Rabu, 10 September 2008

TRANSPONDEX: Mesin Cinta Lintas Waktu (Ronny Fredila - 2006)



Data Buku:
Penerbit: GagasMedia (Seri FantasyLit)
Editor: Denny Indra
Desain Cover: Hendrayanto
Tata Letak: Wahyu Suwarni
Tebal: 282 Hal


Kalau lihat sub-judulnya saja, niscaya saya juga tidak akan percaya kalau Novel karya Ronny Fredila, Staff Swalayan Hypermart ini, merupakan sebuah novel fantasy. Bayangan apa yang melintas saat membaca kalimat, "Mesin Cinta Lintas Waktu"? Uaah, mesin cinta, Jek.

Apalagi dipadu dengan desain cover warna merah, dengan siluet tubuh seorang wanita yang mengesankan bayang-bayang tanpa busana, O.M.G., rasanya frasa "Mesin Cinta" jadi memiliki arti tersendiri (wink-wink).

Tak heran bila judul Transpondex bagiku langsung menimbulkan asosiasi judul obat kuat semacam Viagra, Cialis, seperti yang sering terlihat di plank toko A Ceng atau A Kiaw (Ho'oh, gue cuma lewat, koq,...)

Padahal, Transpondex adalah singkatan dari suatu istilah yang cukup Tekno: Transportation Machine for Dimensions and Time Exchange, mesin transportasi untuk keperluan pertukaran Dimensi dan Waktu. Gimana, keren, kan? Dan alat "Time-Machine" inilah yang kemudian dilabeli sebagai 'mesin-cinta'. Jadi kawan-kawan, tolong hapuskan saja bayangan anda mengenai mesin cinta yang lain yang berada di luar lingkup novel ini,... hehehe.

Setelah sekian kali saya terpapar oleh genre Fantasy Kerajaan, Ksatria, Peri dan Penyihir, akhirnya mampir lagi sebuah genre Fantasi Fiksi Ilmiah terbitan tahun 2006, lagi-lagi tak saya temukan di toko buku melainkan di Pameran Buku IKAPI, yang menandakan bahwa novel ini tinggal memasuki fase bersih-bersih gudang. Oh, begitu kejamnya kah para penerbit terhadap kehidupan genre Fantasy,... hehehe,... apa boleh buat, hukum pasar memang berlaku di sini. Kalo bukan buku laris, jangan harap dapat kesempatan napas panjang. Sedih, tapi memang demikian alam sudah menggariskan.

So, kembali ke novel. Transpondex adalah sebuah karya yang diposisikan sebagai "Science Fiction" oleh GagasMedia melalui seri FantasyLit (baca secara Inggris, ya. Jangan baca secara Indonesia, agak-agak saru). Setelah saya baca, well ada sebagian kecil plot driver yang memang berbau ilmiah, terutama mengenai konsep dimensi waktu dan time-space continuum. Tapi kalau saya boleh berkomentar, sesungguhnya novel ini lebih dominan sebagai sebuah roman aksi berbau tekno, aja. Soalnya aspek time-travel agak kurang begitu didekati secara ilmiah di sini, melainkan secara populer aja, mirip dengan angle film Back to The Future I, II, & III yang disutradarai Steven Spielberg dan dibintangi oleh Michael J. Fox itu.

Tapi jujur aja sih, biarpun ngga ilmiah, spekulasi time-travel di novel ini diramu secara meyakinkan dengan logika cukup terjaga, dan mampu mendrive sebuah cerita roman aksi yang lumayan menghibur. Masuk juga konsep-konsep paralel universe dll sebagai bumbu. Tidak terlalu baru, sih. Tapi setidaknya cukup fresh untuk khasanah novel lokal.

Selain aspek 'fiksi ilmiah' berupa time travel, karya ini juga memiliki aspek lain yang cukup kuat, yaitu sebagai sebuah novel silat. Jadi tepatnya adalah sebuah novel silat dalam setting futuristik. Nah, aspek ini malah aku pikir lebih dominan sebagai penggerak dan pewarna cerita, di mana hampir adegan penting novel ini di dominasi oleh pertarungan silat antara tokoh-tokoh protagonis dengan antagonis.

Jadi singkatnya cerita novel ini adalah sebagai berikut: Tokoh utama si Rima anak SMA, memiliki Ayah bernama Prof. Suhendra yang punya obsesi untuk menciptakan mesin waktu guna kembali ke masa lalu dimana Maminya Rima dinyatakan hilang dalam sebuah penerbangan komersial. Prof. Suhendra bekerja sama dengan Prof. Mohindra dan seorang Prof lagi yang misterius, berhasil memecahkan sandi sebuah manuskrip dari jaman Majapahit yang mengindikasikan cara membuat sebuah mesin waktu, dan ceritanya si prof berhasil membuat mesin waktu yang dinamakan Transpondex. Namun tepat pada saat si Prof melakukan test perdana alat itu, tiba-tiba masuk lah sekelompok prajurit futuristik dari the other side, yang langsung menculik si Prof, dengan pesan bahwa alat si Prof sudah membuat anomali dalam ruang-waktu, sehingga masa depan menjadi kacau dan ada tokoh-tokoh dari jaman yang berbeda menjadi campur aduk di masa depan. Si prof diculik untuk memperbaiki semuanya, albeit di bawah ancaman bedil.

Tentu saja, si tokoh kita yang ternyata cukup jago silat, harus ikut menyusul ke masa depan untuk menyelamatkan sang ayah.

And listen to this: di masa depan sang tokoh bertemu dengan Kerajaan Majapahit in the Future, menjadi murid Nenek Srikandi, bergabung dengan Pandawa Empat: Arjuna, Bima, Nakula, Sadewa, untuk melawan raja Tapak Lodaya (yg menggulingkan Hayam Wuruk), yang disupport oleh Pasukan Kurawa dibawah pimpinan Dursasana, Duryudana dan lain-lainnya.

So you see, it's yet another cerita wayang dalam setting non-wayang. Sejenis dengan Arjuna mencari Cinta, tapi dalam tempo beberapa abad lebih Futuristik, hehehe. Dan silat menjadi menu utama.

Dengan ramuan seperti ini, saya menganggap pada akhirnya Novel ini berusaha merevitalisasi karakter-karakter pewayangan dalam setting yang berbeda dari pakem. Istilahnya, pengarang ingin menggunakan Arjuna dkk dalam setting futuristik, ya kemudian dibuatlah plot time-travel dan kekacauan time-space continuum yang memberi pengarang alasan yang 'valid' untuk mempertemukan tokoh-tokoh sejarah yang berasal dari jaman yang berbeda dalam satu belanga. Akhirnya yang kejadian adalah Rima bertemu Arjuna, Bima, Nakula, Sadewa, Srikandi, Prof Drona, Dursasana, Duryudana, Bill Gates, sampai Hitler segala, dalam ramuan campur aduk yang, well,.... sensasional, tapi nggak 'dalem'.

Maksudnya, karakter-karakter sejarah ini gak punya kepribadian yang utuh, sekedar sensasi yang dipinjam untuk melancarkan cerita aja. Persis karakter game fighting semacam Street Fighters ataupun Tekken.

Selain dari suasana persilatan futuristik, novel ini juga menghadirkan aroma teenlit dalam setting Rima di jaman kini, ada sekolah, ada tawuran, ada cowok pedekate, ada dream guy, well, the usual stuff. Cuma di akhir aja pengarang memberi twist yang menggabungkan dua setting berbeda itu dalam konklusi yang mendekati napas teenlit juga.

Jadi alurnya kira-kira: 1> Setting Kini, 2> Setting Futuristik menyita mayoritas halaman, 3> kembali ke setting kini sebagai konlusi.

Terus apa yang bisa diambil dari novel ini? Well, kalo temen-temen baca ramuan setting di atas, tentu temen-temen akan berasumsi bahwa novel ini memiliki setting amburadul hasil dari ramuan karakter asal tempel. Nyaris bener. Tapi di sisi lain pengarang punya suatu kelebihan yang mengakibatkan setting amburadul ini masih bisa 'jalan' sebagai sebuah novel hiburan.

Yaitu, kelebihan pengarang, adalah cara bercerita yang cukup mengasyikkan ditunjang oleh logika yang kuat 'ngejagain' plot dan setting. Dengan gaya penulisan yang rileks, jujur apa adanya namun tetap terangkai secara baik dan benar, pengarang memberi saya stamina untuk bisa menyelesaikan buku ini cukup dalam tiga hari. Kemampuan menjaga logika cerita membuat saya tidak terlalu banyak nanya atau banyak berhenti (misalnya ngebolak-balik ke halaman depan lagi karena ada yg rasanya aneh), sebab pengarang senantiasa menjaga agar informasi logis dalam plotnya tetap tersedia pada point dimana diperlukan.

Dan ini berarti memang usaha yang harus seksama, sebab plot time related chaos emang bukan topik logika yang 'gampang' dicerna, apalagi di sisi pengarang yang harus lebih menguasai hubungan sebab akibat lintas waktu. Paling tidak, walau plot hole masih terasa di sedikit tempat, pengarang berhasil mendeliver cerita menjadi suatu alur yang cukup koheren. Tapi dalam aspek logika, pengarang juga agak 'kejeblos' justru di akhir cerita, yaitu time-space continuum yang rusak ternyata bisa bener lagi karena faktor 'kebetulan'. Ah ketahuan, lagi buru-buru pengen nyelesaikan novelnya, tuh. Hehehe,...

Masuknya tokoh Bill Gates dalam cerita menggantikan Prof Drona, juga terasa agak dipaksakan. Tapi apa mau dikata, toh setting karakternya memang sudah dibuat amburadul dari sononya, sehingga twist semacam itu memang sah terjadi dalam setting cerita ini. Termasuk ujug-ujug muncul tokoh (Adolf) Hitler yang bisa silat sebagai the ultimate nemesys.

Kelebihan lain adalah adegan silat yang cukup seru, dan lumayan menerapkan prinsip-prinsip ilmu silat ala standar. Silat ini cukup memberi warna yang unik pada novel, serta memberi adegan aksi yang seru dan gegap gempita. Walau sebagai catatan, penggambaran adegan silat secara apa-adanya (keluarin jurus ini-itu dengan kedahsyatan ini-itu, efeknya ini-itu) memang cukup bisa menghadirkan aksi, namun belum tentu menimbulkan kesan mendalam terhadap pembaca. Mungkin analoginya adalah nonton film kung-fu mainstream Hongkong yang minim special effect, vs Chrouching Tiger atawa Hero yang penuh efek visual indah. Mana pertarungan yg lebih meninggalkan kesan?

Jujur aja, ngga ada perkembangan plot yang cukup berarti sepanjang novel, laksana pop corn movie biasa aja. Paling ada satu cabang plot yang cukup menyita emosi dan karenanya jadi perhatian khusus saya, yaitu saat Rima dan ayahnya finally bertemu dengan Maminya. Itu adegan yang paling monumental, saya rasa.

Juga menjadi suatu pertanyaan buat saya, di tengah generasi dua ribuan ini, apakah tokoh-tokoh pewayangan seperti Arjuna, Bima, dkk itu masih 'bunyi'? Untuk gerenasi 80-an macam saya, karakter Arjuna memang masih lekat dalam ingatan sebagai sosok 'Cowok Ultimate' dalam dunia wayang. Saya bahkan masih sempet nonton wayang orang Sriwedari di Solo jaman saya kelas 5 SD, dari jam 8 malem sampai jam 3 pagi. Tapi sekarang semua sudah menjadi dunia lama yang terlupakan oleh Indonesia. Saya kira pemilihan tokoh-tokoh pewayangan untuk dimasukkan ke setting modern menjadi usaha yang tak terlalu efektif, simply karena generasi sekarang udah gak kenal siapa itu Arjuna dkk.

Sebagai konlusi dari pembelajaran kita kali ini dengan topik studi Novel Transpondex, ya mungkin singkat aja: kalo pengarang dapat menjaga logika ceritanya secara pas, maka setting amburadul pun ternyata masih bisa workable, at least untuk sekedar menjadi novel ini enak dibaca aja, tanpa harus menyisipkan missi atau harapan-harapan lebih dari itu.

Dan nyatanya, novel ini memang masih lebih bisa dinikmati dibanding the other terbitan GagasMedia FantasyLit yang barusan juga saya review,.... (wink)

Mas Ronny, it's been a nice reading!

Salam,


FA Purawan

8 komentar:

Anonim mengatakan...

As always, review bagus dari Mas Pur.

Tapi entah kenapa rasanya ngebaca review novel ini ada kesan bahwa Mas Pur ngebacanya cukup ngebut. Di review2 sebelumnya, saya masih nemu komentar dan kritik mengenai tata bahasa, tapi di sini nggak ada. Apa itu karena emang gak ada yg perlu dikritik ato memang pada kelewatan ato memang segala sesuatunya membuat Mas Pur mentolerir kesalahan teknis?

Cuma--wow--saya harus salut juga sama pengarangnya nih. Bisa ngebikin org sekaliber Mas Pur baca fiksi sains dan enjoy, ini kali pertama rasanya dia begitu. :D Berarti pengarang sukses nih sbnrnya (cuma sayang, kyknya bukunya kurang booming >.<)

Hehe.

FA Purawan mengatakan...

Untuk aspek tata bahasa sih, walaupun tidak luar biasa mengagumkan, bagi saya sih sudah ditulis dengan cukup baik dan mudah diikuti.

Makanya saya bisa baca dengan cepat tanpa tersendat-sendat.

Salam,

Anonim mengatakan...

(blom baca resensinya, tapi kayaknya nih novel bagus)

Mm~dulu sering liat nih novel di Gramed, entah sekarang masih ada ato nggak.

Ngomong2, kalo bole tau, ini novel harganya berapa, ya?^^

FA Purawan mengatakan...

Waktu di pameran IKAPI kalo gak salah sepuluh ribuan :)

Danny mengatakan...

Yeee, itu kan kalo di pameran. Semuanya juga di diskon lagi kalo di pameran.

Anonim mengatakan...

Ng, novel ini layak beli ga, Mas Pur? Kalo diskor pakai bintang (antara 1 s/d 5), Transpondex dapat bintang berapa?

Btw, link blog saya ganti jadi
http://sakurazaki.wordpress.com/

FA Purawan mengatakan...

@Sakurazaki,

Layak beli ngga? Well, kalo terhadap Dream Utopia, gue akan yakin menjawab layak beli. Tapi kalo terhadap Transpondex,.... rasanya gue ngga seberani itu rekomen.

Soalnya gue ga bisa ngeramal selera elo, hehehe. Kalo gue sih, gue beli karena gue juga ingin belajar dari karya itu. Soal bagus atau jeleknya, udah ga relevan lagi.

Toh, gue juga akan beli buku pelajaran IPA sekalipun itu the worst book ever on earth, ya gak?

BTW, just info: Transpondex banyak dijual di Carrefour, tuh. Harganya 30 rebuan. Look at it yourself, deh. Hehehe,....

FA Pur

Ronny Fredila mengatakan...

Dear All (terutama MAs Pur),

Saya sebagai pengarang buku Transpondex ini, sangat berterima kasih atas ulasan, komentar dll dari Anda semua. Ada rasa senang, bangga, sedih (hiks, memang di Indonesia, buku dengan genre seperti ini belum bisa diterima secara luas).
Tapi bagaimanapun ulasan-ulasan Anda semua sangat menyemangati saya. Mudah-mudahan buku saya berikutnya dapat lebih sukses.

Oya, kalau ada komentar atau masukan lain, dapat e-mail ke saya di ronnyfredila@yahoo.co.id.

Thx a lot!!

Ronny Fredila