Minggu, 01 Mei 2011

NIBIRU - Dan Kesatria Atlantis (Tasaro GK - 2010)

By FA Purawan

(Sumber: copy dari Goodreads.
Kelihatanya belum versi Final)
 Penerbit: Tiga Serangkai
Editor: Sukini
Desain Sampul: Rendra TH
Desain isi: Rendra TH
Penata Letak Isi: Ikhsan
Ilustrator: Bayu Aryo D
Tebal: 690 halaman


Nama besar, Tasaro GK itu. Kedua tanganku jadi gemetar sewaktu  menuliskan review untuk karya Fantasy-nya: NIBIRU Dan Kesatria Atlantis. Takut? Gimana enggak? Pengarang yang satu ini adalah pendekar-tulis yang sudah punya cukup banyak portofolio under his belt--black belt--by the way. Sudah gitu, digelari penulis serba-bisa, pula, akibat kepiawaiannya menulis dalam berbagai genre. Dan yang bikin lebih *ngeri* lagi, buku NIBIRU ini adalah terbitan Penerbit Tiga Serangkai, Solo, yang nggak lain penerbitku juga (Mother company-nya Tiga Kelana yang menerbitkan Garuda-5: Utusan Iblis).

Oh, shut up! Mendingan ngaku aja kalau sebenernya yang terakhir itulah yang bikin aku gemeteran, hehehe. Mau nulis kritis, takut kenapangapa sama buku gue, secara ini udah fase mau masukin buku sekuel, takut 'dikerjain'. Wakakak. Silly silly me...


Enggak, mereka nggak segitu-gitunya, deh. So, dengan semangat pembelajaran empat-lima, saya justru bersyukur karena akhirnya ada juga pendekar-tulis ternama yang masuk ke dalam genre Fantasy, memperkuat jajaran karya-karya yang bisa 'berbicara' di tanah air.

Jadi pertama-tama, ucapin selamat datang dulu sama Kang Tasaro, di ranah Fantasy Indonesia.

Kedua, mari bicara bukunya, dan lihat aku ngomong apa.

Kita mulai. Bukunya... tebel mina! Walau memiliki jumlah halaman lebih sedikit dari Garuda-5 ku, (690 hal vs 699 hal), saat kujajarkan tampak betul edisi NIBIRU lebih tebal sekitar satu-setengah senti. Penyebabnya, kemasan hard cover plus jenis kertas. Kertasnya, bo, menggunakan kertas ala buku-buku impor yang bobotnya lebih ringan dibanding tebalnya. Sepertinya baru ini, buku lokal yang diganjar dengan kertas impor. Biasanya hanya buku terjemahan aja yang dikasih kertas jenis ini oleh penerbit. Untuk itu, saya turut senang dan ikut bertepuk-tangan buat Tiga Serangkai. Moga-moga Penerbit lain menyusul. Soalnya kertas ini memang enak banget buat dibaca. Jatuhnya tinta ke kertas meresap mantap dan tulisan di belakangnya ngga tembus.

Di dalam, font Times New Roman ga-macam-macam, ditata dengan proporsional dan ukuran maupun spasinya membuat nyaman dibaca.

Cover buku didominasi dua warna: Kuning dan Biru, menggambarkan seorang bocah dikeroyok Macan, Serigala, dan Ular, dalam pusaran api, hasil tarikan pensil Bayu Aryo D. Typografi NIBIRU tampaknya didesain secara khusus, termasuk tulisan TASARO GK yang juga tampak diniatkan sebagai branding khusus pula (kayaknya sudah muncul di beberapa buku terdahulu?). Menurut saya pengerjaan sampul ini cukup profesional, seperti ada pemikiran marketing dalam proses desainnya. Pendesain sampul adalah mas Rendra TH, orang yang sama yang mengerjakan sampul G-5 (hehehe). Salut.

Sampul belakang diisi ilustrasi yang sama 'rame'nya, dengan ilustrasi piramid emas, dan sinopsis ber-font putih, lalu tag-line: Buku Aksi Fantasi Atlantis Pertama di Indonesia (so what, gitu loh? Kan cuma klaim. Kalo buat gue sih buku Aksi Fantasi Atlantis yang bisa kuanggap lebih awal adalah Negara Kelima-nya ES Ito. Tapi boleh jadi memang karya tersebut gak terlalu masuk ke genre Fantasy). Lalu ada logo METAMIND di pojok kiri bawah, mungkin semacam label kelompok produk di Tiga Serangkai. Ada Sinopsis berfont putih yang timbul tenggelam di balik ilustrasi latar 'rame'. Jadi agak susah dibaca, walau tak terlalu masalah juga. Satu catatan saya: tidak ada endorsemen sebarispun di sampul. Pede banget, yach?

Keseluruhan perwajahan sampul sendiri menegaskan genre yang diusung, yaitu cerita Fantasy remaja muda (early teen), usia SD/ SMP. Walau ketebalannya agak menolak pakem bahwa buku-buku untuk target usia segitu harusnya tipis-sedang (emangnya martabak). Yah, mungkin buat si anak sih, malah gak problem. Aku sendiri sewaktu SMP udah melahap material bacaan setebel-tebel ini. Palingan yang mikir-mikir malah orang tuanya, yang acap ngeri sendiri melihat buku tebal terutama karena...harganya :p (ironinya, masih ada ortu yang terbelalak mengetahui anaknya belanja buku lima ratus ribu, sementara tetap dingin bila si anak menghabiskan jumlah yang sama untuk sekedar beli pulsa).

Kesan buku anak juga timbul berkat ilustrasi hitam-putih yang bertebaran tiap awal Bab. Dan sekali lagi, harus kubilang bahwa kualitas pengerjaannya prima-punya. Salut lagi mas Bayu Aryo!

Secara keseluruhan, kemasan buku ini bagus dan cukup berkelas. Pemilihan cover tebal/ lux juga menambah kesan eksklusif terhadap buku, walau andaikan diganti cover biasapun kekerenannya tak berkurang. Perlu diberi catatan juga bahwa kualitas pengerjaan covernya agak kurang rapih, sebab melibatkan urusan lem-leman. Padahal sampul atau jaket hardcover biasanya tidak dilem, cuma disampirkan.

Saya sudah tuntas membaca buku ini. Sebelum ngebahasnya, lebih dulu saya ingin ceritakan komen-komen internet mengenai cerita NIBIRU.

Yang pertama, komentar mengenai alur dan plotting yang mirip Harry Potter, khususnya setting sekolahan dan tipikal watak guru-guru, ujian kenaikan tingkat yang rada-rada bikin benak melenceng ke ujian OWL, sampai turnamen rebutan piala yang mengingatkan pada Triwizard.

Lalu ada yang mengaitkan dengan serial Avatar, dengan komposisi tokoh-tokoh yang memiliki tatto tertentu (pada ilustrasi), dan penerapan prinsip empat-unsur Air, Api, Udara, Tanah, dalam ilmu-ilmu Pugabha di buku ini.

Sebelumnya, dalam kesempatan launching buku, Tasaro GK memang mengakui bahwa karyanya banyak terinspirasi dari berbagai elemen karya modern yang sudah lebih dulu eksis. Sehingga komentar di atas bisa jadi memang benar. Namun kembali, apa yang terjadi di sini buat saya tak termasuk kasus plagiarisme ataupun pertanyaan mengenai orisinalitas. Yang diadopsi oleh Pengarang adalah sebagian prinsip-prinsip terkait setting cerita, yang memang bisa didapatkan dari berbagai sumber. Kualitas kepengarangan, atau kualitas orisinalitasnya akan terlihat dari bagaimana ia memanfaatkan setting-setting dasar tersebut dan mengembangkannya sebagai bagian intergral cerita. Apakah menyokong cerita? Apakah 'masuk' dengan wajar dan beralasan? Dan kalau mau lebih baik lagi, mustinya Pengarang dapat mengembangkan unsur-unsur dasar tersebut dalam universe-ceritanya, menghasilkan suatu konsep baru yang dapat diapreasi kreativitasnya oleh sidang pembaca.

So, ya. Oleh karenanya gue akan mengamati, bagaimana Tasaro memainkan dua unsur dalam universe NIBIRU, yaitu sistem Sekolahnya, yang disebut Bhepomany, dan prinsip-prinsip ilmu Pugabha, bagaimana mereka berkembang dalam universe NIBIRU.

Lalu sedikit background mengenai nama NIBIRU. istilah Nibiru pertama kali digunakan oleh bangsa Sumeria untuk menyebutkan posisi dewa Marduk di langit, yaitu pada titik terjauhnya. Istilah itu kemudian dipopulerkan oleh Zecherias Sichtin, yang mengklaim berdasarkan penerjemahannya atas teks-teks bangsa Sumeria, bahwa Nibiru adalah sebuah Planet di tata surya kita yang memiliki orbit elips, dan di suatu masa pernah menabrak sebuah planet tetangga Bumi yang bernama planet Tiamat. Sisa-sisa hancuran planet Tiamat kini menjadi Bumi, Bulan, dan sabuk asteroid di sekutar Saturnus.

Lalu, sebagian DoomsDay Theorist berpendapat bahwa Nibiru inilah yang disebut sebagai Planet X, planet ke sepuluh yang akan menabrak Bumi di tahun 2012. Yeah, tahun depan, kalo gak muter-balik akibat frustrasi kena macet di Tol Cikampek, hehehe.

Masih menurut Sichtin, di planet Nibiru berdiam bangsa yang sudah mengenal peradaban dan teknologi tinggi, yaitu bangsa Annunaki. Yang bahkan pernah 'mampir' di Bumi dan dianggap sebagai kaum dewa-dewa.

Kisah latar ini pun rupanya mengilhami pengarang untuk dijadikan pseudo-fondasi ceritanya. Novel NIBIRU menceritakan suatu masa dimana pernah terdapat Raja-Raja besar yang pernah berkuasa di Bumi, yaitu Maharaja Solux, Gioverb, Saternatez, Nibiru, Ur, Netzi, Venet, Tergog, Marte, Meror, Plugos, Persekutuan raja ini selalu saling berperang, sampai akhirnya salah satu raja, yaitu Raja Nibiru yang dibantu tangan kanannya Penyihir Annunnaki mengalahkan semua raja dan berkuasa dengan tangan besi, sampai akhirnya dikalahkan oleh persekutuan Raja-Raja yang dipimpin oleh Raja Saternatez.

So then we have the legend, bahwa setelah lima ribu tahun, Nibiru akan bangkit kembali untuk menguasai dunia, dan hanya keturunan Raja Saternatez lah yang memiliki kekuatan untuk mengalahkannya.

Kenapa dibilang 'pseudo-fondasi', sebab pengarang tak sungguh-sungguh menggunakan legenda Sumeria ataupun spekulasi Sichtin sebagai fondasi cerita, melainkan hanya meminjam nama-nama yang dikaitkan ke Nibiru-Annunaki-planet-planet etcetera tanpa dilanjutkan dengan tata-hubungan lainnya. Bukan hal yang terlarang, tentu saja. Saya menganggap pengarang bermaksud memasukkan ke alam bawah sadar pembaca, pra kondisi planetary maupun legenda itu sebagai pewarna nuansa cerita saja.

Sementara konsep Atlantis malah agak lebih beralasan, digunakan untuk memberi kesan temporal atau jarak waktu antara setting cerita dengan setting jaman sekarang, sehingga pembaca mendapat kesan bahwa cerita ini berlangsung jauh-jauh di masa lalu dan (kemungkinan) berlangsung di tanah Indonesia Purba.

Di bagian akhir buku, pengarang memuat gambar sebuah peta yang dilukis dengan apik, menggambarkan benua-benua pada timeline NIBIRU. Disitu terlihat susunan benua yang mirip Bumi dengan benua Asia-Afrika masih menyatu sampai pulau Kalimantan dan Jawa termasuk di dalamnya. Negeri Kedhalu tak tertera di peta, namun posisinya menyiratkan somewhere di sekitar anak Krakatau atau ujung Sumatera. Spekulasi yang mengasyikkan.

Cerita di buku ini (yang didaulat sebagai buku pertama seri NIBIRU), mengambil setting negeri  Kedhalu yang berlokasi di sebuah pulau 'antah berantah', di mana di dalamnya bermukim komunitas yang dulunya merupakan pengikut Raja Saternatez. Masyarakat Kedhalu terbagi atas orang-orang Utara dan Selatan, dengan ciri-ciri kontras meliputi perbedaan kelas/ kasta, perbedaan ilmu, sampai perbedaan adat istiadat budaya, sekalipun sesungguhnya mereka berakar dari budaya yang sama.

Orang-orang Utara, para penguasa Pughaba alias ilmu-ilmu macam Avatar, tinggi dalam peradaban, menjadi penguasa pulau. Orang-orang Selatan, kaum petani dan pekerja kasar, menjadi warga kelas dua. Dan di antara orang-orang Selatan bahkan ada lagi segmen masyarakat yang lebih terbelakang, yang disebutkan tinggal di jurang-jurang gelap tanpa pernah tersentuh kebudayaan luar.

Kedhalu sendiri merupakan sebuah lokasi yang 'misterius' terhadap dunia luar. Dalam setting NIBIRU, terdapat dunia luas dengan berbagai kerajaan di luar Kedhalu, dengan perkembangan peradaban yang tampaknya sudah tinggi. Namun Kedhalu menutup diri dengan menciptakan selubung pelindung yang menghalangi dunia luar menemukan lokasi Kedhalu, sekaligus mencegah rakyatnya juga keluar-masuk negeri tersebut. Alasannya, kemampuan Pughaba rakyat Kedhalu menjadi incaran negeri-negeri luar untuk dimanfaatkan sebagai prajurit, dunia luar itu digambarkan dalam kondisi saling perang-memerangi.

Sebelum bicara carut-marut situasi dan tatanan setting yang semakin kompleks seiring bergulirnya plot (seperti misalnya mitos selubung pelindung yang konon diciptakan Raja Saternatez seribu tahun lalu, yang ternyata tak sepenuhnya benar, dan berbagai rahasia lainnya), cerita dibuka dengan kehidupan seorang bocah bernama Dacha Suli, anak dari Wamap Suli. Berasal dari Selatan, dan mewakili segala yang ter'pokay' (wakakaka, bahasa prokem taun 80-an untuk kata: payah) untuk seorang karakter utama. Gempal, senang tidur malas belajar, pengayal dan sering kali pembual, miskin dan minder parah (sebenernya keminderan itu bukan monopoli si Dacha. Itu sudah menjadi karakteristik orang-orang selatan terhadap orang utara), dan veteran sekolah alias berkali-kali tinggal kelas. 4 kali, tepatnya.

Dacha punya mimpi-mimpi aneh, dikejar oleh sesosok hitam yang diiringi sepasang tornado api dan binatang-binatang buas (itulah cuplikan adegan yang menjadi tema sampul). Pengarang menggunakan adegan ini sebagai adegan pembuka, yang dikontraskan dengan adegan lanjutan yaitu hubungan Dacha dengan ayahnya yang unik: keras dalam balutan kemiskinan, namun menyembunyikan kasih sayang berlatar sejarah dalam-dan-panjang di baliknya.

Lalu masuk kehidupan Dacha dan 'gang-of-brats'nya yang dikenal sebagai 'Empat Keparat Kecil', di sekolah ilmu-ilmu Pughaba di Utara. Lalu perlahan demi perlahan bagian-bagian plot ditambahkan dan dikembangkan, misteri dikuak, karakter diperkenalkan dan dibentuk. Dan sebuah kisah besar pun digulirkan.

Cukup epik, dilihat dari banyaknya karakter penting dan kejadian-kejadian yang diramu. Dari kehidupan simple-life seorang anak bengal, menjadi bagian dari konflik semesta persekutuan raja-raja lima ribu tahunan. Lebih lanjutnya tentu sidang pembaca dipersilakan membacanya sendiri, hehe.

Selanjutnya masuklah pada kritik dan impresiku.

Impresi dulu. Ini adalah bacaan yang nikmat. Mengalir dan bagiku enak diikuti, dengan momen-momen menggugah di sana-sini. Bagian yang menurut saya paling bersinar adalah adegan-adegan aksi pertarungan jurus-jurus dan adegan perangnya. Mungkin kefasihan Kang Tasaro sebagai penulis cerita silat, sangat banyak berperan di sini. Ilmu-ilmu Pughaba yang sebenernya sulit diingat istilah-istilahnya, menjadi nyata dan hidup berkat kekuatan deskripsi Pengarang dalam menggambarkan adegan-adegan. Dan efeknya begitu filmis, dalam arti pembaca bisa membayangkan dan terpesona olah imaji yang terbentuk di benak, sehingga akan muncul impresi: kalau dibikin film pasti keren (walau jika diteruskan pada: siapa sineas lokal yang bisa mewujudkan itu? Pasti semua angkat bahu, hehehe. Payah, kalah sama Thailand).

Cara pengarang mengembangkan cerita juga cukup mengesankan. Enak mengalir dan bumbu-bumbu plot muncul secukupnya pada saat yang tepat. Jurus kupas-kulit-bawang juga diterapkan. Satu persatu layer informasi dibuka menyingkap fakta baru yang membuat cerita jadi makin menarik dan konflik semakin dalam, bahkan dalam beberapa hal memberi efek kejut.

Walau saya belum bicara mengenai inkonsistensi logika, dalam hal ini.

Bicara soal konflik, apresiasi saya pada kepintaran Tasaro memainkan konflik di NIBIRU. Pada dasarnya NIBIRU berdesain buku pra-remaja. Namun Pengarang dapat meramu konflik secara cukup dalam, sehingga kisah NIBIRU pun punya appeal terhadap audiens yang lebih dewasa tanpa meninggalkan target utamanya. Itu bukan hal mudah, tentu saja. Sering kali seorang pengarang tanpa sadar meninggalkan target pembaca, semata-mata akibat keasyikan mengembangkan plot.

Walau -kini masuk kritik, deh- sebagian plot device memang bisa diparalelkan dengan berbagai karya populer yang sudah lebih dulu eksis. Cinta remaja? Check. Cinta segi tiga masa lalu? Check. Persahabatan gone sour? Check. Dinamika sekolahan? Triple check. Sesuatu yang baru? Not really revolutionary, sich. Walau tetap ada dalam treshold kenikmatan bacaan gue. Dan bahkan kurasa untuk jenis pembaca-pembaca ABG plot jenis ini tak pernah kurang diminati.

Porsi kritik terbesar, teteup aja, akhirnya justru terletak pada sistem penamaan (naming system) yang diterapkan dalam novel ini. Itulah kelemahan terbesar novel ini, menurutku, tergantung dari sudut mana aku memandang.

NIBIRU menggunakan sistem kreasi bahasa baru untuk setting universenya,yang lazim disebut sebagai con-lang, atau constructed language, bahasa ciptaan. Dalam khasanah Fantasy, bahasa ciptaan memang sering sekali digunakan, dengan tujuan untuk membuat suasana yang berbeda dari realitas sehari-hari, membawa pembaca memasuki sebuah dunia yang sama sekali berbeda dari yang biasa ditemuinya.

Dan memang nilai keunikan suatu karya Fantasy banyak sekali dipengaruhi oleh conlang ini. Bahkan karya 'panutan' Fantasy bikinan mbah Tolkien alias serial Lord of The Rings, menjadi demikian dipuji kritikus antara lain karena kompleksitas conlang yang ia ciptakan, sampai-sampai dikatakan bahwa Tolkien sudah membangun berbagai kultur lengkap yang berbeda bagi novelnya, dan masing-masing memiliki bahasa sendiri yang cukup sempurna sebagai sebuah kebudayaan rekaan! (Toklien 'menciptakan' berbagai bahasa dengan struktur etimologi dan semantik yang lengkap, sampai ke sistem alfabet dan huruf-hurufnya untuk masing masing kaum: manusia, elf, dwarf, hobbit dan seterusnya. Gak heran, beliau emang professor linguistik, sich, hehehe).

Tentunya bukan maksud untuk meng-adu komparasi dengan Tolkien, di sini. Gak fairlah, itu. Tapi cukuplah itu sebagai ilustrasi bahwa dalam khasanah Fantasy, conlang mendapatkan perlakuan dan statura yang cukup serius. Dan saya akan menekankan pada esensinya, yaitu: membawa pembaca masuk dalam dunia baru pengarang. Atau dalam istilah lain: meningkatkan believability.

Nah, di sinilah Pengarang 'agak' kesandung.

Protes pertama saya terhadap sistem naming di NIBIRU, sudah sering saya ekspresikan dalam berbagai kesempatan. Yang utama adalah kenyataan betapa sulitnya nama-nama Kedhalu ini dibaca alih-alih diingat dan tertanam di benak.

Kita memang tak tahu bagaimana lidah masyarakat Kedhalu asli berkocak. Siapa tahu memang dialek-nya khas sehingga ramuan konsonan seaneh itu nggak menyulitkan mereka. Tapi please balik lagi pada kebutuhan pembaca. Terlalu jelimet, malah akan melempar pembaca keluar dari dunia Fantasi pengarang.

Nama-nama asing, memang efektif dalam karya Fantasi. Tapi sistem penamaan justru part yang paling tricky. Terlalu banyak karya fantasi, yang sebagian juga lewat di fikfanindo ini, dikritik karena menggunakan nama-nama yang tak logis terhadap setting. Dan kali ini penamaan NIBIRU juga dikritik karena tak nyaman dibaca sehingga--menurut pendapat saya--mencederai setting.

Aspek pencederaan selanjutnya dari sistem conlang ini, adalah kenyataan bagaimana bahasa rekaan Kedhalu diciptakan. Ini berkontibusi terhadap aspek believability.

Pengarang fantasi kelas 'serius' umumnya menggunakan pendekatan etimologi yang saksama sebagai landasan penciptaan constructed language. Alkisah Tolkien sendiri menggunakan bahasa Inggris lama (Celtic, Welsh, dll) untuk mengkonstruksi bahasa Elf-nya. Dan biasanya digunakan pendekatan semantik berupa alterasi dialek. Jadi suatu kata yang sudah already punya makna, dicoba diucapkan secara beda dialek, atau dirubah-rubah cara pengucapannya, sehingga muncul cara ucap baru, yang bisa ditulis dengan cara baru juga.

Contoh paling bagus adalah bahasa Arab. Misalnya dari kata Qorb, teralterasi menjadi 'Karib', 'akrab', yang masing-masing punya makna sama plus makna khusus masing-masing.

Selain itu, pengarang serius juga berusaha membuat aturan tata-bahasa (grammar) dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang ada dalam ilmu bahasa. Misalnya aturan DM atau MD (hayo masih pada inget gak? Hehehe).

Dengan cara ini, akan muncul sebuah sugesti kesinambungan atau sugesti bahwa ini bahasa yang nyata atau pernah ada. Sehingga pembaca jadi 'percaya'.

Bagaimana dengan NIBIRU? Pengarang mencoba menciptakan bahasa Kedhalu sebagai sebuah spekulasi mengenai bahasa Indonesia Purba di jaman Atlantis.

Salah seorang anggota komunitas Fiksi & Fantasi Dalam Negeri di forum Goodreads Indonesia (someone yang kondang dengan nick: dejongstebroer) sudah memposting 'rahasia' koding dari bahasa Kedhalu, yang sesungguhnya sekedar bahasa indonesia yang ditukar-tukar konsonannya. Mirip konsep DAGADU yang sesungguhnya bermakna MATAMU. Saya tak ingin menyebutkan kunci penyandi bahasa Kedhalu itu di sini, tapi bagi pembaca penasaran yang ingin mengutak atik, sebetulnya pengarang udah memberikan Rosetta Stone (istilah populer arkeologi untuk kunci enkripsi suatu bahasa kuno yang sudah hilang) berupa salinan prasasti Kedhalu di halaman awal. Cocokin aja dengan prasasti terjemahannya, maka sandinya langsung ketemu.

Keren dan pintar? Caranya, iya. Tapi filosofinya, jadi berantakan. Saat ketahuan bahwa bahasa Kedhalu ternyata hanya utak-atik memainkan konsonan, seketika budaya Indonesia Purba yang menjadi landasan setting NIBIRU jadi bubrah. Dunia NIBIRU jadi kehilangan believability nya, seenggaknya di mata saya.

Oke, buat pembaca santai yang nggak ngerti, mungkin itu nggak akan efek. Tapi buat saya, kesilapan itu cukup saya sesalkan, walaupun tak mengurangi penghargaan saya terhadap karya Pengarang.

Kenapa saya jadi seserius itu? Ya bagaimana lagi, seluruh dunia NIBIRU falling apart di depan mata saya. Saat nama Nyithal Sadeth ketahuan bermakna Hitam Banget, seluruh anggota keluarga Sadeth otomatis berubah menjadi bermarga 'Banget'. Kebayang lucunya jika ayah, kakek kamu punya nama keluarga Banget? Toni Banget, John Banget,... yikes! Ow yeah, sayangnya ini bukan novel komedi.

So yeah. Instant end of believability for me.

Padahal, konsep Indonesia Purba yang dikoneksikan dengan mitos Atlantis, adalah isu keren kontemporer yang memperkuat karya ini. Kalau saja Kang Tasaro siap lebih lama mengutak atik dan meriset, sebenernya dia bisa menciptakan conlang yang lebih relevan, boleh jadi sekelas dengan karya Tolkien.

Menurut saya, Kang Tasaro punya kesempatan untuk memanfaatkan bahan baku budaya lokal untuk dikembangkan menjadi mitos lokal fiktif namun memancing believability kuat. Sebut saja, kita punya sedikitnya tiga budaya 'purba' yang diakui oleh para ahli sebagai budaya yang asli dan tertua di Indonesia, yaitu budaya Batak, Padang, dan Toraja.

Apa keunikan tiga budaya itu? Bahwa mereka masih mewarisi karakteristik asli yang tak (terlalu) terpengaruh oleh budaya luar yang datang belakangan, seperi budaya Yunan ataupun India yang membentuk kebudayaan Nusantara era Kerajaan Hindu dll.

Ingat karya ES Ito, Negara Kelima? Itu keren banget, merekonstruksikan budaya Minang sebagai turunan dari Budaya Atlantis, dengan penggambaran yang 'megang banget', hingga berhasil membuat saya nyaris percaya dengan spekulasi itu.

Saya membayangkan Kang Tasaro mengambil bahasa Toraja dan sistem penamaan Toraja untuk dispekulasikan menjadi ribuan tahun lalu, pasti keren!

Dan yes, broder, hal hal semacam itulah yang membuat novel Fantasy menjadi karya yang memukau kita bergenerasi-bergenerasi.

Ahh,... Mari belajar, mari belajar.

Lanjut dengan beberapa masukan. Co reviewer Fikfanindo Luz B sempat mempersoalkan kelemahan logika konflik di kalangan orang-orang Kedhalu Utara, bagaimana pejabat istana sekelas Thalkay harus dihakimi gara-gara diduga mengajari Dacha ilmu-ilmu Pughaba, yang notabene juga dipelajari di Bephomany-nya. Yeah, Good Bye Teknos, Good Bye Primagama! ternyata les privat merupakan hal terlarang di Kedhalu, karena orang tidak boleh lebih pintar daripada standar kurikulum.

Well, mungkin logika ini dapat dilihat sebagai plot device dari pengarang untuk memasukkan bumbu intrik politik dalam tubuh istana, sekaligus menegaskan opresi dari penguasa setempat (mengingatkan pada jenis opresi yang mirip di era orde baru). Cuma memang bagi saya situasi macam itu tetap terasa lemah kalau mau dijadikan plot device, sebab membuat pembaca kesal terhadap situasi ciptaan pengarang alih-alih kesal terhadap tindakan para pelaku cerita.  Komparasi: Dolores Umbridge. Lihat bagaimana JK Rowlings dengan gemilang memposisikan karakter tersebut sebagai karakter paling opresif, dan paling menyebalkan di serial Harry Potter!

Apalagi ditambah inkonsistensi dengan kemampuan Pughaba putri Thalkay yang dengan leluasanya dipamerkan di sekujur Bhepomany tanpa kena sanksi apa-apa. Tak pelak, pembaca juga akan merasa... Koq aneh sich?

Masih banyak inkonsistensi yang sempat ditemukan Luz, ada baiknya disimak lebih lanjut pada reviewnya di Goodreads. Klik link ini

Lalu mengenai pembangunan karakter. Umumnya sih terolah dengan baik, kecuali si karakter utama. Terus terang saya agak terganggu dengan inkonsistensi karakter Dacha, yang dari 'loud mouth', 'big mouth', lalu berakselerasi demikian cepat menjadi 'smart ass' dalam kurun waktu cuma beberapa bulan.

Menjelang akhir buku, omongan dan sikap Dacha sudah terlalu ketarik dewasa dibanding usianya. Saya melihat bisa saja pengarang beragumen bahwa hal itu disebabkan karena ada faktor X dalam diri Dacha sebagai titisan sang Anu, begitu. Tapi tetap saja saya terganggu, karena hal-hal seperti itu tidak muncul secara alami dalam konteks setting cerita, sehingga saya tetap merasakan mulut pengarang yang sedang terbuka di belakang mulut Dacha.

Satu lagi permasalahan yang saya lhat, terkait pembangunan setting di sisi teknologi. Ada sejumlah ketidak-nyambungan teknologi yang belum terjelaskan dalam setting NIBIRU. Terutama mengenai teknologi Atlantis, atau yang di Kedhalu disebut dengan Nyathemaythibh. Pada pertempuran di akhir buku, digambarakan pasukan Atlantis memiliki persenjataan canggih dengan pesawat-pesawat tempur logam, bahkan mereka memiliki baju-terbang bagi pasukan pendarat (lengkap dengan sayap dan helm ala wayang purwa, cool stuff!) Tekno banget deh.

Namun di sisi lan diceritakan bahwa Dacha mendapatkan warisan senjata sabuk ajaib dan keris wasiat dari ibunya, yang ternyata orang Atlantis (spoiler! hehehe). Tapi something doesn't compute, here... Apabila bangsa Atlantis pun menguasai budaya sihir atau benda-benda bertuah (anggaplah itu berarti benda magic-based, bukan technology-based), kenapa hal itu tidak muncul pada perlengkapan perang mereka? Mengapa pasukan penyerbu tak menggunakan keris atau sabuk wasiat juga, misalnya? Setidaknya satu resimen pasukan berkeris dan sabuk bulan mendampingi pasukan tempur F-5 Tomcat... hehehe. Yeah, kupikir sedikit inkonsisten, di situ.

Lantas bagaimana soal Bephomany dan Pughaba? Yah, inilah kesanku: Bephomany tak memberiku sesuatu yang baru kecuali sebagai Hoghwarts beratap rumbia. Sementara Pughaba, kurasa lebih bersinar. Walaupun tak bisa dikatakan baru sebab sudah banyak karya lain menggunakan aplikasi ilmu 4-elemen serupa, penerapan ilmu-ilmunya keren dan menciptakan aksi yang cukup filmis. Kupikir ini salah satu kelebihan serial NIBIRU.

Dan akhirnya, plot twist yang membelit akhir cerita secara gurih dan memikat, mau tak mau telah membuat buku NIBIRU menjadi sebuah serial yang mengundang penasaran untuk dinanti kelanjutannya.

Buat saya, ini cukup recommended read-lah.

FA Purawan

42 komentar:

Juno Kaha mengatakan...

Pertamax dulu ah! :D :D

Ngg, kalo soal keris sakti itu, apa gak mgkn si ibunya Dacha mewariskan sesuatu yg udah kuno banget sehingga di masa sekarang pun kekunoannya udah ketilep ama teknologi?

Misalnya, kayak, jaman dulu kita percaya keris itu sakti mandraguna, tapi jaman sekarang gembar gembor keris sakti itu udah hilang ditilep ama perkembangan teknologi dan benturan dengan hal2 yg diajarkan di agama.

Kalo keris se-sakti mandraguna itu, ya jaman skrg Indonesia akan pny jajaran pasukan berkeris. :D :D Ato buat ngebuli penjajah ya kita cukup kirim mangkok merah ala dukun Suku Dayak aja.

Hehe.

Anonim mengatakan...

Baru tau ada web ini :p
Nibiru aq uda sering liat di toko buku. Tp belum pernah beli. Sepertinya sih isinya cukup menjanjikan walau covernya kalau menurutku agak hancur. Entah kok aq terganggu dgn covernya. Kalau ga salah liat kuku singanya agak kepatah.

Mungkin setelah ini akan kubeli lah. Semoga isinya bagus :) Karya anak bangsa pula.

Nash.

FA Purawan mengatakan...

@Juu,

Ambil analogi jaman sekarang? oke... Sekarang keris udah barang kuno. Tapi tetep aja ada beberapa piece masih ada, kemudian masih bisa ketemu ahli nya, dan sebagai senjata, masih ada yg bisa memainkannya atau tahu cara melawannya.

Di NIBIRU kan casenya ngga seperti itu, toh. Jadi seolah olah keterpisahannya udah jauh banget. Lha itu ga make sense mengingat siapa tokoh yang mewariskannya ke Dacha, yg nota bene 'orang militer juga pan?'

Dewi Putri Kirana mengatakan...

Ternyata Om Pur bisa juga "gemetar" waktu ngeripiu karya orang lain hehehe.

Mestinya Nibiru dikasih tulisan: "Novel yang akan membuat anda gemetar!" atau "This novel will shocked you!*

*mode sinis selesai*

Ehm, kayaknya Nibiru layak masuk daftar bacaan. Mudah-mudahan aku tahan dengan tata namanya, soalnya baru baca review-nya aja udah bikin males, apalagi bener-bener baca ceritanya >.<

Baru kepikiran, dengan sandi Dagadu ini, kenapa Kang Tasaro nggak bikin nama-nama karakternya dengan keren, ya? Yang bagus cuma Dacha Suli (Raja Bumi). Sisanya, parah dot com. Apa emang sengaja, supaya karakter Dacha ini menonjol sendirian?

Terus terang, aku nggak suka tokoh utama yang "ditonjolkan" lebih dari karakter lain, seolah karakter lain nggak penting, atau nggak keren.

Juno Kaha mengatakan...

@Mas Pur: Heee, ternyata org yg ngasih warisan itu "org militer" tho ...?

@Dewi: Sama, gw jg enggan baca Nibiru krn ngeliat namanya. Separah jaman gw bkn conlang cuma ngebalik huruf doang. Dhaca Suli itu bagus tapi yg udah pake bunyi2an "nyip2" dan yg konsonan berderet kebanyakan, rasanya jd orz.

Gw pinjem Shiki aja ah Nibiru ini. :D :D

Hehe.

Dewi Putri Kirana mengatakan...

@Juu,

tapi yg udah pake bunyi2an "nyip2" dan yg konsonan berderet kebanyakan, rasanya jd orz

Ahahahahahahahaha, entah kenapa baca komenmu aku jadi inget makhluk alien aneh yang ada di Sesame Street, yang senengnya bunyi "yip yip yip" dan "ahha?, ahha?", dan mulai niruin segala macem bunyi aneh di bumi.

"Yip yip yip, ahha? Ahha? Derrrriiinggggg (ceritanya niruin telpon) Derrriiiiinnggg. Ahha? Ahha?"

XD XD XD

Anonim mengatakan...

Kok aq malah penasaran ya :))

Habis ini novel sepertinya unik banget. Belum pernah ada novel yg berani bikin nama yg susah dibaca. Dan sepertinya banyak kata yg jg susah dibaca :p

Berapa harganya ya??? Lupa liat wkt di toko buku hehehehe....

Nash.

Luz Balthasaar mengatakan...

Buku ini harganya lumayan mahal sih. Tapi mungkin sekarang dah turun dikit.

Dulu klo ga salah aku belinya Rp 105 something something.

Kalau punya duit, aku rasa ini worth buying. Tapi kalau duit nggak sampai segitu, tunggu aja harganya turun, atau minjem.

Atau cari karya Tasaro yang lain. Aku rekomen Samita: Bintang Berpijar di Majapahit. (klo ga salah ini judulnya).




Luz B.

Dewi Putri Kirana mengatakan...

@Luz, hah? Harga bukunya turun? Serius? Emang bisa ya harga buku turun? Didiskon sih mungkin, lah kalo turun???

Kayak hape aja :D

Luz Balthasaar mengatakan...

@kalau di Gramednya sendiri kayaknya memang ga akan turun kcuali diskon.

Tapi kalau nemu di newsstand atau pedagang buku luar Gramed, kadang aku dapet buku (bukan buku baru, pastinya) di bawah harga normal di toko buku. Karena aku lg mode bandel dan tebal muka nawar, gt.

Tergantung hoki juga sih, mas/mbak yang jaga mau nurunin harga pa ngga.

Juno Kaha mengatakan...

Ato kalo ada Togamas di kota tempat tinggalmu, datanglah ke Togamas. :D :D Diskon setiap hari.

Hehe.

dejongstebroer mengatakan...

"Salah seorang anggota komunitas Fiksi & Fantasi Dalam Negeri di forum Goodreads Indonesia (someone yang kondang dengan nick: dejongstebroer) sudah memposting..."



WAAA,,,, ada namaku disebut!!!
bakalan jadi kondang nih wkwkwk

tp bener kata Mas Pur, seandainya penciptaan bhs Kedhalu dilakukan dgn merekonstruksi bahasa2 kuno di wilayah Asia Tenggara (setting Niburu) seperti yg dilakukan oleh eyang Tolkien utk bhs2 di Middle Earth tentu lebih bagus hasilnya..

atau kalo mau aman, tetep pake "rumus sandi kedhalu" tp bahasa yg sandikan jangan bahasa Indonesia, disarankan pake bahasa yg gk banyak orang tau, misal bahasa Swedia, Hawaii, Basque, Polandia, Ibrani atau malah bahasa Zimbabwe :p sehingga conlang yg dihasilkan tdk ketauan rahasianya,,,

aku rasa sangat mudah menciptakan bhs Kedhalu dgn cara di atas karena pd prinsipnya bahasa kedhalu hanya membutuhkan vocabulary aja krn grammarnya sama dgn grammar bahasa Indonesia,,

jadi yg perlu dipersiapkan cuma kamus bahasa asing yg gk byk org tau (kalo susah didapat, cari vocabularynya di internet, n yg pasti bukan bhs Indonesia) n rumus bhs Kedhalu

dejongstebroer mengatakan...

aku kasih contoh :
daripada utakatik kata SEKOLAH jadi BHEPOMANY, lebih baik jadi SETHBEKEM... gk ada yg tau kan kalo ternyata disandikan dari kata Ibrani "BetSefer" yg artinya sekolah dgn sandi yg sama digunakan untuk kata BHEPOMANY

atau misal mau pake nama RAJA BUMI bikin aja jadi LEMEP NYAADHETH (dari kata ibrani Melek Haarets) atau LAMIP NYAMADHRI (dari kata Arab Malik Al-ardhi) atau DHEP THEDDAE (dari kata Latin Rex Terrae) tergantung "bahasa sumber" apa yg didapat sbg "donatur bahan vocabulary"nya

Masalahnya di sini kemungkinan berasal dari pengarang yg kepingin serba instan, maka jadilah bahasa Kedhalu yg (maaf) kurang spesial

FA Purawan mengatakan...

@dejong: Good Point!

Makasih udah mampir :p

Harbowoputra mengatakan...

UWOH om dejongstebroer muncul!!

OOT boleh kan ya:
Om dejong, saia lagi dalam tahap bikin conlang nih. Saia butuh saran-saran tapi ah saia gak tau om dejong seringnya nongkrong di forum apaan.

Dan oh, supaya gak OOT, meh saia emang gak pernah suka kalo ngeliat "conlang" yang ternyata cuma ciphertext. Selain itu covernya juga tidak mengundang (YMMV, btw) dan tulisan "buku aksi blablabla" di belakangnya repulsif sekali. Ah tapi mungkin saia akan coba beli dan lahap sendiri, itu juga masih mungkin, karena uang saia baru habis buat beli Ther Melian...
*melirik dompet*

Oia, mengenai pengajaran Pughaba di luar Bhepomany, bisakah dianalogikan sebagai "menjual narkoba"? Mau hukuman menjual narkoba itu mati kek toh sampe sekarang masih ada yang jual kan, udah gitu masih ada juga orang yang ngomongin penjualan narkoba seenaknya (di kalangan mereka, tentu saja). Saia rasa kalo dipikir seperti ini maka inkonsistensi si pengarang bisa tidak dianggap.

Euh, tapi saia kan belum baca, jadi mungkin pendapat tersebut bisa diabaikan untuk sementara.

dejongstebroer mengatakan...

@Harbowoputra : aq pernah bikin 2 thread workshop menciptakan bahasa buatan di 2 forum berbeda. Silakan dibaca2, semoga bs membantu!!!

-> untuk penciptaan vocabulary bs dilihat di : http://www.lautanindonesia.com/forum/index.php?topic=13552.0

-> untuk penciptaan grammar (tp sayang materinya belum selesai karena sepinya thread) ada di : http://area52.go-forum.net/t15-dibuka-lagi-workshop-menciptakan-bahasa-buatan-conlang-untuk-novel-fantasi

dejongstebroer mengatakan...

@Maspur : ada yg nyepam tuwhhh!!
buruan didelete, drpd merusak generasi muda :p

FA Purawan mengatakan...

Gue ga bisa delete :(

Wooi Siweh! Blog kita ga ada hubungannya sama konten blog kamu, dan bukan di sini tempatnya postng kayak gituan.

FAPur

FA Purawan mengatakan...

Nah, dah muncul icon tong sampahnya :) dah bisa dihapus!

Anonim mengatakan...

om cheppy
di gramed ada novel fantasi judulnya superleader : gerbang rahasia. kayaknya karya orang indonesia, soalnya nama pengarangnya A. A. mujib. :0
aku liatnya di gramed bogor. gatau deh kalo di kota om ada atau nggak. harganya juga cukup ajib, sekitar 100rb an lebih. covernya juga hardcover, ada gambar anak cowo mirip kayak harpot. a o a o. . .
endorsemen ada di bagian depan cover. ilustrasi covernya juga rame banget dan warnanya mencolok dibanding ama novel yg lain.
om kalo ada waktu , repiu aja ni buku. aku juga gatau isi bagaimana, soalnya masih disegel semua.
tapi pas aku liat sinopsisnya, ada tentang penyihir juga.
ditunggu ya repiunya. . .

muthia

FA Purawan mengatakan...

@Muthia,

Udah Mut, SUper Leader aku udah beli, tapi memang belum dibaca bener-bener.

Sekilas kayaknya sih rada lebay, dan rupanya novel ini ada missi motivasionalnya, secara pengarang adalah seorang pembicara motivasi yang udah cukup punya nama.

Emang covernya dicela-cela abis sama anak-anak FFDN, hehehe.

Salam,

FAPur

Luz Balthasaar mengatakan...

Super Leader itu grup boyband Korea yang baru-baru ini datang ke Jkt bukan?

*Dirajam tomat sama fans SuJu*


Luz Balthasaar

Danny mengatakan...

ilustrasi covernya juga rame banget dan warnanya mencolok dibanding ama novel yg lain.

Ah, iya. Covernya emang rame, ngejrenk,.... dan bikin mimpi buruk.

Anonim mengatakan...

@cheppy
ahahaha. . .jadi bingung, ini novel fantasi apa buku motivasi.
padahal ngeliat couvernya aja udah gak termotivasi untuk membeli ( sayah malah garukgaruk kepala ) :P
tapi kalo baca novel fantasi mah, sayah udah gak peduli kalo mau ada misi motivasinya ato nggak. yang penting langsung dilahap. hihi :0

muthia

Anonim mengatakan...

@luz
superleader itu mungkin mbah-mbah alias seniornya suju. tapi kurang terkenal .
(dirajam tomat ama penulis superleader dan fansnya suju.)

@danny
emang covernya lebay dan bikin sayah nepok jidat (kalo gak salah ampe 2 kali )
apa mungkin si penulis berpendapat bahwa warna yang mencolok itu ada hubungannya ama misi memotivasi. i don't know

muthia

rangga mengatakan...

hmm.. menurut gw, novel ini cukup bagus juga.

oh iya, kalo mau belajar, sebenarnya kita bisa bermain-main dengan bahasa Kedhalu

contoh:

Institut Teknologi Bandung = Iybhthithuth Thepyomowi Sayrud
Institut Teknologi Sepuluh Nopember = Iybhthithuth Thepyomowi Bhekumuny Yokelsedh
Tasaro GK = Thabhadho WP

hehehehe

shanexavieryusuf mengatakan...

saya lagi setengah-jalan membuat naskah novel fiksi fantasi. saya berharap bisa menjadikan sekuel, tapi seperti yg saya ketahui, setiap novel2 disini yg direncanakan utk sekuel, akan menjadi "harapan semata" karena kebanyakan oirg2 kita lebih mendulukan novel terjemahan dr pd lokal.

apakah menurut senior2 yg sudah menyelesaikan novel2, saya harus menyelesaikannya dn mengirimkannya ke penerbit (dan masalah penerbit juga. saya tidak tahu harus mengirim kemana???) tolong infonya???

Nuril Basri mengatakan...

direview juga dong buku saya, buku lama sih. :(

wasalam: Nuril Basri

FA Purawan mengatakan...

@Shane, komentar saya IMO, apa yang lagi kamu kerjakan ya diselesaikan dulu, entah kamu mau selesaikan sampai sebelum sekuel, atau mau diselesaikan sekuelnya sekalian (kalau waktu kamu memang ada).

Baru abis itu kamu bisa tawarkan ke penerbit. Dari kacamata penerbit, tentu lebih senang bila produk kamu udah nyampe di tangan mereka dalam keadaan finish, bukan setengah jadi.

Kasih per edisi atau seluruhnya termasuk sekuel? Kalo sudah full kelar, tentu lebih baik sehingga penerbit bisa melihat potensi ceritanya secara keseluruhan.

Tapi keputusan menerbitkan sekuel adalah hal yang berbeda, penerbit biasanya ngeliat dulu gimana penerimaan pasar terhadap buku pertama. Kalo jelek, ya besar kemungkinan sekuelnya nggak diterbitkan.

@Nuril, kang Nuril bukunya judulnya apa? Masih bisa dicari di toko buku nggak?

Salam,

FAPur

Anonim mengatakan...

Om Pur, penasaran nih om ama fikfan malay yang om dapet, tentang apa om isinya? Sikit-sikit bual lah om :p

Zenas

Anonim mengatakan...

kalau begitu boleh gak saya minta saran sedikit dari mas pur. kalau mau n ada waktu baca naskahnya beberapa bab saya akan senang apa lagi kalau di kasih komentar sana sini. thanks.

shanexavier yusuf.

calvin mengatakan...

duh jadi pengen baca. tapi tahan diri dulu ah ampe ada diskon. gara faktor xyz, aku harus berpisah dengan sebagian besar buku2ku dan sekarang nahan diri untuk beli buku baru T__T

FA Purawan mengatakan...

@shane, no problem, kirim aja sample naskahnya, (kalo ada sinopsis, bagus juga diikutkan), dalam text file aja..

@zenas, novel malaysia yang mana? :p

Anonim mengatakan...

@mas pur: makasih ya mas, saya bisa kirim ke mana? email atau apa, facebook mas ada gak, bisa lewat situ gak mas?

saya lagi nyelesainnya mas.

shanexavier yusuf.

FA Purawan mengatakan...

@shane, kirim ke fapurawan@gmail.com

Salam.

Anonim mengatakan...

@maspur: oke mas pur, saya akan kirimkan. kalau sudah sampai kabari saya ya, atau katakan saja disini. thanks

shane xavier yusuf.

Anonim mengatakan...

saya tidak bisa mengirim lewat email mas.. ada cara lain?

FA Purawan mengatakan...

saya tidak bisa mengirim lewat email mas.. ada cara lain?

Hmmm??? Gue gak ngerti, someone yang bisa akses internet ga bisa kirim file lewat email?

Cara lain ga ada. Mosok kamu kirim hardcopy ke saya. Bukankah itu akan menyusahkan?

Anonim mengatakan...

saya sudah kirim mas, jangan lupa dibaca ya.

kalau sempat dikasih komentar dikit atau saran agar saya merevisi cerita saya. thanks

yusuf.

Melody Violine mengatakan...

jadi nyesel waktu itu ga beli Nibiru aja, penasaran nih...

btw, sampulnya Nibiru kurang menarik, terlalu kartun dan kekanak-kanakan, itu yang bikin aku males beli, coba sampulnya meskipun anak2 tapi tetap elegan :D

TOP banget deh review ini, apalagi bagian pembahasan rekayasa bahasa dalam the Lord of the Rings

jimbrene mengatakan...

Hello, baru baca novel ini nih. Pendapat saya, tata bahasanya rada kacau dan banyak kata-kata conlang yang serupa tapi tak sama, membuatnya jadi susah diingat.

Soareni S mengatakan...

Tante Melissa Aesthetica/Luz Balthasaar ini emang suka bermulut besar ya. Padahal omongannya cuma plagiat Limyaael, dan kalau
balik dikomentarin karyanya langsung ngeles dan mencak-mencak. Lagian, nerbitin satu buku aja belum pernah.
Kalau nulis sendiri guyonannya jayus, garing, kebanyakan gaya. Bikin guyonan yg lucu dulu minimal sebelum asal komen.
Different for the sake of being different. Kalau ada pendapat yg beda dengannya otomatis dianggap salah. Tipikal jablay.

Pantesan udah umur 40 lebih status FB-nya masih "berpacaran" sampai disinggung bosnya.