. Yang kalo dibikin novel, pasti gak lebih dari dua halaman udah kelar,.. hahaha. Di mana asyiknya, ya?)
Lepas dari masalah Islami atau kurang Islami, tentunya hal-hal seperti itu adalah hak prerogatif pengarang. Setiap pengarang tentu punya alasan sendiri atas pilihan-pilihan alurnya ataupun penyelesaian konflik dalam karyanya.
OK, masukan terakhir untuk novel Iori, adalah novel ini kelihatannya akan lebih bagus apabila pengarang (atau editor?) tidak semena-mena memotong adegan. Saya mendapat kesan bahwa dalam proses penulisan, sesungguhnya pengarang telah menulis lebih banyak dari draft final, dan telah terjadi pemotongan-pemotongan terhadap draft.
Lha, bukannya demikianlah proses normal dalam editing? Ya, proses normal, kecuali bila menghasilkan editan yang aneh, saya sebutnya 'jumping plots'. Ada beberapa tempat yang ketara bahwa ada sesuatu yg hilang dalam teks. Hal itu menjadi cukup parah ketika sesuatu yang hilang itu punya relevansi terhadap plot. Akibatnya pembaca jadi mengerenyit sebab terasa ada sesuatu yang hilang, atau lompatan adegan yang terasa tidak koheren.
Di luar kekurangannya yang menyebabkan saya ilfil dengan novel ini, karya ini saya puji dalam beberapa aspek: pertama dari keterampilannya mengantarkan suasana 'noir' yang keren banget, ekspresif banget; kedua karakter antagonis Humunkulus yang unik dan cukup mengesankan baik dari penampilan maupun karakterisasinya (Bad Guy Award 2008!), ketiga kedalaman psikologis para tokoh, terutama tokoh protagonis yang 'cacat mental' berhasil dihadirkan kecacatannya secara realistik, sehingga kita bisa paham banget kenapa Iori ngga bisa terima kehilangan ibu tapi bisa terima kehilangan kekasih.
Usul? Masih perlu dikasih usul? Ya kalo boleh usul, gimana kalo tokoh Uztad kita ganti aja dengan karakter lain yang lebih unik, misalnya mantan uztad yang sempat murtad (terus beriman kembali karena terlibat urusan ini), atau aki-aki gak penting yang ternyata menyimpan misteri sebagai musuh bebuyutan Humunkulus, atau apa lah, asal bukan uztad jagoan. Yang kayak gitu kayaknya udah terlalu generik, kurang cespleng!
Teruntuk Kang Lian, selamat atas Novelnya, kang!
Salam,
FA Purawan
10 komentar:
Hmm, kayanya ni buku layak beli ya?
@Danny,
Not really, tergantung apakah elo suka ato nggak dengan genre mistik Islami.
Buat non-muslim, mungkin gaya komunikasi novel ini kurang ke general audience, ya. Walaupun mungkin masih bisa dinikmati.
Untuk yg udah suka sama model plotting Uztad-menyelesaikan-segalanya, mungkin novel ini cocok-cocok aja.
Buat gue pribadi, jalan cerita mupun plot kuanggap biasa banget, klise. Tapi unggulnya ya di penggambaran Dunia Mimpi itu sendiri.
Salam,
FA Pur
Mas Pur,
So far, udah berapa novel fiksi fantasi bertema mimpi yg pernah Mas baca?
@ Rumahkata
Kayaknya banyak tapi gak ada yg bisa teringat saat ini,.. hehehe,..
Mungkin salah satu yg cukup berkesan adalah "Pintu Terlarang"? Itu genre mimpi juga, kan?
FA Pur
Agak aneh mendapati ada novel fantasi yg agak menjurus ke tema "ustadz menyelesaikan masalah". :D Gw kira formula kayak gini tu cuma booming pas lagi sinetron (mgkn novel kena imbas).
Ngeliat kover bukunya, jujur, kesan pertama gw adalah kata "gothic". Agak mengingatkan ama ALI Project (dari Jepang) yg video klipnya rata2 gothic.
Satu pertanyaan, nuansa muslimnya (selain keberadaan ustadz) sekental itu yah?
Hehe.
Gambarnya (dari jauh) mirip2 Persona, yah....
Salam kenal, nama saya Handoyo alias Hans Casimira-penulis novel konyol berjudul Alexa Chimaera-Electric Girl.
Sudah lama saya mengikuti blog-nya Mas Pur, tapi baru kali ini coba ikutan komentar.
Sebelumnya makasih banyak atas komentarnya yang cukup menggigit. Saya banyak belajar dan memperbaiki diri setelah membaca kritik dr Mas.
Novel saya berikut judulnya Hantu Pancoran, sudah diterbitkan.Kalau berkenan, mohon diberi komentar juga. Setelah itu ada lagi, judulnya "CHOICE", jenis fantasi tapi nggak ilmiah amat, lebih ke arah roman remaja.
Bila Mas Pur bersedia, saya ingin minta sarannya sebelum diterbitkan. Untuk itu mohon diberikan alamat e mailnya agar bisa saya krm naskahnya.
Sekian dulu Mas, saya tunggu balasannya.
Salam damai
Handoyo bin Casimira
NB: saya juga bikin blog meresensi novel-2 yg kami baca. Alamatnya: coretan-alfabet@blogspot.com
Silahkan mampir.
@Hans
Hallo mas Hans, salam kenal juga :). Saya sangat berbahagia bila komentar apapun dapat meningkatkan skill penulisan kita bersama.
Untuk Hantu Pancoran (gile kantor gue deket patung pancoran, euy), sepanjang masuk ke genre fantasy, bisa saya muat reviewnya di blog.
Untuk CHOICE, silakan kirim aja ke fapurawan@yahoo.co.id, Insya Allah kita lihat apa yg bisa kita bantu.
Salam,
FA Purawan
Quote @Juun:
Satu pertanyaan, nuansa muslimnya (selain keberadaan ustadz) sekental itu yah?
------------
OK Juun,
Gini aja deh.
Kalo di Teenlit, aktivitas para tokoh umumnya berkisar: sekolah, mall, pantai, mall, rumah, mall, etc,.. :)
Kalo di sini, sekolah, masjid (remaja masjid), rumah, masjid, rumah, masjid,... :)
(Hehehe, tapi ke Masjid kan lebih bagus, loh, dari pada ke mall?)
salam,
FA Purawan
bagus ceritanya, walaupun mungkin ada hal yang ganjil. Sayang udah ngga terbit lagi,,,,,,,,,,
Posting Komentar