Data buku:
Penerbit: AKOER
Editor: Aries Rayaguna Prima
Tata Letak Isi: Ibenk Bonanno
Fotografi: Andry Photography
Tebal: 405 halaman
Keren,....... Banget.
Maghrib tanggal 17 November 2008, saya menutup buku karya Nafta S. Meika ini dengan perasaan puas campur aduk, seolah-olah ledakan Chi sang tokoh pendekar dalam buku ini masih terngiang-ngiang dan mengaduk-aduk Chi saya sendiri, menjadikan tubuh panas dingin dan kepala seperti melayang dalam ekstase.
Duile, segitu hebohnya pengaruh sebuah novel?
Atau, simply karya Nafta memang merupakan sebuah masterpiece? Ups, mungkin saja aku terlalu terburu-buru. Kata orang, satu karya belum dapat membuat kau bicara masterpiece, harus dikomparasi dengan karya-karya lainnya dulu. Sekalipun sudah pernah ada karya lain dari pengarang yang lebih dulu terbit (Rhadamanthus: The #1 Campus Hacker - 2005), Tanril ini tetap didapuk sebagai sebuah karya debutan, alias karya pertama dari seorang Sarjana Teknologi Pangan dari Universitas Pelita Harapan. Entah mungkin maksudnya "pertama" dalam konteks genre silat atau apa, kurang tahu deh.
Tapi jelas, bahwa terhadap karya ini, saya terpaksa mengeluarkan jurus-jurus simpanan dalam menggelar review saya, karena kiranya dengan cara yang biasa tidak akan mempan. Oleh karena itulah, sebelum menulis saya sudah mempersiapkan setumpuk panah-panah beracun, gendewa wasiat peninggalan Majapahit, pedang pusaka Bu Tong Pay yang selama ini saya simpan di safe deposit box BCA, keris Nagasasra yang saya titipkan di kantor redaksi Buana Minggu, sederet botol-botol penuh racun tujuh dunia, empat kitab pusaka Shaolin Wetan yang demikian wingit rahasianya sampai orang-orang Shaolin sendiri gak tahu bahwa ada Shaolin Wetan, serta dua belas jilid buku strategi perang dari Negeri Utara sampai Selatan. This one, harus dihadapi dengan sangat serius dan penuh perhitungan.
Tanril, di saat pertama kucomot dari rak buku Gramedia, muncul di antara sederetan novel silat baru yang terbit bersamaan di kisaran bulan Oktober. Kalau tak salah ada dua judul selainnya: Pelangi di Glagahwangi (S. Tidjab) dan serial Pangeran Anggadipati (Saini KM, yg tiga seri). So, positioning awal-nya kukira sebangun dan sejenis dengan genre silat klasik Nusantara yang sedang mengalami (sedikit) revitalisasi itu (dengan penuh harapanku, agar pasar pun menyambutnya. Jangan sampai genre silat mati!). Otomatis kupikir novel ini tak akan beda terlalu jauh.
Namun kulihat sedikit keganjilan pada cover novel. Ada kekurang-harmonisan layout yang membuatku mengerutkan kening. Cover depan bergambar foto sebentuk Cincin kepala Naga berlatar putih yang resik, dengan tulisan kapital TANRIL (huruf I-nya diganti semacam foto tusuk konde China). Rapi jali sehingga berkesan desain layout novel modern (jadi ingat covernya "Gelang Giok Naga"). Kalo rumah, maka padanannya adalah konsep rumah modern minimalis. Tapi Cover belakangnya secara cukup ancur digelar menurut pakem layout Metromini: Lukisan ilustrasi Silat Cina klasik dimontase dengan dua textbox dengan font berantem-sangat. Satu font Arial, dan di bawahnya font miring-sambung di-bold. Padat, memusingkan mata, dan sangat tak berselera dibandingkan cover depan. (DAS!! Sebuah sengkatan kaki kananku berjuluk jurus "Kepodang Jantan berbulu Kuning membersihkan tongkol Jagung di Pagi Bulan Desember" mengena telak, membuat pendekar Tanril terjerembab! Ha ha!)
Coba, cover depan dan belakang gak kompak. Yang bikin mungkin dua orang berbeda.
Tapi toh isi teks box itu membuat lenganku, yang hampir mengembalikan sang buku aneh ini ke tempatnya, terhenti. "Fantasi unik,...Kho Ping Hoo Kontemporer,...menggabungkan The Matrix dan Sin Tiauw Hiap Lu,....". Entah who the hell yang bikin endorsemen ini, tapi yang jelas aku jadi tertarik.
Walau sinopsis yang berada di box tulisan miring-sambung-bold itu juga tak menolong banyak, sebab sangat terkesan sebagai sinopsis Kho Ping Hoo-iyah biasa, cuma ada satu detil kecil yg bikin curious, ada nama "Kurt Manjare" disebut sebagai "pendekar eksentrik yang pilih tanding". Kurt? Nama pendekar yang nggak umum. (Dan kurasakan si Pendekar Tanril mulai pasang kuda-kuda. Hawa pembunuhnya mulai menggetarkan udara. Tapi aku tak gentar,...). Sepotong nama kecil itu membuat instingku bekerja. Something is not right, here,.... ada yang gak biasa, dan it's worth an investigation. So, berpindahlah buku itu ke kantung belanja gue.
Dan saat gue buka halaman pertama,.... mataku langsung mengeluarkan tangisan darah: ALAMAK, TULISANNYA KECIL-KECIL BANGET! Dengan font sekecil itu memadati sehalaman kertas, saya seperti melihat sebuah naskah di kertas ukuran Folio ber font 12 difotokopi perkecil 30%. Bayangin 'cape-deh'nya. (pedang Bu Tong Pay ku langsung menyambar bagai angin moonson, sebuah pembedahan telak pada layout isi, si Pendekar Tanril tak bisa lari kemana-mana lagi. Mampuslah si Ibenk Bonanno itu,.. hihihi). Entah apa maksud penerbit dengan mencetak siksaan mata seperti itu. Jelas genre buku ini adalah konsumsi awak usia separo baya yang matanya sudah pada lamur. Apa harus bawa-bawa suryakanta, lah kami? Anak-anak muda pun mana pulalah tertarek membaca novel bertuliskan mungil begitu ropa.
(Kupersiapkan pukulan terakhir di bidang layout dengan jurus "Badak Ngajugruk Nyaruduk tanpa Ampun" yang dijamin membuat Pendekar Tanril tertekuk sembilan lipatan). Dan pengarang (atau layouter?) juga membuat blunder kedua: paragraf ala Amerika tanpa hanging indent (seperti layout blog ini) yang kurang familiar untuk novel, serta kekacauan konvensi penggunaan huruf italic (huruf miring) pada teks. Yang terakhir ini, bagiku benar-benar membuatku kacau. Dialog ditulis dengan huruf miring, membuat otakku acap salah menerjemahkannya menjadi bahasa pikiran si tokoh. Ada juga narasi yang dicetak miring, tanpa jelas apa penyebabnya. Terus terang saja, tempo membaca saya jadi melambat secara signifikan akibat hal ini. Saya butuh 3 mingguan untuk menyelesaikan Tanril, despite cerita dan penulisan yang sesungguhnya bener-bener memikat gue.
Jadi, satu hal yang saya pelajari hari ini: Eksperimen penulisan paragraf non-konvensional, jarang-jarang-jaraaang sekali bisa berhasil. So beware.
Kemudian satu lagi glaring nuisance yang saya temukan di buku Tanril: Settingnya nya ga jelas mau ke mana. Awalnya kupikir setting ala Tiongkok berkat penamaan-penamaan bahasa Mandarin serta suasana yang mirip dengan settingan Kho Ping Hoo. (Keris Nagasasra mulai dicabut dari warangka-nya, menyambar cahaya kuning menyilaukan,...). Tapi kemudian muncul nama yang aneh, Wander Natalez Howard, kadang dipanggil Wuan,... terus nama-nama lainnya tak kalah aneh, Kokru, Fyure, Miar, Asyu, Chiru'un, Kota Fru Gar, Kurt Bodan Manjare, sampai pada Kerajaan Telentium,.... baru gue tersadar,... ini rupanya adalah sebuah Setting Fantasy! (Aku berdiri gamang, terpaku dalam ketertegunanku. Pendekar Tanril mengembangkan kedua tangannya ke samping, tersenyum samar, dan mulai mengibaskan tangan diikuti lengan bajunya berkebut ringan. Energi serupa asap kabut berwarna kelabu meluncur, sebagian besar menerjang kilau Nagasasra dan membuatnya redup bak pelita kehabisan minyak. Shin Jin Li Zan, tingkat pertama. Batinku tergetar, tapi aku berusaha bertahan dengan memperkuat kuda-kuda,...).
Selanjutnya novel membanjiri saya dengan nama-nama asing yang kini menjadi eksotis berkat paradigma yang sudah berubah. Karena ini setting Fantasy, saya jadi mulai bisa mentolerir nama-nama aneh yang 'tak pada tempatnya' bila kita menggunakan paradigma setting Tiongkok. Tapi jangan keburu senang, sebab saya tetap akan membaca secara kritis, terutama untuk menemukan apakah keberadaan nama-nama ini kontekstual atau sekedar asal tempel. Setidaknya, saya akan menemukan apa efek nama-nama ini terhadap eksistensi setting Fantasy yang sudah dibentuk pengarang. Apakah memperkuat, ataukah memperlemah setting.
Cerita novel ini sendiri sesungguhnya cukup klise sesuai pakem cersil. Ada seorang anak yang penyakitan (namun sesungguhnya memiliki potensi Chi luar biasa dalam dirinya) dari keluarga sederhana yang melalui perjuangan berliku menemukan guru yang mementaskan potensinya, kemudian menghadapi lawan berat sebagai salah satu ujian bagi ilmunya, sambil memecahkan tempurung diri-sejatinya melalui proses tersebut. Plot standar. (Aku menyunggingkan senyum pelecehku, "Dewa Selatan memandang rendah kepiting batu di bawah pasir", berharap membuat lawanku ciut nyali.)
Plot standar. Yang tidak standar adalah pengolahan setting dimana plot dimainkan. Harus saya akui, pemilihan latar belakang Tiongkok sebagai bahan dasar universe di Tanril merupakan salah satu approach yang unik untuk genre Fantasy. Sudah biasa bila pengarang kita menggunakan Setting ala Barat/ medieval, dengan kebudayaan pra Europa sebagai basis setting novel Fantasy mereka. Tidak terhitung sudah negeri-negeri berkastil dengan ksatria berbaju zirah, pedang double blade Eropah, konfigurasi Raja-Ratu-Pangeran-Putri yang monogamis dan berbentuk keluarga batih, petani yang tidak menanam padi melainkan gandum, peri, naga, penyihir, Elf, Kurcaci, Orcs, Troll, Goblin, Alkemis dan lain-lainnya bercita-rasa Eropah dikaryakan dan diolah oleh pengarang-pengarang kita, sehingga cenderung membentuk imaji tersendiri bahwa yang namanya 'Fantasy' pasti berlatar belakang 'kayak gitu-gitu'.
Approach 'adaptasi' yang mirip, tapi menggunakan latar belakang budaya yang berbeda, menjadikannya sebagai Fantasy yang fresh. Ya, kenapa harus Eropah? Kebudayaan Tiongkok rekaan juga tak kalah menariknya! Sama-sama mengandung elemen-elemen yang membuat cita rasa Fantasy terasa lekat di lidah. Ada Kebudayaan alternatif, ada kerajaan, ada karya seni (seni tenun kain ber-magic yang disebut Luan), bahkan sistem kerajaan yang mengadopsi Tiongkok juga terasa segar: ada Raja dan Permaisuri, ada Selir Pertama, Pangeran Pertama, Kedua, Ketiga, dan terasa ada sistem kerajaan yang lebih masif dari pada Eropah punya. Well, unik! Ada juga 'ARTS' (dari mana munculnya istilah bahasa inggris di universe Tanril ini?) untuk menyebutkan ilmu Silat, yang bukan hanya sekedar ilmu silat belaka, melainkan sudah menjadi suatu bagian dalam kebudayaan di dunia Tanril. Selain itu,ada sistem ekonomi yang berlandaskan pada komoditi 3 tanaman suci: Teh (Maliya), Kopi (Eniya) dan Cokelat (Kaliya), dimana keberadaan tiga tanaman ini dipengaruhi kondisi geografis, yang pada akhirnya mempengaruhi sistem politik dunia Tanril. Sebuah tata-aturan Universe yang lengkap! (Roh Hijau Gunung Biru -- Tingkat kedua dari Jin Li Zan dihembuskan oleh Pendekar Tanril melalui kedua telapak tangannya. Kuda-kudaku doyong ke belakang. Energi hijau ini tidak mematikan, tetapi membuat seluruh keberadaan seolah menjadi tunduk, berlutut di bawah pesona alam yang agung dan hangat. Aku memejamkan mata, berusaha memanggil Roh Gunung Es Utara agar diriku tetap diliputi hawa dingin sebagai energi penggores pena reviewku. Hooossss,... hoossss,... harus teteup obyektif! Hooossss,....).
Dan kebudayaan rekaan ini diperlengkap dengan sistem constructed languange (Con-lang), alias bahasa rekaan, yang ngaujubilah detailnya. Ada dua bahasa: Bahasa Clem (c) dengan Bahasa Zirconian (z), dalam kamus glosari yang kelengkapan detailnya membuat gue merinding. Bahasa Clem terkesan seperti bahasa Arabish, sementara bahasa Zirconia mirip bahasa Mandarin. Sekalipun pengarang tak memberikan rumus lengkap con-langnya, bagi yang membaca kamus glosari di halaman belakang dan petikan-petikan syair dalam either bahasa, pasti akan punya rasa bahwa Zirconian maupun Clem memiliki struktur dan makna lengkap sebagaimana sebuah bahasa utuh. Dan yang spesial buat novel Tanril, keberadaan bahasa ini sangat intergral di dalam cerita, termasuk dalam mengantarkan plot sekaligus memberi karakteristik Fantasy dalam setting yang sudah dibangun. Terutama bahasa Zirconia yang digunakan untuk menyenamai artefak kebudayaan penting dalam Universe Tanril, seperti karya seni Luan, nama-nama jurus arts, dan lain-lain. Dwi bahasa itupun hadir bukannya tanpa alasan. Bangsa/ Klan Clem saat itu 'menjajah' Zirconia. Akibat 'keakraban' pembaca dengan con-lang ini, nama-nama yang tadinya aneh seperti adonan nama eropah atau cina menjadi 'masuk' dengan rapih ke dalam universe. Sebuah keberhasilan telak, menurut gue.
(Pendekar Tanril maju selangkah, sementara tubuhku terlempar beberapa depa ke belakang. Pukulan Zirconian dan Clem begitu telak, membuat aku terpaksa melepaskan wilayah kedudukanku, dan majulah si Pendekar Tanril sambil menancapkan bendera: UNIVERSE SETTING: COMPLETE. Aku harus mengaku kalah untuk segmen ini!).
(Tapi, tentu saja aku belum menyerah! Kami sepakat mengaso sejenak. Pendekar Tanril memberi kesempatan padaku untuk mengatur napas dan memboreh luka-lukaku. Sambil duduk, kami bertukar teori mengenai ilmu Silat, ditemani cairan teh Maliya murni yang konon merupakan minuman raja-raja di Telentium ).
Dalam sebuah novel Silat, tentunya ilmu silat menjadi napas utama. Kalau dalam dunia Kho Ping Hoo, biasanya pertarungan silat dikaraterisasi oleh keberhasilan melumpuhkan lawan melalui totokan. Dalam dunia Miyamoto Mushashi, sang pemenang adalah siapa yang keluar hidup-hidup dengan katana di tangan. Bagaimana di dunia Tanril? Menarik sekali. Arts di Tanril memenangkan pertarungan melalui penghancuran fisik lawan dengan menggunakan tenaga yang diperkuat oleh Chi (alias tenaga dalam, alias 'The Force'). Dan seni silat dalam Dunia Tanril adalah seni mengolah Chi dari 'nol' sampai mencapai puncak optimalisasi yang bisa diraih manusia, alias nyaris tanpa batas (dengan sedikit catatan).
So, we're talking BIG FORCE right here! (catatannya, kelihatannya so far cuma si Wander aja yang memiliki kekuatan 'dewa' tersebut? Mungkin itu issue buat buku dua, kalleee??)
Chi dalam dunia Tanril digambarkan sebagai tenaga yang dibangkitkan oleh penggunanya, dan bisa disalurkan ke berbagai organ tubuh misalnya ke mata (untuk penglihatan ekstra perceptional), tenaga pukulan, penyembuhan, bahkan bisa disusupkan ke dalam benang-benang untuk ditenun menjadi Luan (albeit, sumber Chi dari Luan ini tampaknya agak misterius,....). Dalam pandangan mata ber-Chi, maka Chi seseorang pun dapat terlihat berupa warna-warna maupun bentuk-bentuk yang indah sekaligus menggiriskan. Dan dalam Universe Tanril, Chi ini dapat pula berinteraksi dengan empat unsur: Air, Api, Udara, Tanah. Well sekali lagi dalam Point of View genre Fantasy, sistem tersebut sudah dapat dikatakan lengkap. Apalagi pengarang berhasil merendanya secara integral ke dalam cerita.
(Kami bersiap, aku mulai mengeluarkan empat kitab pusaka Shaolin Wetan, sementara Pendekar Tanril memandangku dengan keheranan tingkat tinggi. Empat kitab kujejer sesuai mata angin: Utara, Barat, Timur, Selatan dengan diriku sebagai pusatnya. Setelah melalui serangkaian gerakan bukaan rumit, telunjukku menebas ke Timur, dimulai dengan Kitab Bintang Timur. Kitab melayang sepuluh senti, kemudian halaman demi halaman bergerak dalam fast-forward menampilkan jurus-jurus silat yang tak pernah terlihat di dunia manapun! Hah, jangan berani bicara jurus denganku!)
Perkembangan ilmu silat di Dunia Tanril berlangsung dalam bentuk pengolahan Chi, yg ibarat otot, dikembangkan sesuai dengan batas toleransi tubuh. Tentu saja di sini yang menjadi fokus adalah perkembangan Chi sang tokoh, si Wuan atau Wander. Metodenya tak usahlah dibahas. Tapi intinya kalau di Universe Tanril, 'jurus' adalah sesuatu yang tercipta oleh Chi itu sendiri, bukan serangkaian gerakan yang dilatih. Ini mirip konsep jurus dalam silat Nusantara, agak beda dengan konsep teknik bela diri Jepang atau Korea. Salah satu plot driver novel ini adalah bagaimana pengarang menggambarkan evolusi pencapaian ilmu si Wander. Mulai dari bocah penyakitan dan menjadi sansak teman-temannya, sampai menguasi 'Jurus' Shin Jin Li Zan tingkat 1: Kabut kelabu, tingkat 2: Roh Hijau Gunung Biru, tingkat 3: Putri Angin Emas, tingkat 4: Sabit Petir Merah, tingkat 5: Singa Kaisar Biru, tingkat 6: Katedral Samudra Aquamarine. Masing-masing jurus 'ditemukan' oleh Wuan dalam suatu proses pembelajaran, penyingkapan jati diri melalui pertarungan. Indah sekali prosesnya (dan penggambaran visual tiap jurus, pun!). Dan semuanya akhirnya meledak dalam satu klimaks pada jurus ultimatenya (untuk buku satu): Ho Wuan Siang.
Dalam battle finale-nya, jurus Ho Wuan Siang ini sempat keluar dalam skala terbesar dan terklimaks, yang sesungguhnya sedikit unbelievable dalam kaca-mata silat awam. Tapi menjadi mungkin dan sangat logis berkat kemampuan pengarang memberikan landasan mengenai kekuatan si Wander sesungguhnya.
(halaman-halaman fast forward mendadak berhenti. Buku Bintang Timur terjatuh ke tanah, PLUK!. Tubuhku masih bergaya tunjuk bintang timur, tapi jurusku telah meninggalkanku bersama semangat yang terbang meninggalkan wajah pucatku).
Mari bicara plot.
(Sigap kukemasi kembali kitab-kitab Shaolin Wetan ke dalam karung, dan segera kubabar meja kayu rendah, taplak kuning segi tiga, tabung bambu berisi tiga hio menyala dan kujejerkan botol-botol tujuh racun dunia, sekali lagi dibawah tatapan mata takjub si Pendekar Tanril. Kutangkap sekilas, tampaknya ia terbatuk; entah karena geli, atau karena bau hio. Awas saja. Setiap tetes dari botol ini mampu melahirkan aneka konflik, dan oleh karenanya merupakan sumber plot tak terkalahkan! Kutarik sebotol, dan kubersiap mencabut sumbat gabusnya sambil menatap Pendekar Tanril tajam-tajam)
Plot Tanril mengalir melalui beberapa anak sungai kisah. Sungai utama tentunya adalah evolusi ilmu arts si Wuan, seiring dengan perkembangan kepribadiannya. Anak sungai lainnya adalah kisah keluarga Wuan, romansa Kokru dan Naila (singkat tapi penting), kisah Kurt si guru Wuan berikut misteri latar belakangnya dengan sang Raja, kemudian plot juga bergerak dalam drama keluarga kerajaan Telentium, Raja yang mangkat dan meninggalkan potensi perebutan kekuasaan antara para Pangeran, melahirkan intrik istana yang juga ternyata memiliki misteri yang bermuara pada Master Kurt. Plot silang menyilang dengan gesit dan selalu melahirkan kejutan alur, walaupun sedikit banyak bisa ditebak oleh avid readers. Semua cabang ini akhirnya bermuara pada perang saudara yang dilancarkan oleh Pangeran Pertama kepada Pangeran Ketiga, yang berklimaks di penyerangan kota Fru Gar (kota kediaman Wander) oleh Jendral Sulran dibantu empat murid utamanya: Damar, Toto, Gluka, dan Kaju, berkekuatan 250.000 prajurit melawan 1 pendekar.
Unbelievable, at first,..... but cukup sensible, at last. Setiap dari empat jendral itu memiliki kegemilangan strateginya masing-masing, termasuk dalam cara-cara mereka ber-show-down dengan Wander. Sekalipun kalah semua, saya harus mengakui kecanggihan taktik mereka. Dan karena mereka merupakan worthy opponent-lah, buku ini menjadi menarik.
(Pandanganku meredup lagi. Sebetulnya hati ini sudah bisa menduga, tapi gengsiku menghalangi segalanya. Nekat kucabut sumbat botol dan kutuangkan setetes racun. Walau ku sudah bisa perkirakan apa efeknya. Pendekar Tanril cuma mengangkat alis. Benar dugaanku, racunku menguap begitu saja..... plot sudah jauh lebih canggih dari yang bisa kucari-cari kelemahannya).
Plot twist yang paling canggih dan paling utama, adalah berkenaan dengan ujian terbesar si Wander sendiri, yaitu mengalahkan rasa takutnya. Terus terang bagian ini memang sama sekali nggak gue sangka. Salut bener. Walau di ujungnya memang jadi ada misteri baru, terutama mengenai satu tokoh yang baru muncul menjelang akhir buku.
(Memang tubuhku sudah babak belur, harga diriku pun sudah tergilas rata dengan tanah. Tapi masih ada satu harap, pusakaku yang paling dahsyat, Gendewa Majapahit dengan panah beracunnya, siap membidik karakter-karakter dalam buku ini, menelanjangi kelemahan mereka).
Dan karakter! Sesungguhnya merekalah yang paling bersinar dalam buku ini! Saya tidak segan memuji. Setiap 'tokoh' dalam buku ini adalah pribadi yang hidup, dan unik. Memorable, dan semuanya meng-infuse jiwa mereka dalam kisah dan menjalankan roda cerita sehingga mengalir lancar, saling menguatkan satu-sama lain. Mulai dari lingkaran Wander, ibunya Chiru'un, kakak lelakinya Kokru yang senantiasa melindungi dan kelak menumbuhkan semangat kependekaran dalam diri Wander; Kurt, Master misterius yang tidak mengajarkan seni berkelahi melainkan seni mengendalikan Chi, dan ternyata punya peran latar belakang yang sangat penting, ada si Kucing Tua, si pencuri lihay, lawan tapi kawan; Ada para Jendral jenius yang masing-masing pun punya karakter kuat: Damar yang jenius mekanik alat-alat perang, Toto yang jenius Strategi, Gluka yang perkasa, dan Kaju si pemimpin pasukan Elite. Bahkan karakter sampingan seperti Kepala Klan Pemegang Bulu Pusaka dari Landross pun, tampil mengesankan walau hanya dalam porsi kecil saja. Alamak, pokoknya semua karakter di novel ini ciamik semuah! Sulit untuk tidak menyukai any single person dalam novel ini terlepas peran protagonis atau antogis mereka terhadap cerita.
(Kemana mujizat gendewa ini? Semua panah rontok satu persatu! Aku meraung kecewa, dengan nekat aku meloncat dua ratus meter ke balik bukit. Mungkin ini jurus curang, tapi aku sudah kepepet. Aku menyembunyikan sepasukan Uruk Hai di belakang bukit. Boleh saja ilmuku kalah sepuluh level di bawah Pendekar Tanril. Tapi mari kita lihat siapa yang digdaya di medan perang! Dua belas jilid buku strategi perang kubagikan pada dua belas kaptenku, moga-moga mereka cepat belajar.)
Kejeniusan para Jendral,..... yak. Gue gak mungkin 'mempercayai' tokoh-tokoh jendral di sini, terutama jendral Sulran dan 4 muridnya, sebagai jenius bila tak ada adegan perang yang mengesankan gue, bukan? Well yes, si Nafta ini memang penulis yang cukup lengkap, bisa menjabarkan silat secara bagus, mengisinya dengan filosofi yang tak remeh bahkan menurut gue bernilai tinggi juga, dan sekaligus juga menghadirkan battle scenes yang,..... fenomenal.
Mungkin baru kali ini sebuah large scale battle dapat tergambar secara dahsyat dan meyakinkan dalam sebuah karya novel lokal. Even battle scene-nya Ledgard jadi terasa mengecil dibandingkan ini. Perang di Tanril tidak hanya main unjuk kekuatan, tapi juga mengandung strategi dan eksekusi strategi yang meyakinkan. Bagaimana kedahsyatan pasukan gajah, dan bagaimana dahsyatnya strategi yang mengalahkan pasukan gajah, misalnya.
(Aku melihat lautan gajah berderap sambil melengkingkan jeritan bak terompet bersahut-sahutan. Debu membubung tinggi dan jerit kematian pasukan garis depan tak tersamarkan. Gajah-gajah itu sungguh tak terhentikan! Aku menahan napas. Pasukan Uruk Hai ku masih berbaris di belakangku, ikut terpana menjadi penonton perang antara dua pasukan asing di hadapan kami. Lalu kami dikejutkan oleh sebuah bunyi melengking aneh. Serentak kami menoleh ke angkasa, dan kulihat itu, titik-titik berjatuhan, mula-mula satu, dua, seratus, lalu ribuan,.... ribuan bola api turun dari langit, menghujani gajah-gajah itu. Rupanya itu adalah ribuan tempayan berisi minyak yang disulut, dilontarkan oleh catapult dari balik bukit. Kami ternganga,... dan situasi pun berbalik, gajah-gajah menjadi kacau dan saling menerjang di antara mereka sendiri,...)
The best battle scene award 2008,...goes to Tanril!
(Aku tertunduk lesu. Jelas pasukanku tak ubahnya rombongan taman kanak-kanak hendak piknik, jika dibandingkan pasukan mengerikan itu. Salah seorang Uruk Hai menepuk-nepuk pundakku, menggeramkan kata-kata penghiburan. Dan kurasakan satu persatu mereka pulang meninggalkan ku sendiri di medan perang ini. Rupanya aku memang sudah kalah segala-galanya, dan mau tak mau harus menyerah. Kulihat Pendekar Tanril tersenyum, menghampiri ku. Dengan sedikit enggan, akhirnya kuserahkan bendera itu kepadanya.)
Dan The Best Fantasy di Fikfanindo, saat ini berpindah kepada TANRIL, Epik Ho Wuan Siang!
(Tapi sebelum aku kembali dengan menanggung beban kekalahan di pundak, masih secara keras kepala dan tak mau kalah, kubisikkan kata terakhir buat pendekar Tanril, "Aku baru akan mengakui kesempurnaan lo, kalau saja lo mendeskripsikan KOSTUM secara detail dalam novel itu. Karena itulah satu-satunya atribut yang nggak bisa kubayangkan, sehingga sedikit mengurangi suasana Fantasy yang ingin kuimajinasikan," begitu bisikku pada Pendekar Tanril, yang sempat membuat matanya terbelalak sejenak, dilanjutkan dengan anggukan paham di wajahnya yang bijak).
Buat Nafta, sejuta selamat. Anda layak mendapatkannya. Very Good Writing. Buat teman-teman lain, okelah hurufnya kecil-kecil, dan italicnya itu bakal bikin lo pade pusing. But it's a recommended read, nevertheless.
Duile, segitu hebohnya pengaruh sebuah novel?
Well, bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Boleh jadi pengalaman yang saya rasakan kali ini adalah semata akibat dari sinkronitas sebagai penggemar silat yang menemukan kisah silat yang demikian cucok di hati, hehehe,... seperti tumbu ketemu tutup, seperti jejaka ketemu jodoh.
Atau, simply karya Nafta memang merupakan sebuah masterpiece? Ups, mungkin saja aku terlalu terburu-buru. Kata orang, satu karya belum dapat membuat kau bicara masterpiece, harus dikomparasi dengan karya-karya lainnya dulu. Sekalipun sudah pernah ada karya lain dari pengarang yang lebih dulu terbit (Rhadamanthus: The #1 Campus Hacker - 2005), Tanril ini tetap didapuk sebagai sebuah karya debutan, alias karya pertama dari seorang Sarjana Teknologi Pangan dari Universitas Pelita Harapan. Entah mungkin maksudnya "pertama" dalam konteks genre silat atau apa, kurang tahu deh.
Tapi jelas, bahwa terhadap karya ini, saya terpaksa mengeluarkan jurus-jurus simpanan dalam menggelar review saya, karena kiranya dengan cara yang biasa tidak akan mempan. Oleh karena itulah, sebelum menulis saya sudah mempersiapkan setumpuk panah-panah beracun, gendewa wasiat peninggalan Majapahit, pedang pusaka Bu Tong Pay yang selama ini saya simpan di safe deposit box BCA, keris Nagasasra yang saya titipkan di kantor redaksi Buana Minggu, sederet botol-botol penuh racun tujuh dunia, empat kitab pusaka Shaolin Wetan yang demikian wingit rahasianya sampai orang-orang Shaolin sendiri gak tahu bahwa ada Shaolin Wetan, serta dua belas jilid buku strategi perang dari Negeri Utara sampai Selatan. This one, harus dihadapi dengan sangat serius dan penuh perhitungan.
Tanril, di saat pertama kucomot dari rak buku Gramedia, muncul di antara sederetan novel silat baru yang terbit bersamaan di kisaran bulan Oktober. Kalau tak salah ada dua judul selainnya: Pelangi di Glagahwangi (S. Tidjab) dan serial Pangeran Anggadipati (Saini KM, yg tiga seri). So, positioning awal-nya kukira sebangun dan sejenis dengan genre silat klasik Nusantara yang sedang mengalami (sedikit) revitalisasi itu (dengan penuh harapanku, agar pasar pun menyambutnya. Jangan sampai genre silat mati!). Otomatis kupikir novel ini tak akan beda terlalu jauh.
Namun kulihat sedikit keganjilan pada cover novel. Ada kekurang-harmonisan layout yang membuatku mengerutkan kening. Cover depan bergambar foto sebentuk Cincin kepala Naga berlatar putih yang resik, dengan tulisan kapital TANRIL (huruf I-nya diganti semacam foto tusuk konde China). Rapi jali sehingga berkesan desain layout novel modern (jadi ingat covernya "Gelang Giok Naga"). Kalo rumah, maka padanannya adalah konsep rumah modern minimalis. Tapi Cover belakangnya secara cukup ancur digelar menurut pakem layout Metromini: Lukisan ilustrasi Silat Cina klasik dimontase dengan dua textbox dengan font berantem-sangat. Satu font Arial, dan di bawahnya font miring-sambung di-bold. Padat, memusingkan mata, dan sangat tak berselera dibandingkan cover depan. (DAS!! Sebuah sengkatan kaki kananku berjuluk jurus "Kepodang Jantan berbulu Kuning membersihkan tongkol Jagung di Pagi Bulan Desember" mengena telak, membuat pendekar Tanril terjerembab! Ha ha!)
Coba, cover depan dan belakang gak kompak. Yang bikin mungkin dua orang berbeda.
Tapi toh isi teks box itu membuat lenganku, yang hampir mengembalikan sang buku aneh ini ke tempatnya, terhenti. "Fantasi unik,...Kho Ping Hoo Kontemporer,...menggabungkan The Matrix dan Sin Tiauw Hiap Lu,....". Entah who the hell yang bikin endorsemen ini, tapi yang jelas aku jadi tertarik.
Walau sinopsis yang berada di box tulisan miring-sambung-bold itu juga tak menolong banyak, sebab sangat terkesan sebagai sinopsis Kho Ping Hoo-iyah biasa, cuma ada satu detil kecil yg bikin curious, ada nama "Kurt Manjare" disebut sebagai "pendekar eksentrik yang pilih tanding". Kurt? Nama pendekar yang nggak umum. (Dan kurasakan si Pendekar Tanril mulai pasang kuda-kuda. Hawa pembunuhnya mulai menggetarkan udara. Tapi aku tak gentar,...). Sepotong nama kecil itu membuat instingku bekerja. Something is not right, here,.... ada yang gak biasa, dan it's worth an investigation. So, berpindahlah buku itu ke kantung belanja gue.
Dan saat gue buka halaman pertama,.... mataku langsung mengeluarkan tangisan darah: ALAMAK, TULISANNYA KECIL-KECIL BANGET! Dengan font sekecil itu memadati sehalaman kertas, saya seperti melihat sebuah naskah di kertas ukuran Folio ber font 12 difotokopi perkecil 30%. Bayangin 'cape-deh'nya. (pedang Bu Tong Pay ku langsung menyambar bagai angin moonson, sebuah pembedahan telak pada layout isi, si Pendekar Tanril tak bisa lari kemana-mana lagi. Mampuslah si Ibenk Bonanno itu,.. hihihi). Entah apa maksud penerbit dengan mencetak siksaan mata seperti itu. Jelas genre buku ini adalah konsumsi awak usia separo baya yang matanya sudah pada lamur. Apa harus bawa-bawa suryakanta, lah kami? Anak-anak muda pun mana pulalah tertarek membaca novel bertuliskan mungil begitu ropa.
(Kupersiapkan pukulan terakhir di bidang layout dengan jurus "Badak Ngajugruk Nyaruduk tanpa Ampun" yang dijamin membuat Pendekar Tanril tertekuk sembilan lipatan). Dan pengarang (atau layouter?) juga membuat blunder kedua: paragraf ala Amerika tanpa hanging indent (seperti layout blog ini) yang kurang familiar untuk novel, serta kekacauan konvensi penggunaan huruf italic (huruf miring) pada teks. Yang terakhir ini, bagiku benar-benar membuatku kacau. Dialog ditulis dengan huruf miring, membuat otakku acap salah menerjemahkannya menjadi bahasa pikiran si tokoh. Ada juga narasi yang dicetak miring, tanpa jelas apa penyebabnya. Terus terang saja, tempo membaca saya jadi melambat secara signifikan akibat hal ini. Saya butuh 3 mingguan untuk menyelesaikan Tanril, despite cerita dan penulisan yang sesungguhnya bener-bener memikat gue.
Jadi, satu hal yang saya pelajari hari ini: Eksperimen penulisan paragraf non-konvensional, jarang-jarang-jaraaang sekali bisa berhasil. So beware.
Kemudian satu lagi glaring nuisance yang saya temukan di buku Tanril: Settingnya nya ga jelas mau ke mana. Awalnya kupikir setting ala Tiongkok berkat penamaan-penamaan bahasa Mandarin serta suasana yang mirip dengan settingan Kho Ping Hoo. (Keris Nagasasra mulai dicabut dari warangka-nya, menyambar cahaya kuning menyilaukan,...). Tapi kemudian muncul nama yang aneh, Wander Natalez Howard, kadang dipanggil Wuan,... terus nama-nama lainnya tak kalah aneh, Kokru, Fyure, Miar, Asyu, Chiru'un, Kota Fru Gar, Kurt Bodan Manjare, sampai pada Kerajaan Telentium,.... baru gue tersadar,... ini rupanya adalah sebuah Setting Fantasy! (Aku berdiri gamang, terpaku dalam ketertegunanku. Pendekar Tanril mengembangkan kedua tangannya ke samping, tersenyum samar, dan mulai mengibaskan tangan diikuti lengan bajunya berkebut ringan. Energi serupa asap kabut berwarna kelabu meluncur, sebagian besar menerjang kilau Nagasasra dan membuatnya redup bak pelita kehabisan minyak. Shin Jin Li Zan, tingkat pertama. Batinku tergetar, tapi aku berusaha bertahan dengan memperkuat kuda-kuda,...).
Selanjutnya novel membanjiri saya dengan nama-nama asing yang kini menjadi eksotis berkat paradigma yang sudah berubah. Karena ini setting Fantasy, saya jadi mulai bisa mentolerir nama-nama aneh yang 'tak pada tempatnya' bila kita menggunakan paradigma setting Tiongkok. Tapi jangan keburu senang, sebab saya tetap akan membaca secara kritis, terutama untuk menemukan apakah keberadaan nama-nama ini kontekstual atau sekedar asal tempel. Setidaknya, saya akan menemukan apa efek nama-nama ini terhadap eksistensi setting Fantasy yang sudah dibentuk pengarang. Apakah memperkuat, ataukah memperlemah setting.
Cerita novel ini sendiri sesungguhnya cukup klise sesuai pakem cersil. Ada seorang anak yang penyakitan (namun sesungguhnya memiliki potensi Chi luar biasa dalam dirinya) dari keluarga sederhana yang melalui perjuangan berliku menemukan guru yang mementaskan potensinya, kemudian menghadapi lawan berat sebagai salah satu ujian bagi ilmunya, sambil memecahkan tempurung diri-sejatinya melalui proses tersebut. Plot standar. (Aku menyunggingkan senyum pelecehku, "Dewa Selatan memandang rendah kepiting batu di bawah pasir", berharap membuat lawanku ciut nyali.)
Plot standar. Yang tidak standar adalah pengolahan setting dimana plot dimainkan. Harus saya akui, pemilihan latar belakang Tiongkok sebagai bahan dasar universe di Tanril merupakan salah satu approach yang unik untuk genre Fantasy. Sudah biasa bila pengarang kita menggunakan Setting ala Barat/ medieval, dengan kebudayaan pra Europa sebagai basis setting novel Fantasy mereka. Tidak terhitung sudah negeri-negeri berkastil dengan ksatria berbaju zirah, pedang double blade Eropah, konfigurasi Raja-Ratu-Pangeran-Putri yang monogamis dan berbentuk keluarga batih, petani yang tidak menanam padi melainkan gandum, peri, naga, penyihir, Elf, Kurcaci, Orcs, Troll, Goblin, Alkemis dan lain-lainnya bercita-rasa Eropah dikaryakan dan diolah oleh pengarang-pengarang kita, sehingga cenderung membentuk imaji tersendiri bahwa yang namanya 'Fantasy' pasti berlatar belakang 'kayak gitu-gitu'.
Approach 'adaptasi' yang mirip, tapi menggunakan latar belakang budaya yang berbeda, menjadikannya sebagai Fantasy yang fresh. Ya, kenapa harus Eropah? Kebudayaan Tiongkok rekaan juga tak kalah menariknya! Sama-sama mengandung elemen-elemen yang membuat cita rasa Fantasy terasa lekat di lidah. Ada Kebudayaan alternatif, ada kerajaan, ada karya seni (seni tenun kain ber-magic yang disebut Luan), bahkan sistem kerajaan yang mengadopsi Tiongkok juga terasa segar: ada Raja dan Permaisuri, ada Selir Pertama, Pangeran Pertama, Kedua, Ketiga, dan terasa ada sistem kerajaan yang lebih masif dari pada Eropah punya. Well, unik! Ada juga 'ARTS' (dari mana munculnya istilah bahasa inggris di universe Tanril ini?) untuk menyebutkan ilmu Silat, yang bukan hanya sekedar ilmu silat belaka, melainkan sudah menjadi suatu bagian dalam kebudayaan di dunia Tanril. Selain itu,ada sistem ekonomi yang berlandaskan pada komoditi 3 tanaman suci: Teh (Maliya), Kopi (Eniya) dan Cokelat (Kaliya), dimana keberadaan tiga tanaman ini dipengaruhi kondisi geografis, yang pada akhirnya mempengaruhi sistem politik dunia Tanril. Sebuah tata-aturan Universe yang lengkap! (Roh Hijau Gunung Biru -- Tingkat kedua dari Jin Li Zan dihembuskan oleh Pendekar Tanril melalui kedua telapak tangannya. Kuda-kudaku doyong ke belakang. Energi hijau ini tidak mematikan, tetapi membuat seluruh keberadaan seolah menjadi tunduk, berlutut di bawah pesona alam yang agung dan hangat. Aku memejamkan mata, berusaha memanggil Roh Gunung Es Utara agar diriku tetap diliputi hawa dingin sebagai energi penggores pena reviewku. Hooossss,... hoossss,... harus teteup obyektif! Hooossss,....).
Dan kebudayaan rekaan ini diperlengkap dengan sistem constructed languange (Con-lang), alias bahasa rekaan, yang ngaujubilah detailnya. Ada dua bahasa: Bahasa Clem (c) dengan Bahasa Zirconian (z), dalam kamus glosari yang kelengkapan detailnya membuat gue merinding. Bahasa Clem terkesan seperti bahasa Arabish, sementara bahasa Zirconia mirip bahasa Mandarin. Sekalipun pengarang tak memberikan rumus lengkap con-langnya, bagi yang membaca kamus glosari di halaman belakang dan petikan-petikan syair dalam either bahasa, pasti akan punya rasa bahwa Zirconian maupun Clem memiliki struktur dan makna lengkap sebagaimana sebuah bahasa utuh. Dan yang spesial buat novel Tanril, keberadaan bahasa ini sangat intergral di dalam cerita, termasuk dalam mengantarkan plot sekaligus memberi karakteristik Fantasy dalam setting yang sudah dibangun. Terutama bahasa Zirconia yang digunakan untuk menyenamai artefak kebudayaan penting dalam Universe Tanril, seperti karya seni Luan, nama-nama jurus arts, dan lain-lain. Dwi bahasa itupun hadir bukannya tanpa alasan. Bangsa/ Klan Clem saat itu 'menjajah' Zirconia. Akibat 'keakraban' pembaca dengan con-lang ini, nama-nama yang tadinya aneh seperti adonan nama eropah atau cina menjadi 'masuk' dengan rapih ke dalam universe. Sebuah keberhasilan telak, menurut gue.
(Pendekar Tanril maju selangkah, sementara tubuhku terlempar beberapa depa ke belakang. Pukulan Zirconian dan Clem begitu telak, membuat aku terpaksa melepaskan wilayah kedudukanku, dan majulah si Pendekar Tanril sambil menancapkan bendera: UNIVERSE SETTING: COMPLETE. Aku harus mengaku kalah untuk segmen ini!).
(Tapi, tentu saja aku belum menyerah! Kami sepakat mengaso sejenak. Pendekar Tanril memberi kesempatan padaku untuk mengatur napas dan memboreh luka-lukaku. Sambil duduk, kami bertukar teori mengenai ilmu Silat, ditemani cairan teh Maliya murni yang konon merupakan minuman raja-raja di Telentium ).
Dalam sebuah novel Silat, tentunya ilmu silat menjadi napas utama. Kalau dalam dunia Kho Ping Hoo, biasanya pertarungan silat dikaraterisasi oleh keberhasilan melumpuhkan lawan melalui totokan. Dalam dunia Miyamoto Mushashi, sang pemenang adalah siapa yang keluar hidup-hidup dengan katana di tangan. Bagaimana di dunia Tanril? Menarik sekali. Arts di Tanril memenangkan pertarungan melalui penghancuran fisik lawan dengan menggunakan tenaga yang diperkuat oleh Chi (alias tenaga dalam, alias 'The Force'). Dan seni silat dalam Dunia Tanril adalah seni mengolah Chi dari 'nol' sampai mencapai puncak optimalisasi yang bisa diraih manusia, alias nyaris tanpa batas (dengan sedikit catatan).
So, we're talking BIG FORCE right here! (catatannya, kelihatannya so far cuma si Wander aja yang memiliki kekuatan 'dewa' tersebut? Mungkin itu issue buat buku dua, kalleee??)
Chi dalam dunia Tanril digambarkan sebagai tenaga yang dibangkitkan oleh penggunanya, dan bisa disalurkan ke berbagai organ tubuh misalnya ke mata (untuk penglihatan ekstra perceptional), tenaga pukulan, penyembuhan, bahkan bisa disusupkan ke dalam benang-benang untuk ditenun menjadi Luan (albeit, sumber Chi dari Luan ini tampaknya agak misterius,....). Dalam pandangan mata ber-Chi, maka Chi seseorang pun dapat terlihat berupa warna-warna maupun bentuk-bentuk yang indah sekaligus menggiriskan. Dan dalam Universe Tanril, Chi ini dapat pula berinteraksi dengan empat unsur: Air, Api, Udara, Tanah. Well sekali lagi dalam Point of View genre Fantasy, sistem tersebut sudah dapat dikatakan lengkap. Apalagi pengarang berhasil merendanya secara integral ke dalam cerita.
(Kami bersiap, aku mulai mengeluarkan empat kitab pusaka Shaolin Wetan, sementara Pendekar Tanril memandangku dengan keheranan tingkat tinggi. Empat kitab kujejer sesuai mata angin: Utara, Barat, Timur, Selatan dengan diriku sebagai pusatnya. Setelah melalui serangkaian gerakan bukaan rumit, telunjukku menebas ke Timur, dimulai dengan Kitab Bintang Timur. Kitab melayang sepuluh senti, kemudian halaman demi halaman bergerak dalam fast-forward menampilkan jurus-jurus silat yang tak pernah terlihat di dunia manapun! Hah, jangan berani bicara jurus denganku!)
Perkembangan ilmu silat di Dunia Tanril berlangsung dalam bentuk pengolahan Chi, yg ibarat otot, dikembangkan sesuai dengan batas toleransi tubuh. Tentu saja di sini yang menjadi fokus adalah perkembangan Chi sang tokoh, si Wuan atau Wander. Metodenya tak usahlah dibahas. Tapi intinya kalau di Universe Tanril, 'jurus' adalah sesuatu yang tercipta oleh Chi itu sendiri, bukan serangkaian gerakan yang dilatih. Ini mirip konsep jurus dalam silat Nusantara, agak beda dengan konsep teknik bela diri Jepang atau Korea. Salah satu plot driver novel ini adalah bagaimana pengarang menggambarkan evolusi pencapaian ilmu si Wander. Mulai dari bocah penyakitan dan menjadi sansak teman-temannya, sampai menguasi 'Jurus' Shin Jin Li Zan tingkat 1: Kabut kelabu, tingkat 2: Roh Hijau Gunung Biru, tingkat 3: Putri Angin Emas, tingkat 4: Sabit Petir Merah, tingkat 5: Singa Kaisar Biru, tingkat 6: Katedral Samudra Aquamarine. Masing-masing jurus 'ditemukan' oleh Wuan dalam suatu proses pembelajaran, penyingkapan jati diri melalui pertarungan. Indah sekali prosesnya (dan penggambaran visual tiap jurus, pun!). Dan semuanya akhirnya meledak dalam satu klimaks pada jurus ultimatenya (untuk buku satu): Ho Wuan Siang.
Dalam battle finale-nya, jurus Ho Wuan Siang ini sempat keluar dalam skala terbesar dan terklimaks, yang sesungguhnya sedikit unbelievable dalam kaca-mata silat awam. Tapi menjadi mungkin dan sangat logis berkat kemampuan pengarang memberikan landasan mengenai kekuatan si Wander sesungguhnya.
(halaman-halaman fast forward mendadak berhenti. Buku Bintang Timur terjatuh ke tanah, PLUK!. Tubuhku masih bergaya tunjuk bintang timur, tapi jurusku telah meninggalkanku bersama semangat yang terbang meninggalkan wajah pucatku).
Mari bicara plot.
(Sigap kukemasi kembali kitab-kitab Shaolin Wetan ke dalam karung, dan segera kubabar meja kayu rendah, taplak kuning segi tiga, tabung bambu berisi tiga hio menyala dan kujejerkan botol-botol tujuh racun dunia, sekali lagi dibawah tatapan mata takjub si Pendekar Tanril. Kutangkap sekilas, tampaknya ia terbatuk; entah karena geli, atau karena bau hio. Awas saja. Setiap tetes dari botol ini mampu melahirkan aneka konflik, dan oleh karenanya merupakan sumber plot tak terkalahkan! Kutarik sebotol, dan kubersiap mencabut sumbat gabusnya sambil menatap Pendekar Tanril tajam-tajam)
Plot Tanril mengalir melalui beberapa anak sungai kisah. Sungai utama tentunya adalah evolusi ilmu arts si Wuan, seiring dengan perkembangan kepribadiannya. Anak sungai lainnya adalah kisah keluarga Wuan, romansa Kokru dan Naila (singkat tapi penting), kisah Kurt si guru Wuan berikut misteri latar belakangnya dengan sang Raja, kemudian plot juga bergerak dalam drama keluarga kerajaan Telentium, Raja yang mangkat dan meninggalkan potensi perebutan kekuasaan antara para Pangeran, melahirkan intrik istana yang juga ternyata memiliki misteri yang bermuara pada Master Kurt. Plot silang menyilang dengan gesit dan selalu melahirkan kejutan alur, walaupun sedikit banyak bisa ditebak oleh avid readers. Semua cabang ini akhirnya bermuara pada perang saudara yang dilancarkan oleh Pangeran Pertama kepada Pangeran Ketiga, yang berklimaks di penyerangan kota Fru Gar (kota kediaman Wander) oleh Jendral Sulran dibantu empat murid utamanya: Damar, Toto, Gluka, dan Kaju, berkekuatan 250.000 prajurit melawan 1 pendekar.
Unbelievable, at first,..... but cukup sensible, at last. Setiap dari empat jendral itu memiliki kegemilangan strateginya masing-masing, termasuk dalam cara-cara mereka ber-show-down dengan Wander. Sekalipun kalah semua, saya harus mengakui kecanggihan taktik mereka. Dan karena mereka merupakan worthy opponent-lah, buku ini menjadi menarik.
(Pandanganku meredup lagi. Sebetulnya hati ini sudah bisa menduga, tapi gengsiku menghalangi segalanya. Nekat kucabut sumbat botol dan kutuangkan setetes racun. Walau ku sudah bisa perkirakan apa efeknya. Pendekar Tanril cuma mengangkat alis. Benar dugaanku, racunku menguap begitu saja..... plot sudah jauh lebih canggih dari yang bisa kucari-cari kelemahannya).
Plot twist yang paling canggih dan paling utama, adalah berkenaan dengan ujian terbesar si Wander sendiri, yaitu mengalahkan rasa takutnya. Terus terang bagian ini memang sama sekali nggak gue sangka. Salut bener. Walau di ujungnya memang jadi ada misteri baru, terutama mengenai satu tokoh yang baru muncul menjelang akhir buku.
(Memang tubuhku sudah babak belur, harga diriku pun sudah tergilas rata dengan tanah. Tapi masih ada satu harap, pusakaku yang paling dahsyat, Gendewa Majapahit dengan panah beracunnya, siap membidik karakter-karakter dalam buku ini, menelanjangi kelemahan mereka).
Dan karakter! Sesungguhnya merekalah yang paling bersinar dalam buku ini! Saya tidak segan memuji. Setiap 'tokoh' dalam buku ini adalah pribadi yang hidup, dan unik. Memorable, dan semuanya meng-infuse jiwa mereka dalam kisah dan menjalankan roda cerita sehingga mengalir lancar, saling menguatkan satu-sama lain. Mulai dari lingkaran Wander, ibunya Chiru'un, kakak lelakinya Kokru yang senantiasa melindungi dan kelak menumbuhkan semangat kependekaran dalam diri Wander; Kurt, Master misterius yang tidak mengajarkan seni berkelahi melainkan seni mengendalikan Chi, dan ternyata punya peran latar belakang yang sangat penting, ada si Kucing Tua, si pencuri lihay, lawan tapi kawan; Ada para Jendral jenius yang masing-masing pun punya karakter kuat: Damar yang jenius mekanik alat-alat perang, Toto yang jenius Strategi, Gluka yang perkasa, dan Kaju si pemimpin pasukan Elite. Bahkan karakter sampingan seperti Kepala Klan Pemegang Bulu Pusaka dari Landross pun, tampil mengesankan walau hanya dalam porsi kecil saja. Alamak, pokoknya semua karakter di novel ini ciamik semuah! Sulit untuk tidak menyukai any single person dalam novel ini terlepas peran protagonis atau antogis mereka terhadap cerita.
(Kemana mujizat gendewa ini? Semua panah rontok satu persatu! Aku meraung kecewa, dengan nekat aku meloncat dua ratus meter ke balik bukit. Mungkin ini jurus curang, tapi aku sudah kepepet. Aku menyembunyikan sepasukan Uruk Hai di belakang bukit. Boleh saja ilmuku kalah sepuluh level di bawah Pendekar Tanril. Tapi mari kita lihat siapa yang digdaya di medan perang! Dua belas jilid buku strategi perang kubagikan pada dua belas kaptenku, moga-moga mereka cepat belajar.)
Kejeniusan para Jendral,..... yak. Gue gak mungkin 'mempercayai' tokoh-tokoh jendral di sini, terutama jendral Sulran dan 4 muridnya, sebagai jenius bila tak ada adegan perang yang mengesankan gue, bukan? Well yes, si Nafta ini memang penulis yang cukup lengkap, bisa menjabarkan silat secara bagus, mengisinya dengan filosofi yang tak remeh bahkan menurut gue bernilai tinggi juga, dan sekaligus juga menghadirkan battle scenes yang,..... fenomenal.
Mungkin baru kali ini sebuah large scale battle dapat tergambar secara dahsyat dan meyakinkan dalam sebuah karya novel lokal. Even battle scene-nya Ledgard jadi terasa mengecil dibandingkan ini. Perang di Tanril tidak hanya main unjuk kekuatan, tapi juga mengandung strategi dan eksekusi strategi yang meyakinkan. Bagaimana kedahsyatan pasukan gajah, dan bagaimana dahsyatnya strategi yang mengalahkan pasukan gajah, misalnya.
(Aku melihat lautan gajah berderap sambil melengkingkan jeritan bak terompet bersahut-sahutan. Debu membubung tinggi dan jerit kematian pasukan garis depan tak tersamarkan. Gajah-gajah itu sungguh tak terhentikan! Aku menahan napas. Pasukan Uruk Hai ku masih berbaris di belakangku, ikut terpana menjadi penonton perang antara dua pasukan asing di hadapan kami. Lalu kami dikejutkan oleh sebuah bunyi melengking aneh. Serentak kami menoleh ke angkasa, dan kulihat itu, titik-titik berjatuhan, mula-mula satu, dua, seratus, lalu ribuan,.... ribuan bola api turun dari langit, menghujani gajah-gajah itu. Rupanya itu adalah ribuan tempayan berisi minyak yang disulut, dilontarkan oleh catapult dari balik bukit. Kami ternganga,... dan situasi pun berbalik, gajah-gajah menjadi kacau dan saling menerjang di antara mereka sendiri,...)
The best battle scene award 2008,...goes to Tanril!
(Aku tertunduk lesu. Jelas pasukanku tak ubahnya rombongan taman kanak-kanak hendak piknik, jika dibandingkan pasukan mengerikan itu. Salah seorang Uruk Hai menepuk-nepuk pundakku, menggeramkan kata-kata penghiburan. Dan kurasakan satu persatu mereka pulang meninggalkan ku sendiri di medan perang ini. Rupanya aku memang sudah kalah segala-galanya, dan mau tak mau harus menyerah. Kulihat Pendekar Tanril tersenyum, menghampiri ku. Dengan sedikit enggan, akhirnya kuserahkan bendera itu kepadanya.)
Dan The Best Fantasy di Fikfanindo, saat ini berpindah kepada TANRIL, Epik Ho Wuan Siang!
(Tapi sebelum aku kembali dengan menanggung beban kekalahan di pundak, masih secara keras kepala dan tak mau kalah, kubisikkan kata terakhir buat pendekar Tanril, "Aku baru akan mengakui kesempurnaan lo, kalau saja lo mendeskripsikan KOSTUM secara detail dalam novel itu. Karena itulah satu-satunya atribut yang nggak bisa kubayangkan, sehingga sedikit mengurangi suasana Fantasy yang ingin kuimajinasikan," begitu bisikku pada Pendekar Tanril, yang sempat membuat matanya terbelalak sejenak, dilanjutkan dengan anggukan paham di wajahnya yang bijak).
Buat Nafta, sejuta selamat. Anda layak mendapatkannya. Very Good Writing. Buat teman-teman lain, okelah hurufnya kecil-kecil, dan italicnya itu bakal bikin lo pade pusing. But it's a recommended read, nevertheless.
Salam,
FA Purawan
14 komentar:
Halah2, Om Pur kali ini bikin resensi macam lagi berperang saja... (terus terang, gw senyam-senyum sendiri di depan monitor pas baca nih resensi! LOL).
Soal tulisan mini, kayak LOTR? Kertas gede, tulisan kecil nan rapet?
Buku LOTR (yg terjemahan, pan?) masih lebih besar dan lebih lebar, gue rasa.
Pokoke kalau baca format Tanril ini, persis kayak baya format Folio yang diperkecil.
FA Pur
Berikut adalah beberapa hal yang bikin saya panas dingin lagi pas baca review ini.
1. Tata Layout bukan tanggung jawab penulis (lol) tapi memang banyak yang menuliskan issue mengenai font itu. Cuma satu alasannya: jual buku tebal di Indonesia tidak laku.
2. Favorite things to write by the Writer itself:
a) best character: "Jie Bi Shinjin"
b.1) best battle: Wander vs "Jie Bi Shinjin"
b.2) soundtrack of The Battle (b.1) when written: OST. Somewhere I belong (Linkin' Park)
c) best intelligence: Second Prince
d) best review writer: Mas Pur
Thank you so much, my hair still stood up upon reading your review, it is like seeing my novel rewritten using lightning bolts :D
See you in Vol. II
Quote Tasfan:
1. Tata Layout bukan tanggung jawab penulis (lol) tapi memang banyak yang menuliskan issue mengenai font itu. Cuma satu alasannya: jual buku tebal di Indonesia tidak laku.
=========================
Well, no arguing with that, hehehe,... tapi I beg to differ dikit.
Kebanyakan penerbit terlalu terfokus pada tebal halaman (sebab itu memang langsung tertranslate menjadi cost!), dan believe bahwa buku tebal akan susah lakunya.
Tebal- alone- tidak bikin buku gak laku. Harga-lah yg bikin pembeli mundur atau pikir-pikir.
Dan harga jual buku memang sodara deket sama harga kertasnya, hehehe.
Tapi entah apa pikiran gue salah: kalo udah bukunya tebal, terus hurufnya kecil-kecil dan ga enak dibaca, akankah lebih laku dari pada buku tebal, namun hurufnya nyaman di mata?
Sebetulnya (IMO) masih ada dua hal yg bisa bikin layout elo lebih enak di mata tanpa harus nambah halaman, yaitu penggunaan huruf seriff (keluarga times new roman etc), serta format italic-ing yg umum-umum aja :)
Bicarain lagi deh, sama penerbit. Hehehe, moga-moga VolII better looking dah!
Sukses!
FA Pur
Kapan2 belajar dulu jurus2nya Semar yg sakti mandraguna biar gak kalah termehek2, Mas. :D
Ini pertama kalinya gw baca Mas Pur ngasih lbh byk pujian ketimbang kritik! Salut deh buat yg ngarang novel ini.
Gak bisa komen banyak selain mudah2an novel2 Indonesia semakin banyak yg menuai lbh byk pujian ketimbang kritik.
Hehe.
kayaknya emang perlu di cari ya, buku ini.
ah sudah lama nggak baca buku silat selain A.Kho Ping Ho dan Chan
mas Pur, reviewnya meni takjub. sayang -atau bagusnyah?- aku malah tersedot dengan pertarungannya mas Pur dibanding apa-apa yg direview. ha.ha...
yang bikin penasaran bukan dari hasil bacaan reviewnya tapi kerna diluar kebiasaan bahasa review-nyah
great for Tanril. Selamat!
---------
elbintang
Err~selain tulisan mini & rapet2, font yg di-italic banyak bener.
Editor/layouter ga capek ya italic-in semua dialog^^
Kebanyakan ada masalah juga dalam hal ini.
Waktu saya baca juga bingung mana yang conversation mana yang bubble pikiran.
Ini contoh editing yang unik tapi kaprah.
Jadi Fan,... ELO juga gak ngatur huruf miring-miring itu??
Numpang tanya deh kalo gitu, apa alasannya si layouter bikin layout kagak genah gitu, dan kagak minta persetujuan pengarang??
Wis, kaco :p
FA Pur
Tak pernah saya mengatur demikian.
Karena saya selalu berpegang bahwa kata miring itu buat bubble mind. Itu punya efek luar biasa.
Kalaupun dibuat miring semua conversation, itu harus tetap tercetak dalam petik.
Dan kadang dalam Tanril cetakan tidak semua bubble mind jadi miring dan kadang-kadang event pun jadi miring.
Kita bacanya jadi miring lol.
:D
Tentu saja, mereka tidak minta persetujuan pengarang, karena layout yang saya lihat berbeda dengan tampilannya.
Begitupun covernya.
///
Setuju dengan Tasfan, review buku ini seperti membaca buku itu sendiri (rewritten)
3 minggu? Itu waktu yang cukup lama.
I admit this is the first book that in my opinion come to live (esp. when it come from Indonesia). For some reason I just can't take it off me until I finish it, it's just alive.
Kamis ini penanda-tanganan kontrak Vol II dan III. Mudah-mudahan semua koreksi bisa disampaikan pada yang berkuasa saat itu :D
dear..boleh saya tahu dimana mendapatkan buku ketiganya? ini trilogi kan?
Posting Komentar