Minggu, 19 Oktober 2008

FIREHEART-Legenda Paladin: Sang Pemburu (Andry Chang - 2008)


Data Buku:

Penerbit: Sheila
Editor: Oktaviani HS
Setting: Sri Sulitiyani
Desain Cover: Weny
Korektor: Artika Maya/ Aktor


Kalau teman-teman perhatikan, dalam beberapa review ke belakang, anda tidak menemukan suatu judul baru karya fantasi. Itu sedikit banyak mencerminkan bahwa selama bulan Agustus-September 2008 ternyata tidak satupun buku Fiksi Fantasi karya anak negeri yang meluncur ke pasaran (pasaran yg biasa saya kunjungi, BTW. ga tau deh kalau ada pasaran di luar itu, hehehe).

Alhamdulillah, situasi tersebut berubah berkat terbitnya satu lagi karya Fiksi Fantasi lokal, pecah telor istilahnya, yaitu FIREHEART-Legenda Paladin: Sang Pemburu, karya pengarang Andry Chang yang diterbitkan oleh penerbit Sheila.

FIREHEART adalah sebuah karya Fantasy epik yang memposisikan diri sebagai bagian pertama dari sebuah trilogi, dimana hal tersebut disebutkan jelas pada pengantar dari Pengarang, sekalipun tidak ada penomoran dicantumkan pada cover (why not, sih?). Sebagai catatan tambahan, sejak lama sebelum buku ini terbit, pengarang sudah membuat sebuah blog di http://fireheart.tk sebagai saluran komunikasi mengenai buku bersangkutan serta pajangan sedikit cuplikan dari buku ini maupun karya sekuelnya. Dan tambahan menarik lainnya, bahwa buku kedua (dan ketiga?) sebetulnya sudah finish dalam bahasa Inggris (!) dan saat ini sedang dalam proses penerjemahan untuk diterbitkan sebagai sekuel.

Jadi, Andry Chang menuliskan novelnya langsung dalam bahasa Inggris dulu? Well, bukan cara yang lazim dalam mengarang, hehehe. Tapi tak apa, yang penting khan bagaimana hasilnya dalam bahasa Indonesia, ya gak?

Hal pertama yang menarik dari novel ini adalah desain sampulnya yang cukup rame yang menyedot perhatian. Bergambar seorang pendekar/ satria ala Manga dengan paduan warna merah/ jingga, ada tipografi FIREHEART yang bagus di bagian dahi sampul. Keren juga, hanya saja eksekusi wajah sang satria (hanya wajahnya aja!) yang menurut saya kurang rapih digarap, masih seperti gambar-gambar fans-fictions.

Dengan keseluruhan desain seperti itu, terkesan buku ini ditujukan buat pembaca selevel SMP atau SMA/ Kuliahan. Walau ternyata di dalam ceritanya sendiri memiliki target pembaca dewasa umum, dan memiliki elemen entertainment yang memang lebih mengarah pada pembaca dewasa umum.

Kisah FIREHEART sudah cukup biasa dijumpai dalam genre Fantasy, yaitu perjuangan kebaikan melawan kejahatan, namun memiliki suatu 'twist' yang cukup menarik juga. Demikian juga moral development yang dikandungnya, juga tidak biasa dan cukup bergizi. Sepanjang membaca buku ini, rasanya saya dapat menikmati gaya tulisan Andry tanpa kesulitan atau kening berkerut, berkat penerapan bahasa tulisan yang tidak neko-neko (tapi ada catatan mengenai ejaan). Dan memang, ada beberapa aspek yang menarik perhatian dari karya pengarang ini.

Perhatian pertama, pada adegan pembuka (yg sejak tulisan ini dibuat, ada forum yang ngebahas hal yang sama juga), yang secara setting mirip sekali dengan Novel Misteri Pedang Skinheald-nya Ataka buku pertama, Suatu kemiripan yang tidak mungkin tak saya singgung dalam review ini.

Adegan pembuka FIREHEART adalah adegan "penyegelan pedang" Kraal'shazar alias Pedang Iblis Pembantai oleh tiga orang penyihir: satu penyihir senior Azrael, satu penyihir elf perempuan bernama Carolyn, serta satu ilmuwan Theripedes. Di buku Ataka, ada adegan penyegelan pedang Skinheald oleh penyihir pria Greylay, seorang penyihir wanita, Mildebest dan seorang pria jenius, Pryraf.

Tentu saja, kemiripan ini terbuka untuk diinterpretasikan macam-macam oleh publik, sekalipun demikian publik pun harus mengakui bahwa hanya sebatas itulah kemiripan yang ada, selebihnya masing-masing novel memiliki orisinalitasnya sendiri-sendiri. Dan lagi, jalan cerita selanjutnya juga jauh berbeda.

Tapi bicara orisinalitas, saya justru punya perhatian kedua. Mengenai Setting (Apa barunya seorang FA Purawan ngomongin setting? Hehehe). FIREHEART menggunakan setting medieval barat secara utuh dipakai tanpa merasa perlu susah-susah menciptakan setting sendiri. Maka di dalamnya terdapat ras-ras manusia, elf, orc, hobgoblin dan sebagainya, dengan dunia Eternia yang berasa mirip dengan dunia apapun yang mengambil setting medieval. Kurasakan banget bahwa pengarang mengambil setting yang ada dalam game RPG semacam WarCraft series atau Dungeon & Dragon series. Salah satu indikasinya aku lihat di penggambaran kaum Orc yang lengkap dengan ciri-ciri fisik dan ciri budayanya, yang rasanya mirip dengan game WarCraft, termasuk juga konvensi penulisan namanya.

Nah, sedikit bertentangan dengan ajaran "Hayo seriuslah dalam menciptakan universe mu" dalam penulisan novel Fantasy (yg sering mengandung pengertian intrinsink: ciptakan duniamu sendiri), saya melihat bahwa kiat pengarang dalam memakai dunia yang "udah jadi," merupakan salah satu kiat aman, terutama bagi pengarang fantasy pemula. Yeah, kalo bikin sendiri susah, kenapa gak pakai yang sudah ada saja? Yang penting be serious with it, patuhi juga hukum-hukum yang sudah ada di dalam dunia tersebut sehingga engkau akan tetap konsisten. Nah, dalam hal ini saya amati bahwa pengarang juga tidak asal ceplokin dunia orang; pakai dipelajari dulu, diriset dulu secara memadai. Hal itu membuat pengarang jadi punya kepastian sikap dalam mengendalikan karakter-karakternya di dunia Eternia, karena udah paham apa batasan dan apa ruang-ruang yang bisa dipakai untuk manuver.

So, bukan termasuk kreatif dalam penilaian gue, tapi memang aman dan workable, nevertheless. Dan saya tidak serta-merta menilainya sebagai negatif.

Dan penerapan dunia ready made itu juga nggak tanggung-tanggung, kupikir, sebab dunia Eternia ciptaan (baca: terapan) pengarang kurasa cukup lengkap. Dia punya sistem keagamaan (sangat jarang disentuh di novel Fantasy) dengan Vadis sebagai tuhannya, sampai ke sistem ekonomi. dan perbankan. Sistem ekonominya sendiri menarik, sebab di dalam novel ini cukup clear, jelas, dan cukup 'masuk akal' bagaimana seseorang mencari uang di Eternia (walau cara pengiriman uang di bidang perbankan Eternia menurut gue udah di luar keterbatasan logika universe).

Antara lain, sebagai pemburu. Kalau kau menjadi pemburu Orc, maka kau bisa mengoleksi items yang bisa ditebus dengan sejumlah uang oleh pejabat pemerintah. Ini bisnis yang cukup lukratif, sehingga bahkan para pemburu sampai dapat mendirikan 'guild' segala. (Kurasa, dari sini juga sub judul: Sang Pemburu, berasal, yaitu menjelaskan status tokoh utama Robert Chandler sebagai si Orcbane alias pemburu Orc). Dan di guild ini kau bisa browsing proyek-proyek penangkapan Orc, Troll, bandit etc laksana pengumuman tender di instansi pemerintah. Lucu, tapi toh terasa cukup masuk akal untuk dunia Eternia.

Nah, keseluruhan setting yang memiliki dunia lengkap, ras penghuni yang beragam, serta sistem ekonomi. Di kepalaku langsung bersinar bola lampu: Franchise! Ya. Dunia Eternia memang sudah tergelar cukup lengkap bahkan bila akan 'dijual' sebagai setting game on-line, setting novel lainnya, atau apapun. Good idea.

Akan sangat gampang ngembangin sebuah game RPG yang dimulai dari, let's say, a Guild, kamu jadi pemburu kelas rendah memburu Orc, dapat uang, upgrade perlengkapan, sambil mengikuti kisah Robert Chandler di latar belakang, bahkan kalau kau beruntung, kau bisa ikut bergabung dengan pasukan pemburu yang masuk ke gua Kuil Enia bersama Robert Chandler! Saya pikir, boleh jadi pengarang memang sudah mempersiapkan Fireheart ini dengan commercial aspect in mind, dan saya menganggapnya sebagai suatu strategi bagus untuk napas yang lebih panjang.

Bicara alur ceritanya sendiri, buat saya cukup memikat walau tak membuat saya terkagum-kagum. Standar lah. Bahkan, karena terkait temponya sebagai sebuah kisah trilogi, bagian depan novel terasa agak melantur, saat pembaca harus mengikuti flash back riwayat Robert yang agak jauh ke belakang (satu sub-plot yang mendingan juga dibikin sebagai prekuel aja). Sampai lebih kurang setengah tebal buku, pembaca belum masuk ke konflik utama mengenai pedang tersegel.

Yap, persis game RPG di mana si pemain harus menjalani side-quest segala. Contohnya kunjungan ke negeri Kurcaci Grad, yang sesungguh tak terlalu penting dalam bangunan plot, sebab konflik-nya ternyata cuma konflik semu.

Untuk karakterisasi, well, tokoh-tokoh utama kupikir udah cukup klise ala Fantasy RPG Jepang, lah. Robert yang berwajah tampan tapi dingin, atau Carolyn yang berambut pink, serta Chris yang tolol dan naif, sangat mudah membayangkan tokoh-tokoh semacam itu berada dalam setting game. Setiap tokoh sudah tampak memiliki peran yang jelas, baik sebagai tokoh protagonis maupun antagonis. Ada beberapa tokoh yang kelihatannya sengaja diberi muatan misteri untuk membuat pembaca penasaran terhadap perannya selama di trilogi (which is akan banyak potensial di situ). Tapi sejauh yang saya baca, menurut saya karakter-karakter tersebut masih condong ke hitam-putih, masih kurang dalem. Untuk karakter Chris, apapun peran tersembunyi yang disematkan oleh pengarang terhadap karakter itu di kemudian hari, kurasa dalam buku satu ini tergolong sebagai suatu kesia-siaan yang menjengkelkan. Tapi oke lah, memang cukup potensial sebagai faktor kejutan kelak :)

Sekarang mari bicara hal-hal yang membuat saya kurang 'sreg' (jadi yang tadi itu masih termasuk 'sreg', toh??)

Pertama, masalah penamaan. Nama tokoh utama Robert Chandler, Carolyn, dan Christoper, nginggris banget. Memang masih sesuai sih dengan setting yang dipilih. Tapi saya masih kurang sreg, aja. Buat saya, mendingan pengarang bikin aja konvensi nama+julukan yang rasanya lebih fit dalam setting Eternia sekaligus memberi bobot karakterisasi tambahan pada para tokoh, misalnya nama seperti "Sage Hati Api" (Sage The Fireheart), sekalian aja Robert The Orcbane, atau Carolyn Tongkat Api atau apalah. Nama kayak gitu masih lebih 'bunyi' dibanding sekedar Robert Chandler.

Kemudian masalah jurus-jurus. Ada banyak banget jurus, euy! Termasuk summoning ala Final Fantasy juga. Semua jurusnya punya nama yang cantik-cantik. Persoalannya, kupikir pembaca hanya bisa mengingat sebagian kecil dari nama jurus-jurus yang mirip-mirip itu, alih-alih untuk mengingat bagaimana bentuk jurusnya. Gue sendiri hanya bisa mengingat dua jurus milik si Don Hernan, berkat penggambaran yang cukup deskriptif di saat pengarang menjelaskan jurus tersebut. Idealnya, harus ada waktu bagi pembaca untuk bener-bener meresapi jurusnya dan membayangkannya melalui beberapa sesi pertempuran, sebelum jurus tersebut dapat digunakan sebagai pengganti deskripsi aksi sang tokoh.

(Tapi di sisi lain, banyaknya jurus ini juga akan menjadi gimmick yang menjual bila cerita ini akan dibikin sebagai basis game RPG, secara bumbunya game RPG adalah adegan-adegan berantem menggunakan jurus-jurus, hehehe,...)

Kemudian, starting adegan Gua Enia, mulai banyak terdapat tokoh-tokoh sampingan, yang membuat petualangan memasuki gua itu terasa begitu massal dan mengalihkan perhatian pembaca dari POV tokoh utama si Robert Chandler. Begitu banyaknya yang masuk gua, dan yang jadi korban di dalam gua, sampai saya sendiri lost count. Lho kupikir tinggal dikit setelah masuk ke halangan anu banyak yang tewas, ga taunya koq masih banyak juga sisanya. Jadi dimensi volume dan jumlah menjadi agak kacau pada adegan masuk gua ini. Dan memang dalam pikiran saya, quest masuk ke gua adalah quest yang praktisnya dilakukan sekelompok kecil, bukan rombongan besar. Kalau mau besar lebih mendingan bikin quest masuk istana kuno aja,... hehehe.

Selain itu buat gue missi masuk Gua Enia ini kurang punya dasar plot yang jelas dan kokoh. Rasanya seperti sedikit dipaksakan, adanya suatu situasi dimana dua kelompok pendekar (terang vs gelap) harus masuk ke sebuah kuil (baca: Benteng) yang suppose to be dibuat dalam rangka mencegah pedang iblis diambil orang, tapi kemudian mengundang orang-orang agar menjebol sistem keamanannya secara bersama-sama! Buat gue sih gak masuk logika. Artinya, plotting pengarang kurang kuat di aspek ini.

Kemudian, tidak ada peta! Halah, di saat novel terbitan lain memiliki peta yang kukritik tidak sinkron dengan cerita, novel ini malah memiliki cerita yang badly (and rightfully!) needs a worldmap, tapi justru kagak ada! Dunia Eternia cukup kompleks dan dalam penceritaan kurasakan bener betapa butuhnya pembaca akan sebuah peta yang bisa menjelaskan posisi dan situasi alam Eternia. Moga-moga dalam terbitan seri 2 peta tersebut bisa dihadirkan oleh penerbit (karena setahu saya, pengarang pernah menyatakan bahwa beliau sudah membuat konsep peta untuk Eternia).

Kemudian, mengenai "Legenda Paladin", well,... boss, mana legendanya? Kasus sama dengan "Legenda Amigdalus"-nya Zauri nih, satu buku dibaca abiss kagak ketemu tuh legenda, at least something as important to be considered as legend dalam cerita ini, hehehe. Entahlah, kalo menurut gue sih mustinya sejak buku pertama pembaca sudah harus punya pemahaman mengenai legenda tersebut, apa relevansinya dan kepentingannya, sehingga pengarang akan mudah menjalinkannya dalam plot dan kisah. Dan bayangan gue sih, kalo ada yang namanya legenda PALADIN, mustinya kultur mengenai Paladin itu sendiri akan berbekas kuat dalam universe Eternia, dan akan sangat jelas terlihat di mata pembaca. Yang sekarang, gue rasa belum banget, tuh.

Yang terakhir adalah mengenai typesetting atau ejaan. Apakah memang tidak ada konvensi ejaan dalam tata-cara penulisan dialog dalam novel? Flow baca saya sangat terganggu dengan moda penulisan new paragraf setiap kali ada tanda petik dialog. Jadi setiap kali seorang karakter berbicara, maka lay-outer selalu menempatkan line dialognya sebagai paragraf baru, regardless konteks bicaranya bagaimana.

Sehingga sering suatu dialog yang sebetulnya merupakan kelanjutan dari aksi sebelumnya, menjadi putus-flow. Contohnya seperti ini:

Amir menjawab,

"Selamat Pagi, bu guru"

-----------------------

Padahal seharusnya lebih pas (sesuai konvensi?) bila dituliskan seperti ini:

Amir menjawab, "selamat pagi, bu guru".

----------------------

Akibat dari moda penulisan seperti di atas, terus terang saya membacanya jadi seperti terlompat-lompat (secara mental), dan ini sangat mengurangi kenikmatan membaca.

Padahal, buku ini menggunakan ukuran, jenis font serta pengelompokan spacing intra paragraf yang paling enak di mata. I wish buku lain seperti ini, alih-alih menggunakan font sans sheriff untuk body text dengan ukuran gede dan penulisan rapat-rapat yang membuat white areanya jadi malah lebih dominan dibanding huruf! Nah, untuk Fireheart, tulisannya enak di mata dan mudah dibaca.

Di luar semua kekurangan, saya menganggap serial Fireheart ini, walaupun belum menjadi sebuah epik atau saga yang memukau, tetap memiliki kelebihan berupa paket universenya yang lengkap dan well thought, sekalipun itu pinjaman dari universe eksisting lain. Demikian lengkapnya sehingga akan mudah bagi siapapun (tidak hanya pengarang) untuk membuat produk spin-off yang berlandaskan universe Eternia. Dan kurasa, hal itu merupakan suatu hal yang baru dan prestasi tersendiri dalam konteks industri penulisan Fantasy di tanah air.

Buat Andry Chang, selamat, dan cepetan dikebut aja tuh sekuelnya,... hehehe,...

Salam,


FA Purawan

12 komentar:

dejongstebroer mengatakan...

Mas Pur..
Aku baca fireheart kok agak mbingungi ya?
Baru Pendahuluan sih... yg segel-menyegel itu..
Agak kurang sreg aja tentang motif si Robert melakukan misinya (aku baca dari sinopsisnya : HANYA DEMI CINTA!!!
Realistis sih, tapi kurang bombastis. Kalo gitu tiap orang juga bisa menyelamatkan dunia kalo demi Cinta kepada seorang wanita?
Lebih bombastis kalo si Robert "YANG DITAKDIRKAN", "YANG TERPILIH" atau "YANG DIRAMALKAN" sebagai penyelamat dunia (meskipun terlalu umum bagi cerita fantasi)
Tapi makasih buat repiunya

FA Purawan mengatakan...

@dejong,

Misi demi cinta sebenernya gak salah, sih. Cuma memang kalo pengarang nggak bisa memberikan hubungan sebab-akibat yang jelas dan 'strong', maka pembaca akan merasakan gap seperti yang elo rasakan.

FA Pur

Andry Chang mengatakan...

Ew... sebenarnya motif si Robert melakukan misinya bukan demi cinta, dan semula misi itu memang ditolak karena mengandung jebakan, tapi Iris menyadarkan Robert akan pentingnya misi ini demi keselamatan dunia.

Justru saya sudah skeptis kalau suatu tokoh itu sejak semula sudah jadi "YANG TERPILIH", "YANG DIRAMALKAN", atau "YANG DITAKDIRKAN". Memang kelak Robert akan jadi salah satu dari 12 Paladin dalam ramalan, tapi itu haruslah takdir yang terungkap setelah melalui berbagai tantangan dan perjuangan luar biasa. Seperti ungkapan dalam film "The Last Samurai": "One will strive his best, follow the path until his destiny is revealed on him."

Soal bagaimana nanti Robert bisa bersatu kembali dengan Eloise, itu justru misteri yang akan dijawab tuntas di buku 2.

Yah, saya akui banyak sekali kekurangan dari proyek FireHeart yang 100% idealis ini, walau sebanyak apapun research yang sudah saya lakukan. Terlalu mengikuti metode "What you see is what you write" memang memiliki kelemahannya sendiri, apalagi kalau tidak didukung oleh latar belakang akademis atau expertise tertentu, misalnya sastra.

Sinopsis di cover belakang memang kadang ditanggapi berbeda oleh beberapa orang, dan faktor peran layouter dalam menanggapi gaya dialog yang saya pelajari dari novel2 karya David Eddings juga sampai2 disebutkan di sini.

Tentang peta yang tidak dimasukkan dalam novel (tapi ada di website) itu memang kesalahan saya yang tidak sekalian men-submit peta itu sekalian dengan 7 ilustrasi dalam novel yang sudah saya buat.

Juga, kenyataan bahwa adanya kemiripan dengan novel lain itu adalah kebetulan yang tidak disengaja dan mengurangi nilai orisinalitas ide Fireheart, walaupun saya akui memang novel ini sarat inspirasi terutama dari Final Fantasy, Dungeons & Dragons, Warcraft, Getamped dan SEAL Online.

Jadi, semua kritik dan saran yang telah diungkapkan Mas Pur, dejong dan teman2 lain pencinta fiksi fantasi khususnya di forum-forum adalah masukan yang sangat berharga bagi saya dan saya terima dengan senang hati.

Semoga saja nanti FireHeart dapat benar2 "survive" di pasar novel Indonesia yang sekarang ini sedang diserbu oleh sensasi Laskar Pelangi dan Brisingr - Christopher Paolini, supaya cetakan kedua "Sang Pemburu" bisa terbit dan buku kedua FireHeart - Legenda Paladin yang bertajuk "Sang Pewaris" akan lebih impresif dan menghibur.

Sekali lagi, terima kasih banyak.

Anonim mengatakan...

Sblmnya, makasih banyak buat reviewnya. :D

Beda sama yg bilang kalo alasan "demi cinta" itu realistis, mnrt gw malah gak realistis nih. :hmm:

Coba bandingin ama adegan pembuka game PS2, Okami. Di sana jg ada adegan pedang Tsukiyomi yg menyegel Orochi dicabut dari tempatnya, dan alasannya sederhana tapi mnrt gw realistis: krn si pencabut ingin membuktikan bahwa legenda Orochi itu bohong supaya dia gak terbebani dgn status yg pernah disandang moyangnya sebagai penyegel Orochi.

Mnrt gw itu sederhana dan lbh realistis. :D

Hehe.

Danny mengatakan...

Habis baca review-nya Om Pur ini baru kerasa kalo Legenda Paladin emang ga disebut sama sekali di novelnya. Kenapa ya? Hmm....

Sedikit ngasih pendapat nih, latar belakang Robert itu kayanya ga berhubungan sama cinta deh. Secara cerita soal cinta udah hampir ga ada lagi sejak kisah masa lalu Robert selesai diceritakan di bab tiga. Jadi itu ga berhubungan dengan cinta.

Dan aku lebih ga suka kalo alasan seorang pahlawan menjadi pahlawan adalah karena dia "ditakdirkan" untuk itu. Seolah-olah apapun yang terjadi karakter itu bakal menang n nyelametin dunia. Aku justru lebih suka kalo orang jadi pahlawan sebagai akibat dari pilihan2nya di masa lalu.

Oya, sekalian ngasi tau nih. Resensi Fireheart juga udah bisa dibaca di blog-ku, rakparabuku.blogspot.com
Buat yang mau baca dipersilakan kesana (promosi ga tau malu. Hehehehe.)

Andry Chang mengatakan...

Kenapa Legenda Paladin tidak dijelaskan di seluruh cerita?

- Karena para pahlawan yang baru tampil di buku 1 belum diangkat menjadi Paladin. Perang Suci belum dimulai. Kalaupun mereka pada akhirnya diangkat jadi Paladin, itu karena jasa2 mereka di masa lalu, bukan karena semata2 memenuhi ramalan Azrael. (Pilihan2 di masa lalu - Saya setuju itu!)

- Karena itu "Legenda Paladin" diset sebagai judul utama Trilogi, bukan judul buku 1. Mereka yang nantinya jadi Paladin masih berstatus sebagi "Pemburu" saat ini.

- Adanya side-story bab 4-5 dan karakter2 baru yang terlalu banyak yang berebut jadi POV utama ini adalah eksperimen (yang sepertinya tidak efektif)untuk menterjemahkan bahasa "komik"/"gambar" jadi bahasa "tulisan". Sayang juga, padahal ini sangat berhasil di komik2 Tony Wong yang jadi bahan riset saya.

Dan ini juga eksperimen yang menterjemahkan unsur RPG ala Final Fantasy VII (kumpulkan dulu the party lewat konflik2 sampingan, baru masuk lagi ke konflik utama) karena "kebosanan" saya dengan novel yang melulu urgent dan yang melulu nyantai, dan pemikiran idealis untuk mengkombinasikan keduanya.

Kenapa jadi seperti pasukan ramai2 masuk ke Kuil Suci Enia? Karena banyak "pendekar tak diundang" yang "nebeng" dengan motif yang berbeda2. Ada yang murni ingin melindungi pedang, ada yang ingin merebutnya untuk digunakan sendiri. Jadi bisa saja seluruh misi ini, seperti yang diungkapkan oleh Robert sudah "tidak suci" lagi, mengandung jebakan dan konspirasi busuk, jadi begitu identitas Sang Pewaris diketahui, jalan dia sudah mulus.

Sang Pewaris kan tidak menunjukkan jati dirinya sampai saat Chimera terdesak, dan seluruh pendekar sudah terjebak hanya bisa maju karena golem2 ciptaan Theripides ternyata dibuat malah untuk memuluskan jalan Sang Pewaris dan membuat konspirasi ini berhasil. Hanya para Elf yang murni ingin melindungi pedang, dengan membuat petunjuk2 dan ujian2 hati yang diharapkan dapat mengungkap jati diri sang Pewaris.

Plot cerita yang aneh dan karakter yang bejibun juga tak terlepas dari saya "memaksakan" konsep Tarot pada plot dan karakter dan "memaksakan" untuk membuat versi fiksi sejarah 12 Paladin Charlemagne.

Dan dengan alasan idealis pula saya sengaja menonjolkan beberapa karakter yang sebenarnya adalah peran pembantu tapi yang sebenarnya mengalami kejadian yang lebih menarik, jangan maunya Robert melulu. Mungkin bisa lebih oke kalau dijabarkan dalam komik, dan saya sudah belajar xtra lagi supaya POV bisa lebih stabil dan nggak terlalu "omniscient".

Mungkin konsepnya memang terlalu rumit dan sebagai debutan saya kurang mampu memilih kata2 yang tepat untuk itu, sekali lagi saya minta maaf.

Main conflict:
Mencegah Vordac kembali berkuasa di Dunia Eternia lewat Sang Pewaris (judul buku 2)

Side conflict 1:
Konflik pribadi Robert berupa dendamnya pada orc (beres di bab 7) dan cintanya yang terlarang (akan dituntaskan di buku 2)

Side conflict 2:
- Kebutuhan Robert akan rekan2, bertemu Chris & Carolyn yang kelihatan parah tapi potensial
- Membantu Bapa Andreas yang "dikerjai" saudara2nya di Grad

Kesimpulan: Too much detail, dan harus mematangkan "Show, don't tell". Itu sudah coba diperbaiki di buku 2 & 3.

Ntar semua tanggapan ini bakal gue copy-paste ke fantasindo.blogspot.com (bila timingnya sudah tepat). Hehe, itung2 latihan buat bedah buku.

FA Purawan mengatakan...

@Andry:
Quote:
Kenapa jadi seperti pasukan ramai2 masuk ke Kuil Suci Enia? Karena banyak "pendekar tak diundang" yang "nebeng" dengan motif yang berbeda2. Ada yang murni ingin melindungi pedang, ada yang ingin merebutnya untuk digunakan sendiri. Jadi bisa saja seluruh misi ini, seperti yang diungkapkan oleh Robert sudah "tidak suci" lagi, mengandung jebakan dan konspirasi busuk, jadi begitu identitas Sang Pewaris diketahui, jalan dia sudah mulus.

========================

Oh, kalo gitu, IMO rasanya lebih baik kalo sebagian halaman awal dicurahkan untuk menggambarkan situasi 'kondisi masyarakat sebelum peristiwa Gua Enia' ini, instead of side story masa lalu Robert ataupun kisah Andreas.

Menurut gue, ketika sudah sampai segitu banyak pendekar dengan motif masing-masing bergabung (bahkan tanpa diundang) dalam missi ke Gua Enia, berarti legenda pedang itu memang sangat hidup di dalam masyarakat.

Seandainya elo bisa menggambarkan legenda tersebut melalui bagaimana kehidupan sehari-hari sampai terpengaruh olehnya (misalnya kalo di kita, legenda tentang Ratu Adil atau Satria Piningit etc), maka alasan orang-orang beramai-ramai masuk ke gua Enia dapat lebih terlihat masuk akal.

Side-storynya Robert maupun Andreas dapat diselipkan di situ, berupa fragmen-fragmen kecil, seperti fragmen memori gitu, jadinya bahkan lebih menarik buat pembaca.

Salam,

FA Pur

Andry Chang mengatakan...

quote: Oh, kalo gitu, IMO rasanya lebih baik kalo sebagian halaman awal dicurahkan untuk menggambarkan situasi 'kondisi masyarakat sebelum peristiwa Gua Enia' ini, instead of side story masa lalu Robert ataupun kisah Andreas.

"Situasi masa lalu kondisi masyarakat sebelum peristiwa Kuil Enia" = itu adalah dua prekuel dari Legenda Paladin yang adalah trilogi2 tersendiri: Hati Sang Penakluk dan Pedang Pembebas

Selebihnya saya hanya bisa bilang sekali lagi ini adalah plot idealis gaya RPG Final Fantasy 7.

Karena memang sudah terbit dan dicetak, sudah tidak bisa diedit lagi, dan versi Bahasa Inggrisnya tidak akan diedit terlalu drastis sehingga merusak pola tarot dan karakter2 yg sudah ada, sudah mengakar sampai ke buku 3...

Makasih banget atas reviewnya yang mendalam...

vie mengatakan...

wah, review om pur memang selalu bisa diandalkan, hehehehe...

= snoopiez =

Juno Kaha mengatakan...

Hmm, sepertinya ada gejala2 "banyak yg perlu diceritakan, tapi gak ada tempat yg pas dan cukup". :D

Itu memang masalah utama dunia fantasi sih mnrt gw. Krn dunianya beda dgn yg biasa dikenal, alhasil deh ada byk yg hrs dijelaskan.

Dan, mnrt gw, logika mendasar semacam alih2 melindung malah nerobos masuk itu sebaiknya lbh diperhatikan lagi lho. :| Itu cukup fatal kalo kebanyakan salah. Salah yg skrg aja udah termasuk fatal.

Hehe.

calaster mengatakan...

kk,

sekuel FIRE HEART dh keluar pa blom...???

dah gak sabar nie....????

Novera Xaliber Reginhild mengatakan...

IIIIIIIIIIIII.........H, BAgus banget..!