Enthirea,
Kalo temen-temen kemudian merasa terkenang pada yang ijo-ijo royo-royo, jangan keburu merasa heran dulu, atau lantas mendaftarkan diri pada paguyuban Green Peace, atau World Wildlife Fund, ato lebih ekstrim lagi, ke majalah Trubus.
No, it's only your uncosciousness' kicking in. Kalo anda tau-tau mikir yang ijo-ijo, itu kemungkinan karena Enthirea adalah otak-atik 'kreatif' dari kata: Anthurium, tanaman berdaun hijau lebar yang bikin banyak orang jadi sinting dan nekat membeli dedaunan dengan harga milyaran. Nah kalo kebeneran ada ulet ga sengaja jatoh ke pot anthurium itu dan memakan sedikit daonnya, tuh, si ulet baru aja makan makanan ulet TERMEWAH sedunia! He he he,...
Coba deh, mirip khan? Enthirea, Anthurium,...
Boleh aja dibilang sebagai kreativitas, namun sadly, that's the only thing 'creative' about this book.
(He he he, mungkin gue memang a bit exagerated. Okelah, masih banyak kreativitas lain. Tapi akui aja, kalimat di atas itu memang provokatif dan atraktif, khan?)
Pengarang, Aulya Elyasa, adalah seorang Psikolog berusia 25 tahun, yang sekalipun sudah banyak berkecimpung dalam dunia penulisan, antara lain berupa puisi, psikologi populer dan fiksi fantasi, menyatakan bahwa Enthirea adalah novel pertamanya, yang direncanakan akan terbit sebagai Trilogi. Punya moto: CARPE DIEM (mottonya alm. Fuad Hassan juga, yach?), dan saat ini sedang menyelesaikan buku kedua Enthirea: Delapan Pelindung.
Which is, menjadi saat yang tepat untuk buru-buru menginformasikan review ini kepada beliau, supaya ada kesempatan bagi pengarang untuk habis-habisan memperbaiki teknik penulisannya. Dan kalau kubilang habis-habisan, itu bisa berarti sepuluh kali battle di Helm's Deep pun belum tentu bisa memenangkan kelemahan novel ini (yang belum tahu Battle of Helm's Deep, baca dulu The Two Towers, kali ye). Well, yeah, buku satu ini memang masih merupakan karya yang 'lemah' banget. Justru menjadi pertanyaanku, apakah sebaiknya pengarang melanjutkan kelemahan yang sama ke buku dua (sehingga jadi konsisten), atau banting setir dan memperbaiki buku kedua sehingga menjadi suatu karya yang 'melompat' dari buku satu. Dilema, oh dilema,....
Enthirea adalah sebuah kisah Fantasy epik klasik dengan plot klasik: seorang nobody yang ternyata merupakan somebody yang bertugas untuk menyelamatkan everybody.
Pusing? Ala begitu aja koq pusing. Coba anggap nobody adalah 'Hobbit dari Shire', Somebody adalah 'Ring Bearer', dan Everybody adalah 'Middle Earth', sounds familiar? Sekarang ganti nobody menjadi 'Penebang Kayu', Somebody menjadi 'Pelindung', dan Everybody menjadi 'Benua Enthirea'. Jadi jelas, khan? Kalo mau motif, tambahkan seorang Dewa Kegelapan (Orgath) yang bermaksud menguasai Dunia. Dan biar rame, tambahin Elf, Kurcaci dan Goblin along the way.
And, you've got a story, right? Sayangnya, tidak sesimpel itu. Sebuah 'story' baru bisa eksis apabila ada believability. Dan untuk bisa meyakinkan dan mempengaruhi pembaca, ada banyak hal yang harus digarap. Sayangnya, Enthirea belum maksimal menggarap hal-hal ini.
OK, bagaimana saya melihat Enthirea sebagai suatu keseluruhan? Saya melihatnya sebagai sebuah karya di mana pengarang merencanakan plot dengan cukup matang, membuat kerangka cerita yang baik, tetapi tidak menyulam, merangkai dan menjahit plot itu dengan kata-kata, kalimat, dialog, narasi, dan deskripsi pilihan yang menjadikannya selembar 'kain' cerita yang memukau.
Kalau mau dirangkum, area kelemahan Enthirea ada di dalam hal-hal ini:
- Setting yang kurang meyakinkan
- Logika yang kacau
- Dialog yang 'corny'.
Bicara urut nomor, deh.
Untuk setting, pengarang tampaknya sudah memikirkan cukup dalam. Adanya peta di halaman belakang novel juga cukup membantu (walaupun akhirnya terasa ada kekacauan kala membandingkan peta dengan deskripsi dari pengarang. Tar kubahas). Penamaan tempat maupun tokoh juga seperti sudah memikirkan kaitan antara nama-nama tempat dengan latar belakang penamaannya, atau penggolongannya (walau tak sekompleks yang kuharapkan dari seorang penulis dewasa, tapi mungkin beliau punya alasan tersendiri terkait target pasar) demikian juga dengan nama-nama tokoh. Walau jujur, gue agak ketawa saat pengarang menetapkan tokoh utama dengan nama Elyaz, alter ego banget sih. Tapi itu normal dan hak pengarang, anyway.
Namun kelemahan setting sangat terasa dalam hal 'penghidupan' setting guna mendukung cerita, supaya cerita menjadi hidup di pikiran penonton dan setting menjadi bagian dari cerita; bukan sekedar seperti panggung tempat para aktor beraksi, atau diorama di museum-museum yang diam membeku di bawah tatapan mata pengunjung. Membaca Enthirea rasanya seperti membaca sebuah business report: Tadinya gini, abis itu gini, kemudian nantinya akan menjadi gini, tetapi masih ada gini, dst. Sibuk, dan gak sempat lihat-lihat keindahan, padahal meetingnya di Bali,... hehehe. Kembali, hiperbola ku aja sih.
Menurut saya kelemahan pengarang adalah terlalu irit dalam mendeskripsikan situasi, property, landscape, bahkan tokoh-tokoh dalam novelnya. Memang, novel ini memiliki POV orang pertama (tokoh Aku) sebagai narator cerita. POV pihak pertama cenderung membatasi daya ungkap kepada Pembaca, sebab seluruh hal di novel itu menjadi 'terfilter' oleh pikiran perasaan dan tindakan tokoh utama. Tapi POV itu tak lantas harus membuat deskripsi menjadi minim, kan? Padahal sebagai novelis fantasy, pengarang punya tugas yang obvious, yaitu menghidupkan fantasi pembaca!
Dan Goblin! Kenapa masih pada ngotot menggambarkan Goblin sebagai sosok Orc? Goblin itu mempunyai gambaran tipikal seperti kakek-kakek cebol berkepala besar, bukannya monster besar berkulit gelap. Melihat 'kekeliruan' sosok Goblin ini, kemudian keberadaan Dark Elf, mungkin pengarang terinspirasi dari konfigurasi rasial yang ada di novelnya Ataka. Atau kalo gak gitu, berarti ada deskripsi ganda mengenai goblin ini di dunia mitologi barat.
Bicara point 1, Setting, saya hanya dapat mengatakan bahwa Pengarang belum berhasil mengolah settingnya menjadi suatu bangunan yang believable, dikarenakan -mungkin- oleh deskripsi yang minim. Kalau mau diperbaiki, mungkin dengan memperkaya detail dan menguatkan relasi setting dengan tindakan para tokoh. POV orang pertama sesungguhnya cukup potensial untuk mendeliver setting secara detail sekaligus berimbuhan emosi dan nilai sesuai karakter tokoh utama, bisa detail sekaligus unik. Di tangan pengarang yang mumpuni, Fantasy POV orang pertama bisa menjadi feast yang luar biasa. Tentunya untuk itu, diperlukan sistem logika yang 'masuk akal' sebagai perekat dan penjelas.
Logika, nah ini yang kacau abbasss,... saya akan menjabarkan melalui beberapa contoh:
Pada penyerangan Faerun, dikatakan pasukan penyerang terdiri atas 3000 infantry, 500 pemanah, dan 5 raksasa tempur, sementara di pihak Faerun terdiri atas 1000 sukarelawan yang cukup mampu memanah karena merupakan pemburu andal. Ditambah dengan Elyaz sebagai pelindung, Lefial dan Arvea sebagai Elf yang menguasai sihir-sihir dahsyat. So the odds will simply be 1:3 atau 1:4. Udah gitu dalam paruh pertama adegan perang, ternyata para jagoan dan penduduk Faerun sudah dapat mengeliminasi 1500 lawan berkat penggunaan sihir dan panah. Nah, sampe sini kan oddsnya sudah berubah tinggal 1:2. Tapi pengarang tetap me'nambahkan' jumlah penyerang agar terkesan overwhelming dengan menyebutkan Goblin yang berjumlah 'ribuan'.
Well, memang Faerun pada akhirnya harus jatuh, cuma pengarang kurang berhasil memberikan situasi yang logis dalam peperangan ini karena logika perangnya kurang berjalan.
Logika perang di pegunungan Arga juga demikian, sejumlah 15.000 pasukan antagonis melawan 10.000 pasukan protagonis yang diuntungkan oleh situasi alam. Kalo pengarang lebih mempelajari ilmu strategi perang terutama bagaimana sifat-sifat infanteri, kavaleri dan artileri, serta bagaimana pengaruh kekuatan di antaranya, kayaknya pengarang bisa membuat adegan perangnya lebih believable. Perangkatnya udah ada, koq.
Tapi main-main dengan angka, ini juga masih harus dipertimbangkan oleh pengarang. Bikin pasukan dengan jumlah besar, itu secara universe Fantasy, sebetulnya susah, lho. Untuk mencapai hitungan 10.000 pasukan saja, seharusnya effortnya nggak main-main, mulai dari harus mencari orang-orang berfisik sehat dengan rentang usia yg cukup (ada persoalan demografis), kemudian menyediakan tempat latihan, perlengkapan, logistik dan lain sebagainya, perang on-foot semacam itu akan membutuhkan empat-lima tahun sekedar untuk persiapannya saja!
Ambil contoh perang Mataram, yang untuk jalur perjalanan pasukan saja, logistiknya menjadi demikian besar dan kompleks, meninggalkan jejak-jejak peradaban sampai sekarang berupa kampung-kampung dengan penamaan terkait Mataram. Untuk mencapai Batavia, sekedar buat numpang lewat aja Sultan Agung harus 'menaklukkan' banyak daerah terlebih dulu, baik melalui penaklukan fisik maupun diplomatis, yang tentunya ngga cuma dalam semalam.
Dalam setting LOTR, bahkan Saruman yang mampu menciptakan "tens of thousands" pasukan Uruk-Hai, sampai memerlukan untuk menghancurkan hutan-hutan di sekitar Eisengard dalam skala yang mampu membuat Treebeard murka seketika (yang pastinya sangat cepat untuk ukuran Ents!).
Artinya, makin besar jumlah pasukan pun akan makin besar effort untuk membuatnya, termasuk effort politis, effor budaya maupun effort logistik.
Bandingkan dengan komposisi pasukan bayaran Arga yang bisa mencapai 10.000 (padahal dalam deskripsi camp-nya, tidak terkesan sampai berjumlah segitu besar). Pertanyaan sederhananya: SIAPA yang mampu membayar untuk pasukan sejumlah itu? Tidak ada kerajaan yang memerlukannya, dan tidak ada background situasi politik yang memotivasi tersedianya military reserve sampai segitu banyak. Bahkan konsep pasukan bayaran aja gak begitu jelas di novel ini.
"Tapi kan gue bikin cerita Fantasy, dimana semua kemungkinan dapat terjadi?" biasanya akan muncul pembelaan seperti ini. Well, boss, JUSTRU dalam cerita Fantasy (yang bener), pengarang punya tugas untuk menjelaskan semua kejadian mengikuti sistem logika yang dapat diterima oleh pembaca, terserah itu logika sesuai dunia nyata, atau logika ciptaan pengarang sendiri. Tanpa di-back-up sistem logika yang kokoh, alih-laih menjadi literary Fantasy, karya tersebut akan cuma mampu berada dalam kelompok 'pure-ngayal'.
Kemudian contoh lagi mengenai logika lokasi sesuai deskripsi pengarang. Ini simpel aja, sebab bisa diperbandingkan dengan gambar peta yang disupply oleh pengarang; Mengenai jalur perjalanan dari Eslunia menuju Pegunungan Arga. Lihat kutipan ini:
"Dari Eslunia, kita akan berjalan ke Utara melewati gunung Ro. Dari situ kita akan berjalan ke arah Tenggara sampai kita menemukan mata air Fianha. Perlu aku sampaikan pada kalian, sebelum mencapai mata air Fianha, kita akan melewati perbukitan Krana yang terbentuk dari karang yang sangat terjal dan berbahaya. setelah kita sampai di Fianha, kita akan meneruskan perjalanan ke Timur menuju pegunungan Arga, kalian mengerti. Apakah ada pertanyaan?"
Coba liat petanya dulu,...
Nah, kalo gue ikut di sana, gue pasti akan bertanya, "Ngapain susah-susah? kita jalan aja ke Timur terus, kemudian ke Utara dikit, pastilah ketemu Pegunungan Arga (versi Pengarang), which is beda sama versi pembuat peta!" hehehe,...
Nah kalau mau konsisten sama Peta, harusnya briefingnya sangat sederhana, "Kita jalan ke Utaraaaa,... terus, nanti ketemu lah sama pegunungan Arga!"
Inkonsistensi ini, menunjukkan bahwa pengarang agak mengabaikan aspek logika lokasi dalam novelnya. Emang sih, menggambarkan sebuah lokasi fantasi adalah hal yang amat sulit, saya akui hal itu. Belum tentu bayangan yang ada di kepala pengarang dapat terjabarkan secara tepat di pikiran pembaca. Itu sebabnya pengarang Fantasy kerap membuatkan peta imajiner untuk pembacanya. Tapi janganlah kemudian pembuatan peta itu hanya jadi faktor gimmick doang, tetap harus in-line dengan setting ceritanya.
Satu aspek logika alam juga jadi kacau di novel ini.
Pada sub-plot masalah mata air Fianha yg disabotase oleh pasukan kegelapan sehingga menjadi keruh & berbau, dikisahkan bahwa sabotase dilakukan dengan cara menancapkan semacam tongkat sihir di tengah sungai Elstran yg merupakan pelimpahan dari mata air Fianha. Nah, gak logisnya adalah bagaimana sesuatu di hilir bisa berpengaruh pada mata air di hulu.
Hukum air sudah jelas berlaku bahwa apa-apa di hulu akan berefek ke hilir, tapi tidak sebaliknya. Terserah kalo pengarang mau memainkan kartu sihir di sini, tapi setidaknya logika yg lempeng kudu tetep dijaga.
Logika menjadi semakin bubrah bila mengingat bahwa sabotase ini membuat mata air Fianha menjadi tidak enak diminum, sementara air minum suppose to be diambil langsung dari sumbernya, dan sumbernya dikatakan tidak tercemar!
Jadi, pengarang ingin membuat situasi di mana pencemaran di hilir membuat rasa air di mata air (yg tidak tercemar) menjadi rusak! Sungguh nggak kena ke logika mana pun. Kenapa nggak dibikin saja bahwa mata airnya yang memang disabotase. Toh pengarang dapat saja membuat posisi mata air tersebut berada dalam gua yang jauh di dalam tanah, yang rupanya sudah dikuasai musuh, dan kemudian musuh menancapkan tongkat sihir di situ bla, bla, bla. Itu jauh lebih masuk akal.
Masih ada gegar logika yang lain, misalnya bagaimana jagoan yg terkepung koq bisa begitu saja meloloskan diri dengan berlari (biasanya meninggalkan comrade in arms nya dengan melodrama, "Cepat! Selamatkan dirimu! Kau terlalu penting untuk mati! Dan seterusnya lo pasti dah tau dah! Kalo lo mati sekarang, sekuelnya bakalan gak terbit!") dan seolah-olah di saat itu para pengepung seperti memutuskan untuk berkumpul di satu sisi saja dan memberi peluang pada si jagoan untuk lolos tinggal glanggang colong playu...
Terus Elf Hitam Zatra yang merampok Elyaz di tengah hutan, jebul-jebule adalah seorang jendral intelijen dari kerajaan Elf Hitam. Kalo temen-temen nanya ngapain seorang jendral nyambi jadi perampok di hutan? Gue mungkin cuma bisa jawab: sejak BBM naik, apapun bisa terjadi, man!
Terus ada adegan si Zatra ini, yang mampu bergerak secepat The Flash, menggunakan kesaktiannya untuk melenyapkan debu-debu pasir beterbangan menutupi pandangan, dengan cara berlari cepat mengelilingi debu sehingga debu-debu itu terangkat ke udara dan hilang. Well, satu hal yang lupa dipikirkan, debu kena angin, bukannya menghilang malah makin kacau semuanya, lah! Angin yang mengangkat debu di tengah justru akan menyedot debu dari samping dan seterusnya,...
Need I say more? Cyukyup, kali ye,...
Lalu mengenai dialog yang saya bilang 'corny'.
(BTW, corny itu apa sih, kak?)
Naaa, itu juga yang gue kagak tahu percis. Masak, dialog kayak 'jagung'? He he he, dasar gue sok pakai istilah asing yg gue gak tahu artinya. Tapi terserahlah, buat gue dialog di Enthirea tidak terasa enak dicerna, dan banyak yang terasa dipaksakan. Kalau boleh menduga, sepertinya karena Pengarang terlalu kompulsif menyebut nama tokoh dalam dialog.
Sampai sini, udah eneg, belum? Berasa sinetron latino gak seh? Apakah setiap bicara kita 'wajib' menyebut nama lawan bicara? Cukup banyak dialog dibabar dengan cara seperti itu, sampai pada porsi ter-notice oleh ku dan membuatku ingin menjedot-jedotkan jidat ke tembok kamar. Sumpah gue nyaris gak percaya kalo yang menulis dialog seperti ini adalah bukan seorang anak SMP berusia 14 tahun bernama Ataka. Wait,... Ataka bikin dialog way better than this!
Ini buat contoh, tapi imajiner aja ya, supaya bisa hiperbolis dikit :)
"Gunsa kau hendak kemana?"
"Elyaz aku hendak ke tebing itu."
"Gunsa untuk apa kamu ke tebing itu?"
"Elyaz aku ingin mengamati matahari terbenam"
"Gunsa maukah kau kutemani"
"Boleh saja Elyaz"
"Ehm, Gunsa, betapa indahnya matahari terbenam"
"Betul Elyaz, ha ha ha"
"Gunsa apa yang kau ingat"
"Elyaz aku teringat kampung halamanku"
Sampai sini, udah eneg, belum? Berasa sinetron latino gak seh? Apakah setiap bicara kita 'wajib' menyebut nama lawan bicara? Cukup banyak dialog dibabar dengan cara seperti itu, sampai pada porsi ter-notice oleh ku dan membuatku ingin menjedot-jedotkan jidat ke tembok kamar. Sumpah gue nyaris gak percaya kalo yang menulis dialog seperti ini adalah bukan seorang anak SMP berusia 14 tahun bernama Ataka. Wait,... Ataka bikin dialog way better than this!
Kurasa, banyak sekali yang harus diimprove oleh pengarang dalam hal merangkai dialog. Selain kekurang wajaran dalam menyebutkan nama-nama person terlampau sering, sebagian besar dialog dalam novel juga belum berhasil mendeliver emosi dan motivasi dari pengucapnya, dengan demikian dialog tidak berfungsi membangun karakterisasi para tokoh. Oleh karenanya, tokoh-tokoh di novel ini jadi terasa dangkal, terlepas apakah itu merupakan intensi pengarang atau tidak.
Sekedar pendapat pribadi saya aja: menurut saya dialog adalah nyawa sebuah novel, yang sangat mencerminkan ciri khas gaya seorang pengarang. Mungkin saja banyak pengarang bisa menghasilkan gaya yang 'mirip' saat menuliskan deskripsi suatu lokasi, misalnya. Tapi kalau sudah bikin dialog, biasanya ciri khas penulis itu langsung muncul. Dan dialog pun mampu menggambarkan banyak hal, nggak cuma content yang diomongin sang tokoh saja. Energi peristiwa novel banyak berpusar di perihal dialog ini. So, dialog itu puenting, boss. Jadi, kalau seorang pengarang meningkatkan kemampuannya merangkai dialog, menurutku itu sudah berarti si pengarang sedang mendevelop gaya penulisan khas nya.
Buat gue, pengarang yang top banget penulisan dialognya, sampai saat ini adalah Arswendo Atmowiloto. Well, yours may vary. Ga papa. Yang penting bagaimana kita belajar dari para senior itu untuk ngedevelop gaya yang pas buat kita sendiri.
Okeh (tarik napas panjang), selain tiga faktor yang perlu diimprove di atas, kupikir Enthirea adalah sebuah gagasan yang cukup workable untuk sebuah novel. Pengarang nyata-nyata sudah membangun plotnya dengan cukup bagus, antara jalan lurus, tikungan maupun persimpangan semuanya saling terkait dan saling menunjang. Karakter masing-masing tokoh juga cukup terbangun, walaupun belum sampai pada kedalaman yang 'pas' untuk pembaca dewasa; kalau untuk pembaca remaja, udah lumayan cukup, lah. Plot twist di ujung novel pun mampu menimbulkan efek kejut pada diri pembaca dan membuat penasaran akan buku sekuelnya. Padahal, love storynya cukup kacangan sebelum plot twist itu,... hehehe,...
Bicara love story, pengarang memang menyelipkan kisah cinta antara tokoh utama dengan love interestnya, seorang putri Elf berusia 500 tahun (cinta memang gak pandang usia, man!), yang digambarkan sangat platonic, kagak ada passion-passionnya acan. Angle ini menyebabkan saya berpikir bahwa novel ini memang ditargetkan untuk pembaca remaja. Dan menurut gue sih, memang cukup pas lah buat sekitar remaja SMP-an, yang belum kenal apa itu pheromone :).
Demikian pula adegan-adegan kekerasan digambarkan cukup terkendali, dalam arti gak mengumbar darah secara berlebihan sebagaimana sering kukritik di novel-novel bertarget remaja (sic!). Cuma ada satu 'cacat' aja dalam menggambarkan hubungan tokoh Alator dengan calon istrinya Frigga, yang dikatakan "menghabiskan waktu malam dengan Frigga". Well, ga frontal nudity gitu, sich. Tapi gue berharap pengarang bisa sedikit wise untuk menghindarkan kesan "R" rating pada novel yang akan dibaca remaja-remaja SMP ini. He he he,...
Tumben, gue baru menyentuh desain cover dan ilustrasi di bagian akhir review, nih?
Well, untuk desain cover sih buat gue rasanya cuma so-so aja ya. Gak terlalu bagus, tapi masih dalam satu league dengan novel-novel bertarget bocah SMP, dengan warna-warna biru-kuning-merah menyolok. Ada gambar nemesys berbaju zirah yang mengesankan musuh besar, serta gambar empat jagoan berjajar. Di bagian dalam, ada ilustrasi empat jagoan yang sama dengan sedikit keterangan detail. Di halaman belakang ada gambar Peta Enthirea.
Cuma ada satu rasa penasaran saya aja. Desain cover dan ilustrasi dikerjakan oleh Catur Ary, yang nampaknya sudah mengerjakan sebagian besar ilustrasi untuk buku Fantasy yang ada. Dan terutama yang mengerjakan Ledgard, yg pernah aku puji. Pasalnya, koq eksekusi mas Catur di Ledgard beda banget dengan di Enthirea, ya? Di sini kayaknya kurang begitu rapih. Coba aku sandingkan contoh perbandingan berikut:
Salam,
FA Purawan
Gak tahu apa penyebabnya, moga-moga bukan karena honorarium yang beda, ya mas! He he he,...
OK kawan-kawan, demikianlah kesan saya setelah membaca Enthirea buku pertama: Pertempuran Dua Dunia. Satu hal yang ingin aku masukkan sebagai catatan penutup:
Saya tampak cerewet banget mengkritisi aspek logika dan setting dalam sebuah novel fantasy, demikian cerewetnya sampai mungkin saja pembaca (atau pengarang) akan mempertanyakan, "Untuk apa seserius itu? Santai ajalah, yang penting kan novel ini dapat dinikmati?". Seolah-olah saya 'tega' menghancurkan karya orang hanya gara-gara saya nggak puas dengan aspek teknis semacam logika dan setting universe.
Well, moga-moga sikap ini dapat dimengerti sebagai perwujudan perhatian dan caring terhadap perkembangan penulisan Fantasy lokal. Saya berangkat dari pengamatan bahwa tradisi penulisan fantasy lokal belumlah berakar kuat. Apalagi bila kita belajar dari sejarah literasi di Indonesia, genre Fantasy 'practically' baru muncul setelah euforia Harry Potter merambah dunia. Saya inget betul, Gramedia baru menerbitkan terjemahan Lord of The Rings setelah Harry Potter, dan itupun kukira ditrigger oleh produksi Film Lord of The Rings-nya Peter Jackson. Padahal LOTR sudah dianggap karya klasik Fantasy sejak puluhan tahun!
Karena 'kependekan' sejarahnya, dan minimnya referensi, wajar bila masih banyak pengarang kita belum 'grip' banget apa yang disebut dengan kisah Fantasy itu seharusnya, dan masih rancu dengan segala aspek yang berbau 'khayal' semata. Padahal Fantasy pun tetap mengacu pada pakem-pakem dasar penulisan di dalam genre apapun, yaitu bangunan setting dan bangunan logika yang 'utuh' untuk mengantarkan cerita. Perbedaannya hanya pada model bangunan setting & logikanya saja, yang masih terbuka untuk didefinisikan kembali oleh pengarang, dalam batas-batas yang masih bisa diikuti (dan dipercayai) oleh pembaca.
Dan memang, dengan terbukanya definisi, pengarang justru harus lebih serius dalam mengembangkan universe yang diciptakannya, harus lebih hati-hati dan lebih seksama. Tak seperti genre novel drama umum, yang universenya sudah tergelar dalam bentuk jadi, universe fantasy adalah ibarat kertas kosong yang harus secara hati-hati dirancang oleh pengarang. Karena kalo merancang universe-nya 'bolong', itu akan menyedot seluruh cerita ke dalam selokan 'unbelievability' bagaikan bath-tube dibuka sumbatnya. Cerita akan kehilangan kredibilitas dan kehilangan enjoyment.
Anyway, kuliahnya segini aja, gak usah berat-berat. He he he,... Kan lebih enak belajar bersama-sama, sambil nge-review karya-karya lokal yang terus bermunculan, dan berkatnya kita bisa memperbaiki karya-karya yang akan datang. Sebuah proses yang pastinya, menyenangkan!
Buat mas Aulya Elyasa, selamat datang di jajaran penulis Fantasi Indonesia, kita tunggu karya-karya selanjutnya.
Salam,
FA Purawan
20 komentar:
Nice review =)
salam kenal ya Mas!
I love this review :)
Salam kenal, Mas. Saya seorang penggemar fantasy, yang saya akui, masih enggan membuka-buka fantasy karya lokal karena alasan yg Mas sebutkan semua di review ini. Saya juga seorang penulis, tapi belum berani menyebut genre saya fantasy, karena masih saya anggap genre remaja/teenlit, tapi mengetengahkan kisah fantasy setting modern.
Saya setuju sekali bahwa menulis fantasy, yg paling penting untuk diingat penulisnya adalah logic, logic and logic. Apalagi kalau ingin merambah dunia high fantasy seperti buku ini. Saya nggak fair kalau membandingkan buku2 fantasy lokal dengan LOTR karena seperti kata Mas, dunia literatur kita baru aja kenalan sama genre ini.
Tapi dari beberapa buku fantasy yg saya intip di toko buku, tidak satu pun memuaskan saya dalam hal logic ini. Not to mention poor storyline and corny dialogue (berjangung? hehe). Tampaknya penulis fantasy lokal masih terpaku pada 'kekuatan sihir' yg bisa melakukan apa saja, bahkan tabrak lari.
Mudah2an lebih banyak penulis fantasy lokal yg sadar betul tentang pentingnya logic dalam cerita mereka, bukan sekadar bersembunyi di belakang kalimat, "Ini fantasy, apa saja bisa terjadi."
Poppy
Mas, boleh gak saya masukin link blog Mas ke Multiply saya? Mau ngomongin tentang fiksi fantasy Indonesia juga nih. Minta izin ya, Mas, nanti kalau udah dikasih izin baru saya link.
Oya, alamatnya
http://arweneldarin.multiply.com
Dan setahu saya Mas penggemar Tolkien juga, bisa ikutan komunitas kami: Eorlingas di
http://eorlingas.multiply.com
Poppy
Hallo mbak Poppy Arwen :)
Tentu saja, ijin diberikan dengan senang hati. BTW, saya coba akses link yg diberikan koq ga bisa ya?
Salam kenal buat para penggemar Tolkien! Dibanding anda-anda, pengetahuan saya tentang middle earth mah ga ada apa-apanya!
Tabik,
FA Purawan
pertama=review yg sangat pedas dan membangun..
sebenarnya karya2 fantasy lokal itu seharusnya harus didiskusikan terlebih dahulu, sepertinya penerbit buku tersebut tidak menempatkan editor yang cukup mengerti tentang genre fantasy...
hal ini bisa membuat penulis mati kutu..karena mungkin saja penerbit langsung meng-approve buku itu untuk terbit.
terakhir.. kalo mau, mungkin someday saya nulis fiksi, bolehlah saya minta review dulu sebelum diterbitkan.. ya biar ga menjadi junk book.hehehehe
hidup tulis menulis indonesia
Setuju banget, nyet!
(He he he, sorry, abis namanya emang Monyet-gaul, sich,.. Tapi aku suka dengan komen sampeyan)
Coba bergabung dengan komunitas penulis Fiksi-Fantasi yang ada di forum www.lautanindonesia.com, kamis ering nongkrong di thread FFDN III (Fiksi Fantasi Dalam Negeri III), ngobrolin mengenai Fantasy lokal. Di forum yg sama kita juga bisa upload naskah untuk dikomentari (baca: dibantai, hehe) oleh teman-teman. Saya kira itu proses yang bagus sekali untuk mematangkan karya tulis kita.
Sebab, persis komentar anda, karya fantasy itu harus banyak didiskusikan dulu sebelum dikirim ke penerbit. Kalo di LN sih, diskusi matang ini terjadi antara penerbit/ editor dengan pengarang. Ga tau kalo di sini, hehehe,...
Salam,
dada sebelah kiri terasa sakit :p
wew, reviewnya keren...
Aku menunggumu mereview Cardan, mas :))
setelah baca itu aku sakit gigi, pun...
ps. bolehkah aku meminta keluangan waktunya untuk mereview tulisanku?
*big grin*
----------------
salam kenal, mas
----------------
elbintangI
Hi, elbintang :)
Salam kenal juga. Udah nulis apa? Kalau mau aku bacain/ komentarin, oke aja. Silakan kirim dalam format doc atau txt, biar bisa aku convert ke firmat *.lit (MS reader), soalnya aku paling enak baca di PDA.
Salam,
FA Purawan
GWAH! G udah beli Enthirea sebelum ngeliat resensinya di sini.
Err~jadi agak ragu bwt bacanya....
Membaca review ini membuat gw kadang geli pas mengingat kembali kejadian itu...
Kalo pengen tahu, awalnya si pemeran utama di novel ini profesinya pemburu, tapi diubah krn agak terlalu mirip Eragon.
Tanya gimana gw bisa tahu? :D
Hehe.
He he he,...
menurut gue sih harusnya pede aja pengarangnya, gak perlu diubah 'karena mirip eragon' segala.
Lha wong dia punya problem yg lebih besar daripada sekedar menentukan sang tokoh sebagai pemburu atau penebang kayu!
Salam,
wah novel ini masuk nominasi khatulistiwa award loh ...
Yes, dan itu merupakan suatu prestasi yang patut disyukuri.
Semoga menadi pemicu untuk menghasilkan karya-karya yang lebih baik.
Salam,
FA Pur
Akhirnya... Saya selesai juga baca Enthirea!
Saya setuju banget sama pendapat Mas Pur. Banyak logika yg bolong di novel ini.
Btw, saya barusan bikin resensi Enthirea juga. Monggo dilihat~
http://bankbuku.wordpress.com/
SALAM KENAL...HTTP://OSCARWADDLE.BLOGSPOT.COM
om, aku berumur 15 tahun, sekarang ini mau bikin novel. tadinya sih cuma buat hobi aja, cuma siapa tau bisa dikasih ke penerbit. om, aku pengen minta saran atau kritik dong, pedes juga gapapa deh, biar ceritanya oke, gitu... ini e-mail saya, muthiawidayanti@ymail.com . om kirimin e-mail ke saya, baru nanti kita bahas-membahas. oke. oh ya, nama saya mutia. salam kenal ya..
@Mutia,
@ymail?? Emangnya ada, ya? Baik saya coba kirim.
tks
Ymail teh Yahoo Mail jg, Mas Pur. Skrg lalala-mail udah makin variatif. :D
Hehe.
@Juu, iya tuh, bikin bingung, takutnya typo dari gmail. Mana tutsnya 'y' dan 'g' kan nyaris bersebelahan... :)
Anda hebat. Suatu saat nanti saya ingin anda meriview karya saya.
Bahari23
Posting Komentar