Minggu, 13 Juni 2010

THE CHRONICLES OF WILLY FLARKIES: Petualangan Memasuki Dunia Upside Down (Satrio Wibowo - 2010)


by FA Purawan

Penerbit: Imania
Penyunting: Wijdan Aljufry
Penerjemah: Dian Guci
Desain Sampul: Kebun Angan
Desain Isi: Dini Handayani
Tebal: 448 halaman.


Uhm, The Tough Case of Willy Flarkies Chronicles, atau mungkin tepatnya: The Chronic Case of (Disorderly Written) Willy Flarkies (and His) Upside Down World, or Downside World, Which One Is Correct, Anyway, And Oh So Upsidedownsidewayupdownrightdull Storytelling.

Serem amat, judul ini.

Yah, pada kenyataannya tidak seseram itu. Novel dengan judul panjang di atas sesungguhnya merupakan fenomena menarik, setidaknya untuk menggambarkan kesempatan dan kemungkinan luas yang (masih) ada di dalam ranah kepenulisan novel-novel Indonesia. Ada banyak possibilities yang bisa dieksplorasi oleh para aspiran penulis, aspiran penerbit, bahkan (sesuatu yang cukup 'baru' di sini:) aspiran agen literasi.

Agen literasi? Mari kita bicarakan itu setelah ngebahas novelnya dulu.

Novel berjudul unik ini, pada awalnya tak saya lirik, saat saya seperti biasa browsing di toko buku Gramedia. Tak aneh, sebab saya memang khusus hanya memburu novel-novel Fantasy lokal, dan si novel Willy Flarkies, awalnya, dengan judul inggris, tokoh-tokoh bernama barat dan ilustrasi cover ala novel terjemahan, membuat saya mengira buku ini hanyalah salah satu dari sekian banyak terbitan fantasy terjemahan yang latah dengan fenomena Harry Potter. Apalagi dengan endorsemen pak LKH yang tercantum di halaman depan yang nyata-nyata mengatakan bahwa ini novel terjemahan (dari bahasa Inggris).

Saya memang melihat nama lokal: Satrio Wibowo. Saya kira nama penerjemahnya.

Lalu satu kali saya menemukan buku yang tak berplastik. Saya buka halaman depan, saya temukan pula nama Dian Guci sebagai penerjemah. Makin kuat vonis bahwa ini novel terjemahan. Tapi jadinya ada fakta yang nggak masuk logika: Kalau ini novel terjemahan dan nama penerjemahnya Dian Guci, lalu siapa nama Satrio Wibowo di sampul depan? Dan yang membuat saya terbelalak adalah ternyata Satrio Wibowo adalah benar-benar nama pengarangnya.

Lho, ada novel lokal yang terjemahan? Siapa juga pasti garuk-garuk kepala.

Kemudian gossip internet mulai santer berhembus, membawa informasi pelengkap yang membuat segalanya menjadi jelas. Jadi benar, ternyata ini adalah novel lokal yang dikarang oleh pengarang lokal, ditulis dalam bahasa inggris sehingga untuk menerbitkannya dalam bahasa Indonesia oleh penerbit lokal harus diterjemahkan dulu. Kesimpulannya, ini novel lokal. Asli lokal.

Well, then,... masuklah dalam kualifikasi Fikfanindo! Hehehe.

Gossip internet pun membawa kabar-kabar lain yang lebih mencengangkan. Antara lain bahwa Satrio Wibowo adalah seorang pengarang remaja, 12 tahun saat novel ini ditulis, dan itu tadi, ia menulis full dalam bahasa Inggris (berkah sekolah bilingual?). Sampai konon sang pengarang sendiri merasa nggak puas bahwa karyanya harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sebab menurutnya gaya ekspresi yang diinginkannya menjadi tak tercapai (well, okay, aku bisa setuju dan bisa gak setuju untuk persoalan itu!). Juga dengan sinyalemen bahwa buku ini merupakan perwujudan imajinasi yang liar dari si pengarang (untung pengarangnya berumur 12 tahun. Untuk gue yang di atas 40 tahun, ungkapan 'imajinasi liar' punya konotasi yang jauh sangat berbeda! Hehehe). Dan juga soal pengarangnya yang disebut-sebut indigo (apakah relevan? Tak tahulah).

So, yeah. Ada cukup banyak hype. Mau gak mau membuat ekspektasi saya pun jadi berlebih. Apa yang akan saya alami setelah membaca buku yang membuat saya penasaran ini?

Well, mari kita bolak-balik bukunya dulu. Tebal 400 halaman, lumayan standar novel lokal. Covernya bergambar seorang bocah laki-laki menaiki semacam skate-board terbang--tanpa perlengkapan pengaman--di atas mobil-mobil yang nampaknya juga terbang. Tulisan Willy Flarkies berwarna merah-jingga menghiasi sampul, dalam tipografi yang sangat tasteful. Bagus, konsep dan eksekusi covernya kuat. Sekali lagi karya keren Kebun Angan yang perlu dicatat. Kalaupun ada kekurangan adalah di bagian cover belakang, tulisannya agak kabur oleh latar belakang ilustrasi mobil dan nuansa warna hijau gelap.

Sinopsis (OK, ini istilah salah kaprah, setahuku. Yang namanya sinopsis adalah ringkasan cerita yang meliputi seluruh cerita dari depan sampai belakang secara semi-rinci, yang gunanya sebagai guidance, gambaran jalan cerita bagi pihak editor-penerbit. Entah apa istilah yang seharusnya untuk ringkasan cerita di sampul belakang ini. Kalo dalam dunia penulisan ilmiah dikenal istilah abstrak. Mungkin itu yang lebih tepat) cukup memiliki daya tarik terhadap cerita. Ada konsep petualangan, ada setting dunia yang tak biasa. Hanya sayang banget, pakai perlu ada referensi 'H@rry Potter' segala.

Ouch. Sebagai pembaca saya sudah dibuat cukup bosan dengan pembandingan-pembandingan itu, apalagi saking banyaknya, rasanya setiap 3 dari 4 buku Fantasy selalu membandingkan dirinya dengan karya fenomenalnya Tante Rowling. Tau sih, maksudnya tak lebih hanya untuk jualan, sekiranya target market yang dituju adalah para pembaca H@rry Potter juga. Tapi jujur, penyebutan itu malah membuat Willy Flarkies jadi sekedar 'seperti H@rry Potter'. So dimana excitement-nya? Kesannya malah jadi gak pede. Saya pikir tanpa perlu latah, kisah Willy Flarkies (WF) by itself sudah punya potensi untuk menjadi menarik, koq.

Mari kita buka halaman dalam.

Kening saya langsung berkerut.

Ada susunan isi buku yang rada gak biasa: Ada Daftar Isi, ada semacam penjelasan 'Downside World Technology', lalu ada Kronologi Cerita (Penjelasan tiap Bab), dan di halaman akhir masih ada lagi Glossarium.

Masalahnya, bagiku malah jadi pengulangan aneh yang tak perlu. Antara Daftar isi dan Kronologi Cerita, bisa disatukan aja, walau saya tak tahu apa perlunya Kronologi dijabarkan di sini. Lalu antara Downside World Technology (di bagian depan) dan Glossarium (di bagian belakang) juga fungsinya sangat mirip. Saya gak tahu apa perlunya dipisah seperti itu. Memang terkesan ada bagian-bagian yang ditambahkan oleh team penerbit, mungkin untuk membuat konten buku menjadi lebih menarik. Contohnya Downside World Technology yang penuh berisi jargon-jargon teknologi mumbo-jumbo, yang ternyata copas dari teks cerita begitu aja. Sebenarnya cukup mampu menciptakan nuansa techno-cool sejak halaman depan. Yaah, semacam pelampung life-safer di mata penerbit, mungkin.

Tapi terus terang saja, kehadiran pernik-pernik segmentasi semacam itu membuat aku tak jadi start baca bukunya pada halaman pertama. Saya malah tergoda untuk mencermati uraian techno-cool itu, sampai pada taraf untuk bisa menilai bahwa,... it's all mumbo-jumbo, gak lebih. Buat saya, agak fatal, malah. Kelemahan sebagian setting novel ini langsung kelihatan sejak di halaman depan. Ini seperti jualan rumah mewah, tapi penjualnya memajang foto-foto bagian dalam rumah, yang sayangnya belum dibersihkan atau kondisinya belum bagus, di halaman depan sebelum pembeli masuk ke dalam. Akibatnya untuk pembeli yang 'peka', malah bisa berbalik gak jadi masuk lebih lanjut.

Tapi, granted. Bisa aja target pasar WF yaitu bocah-bocah ABG yang haus petualangan, gak menyadari hal ini, dan malah menganggap techno-babble itu sebagai 'cool' bonus. Dalam kacamata itu, pembuatan techno-babble ini bisa dibilang sebagai suatu strategi plus.

Selewat Techno-babble, masuk Kronologi cerita yang sudah saya sebutkan sebelumnya. Memang agak cukup menolong, bisa mengetahui jalannya alur cerita terlebih dahulu. Tapi mungkin itu karena saya berposisi sebagai reviewer. Kalau saya berposisi sebagai pembaca, apakah bukannya terganggu oleh plot yang sudah disampaikan di muka? Entahlah. Saya juga nggak mengerti alasan memasukkan segmen Kronologi cerita ini.

Nah, sekarang, kita mulai Baca Bukunya. Boleh kutip? Ijinkan saya kutip di sini:

Willy tak ingin ikut kompetisi apapun. Tapi ketika dia melihat olah raga yang dinamakan "The Big Street Tournament" secara tak terduga ia mendaftarkan diri untuk itu dan memperoleh nomor 1375 yang artinya dia harus menunggu hingga gilirannya tiba. Kini dia sadar mengapa kompetisi olahraga di mulai pukul 03:00 pagi karena kompetisi ini dilaksanakan dalam audisi yang panjang. Audisi untuk The Big Street Tournament dilaksanakan di auditorium jadi Willy bergembira dan menuju ke auditorium. Dia menggunakan petanya untuk menuju ke auditorium dan dia menemukan lokasinya ada di ruang bawah tanah. Willy bertanya-tanya pada diri sendiri kenapa auditorium itu berada di ruang bawah, tapi seorang siswa mengatakan bahwa auditorium berada di ruang bawah tanah karena ruang bawah tanah lebih gelap dan lebih besar dibanding aula besar itu. Willy menjerit karena ada sesuatu di sana yang jauh lebih besar lagi dibanding aula besar. Hal ini nampak janggal dan sulit dipercaya tapi dia teringat bahwa The Dalliance adalah sesuatu menjadi mungkin terjadi. (Hal. 54)

Saya pilihkan contoh satu paragraf ini agar sidang pembaca dapat ikut merasakan point yang ingin saya utarakan mengenai karya novel ini.

Sebelumnya, saya ceritakan dulu bahwa untuk menyelesaikan novel WF yang 400an halaman, saya butuh waktu nyaris 2 bulan. Yep, lama. Dan Yep, ini bukan bacaan enteng, biarpun yang ngarang bocah usia 12 tahun. Apalagi buat gue, om-om yang kalo baca mata udah gampang ngantuk dan otak udah susah fokus.

And that quote above, adalah termasuk salah satu yang successfully made me fall asleep tepat setelah saya menyelesaikan paragraf itu. No wonder menyelesaikan satu buku memerlukan waktu yang panjang.

Mari kita lihat. Paragraf contoh di atas terasa seperti adonan kata-kata yang diaduk dalam mesin pengocok undian. Kalimat panjang yang sebetulnya menceritakan suatu rangkaian tindakan, tapi bercampur-campur secara membingungkan. Belum lagi urutan cara-pikir sang tokoh cerita juga tak mulus menjelaskan hubungan sebab-akibat. Coba kita bedah:

Willy tak ingin ikut kompetisi apapun. Tapi ketika dia melihat olah raga yang dinamakan "The Big Street Tournament" secara tak terduga ia mendaftarkan diri untuk itu dan memperoleh nomor 1375 yang artinya dia harus menunggu hingga gilirannya tiba.

Dari kalimat ini saja sudah terjadi kontradiksi internal, dan keterangan yang tak berhubungan. Bagaimana Willy secara tak terduga mendaftarkan diri padahal ia tak ingin ikut kompetisi? Siapa yang tak menduga? Mengapa tiba-tiba Willy mendaftar? Tidak ada penjelasan. Lalu kalimat "...memperoleh nomor 1375 yang artinya..." well, tidak ada hubungan sebab-akibat dengan "...dia harus menunggu hingga gilirannya tiba".

Sederhana aja, ini adalah kasus penulisan kalimat yang gak runtut, gak koheren. ("Selera loe payah, kali?" kata seseorang di belakang pundak gue). Uits, sorry, ini mah ilmu penulisan standar, kagak ada urusannya sama selera. Ini adalah persoalan bagaimana menuangkan ide secara 'benar' untuk dipahami orang lain secara mudah. Inilah gunanya ada pelajaran tata-bahasa, entah itu tata bahasa Indonesia, ataupun tata bahasa Inggris.

Apa yang akan menjadi saran gue? Kira-kira semacam alternatif ini:

Willy sedang malas ikut kompetisi apapun. Tapi judul "The Big Street Tournament" dengan huruf besar-besar dari neon yang selalu berpendar, serta jingle iklan yang membahana setiap satu jam sekali di seantero sekolah, mau tak mau membuatnya menghampiri meja pendaftaran. Segan-segan, pada awalnya. Lalu poster keren itu akhirnya membuat pertahanannya luluh. Ia hanya perlu lima menit untuk mengisi formulir dan menyerahkannya. Nomor pendaftarannya: 1375. Tak heran, dengan lebih dari seribu pendaftar seperti ini, Audisi bisa berlangsung tiga hari berturut-turut! Tampaknya ia harus menunggu cukup lama sampai gilirannya tiba.

Kira-kira begitu, lah, sekedar coba-coba membuat alternatif. Catat, saya keluarin kalimat: "Kini dia sadar mengapa kompetisi olahraga di mulai pukul 03:00 pagi", sebab menurut saya kalimat itu ngga ada logikanya, malah bikin pikiran pembaca kacau membayangkannya. Saya juga memberikan alasan yang lebih masuk akal dan bisa dipahami pembaca mengapa si Willy tergerak untuk mendaftar, dibanding sekedar mengatakan "secara tak terduga" saja. Lalu untuk lainnya, saya hanya mengganti dengan kalimat yang lebih gampang dimengerti pembaca.

Lalu komentar saya untuk kalimat lanjutan dalam paragraf tersebut: strukturnya masih kacau, sebaiknya dipisahkan jadi paragraf baru atau dirubah menjadi pola dialog. Juga kalimat, "Willy menjerit" tampaknya juga merupakan problem salah pilih kata, yang menghasilkan pemahaman reaksi yang aneh di kepala pembaca. Biasanya kata "menjerit" dimaknai sebagai ketakutan, sementara dalam konteks cerita, tampaknya kata yang lebih tepat adalah "terperangah", atau "kaget".

Yeah. Saya tidak akan memungkiri bahwa karya WF belumlah merupakan suatu karya tulis yang baik. Di luar ide-nya yang memang bombastis dan meledak-ledak (somehow kenyelenehan kreativitasnya sempat membuat kagum juga, sayang semata itu nggak cukup), buku ini memiliki kelemahan besar dalam teknis penulisan, terutama dalam teknik menyusun gagasan agar mudah terkomunikasikan kepada pembaca. Kelemahan teknik menyusun gagasan itu sendiri berkaitan erat dengan teknik penyusunan kalimat, yang tampaknya masih belum dikuasai pengarang (atau penerjemah?).

Pada awalnya, mengingat background buku ini agak unik, saya mengira kekurangan dalam penyusunan kalimat itu merupakan kesalahan si penerjemah, yang tak kompeten dalam menerjemahkan tulisan berbahasa Inggris menjadi 'bahasa novel' Indonesia. Namun saat diberi akses kepada naskah asli berbahasa Inggris yang saya kutipkan di sini:

“When everything seems weird”

In the country named “Plantsville” there is a kid name Willy Flarkies, everybody call him Willy but the other like to call him Will. He’s in eight grade and schooling in a school named “Green Hill Middle School”. It looks like he is the only kid that’s normal because when he looks at the sky he says:

“Huh! This world is boring, if only I can go somewhere else that is cool! I will stay in there till I’m dying.”

Willy is slim but not very slim, he has black short hair, his eyes are blue, he’s not really tall and not really thin, and his left brain is not really good but his right brain will always in charge because he have so much imagination in his head. He always got bullied from senior and always got F in assignment, well maybe he gets A- or B in English but his mathematic always got D or F. Maybe he got a bad attitude in school but his friendship is so strong. He got two best friends names Danny Alley and Mandy Chelsea, Danny is good at Biology but Mandy is good at Mathematic, chemistry, physics and language. They are nice friends and always help Willy when he’s in trouble.

Danny is one of Willy’s favorite best friend, he has black and short hair but he’s kinda fat cause he always eating chocolate whenever his stomach rumbling, even in class. And this girl Mandy, she’s a great friend of Willy but the strange thing is why a girl wants to be friend with a boy that always have a bad grade in school? It’s because Willy wants to be friend with anyone and always helping people that looks like in trouble, he even gave tips to someone that looks pity, and that’s why she want to be friend with Willy Flarkies.

After school he’s going home with his two best friends. When they in the road Willy saw some birds flying in the sky and those birds make a poop in his cloth, he scream with a loudly noise and make everyone staring at him. Mandy grab he’s hand and take him to her house with Danny in the back when he’s trying to eat his candy bar while his stomach rumbling.


Dengan terjemahannya seperti ini:

"Saat Semuanya Tampak Aneh"

Di sebuah negeri bernama Plantsville tinggallah seorang anak laki-laki bernama Willy Flarkies. Umurnya 13 tahun. Dia duduk di kelas VIII SMP Green Hill. Di situ agaknya hanya dialah anak yang normal, karena setiap kali ia menatap langit ia selalu berkata,

"Huh! Dunia ini begini membosankan! Coba aku bisa pergi ke suatu tempat lain yang asyik! Aku akan tinggal di situ sampai kematian menjemput!"

Willy selalu terlibat masalah di sekolah, dan selalu mendapat nilai F untuk semua tugasnya. Untungnya dia memiliki dua sahabat baik, Danny Alley dan Mandy Chelsea. Willy berbadan tinggi langsing, rambutnya yang hitam dicukur pendek, dan dia mengira bahwa segala sesuatu yang dilihatnya tengah mencoba membunuhnya.

Suatu hari, bubar sekolah, dia pulang ke rumah bersama kedua sahabatnya. Di jalan, Willy melihat sekelompok burung terbang di angkasa. Burung-burung itu buang air dan mengenai baju Willy. Willy berteriak sekeras-kerasnya, membuat semua orang di jalan menoleh menatapnya. Mandy menyambar tangan Willy dan menyeretnya ke rumahnya, sementara Danny mengekor di belakang. Willy mencoba memakan candy bar saat perutnya keroncongan.

Saya merasa bahwa penerjemah belum benar, tapi juga tak salah-salah amat. Memang materi dasarnya sudah kurang. Walau saya juga melihat sebetulnya versi bahasa Inggris memiliki sesuatu yang 'kuat' untuk disampaikan, yang tak sepenuhnya tertangkap oleh pena penerjemah. Parahnya, bahasa Inggrisnya memang masih banyak salah juga, sehingga potensial membingungkan penerjemah. Salah satu contoh, di teks asli yang dimaksud memakan candy bar adalah Danny, bukannya Willy sebagaimana versi terjemahan.

Mari kita lihat bagaimana versi bahasa inggris di atas seharusnya ditulis (kata 'seharusnya' di sini mengacu pada pola penulisan yang umum dimengerti aja deh, gak usah pola penulisan baku dalam bahasa inggris):

In the land called “Plantsville” there was a kid named Willy Flarkies. Everybody used to call him: Willy, but some others like to call him Will. He’s an eight grader in the “Green Hill Middle School”. It looks like he is the only kid that’s normal because everytime he looks at the sky, he always says:


Beda, kan, ya?

Yup, gue kebayang bila sang penerjemah harus menerjemahkan naskah dengan penulisan inggris yang tata bahasanya masih belum baik, pasti akan mengalami kesulitan cukup besar. So, biarpun pasal: 'naskah asli ditulis dalam bahasa inggris' memang merupakan satu 'positioning' yang unik, seharusnya proses produksi buku ini tetap melalui tahapan penulisan yang 'benar' dalam bahasa apapun, yaitu: 1. Ditulis oleh pengarang, 2. Dicek editorialnya TERUTAMA TATA-BAHASANYA, 3. Diterjemahkan oleh penerjemah, 4. Dicek editorialnya DALAM BAHASA TERJEMAHAN tersebut. Dua kali kerja? Ya tentu saja.

Om Sotoy! Harap maklum, dongs, pengarangnya masih remaja, lho. Kan hebat umur segitu sudah bisa menghasilkan sebuah novel utuh? (Somebody would say that, of course!)

Benar, prestasi bikin buku sendiri sudah bisa dianggap sesuatu yang hebat, dan siapapun layak bangga. Termasuk saya pun, bangga dengan prestasi Satrio.

Tapi bila kualitas karya dipatok dengan parameter usia pengarang, maka saya bisa menyebutkan beberapa karya remaja lain yang setidaknya sudah cukup memenuhi syarat dalam kecukupan skill menyusun kalimat. Kita bisa memulai dari Ataka (Misteri Pedang Skinheald) yang stamina penulisannya begitu juara, Maaya Hiroshi (Arquella), dimana eksekusi ide dan imajinasinya berhasil ditulis dengan rapih, Aulia M Firmundia (Another World Elmore), Muhammad Sadra (Para Penunggang Petir), dan lain-lain. Cukup banyak. So, baiknya jangan bikin usia menjadi semacam excuse untuk lack of skill. Walau tak perlu jadi patah semangat juga. Usia masih muda, skill belum ada, ya tinggal belajar lebih keras untuk melatih dan memperdalamnya. Toh, waktu justru berpihak karena masanya masih panjang, dibanding pengarang-pengarang tua ini, hehehe.

So, untuk kepentingan belajar, baik buat pengarang-pengarang muda maupun pengarang-pengarang tua yang masih bersemangat belajar, saya akan tuliskan beberapa 'points of concerns' yang bisa saya temukan dalam novel WF. Moga-moga bisa menjadi manfaat bagi kita bersama. Seperti biasa sesuai falsafah Fikfanindo, kami menulis review bukan untuk mencegah anda membeli, atau mengajak anda menjauhi karya lokal yang sedang direview di sini. Malah sebaliknya, anda akan mendapatkan manfaat maksimal dari review ini apabila anda juga telah atau sedang membaca bukunya. Boleh pinjam, atau sebaik-baiknya: Beli dan miliki bukunya. Let's support our fellow authors while you can.

Nah, untuk bisa jauh lebih baik lagi, menurut hemat saya WF harus:

1. Memperbaiki struktur penulisan kalimat, setidaknya dekatilah struktur standar bahasa indonesia (atau bahasa apapun dimana ia dituliskan) kira-kra 75% aja, dah. Artinya pengarang memang memiliki derajat kebebasan untuk berkreasi di luar norma-norma baku. Tapi jangan terlalu jauh, yang bisa menyebabkan pembaca justru kehilangan orientasi. Susunlah Subyek-Predikat-Obyek secara teratur dan 'make-sense', pisahkan topik yang berbeda dalam kelompok paragraf yang berbeda, sehingga pembaca gampang mencernanya, gak sibuk menebak-nebak dan mengolah-otak secara tak perlu. Sisakan pengolahan-otak untuk aspek suspense dan mystery yang ada dalam cerita anda. Tanda baca--merupakan tools yang tepat--untuk memisahkan kelompok kalimat, mengatur tempo membaca, membimbing otak pembaca untuk mudah memahami tulisan anda. Sounds easy. Tapi toh tak semudah itu sebab kita-pengarang justru sering kali tenggelam dalam ide-ide dan pikiran kita, sehingga kita sering abai untuk berpikir dalam posisi pembaca. Dan, satu hal yang saya percaya dalam hal ini: usia tak selalu menjamin. Artinya ini kemampuan yang bisa dikembangkan orang dalam usia berapapun, muda atau tua, dengan sama baiknya.

2. Perbaiki konsistensi fisikal Dunia Downside. Ini cukup parah, menurut saya. Sepanjang membaca buku ini, saya merasakan setting yang dibangun Satrio begitu cair, seolah seperti dunia mimpi yang tak memiliki bentuk menetap. Maksudnya gini: Ingat kalau kita sedang bermimpi? Misalnya kita bermimpi sedang berada dalam sebuah ruangan yang memiliki tembok berwarna biru, satu meja dan dua kursi makan. Lalu sesaat kemudian pasti ruangan dalam mimpi kita itu sudah berubah, mungkin warna cat temboknya jadi kuning, meja makan berubah jadi meja belajar, kursinya jadi sofa dan seterusnya. Artinya, dunia mimpi kita tidak memiliki konsistensi fisik yang menetap. Ia demikian mudah berubah sesuai jalannya imajinasi. Apa jadinya bila setting dalam novel kita secair itu? Yap, pembaca akan kehilangan orientasi dan sebagai akibatnya justru tak bisa membayangkan dunia seperti apa yang dimaksud pengarang. Padahal, salah satu kekuatan kisah fantasy adalah sebuah dunia rekaan yang justru harus bisa dibayangkan dan di'rasakan' oleh pembaca sehingga dia merasa seolah-olah sedang hidup di dalamnya.

Saya coba hadirkan contoh berikut ini:

(halaman 63: Adegan perkelahian Willy dengan Rocky)

... Setelah pelajaran usai Willy mengelilingi gedung untuk mencari udara segar. Kemudian dia berjalan ke luar di halaman parkir yang tampak seperti sebuah tempat bermain dan untuk bersenang-senang... dia berjalan menuju asrama ... ketika dia berada di tengah jalan, seseorang menabrak dan menghantam Willy sehingga terjatuh ... (terus berkelahi dengan Rocky)... Rocky menghentak bumi dan membuat arena gladiator untuk pertarungan mereka ... jalan untuk keluar tertutup oleh arena yang dibuat Rocky. Tempat duduk sudah dipenuhi orang-orang ... pukulan pertama Rocky menghancurkan tembok ... Rocky membuat lingkaran seperti Coloseum di Eropa ... Rocky tak tahan kepanasan, dan dia menggebrak tanah sehingga meledak seperti gempa bumi sesungguhnya dan mengisap Rocky ke dalam tanah melalui sebuah lubang... Willy melihat ke lubang dan dari lubang itu keluarlah Rocky yang basah kuyup seluruh tubuhnya ... dia menghancurkan tanah untuk mendapatkan air dari dalam bumi... Rocky menendang tanah dengan sepasang kaki yang sekeras batu dan menyatukan dirinya ke bumi. Dia merubah tangannya menjadi sepasang tangan batu tak terkalahkan dan menyulap tubuhnya menjadi raksasa batu kekar dengan senjata anti api ditambah kaki super mega dan beberapa tangan ekstra untuk melengkapi senapan batu dan bahu batu ultra untuk bazoka batu.

Well yah, sekali lagi, imajinasi memang mengalir kencang, tapi dengan mengorbankan konsistensi setting dunia Downside. Terlepas bahwa dalam setting dunia ini hal-hal tersebut dimungkinkan (bikin arena pertarungan ala gladiator lengkap dengan tempat duduk, di tengah jalan? Magically done out of imagination!), tetap saja penuangan cerita seperti itu akan mengacaukan isi kepala pembaca, karena pembayangan settingnya jadi susah.

Coba bayangkan setting lingkungan-fisik di sebuah novel sebagai set buat shooting film. Mungkin dibangun dari tripleks atau papan, yang selama shooting akan tetap dibiarkan begitu, sehingga kalaupun di shoot dari depan, samping, belakang, di shoot di adegan pembuka, di adegan tengah-tengah, ataupun di adegan terakhir, akan tetap terlihat sama (kecuali bila skenario menentukan lain, pastinya). Bayangkan betapa kacaunya, bila dalam satu adegan di ruangan yang sama, penampakan ruangan & properti-nya bertukar-tukar ngga sama. Penonton bisa kram-otak. Bahkan, seperti saya kutip dari buku MENCIPTA SOSOK FIKTIF karya Orson Scott Card (Terbitan Mizan MLC): Di dalam pembuatan film, ada orang yang tugasnya hanya memastikan jika rokok seorang aktor panjangnya dua sentimeter pada pengambilan gambar pertama, rokok itu juga dua sentimeter pada semua pengambilan gambar closeup dan reaksi (hal. 84 dari buku Orson).

Dalam novel, pengarang punya tugas yang serupa, kalau tak lebih berat sesungguhnya. Soalnya dia harus mampu mempertahankan setting tersebut secara abstrak di dalam pikiran pembacanya, hanya melalui perangkat berupa kata-kata belaka tanpa dukungan visual maupun auditif seperti di film.

3. Perhatikan Logika , lagi-lagi logika. Di buku ini nggak terlihat ada sistem logika yang merangkai seluruh cerita menjadi satu kesatuan hubungan sebab-akibat yang koheren. Tapi gue rasa gue akan terlalu jauh kalo maksa ngebahas ini, sebab it seems that novel ini sendiri memang dibiarkan di positioning seperti itu. (look, it's the first time gue terpaksa ga ngebahas logika! Hahaha).

4. Kurangi Hiperbola. Ini mungkin penyakit remaja, kayak gue dulu juga, sih. Gue pernah berpikir, ada satu kata yang sudah lazim, tapi nggak terlalu kuat untuk mengekspresikan sesuatu hingga akhirnya digunakanlah kata lain yang rasanya lebih josss. Padahal, kebanyakan hiperbola membuat logika terbantai. Ada cukup banyak pengungkapan semacam itu dalam buku ini. Tipsnya, justru carilah kata 'sederhana' yang paling tepat mewakili kondisi real yang ingin digambarkan. Mungkin lebih baik menulis, "Agus berteriak memanggil Joni, agar ikut bersamanya ke kelurahan," dibandingkan, "Agus menjerit-jerit memanggil Joni, agar ikut bersamanya ke kelurahan". Apalagi ini karya terjemahan, bisa aja terjadi kesalahan pemilihan kata terjemahan sehingga terasa hiperbolik dibandingkan seharusnya.

5. Rangkai Plot dengan seksama, satu peristiwa leads to peristiwa lanjutannya. Orang bilang 'alur cerita', bukan 'cerita alur'. Istilah yang pertama menunjukkan bahwa suatu kisah akan mengikuti suatu alur tertentu yang memiliki awal dan memiliki ujung, dan di antaranya memiliki plot yang berfungsi menyambung pengertian, pemahaman akan sebab-akibat yang terjadi dari awal hingga akhir, so terciptalah missi cerita atau tema besar cerita.

Yang 'cerita alur', adalah kalau pengarang menyusun cerita-cerita-cerita kecil satu di depan yang lain sehingga secara berurutan terciptalah alur. Mungkin hasilnya adalah rangkaian Bab dan halaman sampai 400 halaman, tapi nggak ada hubungan sebab-akibat yang jelas.

Kita lihat 'alur'nya WF:

- Willy di Plantsville
- Willy masuk ke Downside World
- Willy sekolah di The Dalliance
- Willy ikut Big Street Tournament (yang berubah jadi The Big Street Game)
- Willy menang Big Street Tournament jilid 1
- Willy harus latihan Skyboard
- Willy menang Big Street Race (nama ini juga muncul tiba-tiba)
- Willy harus belajar tarung
- Willy versus Alien
- Willy menang Big Street Fight Game (DONT Ask!)
- Willy versus Monster
- Willy versus penjahat besar
- WIlly menang.

Dari yang lebih-kurang hanya merupakan sebuah peristiwa satu dengan yang lain, kisah WF dalam satu buku ini masih hanya terasa sebagai 'cerita alur'. Ini juga disebabkan oleh sistem logika yang belum kuat merangkai setiap peristiwa. Padahal secara keping-kepingan kecil, sebetulnya ada plot device yang menarik. Misalnya ada 'misteri ayah Willy', kenapa ibu Willy tahu soal downside world dll, yang sayangnya masih belum jadi faktor integral di dalam bangunan novel. Yah, sekali lagi, ini bisa ditingkatkan dengan latihan terus-menerus, koq.

Bicara alur internal tiap Bab juga sama, setiap peristiwa seolah terjadi 'Pops Out' begitu saja, sesuai ide pengarang pada momen tersebut. Saya bikinin contoh ala sendiri aja, biar gampang. Coba bayangkan situasi begini:

Si jagoan A menyerang penjahat B, penjahat B berkelit, lalu menghantam A dengan Gada Super Raksasa-nya yang memiliki seribu paku beracun. Jagoan A berkelit tepat pada waktunya sebelum gada menghancurkan tanah bekas tempatnya berdiri sampai berkeping-keping. Untung saja si jagoan A mengenakan snickers Nike Supersonic Air-nya, sehingga bisa bergerak secepat kilat. Tak mau kalah, jagoan A mengeluarkan Super Gun Bazooka 3000 yang memiliki kepala ledak termonuklir, langsung ditembakkan tepat ke dada penjahat B! Terjadi ledakan raksasa dengan cendawan nuklir sampai radius seribu kilometer. Jagoan A bersorak dan melakukan moonwalk untuk kemenangannya. Tapi betapa kagetnya ketika asap sudah mereda, penjahat B masih berdiri tegak. Rupanya ia mengenakan Pelindung Dada Turbo Antiblast Tipe Nuclear-strength 1500!

Yeah, say: Tom and Jerry syndrome. Lihat 'barang-barang' yang tiba-tiba muncul dalam cerita, yang tidak eksis sebelumnya. Kalau bicara alurnya saja, paragraf ini tidak terasa aneh, sebab sudah mengalir dengan benar dan 'masuk-akal'. Tapi kalau kita bicara hubungan sebab-akibat, banyak sekali 'pelanggaran' yang terjadi. Kita lihat saja mulai dari tembakan nuklir yang efeknya nggak nyambung (masa jagoan A-nya gak ikut mental terdorong energi ledakan yang sampai ribuan kilometer?), lalu dimana mereka membawa senjata-senjata hebat yang disebutkan itu? Koq bisa tiba-tiba aja muncul? Apa ada kantong Sinterklas-nya? Terus setelah terpakai menghilang kemana tuh senjata?

Kira-kira begitulah. (catatan: ini juga termasuk ngebahas logika seperti yg gue tulis di point 3).

6. Show more than Tell. Jargon "Show Don't Tell" sudah jadi semacam kredo di antara pengarang. Maksudnya, tuliskan cerita dalam bentuk seperti menghadirkan gambaran-gambaran ke dalam benak pembaca, mirip seperti sebuah film menghadirkan potongan-potongan frame gambar secara berurutan sehingga membentuk cerita di pikiran penonton. Itu maksudnya "show". Don't Tell, maksudnya jangan ceritain, pembaca jangan 'dibilangin'. Memang Show akan membuat tempo cerita jadi lebih lambat, dan sebaiknya Tell akan membuat tempo cerita menjadi lebih cepat. Tapi seyogyanya sebuah novel jangan sampai didominasi oleh Tell. Itu seperti pergi ke bioskop untuk nonton film, tapi di dalam, mata kamu ditutup, kuping kamu dipakaikan headphone dan teman di sebelah kamu menceritakan film itu kepadamu melalui headphone. Kesimpulannya, it's a torture!

Gaya WF, sangat Tell banget. Alhasil itu menghilangkan 90% gambaran keren yang harusnya bisa dinikmati oleh pembaca. Itu juga yang bikin pembacaanku jadi lama buanget. Terutama untuk menghilangkan kebosanan. Apa? Aku terlalu sadis berkomentar? OKE, siapapun di luar sana, kalau anda ingin tahu rasanya, silakan bikin eksperimen seperti ini: Bertamulah ke sebuah taman kanak-kanak, cari salah seorang anak yang paling cerewet, tarik kursi, duduklah bersama anak itu, dan mintalah si anak bercerita apa yang ingin diceritakannya. Lalu dengarkanlah. Dia akan mulai bercerita, jelas pada awalnya. Lalu apabila ia memiliki stamina bocor-mulut yang tinggi, maka dia akan mulai melantur dalam dunianya, soal teman-temannya yang tak anda kenal (harus tanya dulu, but she wouldn't stop just to tell you that), binatang peliharaan mereka yang gak dijelasin anjing atau kucing (cuma namanya aja, jenisnya anda harus tebak sendiri) dan seterusnya. Ia men-Tell anda dengan ceritanya sampai anda akan kram otak di menit ke dua puluh, muntah di menit ke dua puluh satu!

Yep, you Tell too much, and people will lost interest!

7. Selain mengurangi Tell, pengarang juga harus memperbaiki gaya dialog dan memperbanyak porsi dialog . Menurut saya gaya dialog di WF belum asyik, belum mengalir wajar. Mungkin saja ada pengaruh dari penulisan dalam bahasa Inggris, yang ujungnya membuat terjemahannya kurang pas. Tapi di luar masalah penerjemahan, pun, saya melihat pilihan isi dialognya pun kurang pas dengan karakter. Saya cenderung berkesimpulan bahwa si pengarang sendiri memang merasa lebih nyaman 'bercerita' (atau bergaya Tell), sehingga kurang berminat mengembangkan gaya dialog. Padahal, keseimbangan antara narasi, aksi, dialog sangat penting bagi pembaca.

Dialog dapat membuat pembaca 'menyerap' jiwa karakter, memahami motivasinya, kebutuhannya, ketakutannya, dan sebagainya, secara lebih efektif dibanding bila hal tersebut diceritakan atau dinarasikan.

Coba saja bandingkan dua contoh ini:

Contoh 1: Bun mengatakan bahwa dirinya takut.

Contoh 2: "Mas,.. serem banget,..." bisik Bun dengan suara gemetar.

Saya yakin, dengan semakin berkembangnya skill penulisan sang pengarang, variasi narasi-aksi-dialog-nya akan lebih kaya.

8. Saat bicara teknologi, please make it more sensible. Maksudnya gini. Yang namanya teknologi, pastilah patuh pada desain dan mekanisme tertentu. Nah untuk membuat teknologi kita jadi realistis, harap susun dulu hukum-hukum desain dan mekanismenya secara 'kurang-lebih' akurat (gak harus ilmiah, but harus make-sense supaya orang lain bisa ikut ngerti alih-alih bingung). Ada banyak referensi teknologi di dalam novel ini, sampai-sampai ada endorsemen yang mengatakan bahwa buku ini sarat dengan teknologi yang ramah lingkungan (saya lupa dimana membacanya). Parahnya, saya gak bisa menemukan teknologi, kecuali dalam bentuk-bentuk yang tak bisa dijelaskan 'logi' nya (buat yg lupa. 'logi' adalah bagian yang bermakna 'logos' atau ilmu). Akhirnya jadi Tekno yang asal Tekno aja. Memang asyik, tapi membuat sebagian pembaca akan kebingungan. Salah satu contoh, bagaimana sebuah pisau kecil menyemburkan selai kacang dalam volume tak terbatas, dan bagaimana selai kacang itu bisa menjadi 'senjata' buat menjatuhkan musuh. Gue sih demen aja sama ide 'weird' nya. Keatif. Tapi gak bisa kukatakan ada teknologi atau semacamnya di sini. <>It's just,... just.

And don't get me started on soal "Ramah Lingkungan" itu. Sebagian besar adegan menghasilkan lingkungan yang porak-poranda. Gue gak bisa nahan geli terhadap kontradiksi tersebut. Somebody is sure missed the boat. Tapi udahlah, it's just marketing.

Lantas, apakah kita harus 'menyalahkan' keseluruhan penggambaran teknologi yang ada di WF? Ada jetcoaster yang nggak mematuhi hukum fisika, ada Rocketvan yang bisa bertransformasi ala transformers menjadi semacam robot tempur, ada pakaian tempur yang luar biasa yang gak jelas gimana dibuatnya, mesin pembuat minuman cokelat, senjata-senjata aneh, skyboard dan segalanya. Memang kupikir itu hal-hal yang membuat editor merasa 'overwhelming' sehingga memutuskan untuk menghadirkan cuplikannya di area halaman depan. Well, dari ide dan konsepnya doang, rasanya saya tidak akan kontra, bahkan ikut merasa seru dan exciting. Cuma pada saat pengarang abai memasukkan ide tersebut secara 'seamless' ke dalam cerita, masuk tanpa merusak konsistensi logika di kepala pembaca, saya merasakan semuanya jadi mubazir. Lebih baik bicara sedikit aja 'teknologi' tetapi meyakinkan (seperti Harry Potter, Iron Man, Spiderman dan banyak lainnya), dari pada masukin bejibun tapi jadi nggak meyakinkan.

Aku cerita sedikit mengenai ide Rocketvan yang berubah menjadi robot tempur. Proses transformasinya dilukiskan secara detail oleh pengarang dengan nuansa "oh, soo cooool" punya. Tapi saat membacanya, pikiran saya langsung beradu-kacau. Lha ini dari posisi mobil jadi robot, tuh konfigurasi kabinnya, orang-orangnya, kan harusnya jungkir balik gak karuan? Awas, jangan memodel transformasi macam robot power rangers yang nggak logis!

Tapi di sisi lain, mungkin aku sedikit melupakan TARGET MARKET-nya si Willy. Okelah, buat adik-adik ABG yang mungkin masih menggemari style film kartun, kondisi ini memang mengasyikkan, sih. Rasanya seru, tanpa terbeban oleh keharusan bersikap serius all the time! Right? Well, I wish I could, hehehe.

9. Karakterisasi,... well okay. Seluruh karakter di sini terpusat pada Willy. Central Egocentric Mary Sue. Ya sudah, ini part yang gue ampuni mengingat soal usia pengarang. Tapi sejujurnya ada potensi menarik yang nggak begitu terolah. Di awal, pengarang sudah bikin setting yg unik: dalam dunia downside, ternyata ada karakter yang mirip di dunia Topside-nya, tapi dengan nama-nama yang kebalik: misalnya Pak Harold jadi Holard, dengan karakter yang agak berlawanan pula. Sebenernya itu berpotensi jadi seru! Tapi sayangnya, nggak konsisten berlaku ke semua tokoh. Setidaknya kontras antara karakter Topside dengan karakter paralelnya di Downside, yang semakin blur dalam perjalanan cerita, yang menandakan bahwa pengarang belum mahir memelihara konsistensi karakter. Tapi sekali lagi: diampuni, mengingat faktor usia dan skill.

Saya katakan ini menjadi potensi yang bagus, tapi nggak begitu terolah. Potensi bagusnya, bila pengarang (atau team-nya) berhasil menciptakan dunia yang betul-betul kontras (dan konsisten) antara Topside dan Downside (baca: antara dunai 'Real" dan dunia 'Fantasy'), maka akan menjadi setting Fantasy yang unik. Saya bisa menyebutkan salah satu contoh yang berhasil, adalah dalam setting serial Erec Rex-nya Kaza Kingsley, atau dalam setting Neverwhere-nya Neil Gaiman, atau yang agak mirip: setting Un-Lundun, atau dalam serial Tunnel-Deeper-FreeFall (yang menceritakan komunitas bawah tanah itu, lho). Jadi, ide Upside-downnya udah bener. Eksekusinya aja yang masih belum banyak wawasan sehingga hasilnya nggak begitu mengesankan.

Nah, sampai sini, aku menyebutkan soal skill, dan sekaligus juga soal team. Ini ada point yang menarik. Pengarang, seyogyanya memiliki team yang dapat membantunya memecahkan berbagai masalah penulisan. Dalam kerangka yang lebih tradisional, team ini terdiri atas minimal dua orang: pengarang dan editornya. Sayang seribu sayang banget, di Indonesia, teamwork semacam ini belum berkembang baik, sehingga beban masalah penulisan menjadi terlalu banyak ditanggung sendirian oleh pengarang dengan skill yang--biasanya--apa adanya.

10. Konsistensi penamaan, perlu diperhatiin juga tuh. Paling ketara adalah soal penyebutan dunia Upside Down terus ganti Downside, gak jelas. Big Street Tournament tiba-tiba tanpa penjelasan berganti jadi serial: Big Street Game, Big Street Race, Big Street Fight Game. Please be consistent untuk memudahkan pembaca, aja.

Kira-kira sepuluh point ajalah, biar gak usah terlalu banyak. Sepuluh ini dibenerin aja, karya WF akan berubah jadi jauh lebih bagus. Soalnya banyak hal-hal yang sifatnya 'mentah' tapi sudah mengandung gagasan yang menarik. Kalau saja sempat dimasak lebih matang lagi, terus dijahit dengan lebih rapih, saya kira dampaknya akan luar biasa.

Komen penutup untuk review novel, sebelum bicara tentang agen literasi, adalah mengenai 'bakat' Satrio yang digembar-gemborkan oleh 'seribu' hype all over the place. Bukannya tak setuju dengan konsep: Pujian Mengangkat Motivasi. Saya cuma ingin menempatkan pada proporsinya. Kenapa? Saya lihat Satrio punya potensi, yang sayang bila keburu burn-out akibat kebanyakan dibakar hype yang nggak realistis mengukur kemampuannya. So, saya akan strip-off berbagai sebutan 'istimewa' yang menyangkut sebutan indigo, penulis muda berbakat, kemampuan berbahasa inggris ala 'laduni' dan sebagainya, dan saya kembali pada sesosok remaja yang berada di depan komputer yang sedang mencoba berbuat sesuatu bagi dirinya, dan orang-orang yang dicintainya. Hasilnya adalah karya ini. Bagus atau jelek kata orang, ya inilah hasilnya.

Well, yes, remaja ini punya sesuatu yang ingin disampaikan. Dan saya merasakan bahwa itu terakumulasi menjadi energi yang besar, yang men-drive imajinasinya ke berbagai hal, terutama escapism yang kuat. Dan bagi saya, itulah keistimewaan personal yang ia miliki. Dengan energi besar, dia akan lebih tangguh dan lebih 'lasting' dibanding orang-orang 'biasa'. Persoalannya, kekuatan ini mau diarahkan ke mana, seperti apa?

Sebuah energi besar harus dibentuk dan diarahkan menjadi sesuatu yang berguna. Energi nuklir yang memancar ke segala arah, namanya BOM, hasilnya bencana. Energi nuklir yang diarahkan kepada kalori-air-turbin, jadinya listrik, hasilnya manfaat.

Kalau Satrio, atau Bowo, memang mencintai dunia tulis menulis, maka dia sudah punya reservoir energi yang akan me-mampukan-nya menelurkan berbagai ide tulisan kreatif. Tapi tanpa skill penulisan yang sama 'kuat'nya, idenya hanya akan jadi bom imajinasi yang porak-poranda. Apa yang mengasyikkan dari itu? Sorry, nggak ada. Nothing's cool about garbages. So, saya berharap dengan segala kerendahan hati, agar Bowo mau belajar bertata-bahasa dan bertata-kalimat dengan baik. Kalau memang merasa lebih nyaman menulis dalam bahasa inggris, seriuslah belajar menulis dengan benar dalam bahasa inggris. Pelajari skill penulisan literatur inggris dengan setekun-tekunnya. Cari mentor yang handal, kalau perlu korespondensi dengan penulis/ editor di luar. Hey, kalau dia memang se-indigo yang digemborkan, saya yakin koq kalo dia bisa. Don't worry, I'm just as purple as you were, kid!

Having said that, I conclude this review with something about literary agent. Atau 'Literarity' Agent? Whatever.

Mungkin sebagian besar pembaca juga baru mendengar istilah ini. "Agen Penerbitan". Memang masih istilah yang asing di sini. Salah seorang rekan penerbit mengatakan dengan pasti bahwa agen literasi adalah: sosok yang menjual rights terjemahan novel dari luar ke penerbit-penerbit lokal.

Saya tak membantah, tapi 'koq cuma itu'? Pada kenyataannya begitulah yang terjadi di industri kita saat ini. Pemahaman agen literasi baru pada 'bagian kecil' peran sesungguhnya dalam lalu-lintas bisnis penerbitan.

Dalam pemahaman saya, agen literasi adalah suatu pihak yang 'memasarkan' suatu karya literasi (let's call it: Naskah) ke berbagai 'kemungkinan'. Mungkin lebih mirip manager artis. Seorang agen literasi akan menawarkan suatu naskah ke penerbit, dan men-secure deal dengan penerbit on-behalf si pengarang. Namun tak berhenti di situ. Seorang agen literasi juga akan mengeksplorasi segala kemungkinan untuk memasarkan segala aspek dari naskah ini ke pasar yang memungkinkan.

Misalnya: Penerjemahan di luar negeri, Pembuatan Film, Penerbitan Audio Book, Sandiwara Radio, Penerbitan (versi) Novel Grafis, merchandise, perluasan pasar (misalnya nerbitin versi children book-nya, dll). Pokoknya segala posibilitas.

Singkatnya, dalam konsep ini, seorang Agen Literasi adalah Dewa Penyelamat pengarang, dari keharusan untuk memasarkan sendiri produknya. Hingga pengarang dapat fokus pada pekerjaan utamanya, yaitu mengarang.

Di industri penerbitan kita, profesi ini masih jarang, dan secara tradisional masih merupakan wilayah peran yang diambil oleh penerbit. Akibatnya, kita bisa melihat kemajuan bisnis penerbitan menjadi tak sekencang seharusnya. Coba lihat di luar negeri, begitu satu buku 'ngetop', langsung sekuel meluncur berikut Film-nya nongol setahun kemudian. Film sukses, tahu-tahu bermunculan merchandises ini-itu, buku cerita-foto, games, dan seterusnya. Apakah itu hasil upaya penerbit? Rasanya tidak. Atau, butuh usaha penerbitan yang benar-benar besar sehingga memiliki berbagai cabang media specialist, untuk bisa berbuat seperti itu.

Itu jenis kerjaan 'pritilan' yang butuh konsentrasi, butuh fokus. Penerbit sudah terlalu banyak urusan. Hanya pihak 'merdeka' semacam agen literasi, sang spesialis, yang bisa melakukannya secara maksimal.

Nah, satu hal yang menarik adalah: Willy Flarkies menggunakan pola Agen Literasi, yang dikelola oleh Kurnia Esa Agency. Jujur, saya belum kenal siapa mereka dan bagaimana mereka, tetapi brand Kurnia Esa sudah eksis di beberapa terbitan selain Willy Flarkies. Salah satu yg saya ingat adalah buku Giganto-nya Mas Koen Setiawan. Dan pengamatan saya, khusus terhadap buku-buku ini, bahwa mereka 'tampil' dalam banyak event promosi.

Yak, so salah satu peran Agensi yang mulai tampak, adalah membantu memasarkan atau mengkomunikasikan, entah pengarang, atau bukunya. Saya lihat, yang dipegang oleh agensi biasanya punya cara promosi yang unik, yang nggak standar ala penerbit. Contoh Giganto, misalnya, dibikinkan event di Pusat Primata Kebun Binatang Ragunan. Ada tematik tertentu, ada usaha tertentu yang membuat usaha promosi itu menggema, dan tidak 'gitu-gitu aja'.

Tentu sebabnya jelas, mereka bisa fokus dalam berkreasi, katimbang penerbit yang senantiasa disibukkan urusan-urusan penerbitan. Penerbit acap 'lupa' me-manage jajaran pengarangnya sebagai asset, dan Agen Literasi mengambil peran ini dengan baik. Saya ngebayangin, misalnya aja karya WF ini, kalau memang dia lebih mungkin diterima di kalangan anak-anak seusia Bowo (SMP/ SMA), event promosinya bisa lebih fokus ke kantong-kantong aktivitas anak-anak seusia itu, dan akan lebih kaya idea, dibanding jika hal-hal tersebut dimanage oleh Penerbit. Gak kecil kemungkinan bahwa karya tersebut malah bisa mendapat basis penggemar yang kuat, yang justru memperpanjang napas produksinya jauh lebih panjang dari yang bisa dihasilkan oleh sistem pemasaran 'konvensional'.

Sehingga, ada satu opportunity yang bisa saya lihat, melalui keberadaan Agen Literasi ini, terutama dalam kasus WF. Regardless kualitas bukunya, ternyata Agen literasi lebih mampu mengangkat pemasaran dan pembentukan imaji produk secara lebih kuat ke masyarakat. Ini yang saya sebut dengan fenomena menarik di awal tulisan ini. Well, you may have a bad writings, but you gotta have a bad-ass agent!

OK, enough rambling. Buat Bowzie, selamat berkarya! Kalau ada Willy Flarkies 2, usahakan diperbaiki lagi semaksimal mungkin. Well, I guess you've learned by now, nulis novel dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, gak ada bedanya: kamu harus benar-benar kuasai bahasa tersebut. Semoga sukses, salam indigo,... :)


FA Pur

34 komentar:

Anonim mengatakan...

Ga sia-sia meditasi di Marina Bay.
Pulang-pulang bawa segudang ilmu.
Hehe. Ngerti banget kenapa butuh dua bulan buat baca buku ini. Aku juga baca repiu-nya butuh waktu lama. Dan tentang beberapa kutipan yang berbeda warna, duh, jujurnya sampe sekarang aku juga masih belum cukup ngeh.
Mungkin perlu pergi ke Marina Bay dulu kali ya?

Heinz.

Juno Kaha mengatakan...

Yg ada elu ke Marina Bay dan bukunya malah dibuang ke laut kalee, Heinz. Wkwkwkwk.

Kyknya kasus penulis muda yg digembar gemborkan "di usia semuda ini sudah pny skill seperti ini" mirip kaya si JP Millenix di Indonesia Mencari Bakat. Dibandingin peserta lain, dia suatu hari akan tersingkir karena toleransi pendukung lewat SMS dan juri menyatakan bahwa skillnya dia main drum mentok di sana, gak ada lebihnya lagi, dan orang udah bosan kalo modal "bakat" tu cuma umur muda doang. Jangan2 sbnrnya ada drummer muda lain yg lbh jago? Kemarin ini dia ditolongin juri krn dianggap "label masih muda"nya masih sah jika dibandingkan dgn JR yg udah mentok-tok-tok maen pianonya gak ada variasi dari waktu ke waktu. Dalam waktu dekat, setelah dia kembali ke tiga terbawah masalah "umur" gak bisa lagi dijadiin tameng, IMHO.

Yaa, sama dengan kasus Willy ini sih. Dia dibilang masih muda udah bisa bkn novel yg kueren abis, tapi yg ngomong gitu lupa bahwa masih ada yg lbh muda dan pny gaya penulisan yg oke. Gak dibandingin, maen kasih endorsement wee, barangkali org kan gak ngebanding2in juga. :P

Umur muda itu cuma dalih sementara lah, IMHO. Setelah waktu berlalu, misalnya para pengarang muda itu bkn karya lagi (saat itu, anggaplah mereka udah umur 18 ato bahkan 20-an) tapi dengan kualitas sama, umur mereka gak akan menolong malah menjatuhkan. Bisa dibilang komennya jadi, "Dulu waktu kecil pernah terkenal krn nyelesaiin novel, tapi sekarang udah tua kenapa gaya nulis novelnya kyk dia masih umur 12??? Gak berkembang nih anak, payah."

Hehe.

Anonim mengatakan...

@ Mantoel : sapa bilang umur JP Milenix gk bisa dijadiin tameng lagi,, buktinya minggu ini dia masih dipertahankan para juri...
padahal kalo diperhatikan, skill JR dlm berpiano lbh unggul drpd JP yg kyknya asal2an gebuk drumnya...

Lholholho koq malah bahas Indonesia mencari bakat sihhh???
ampunnn, mas Purrrr!!!!

Anonim mengatakan...

Haii..baru nemu blog ini dan sumpah isinya TOP abis. Meski agak kecewa deh karna menerima fakta bahwa nyaris semua novel fantasi di indonesia masih habis dibantai di sini. Aku juga lagi ngerjain novel fantasiku nih, smoga hasilnya lunmayan dan ga malu-maluin banget. Bisa ga sih kalau minta ngebaca dan kasih komentar plus saran tentang novelku ini? Hehe thanks.

Juno Kaha mengatakan...

@Anonim1: Para juri narget Bonita kyknya mereka. Habis si Bonita masih pelit senyum dan dia kyknya byk rekan sejenis di Indonesian Idol ato Mamamia. Coba kemarin dia masuk 3 terbawah, eliminasinya kena ke dia lah. Kalo macam Putri Ayu kan jarang yg ada makanya dibelain terus. Haah, JP padahal udah berapa kali kena peringatan soal tempo pas ngiring org nyanyi yah?

@Anonim2: Hmm, sepanjang ingatan gw gak lantas yg nampak jelek itu bnr2 jelek kok. Orang kalo udah mulai nulis yg namanya "fiksi" + "fantasi" biasanya suka lupa daratan, itu kelemahan yg membuat logika jd bolong2. Tenang, Mas/Mbak, yg dibahas di sini blm mencakup 90% dari fikfan lokal yg beredar di pasaran kok. Mgkn sbnrnya ada fikfan lokal yg gak kebaca dan ama pengelola blog ini ditulis sebagai top-markotop-high-quality-pisan-gak-ada-tandingannya-sampe-saat-resensi-tersebut-ditulis.

Hehe.

Dewi Putri Kirana mengatakan...

Wah, waktu ngebaca repiu ini setengah jalan, sempet kepikir buat ngasih saran ke Om Pur untuk ngebaca WF yang versi asli bahasa inggrisnya. Ternyata emang udah dilakuin, dan ternyata versi bahasa inggrisnya pun sama "kacau"nya sama versi indonesia nya.

Nunggu "bom" komen dari jajaran para pendukung WF yang sempet nge-flaming blog-nya Luz, lalalala....

Anonim mengatakan...

@dewi
Udah padem kali flame-nya.
Harusnya mereka udah dapet data rekapitulasi penjualan bukunya.

So walau mereka bilang bahwa mereka minimal udah berhasil menerbitkan buku, tapi kalo serapan pasarnya ga bagus, itu bukan bukti yang bisa dibanggakan.

Heinz

Anonim mengatakan...

Nice review, Mas :)

Memang penulisan dan konsistensi cerita kadang susah dijaga, apalagi kalo bikin cerita panjang kayak novel.

Adrian

Juno Kaha mengatakan...

@yican: GAH?! Jangan flaming lagi lah! Parah lah. Flaming itu bkn rame tapi sekaligus membuat hati gundah gulana (kalo gw). orz Jangan deh. Gak lagi lagi.

Hehe.

Diclonius 'Vina' Youichi mengatakan...

wahh.. udah lama nunggu nih reviewnya... akhirnya nongol juga.. :D
sip, reviewan panjang, kesukaanku... hehe... lagi nyari novelnya.. belom nongol2 juga di Gramed.. :'( jadi gak bisa ikutan koment... hiks..

@mantoel : memang flaming tu artinya apa?? *bingung*

Luz Balthasaar mengatakan...

Kecil kemungkinan ada yang ngomel-ngomel.

Mungkin para suporter WF dah ngerti kali maksud kita dulu apaan. Atau kali juga mereka berusaha menganggap kita ga penting.



Luz Balthasaar

Dewi Putri Kirana mengatakan...

@Vina: Dari Om Wiki
Flaming (also known as bashing) is hostile and insulting interaction between Internet users. Flaming usually occurs in the social context of a discussion board, Internet Relay Chat (IRC), Usenet, by e-mail, game servers such as Xbox Live or Playstation Network, and on Video-sharing websites. It is usually the result of the discussion of heated real-world issues like politics, sports, religion, and philosophy, or of issues that polarise subpopulations. Internet trolls frequently set out to incite flame wars for the sole purpose of offending or irritating other posters.

Ampun DJ >.< bukan ngarep blognya disampahin lho, cuma mau liat aja, kekonyolan apalagi yang bakal keluar setelah repiu resmi Om Pur diterbitkan. Yah, kalo para pendukung WF itu udah ngerti, ya bagus lah. Kalo ga, atapiluloh...

Anonim mengatakan...

Astaga! Jadi flaming tuh emang beneran istilah teknis? Kupikir istilah "ada-ada"-an.

Heinz

Diclonius 'Vina' Youichi mengatakan...

@dewi : jahh.. itu toh maksdnya.. = =a.
hmm.. memng penduku WF ada ya??? seperti apa mereka??

Dewi Putri Kirana mengatakan...

@Vina, coba cek blognya Luz, liat bagian komennya, tar juga ketemu :p

FA Purawan mengatakan...

Ngutip Mantoel/ Juu: Tenang, Mas/Mbak, yg dibahas di sini blm mencakup 90% dari fikfan lokal yg beredar di pasaran kok. Mgkn sbnrnya ada fikfan lokal yg gak kebaca dan ama pengelola blog ini ditulis sebagai top-markotop-high-quality-pisan-gak-ada-tandingannya-sampe-saat-resensi-tersebut-ditulis.

Soal masih banyak Fantasy lokal yang belum diliput, itu bener banget. Di lemari gue aja ada lebih dari selusin judul yang FikFan, tapi belum sempat ue baca, atau belum selesai gua baca. Ada juga yang sudah selesai gue baca tapi gak begitu memotivasi gue bikn review.

FA Pur

Anonim mengatakan...

Nice

Diclonius 'Vina' Youichi mengatakan...

@dewi : judul artikelnya yang mana??? udah kuubek2 isinya.. plus udh kubaca juga.. tpi belom ketemu.. apa ada yg kelewatan.. O.O''

Dewi Putri Kirana mengatakan...

@Vina, baca yang judulnya Antara Aku dan Dia - Memilih Point of View dan Teknik-teknik Berselingkuh diposting tanggal 16 Maret. Baca bagian komennya, tar juga ketemu.

Diclonius 'Vina' Youichi mengatakan...

@dewi : hohoho.. sip2.. udah ketemu.. ^^
parah juga nih serangannya... jadi penasaran, reviewan mas pur ini bakal kena juga gak ya?? hehe..

Juno Kaha mengatakan...

Haha, kalo sini mah kyknya nggak deh. Kalopun kena serangan, mari semua yg setuju ama sebagian besar review Mas Pur mulai membuat pagar pertahanan.

*menanam Peashooter, Repeater, dan Wallnut* <-- semua tanaman berasal dari game Plant vs Zombie

Hehe.

Diclonius 'Vina' Youichi mengatakan...

@mantoel : siap bos.. saya akan buat pertahan juga.. *nyiapin bazooka*
hehe..

FA Purawan mengatakan...

Chill out, troops! Nobody's comin.

Let's get back to Review board. Hayo berikutnya apa? Di meja gue udah ada Jampi-Jampi Varaiya, sama Biru Indigo. Mana duluan, nich?

FA Pur

Luz Balthasaar mengatakan...

Biru Indigo aja boleh?

Varaiya itu karyanya Clara Ng bukan? Aku udah beberapa kali baca karya yang bersangkutan, jadi kayaknya kalau Varaiya dah bisa nebak jadinya gimana...


Luz B.

Danny mengatakan...

Kalo disuruh milih, Biru Indigo sama Valharald deh. Dua buku yang masih bikin penasaran.

Anonim mengatakan...

@luz
Uhm, pst, emang napa dengan si Clara Ng ini?(Keliatan banget jarang bacanya...)
Selama ini, yang kutau tentang Clara Ng, genrenya ala Danielle Steel. Baca cerpen di blognya, gaya nulisnya simpel dan mudah dimengerti. Dan sampe sekarang kupikir Clara Ng bukan orang Indo. Tapi setelah cek dan ricek ya, aku emang salah. Wkwkwk.

Heinz.

Christopher Thomas mengatakan...

request biru indigo aja mas! kalo jampi-jampinya Clara Ng kapan-kapan aja sesuai dengan jumlah halamnnya yang ~kapan-kapan aja hehehehe (tipis maksudnya ;P)

Luz Balthasaar mengatakan...

@Heinz, maksudnya, Varaiya kan udah ditempelin label fantasi-metropop/teenlit. Dan fantasi-metropop/teenlit itu kayak Busway, dalam arti punya 'trayek' yang gampang diramalin, wkwkwkwk...

Sedangkan soal Biru Indigo ini keterangan yang kudapat termasuk sedikit. Jadinya lebih penasaran sama yang ini.

Kalau Om Kita ambil Biru Indigo atau Varaiya, aku akan submit repiu panjang untuk Valharald deh.

Anonim mengatakan...

mau curhat ni... Saya baru msuk kelas 2 SMA. seblumnya udah niat buat bikin novel fantasi. tapi waktu itu masih SMP klas 1 masih kurang modal ilmu n materi.

terinspirasi dari Doraemon, Spy kids, T.L.O.T.R, Narnia, Spiderwick, mitos-mitos seperti Atlantis dan lemuria, Ufo, Alien, dan crita2 fiksi lainnya--terutama Harry Potter bru2 ini. saya jadi niat lagi untuk membuat novel karangan sendiri. bermodal laptop+modem untuk cari2 info di internet. saya mulai nulis dari 3 hari yang lalu. dan karng udah skitar 2 bab lebih--1 babnya skitar 6-7 halaman.

maslahnya, kalau mau publikasi sbaiknya gimana ya?. kalau melalui blog aman gak?. saya agak ragu, karena agak takut, kalau ide-idenya di curi orang... (hehehe... kayak novelnya keren aja).

tpi skarang saya udah niat untuk menyelesaikan novel karangan sendiri--yang sudah saya cita-citakan dari kecil. cuma masih lemah dalam tata-bahasa. tpi gak parah-parah amat sih...

Anonim mengatakan...

@anonim tepat di atasku
Kemudian.com bisa jadi alternatif.
Soal dibajak idenya, hm, super orisinil-kah? Padahal tulisan pertama pula. Tapi seharusnya bisa diakali dengan posting fragmen tertentu saja atau posting separuh. Hitung-hitung test the water.

Heinz

Anonim mengatakan...

buat heinz...
novel pertama... banar juga sih, tapi ada beberapa ide yang sudah saya pikirkan sejak lama... tapi mungkin gak orisinil amat...

btw thx buat info alternatifnya...

Roedavan mengatakan...

Aduh, ini yang komen pada sarap semua. Kalian itu bisa menghargai karya anak bangsa nggak sih?

Asal kalian tahu aja ya, biarpun masih kecil, yang namanya Brandon itu udah belajar break dance jadi sejak umur 6 TAHUN!! Bayangkan itu!! BAYANGKAN!! *dicolek sama om Pur* Jadi kalian jangan banyak bacot ya! Asal cuap2 aja sembarangan ngehina2 skillnya ga meningkat2 ya!! *ditoel2 sama om Pur* Gue tuh penggemar setia Brandon! Jadi gue nggak rela kalao ada orang2 yang berani komen yang aneh2. Emangnya kalian bisa break dance kay... BLETAK!!! *ditimpuk pake strikaan sama om Pur. nyut... nyut.. begitu bunyinya. terus dinasihatin baek2, gini katanya: "perasaan gue bikin blog buat resensi nopel, kenapa jadi pada ngomongin indonesia mencari bakat?? dan khusus buat lo" - dia nunjuk batang idung gue, "yang ngebahas soal brandon itu siapaaa????" katanya mengacak pinggang*

Ehm..., kayaknya gue salah komen, maklum. Namanya juga manusia. Suka khilaf, hehehe. Mohon dimaafkan. *PLETAK!!!* aduuuh, gue kan udah minta maaf, ga usah pake dilempar panci kenapa?? *Syuuuung!! PRAANG!! BREENGGG!! BROOOONG!!*

Kabuuuuuuuuur!!

FA Purawan mengatakan...

@Brandon, eh Roedavan,

Wakakakakak!!!

Abis dah, panci gue,.....

FA Pur

Christopher Thomas mengatakan...

hualllooooowwww om purrrr... tiap hari negok kesini nih, tapi kok lama nian semedinya? biru indigonya jadi gak?
ditunggu y!