Data buku:
Penerbit: Gagas Media
Penyunting: Feba Sukmana
Penata letak: Yanto
Desain sampul: Okeu Yoseph Kurniawan
Tebal: 325 halaman
Dari Novel Cardan, hal. 1 - 2:
Langit malam ini sangat indah, ketiga bintang yang selalu menerangi malam memancarkan cahaya berbeda warna putih, merah dan biru. Para leluhur menamakan bintang putih Joan, Sanggu untuk bintang merah, dan Colt untuk bintang yang berwarna biru. Mereka menganggap bintang-bintang tersebut sebagai lambang tiga elemen, yaitu udara, api, dan air.
Di daratan ini terdapat sebuah kerajaan kecil bernama Tolan. Sebuah kerajaan kecil dengan letak strategis, tepat di tengah-tengah Garinka. Tolan adalah kerajaan transit bagi para pedagang dari seluruh pelosok Garinka. Tak heran, hal ini membuat Tolan menjadi sebuah kerajaan yang cukup makmur. Dan karena itu juga, Tolan menjadi kerajaan terbesar di Garinka.
Namun, dibalik semua kelebihannya, Tolan sedang mengalami peperangan. Sebuah perang besar antara Tolan dan Sync, perang antara dua kerajaan yang sudah saling bermusuhan sejak ratusan tahun lalu. Mereka menamakannya perang Zonega.
Seorang jendral perang Tolan sudah banyak memenangkan perang namun ia belum pernah melawan ribuan pasukan yang begitu membabi buta. Sepertinya bagi pasukan itu membunuh seorang Tolan merupakan hal terindah dalam hidup, sebuah mimpi yang ditanamkan dari kecil oleh orangtua mereka.
Pedang jendral Tolan sudah berlumuran darah, entah berapa banyak nyawa yang telah ia cabut dengan pedang itu. Banyak mayat tergeletak di kanan-kirinya, dari pihaknya maupun musuh.
Ia berlari menuju kawannya yang terluka karena terkena busur panah di kaki kirinya. Ia memeluk lalu membaringkan tubuh kawannya di atas tanah, berteriak marah kemudian kembali membantai sekitar sepuluh pasukan musuh di sekitarnya. Jenderal TOlan itu ahli dalam pertarungan jarak dekat, bakat yang digalinya semasa berlatih di akademi perang.
Ia kembali melihat kawannya terluka. Bagaimana Cardan sepertinya bisa begitu lemah, sedangkan aku..., pikirnya sambil memeriksa luka kawannya. Sifatnya memang pencemburu, meskipun pangkatnya cukup tinggi ia masih saja ingin menjadi seorang cardan. Status yang dari dulu ia idamkan dan nantikan. Sebenarnya ia tahu benar bahwa untuk menjadi seorang cardan, ia harus dipilih oleh langit.
Kini cemburunya semakin memuncak, ia berdiri dan menghujat langit. Tak lama kemudian terdengar suara yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri.
---------------------------------------------------
Seorang jendral perang Tolan sudah banyak memenangkan perang namun ia belum pernah melawan ribuan pasukan yang begitu membabi buta.
ini aja udah kalimat yang subyek-predikat-obyek nya ngaco, kayaknya kurang tanda baca ataupun kata sambung.
Sepertinya bagi pasukan itu membunuh seorang Tolan merupakan hal terindah dalam hidup, sebuah mimpi yang ditanamkan dari kecil oleh orangtua mereka.
kalimat selanjutnya ini gak nyambung dengan Subyek "Jendral", sebab Subyek tiba-tiba berubah menjadi merefer ke "pasukan yang begitu membabi buta". Terus tau-tau berubah lagi ke subyek yang lain:
Pedang jendral Tolan sudah berlumuran darah, entah berapa banyak nyawa yang telah ia cabut dengan pedang itu.
yang dilanjutkan dengan kalimat ini:
Banyak mayat tergeletak di kanan-kirinya, dari pihaknya maupun musuh.
Yang kalau dikaitkan dengan kalimat sebelumnya, mengesankan bahwa pedang sang jendral sudah mencabut banyak nyawa nggak cuma musuh melainkan juga dari pihaknya sendiri! So, the whole paragraph is a mess!!
Terus paragraf berikutnya bikin ketawa lagi:
Ia berlari menuju kawannya yang terluka karena terkena busur panah di kaki kirinya.
(Kena busur aja luka? cemen banget,..... iye-iye, gue tahu, maksudnya kaki kirinya ketancep anak panah. BTW, Fatal ya? Panah beracyun,.. kalee?). Atau 'busur' dianggap sebagai kata kerja?
Ia memeluk lalu membaringkan tubuh kawannya di atas tanah, berteriak marah kemudian kembali membantai sekitar sepuluh pasukan musuh di sekitarnya. Jenderal TOlan itu ahli dalam pertarungan jarak dekat, bakat yang digalinya semasa berlatih di akademi perang.
Ini juga series of incoherent actions. Maksudnya sih bisa kutangkep, tapi masih mendingan juga sastranya Sinchan yg "BABI PERGI,... BABI PULANG" itu, hehehe. Terus membantai sepuluh PASUKAN??? Maksudnya sepuluh PRAJURIT, Kallii,...?
Selanjutnya penggambaran aksi dalam kalimat dan paragraf lanjutannya benar-benar menggambarkan seorang jendral yang lagi bingung dan depresi banget, bukan lagi perang (ini jendral atau prajurit rank & file, sich? Koq sibuk amat di garis depan. Yang ngatur strategi di war room, terus siapa? Sekretarisnya, kali?)
So, need I say more mengenai keancuran gaya penulisan ini? Menurut gue sih, contoh prolog ini memberi indikasi tak terbantahkan bahwa pengarang masih belum menguasai tata penulisan yang benar (tak usah dulu ngomongin 'baik' dalam dua serangkai 'baik dan benar'). Walau jelas aku sudah punya masukan dalam aspek-aspek logika, tapi terpaksa masukan itu aku simpan dulu sebab pengarang menghadapi problem yang lebih besar, yaitu kemampuan menuangkan ide secara benar melalui tulisan.
Itu, lho, pelajaran Subyek-Predikat-Obyek, itu lhooo,....
Lha kalo seorang pengarang belum bisa menuliskan kalimatnya secara benar, bagaimana dia akan berhasil mentransfer ide ceritanya? Dan Hallooow,... para editornya lagi pada ngopi-ngopi di mana sih? Kalimat kayak di atas itu koq bisa lolos? Padahal itu di bab awaaaal banget, loh? (Wajar bila Editor agak loose di tengah-tengah buku. Tapi gimana kalo udah loose sejak AWAL buku?)
Untuk selanjutnya, penyakit yang sama melanda seluruh naskah sehingga membuat buku ini menjadi terlalu sulit untuk dicerna. Saya sendiri harus membaca bagai orang buta berjalan. Maju-stop-maju-stop-maju-stop dst. Satu bulan lebih untuk buku cuma setebal tiga ratus halaman.
Oke, kalau saya cuma mencela, ya semua orang bisa mencela, ya nggak? Lantas apa yang bisa dipelajari dari karya ini supaya pengarang dan temen-temen aspiran penulisan Fantasy dapat membuatnya lebih baik lagi?
Pertama, mungkin dari segi penyusunan kalimat s.d.a., ya. Biarpun kita masih punya ruang untuk 'mempermainkan' struktur kalimat secara kreatif, tetap saja ada aturan utama yang harus diikuti. Dan aturan itu memang ada sejak dulu karena suatu alasan, yaitu agar ide dapat terkomunikasikan secara tepat, dengan tetap memelihara kewarasan dan keruntutan berpikir pembacanya :) Kalau pengarang keenakan mengaduk-aduk pikiran pembaca dengan jumbling words, maka dia belum bisa dikatakan sebagai pengarang, melainkan psikopat, hehehe.
Kedua, mungkin pengarang juga perlu mengembangkan 'sense' untuk pemanfaatan kata/ istilah. Bagaimanapun, istilah tidak dapat dipertukarkan secara terlalu merdeka, sebab setiap kata atau istilah sesungguhnya memiliki pengertian khas, yang bila salah pakai akan mengaburkan atau mengacaukan makna. Berikut contoh kasus di Cardan:
Di samping Aras, seorang pria berbaju zirah--dengan tinggi badan yang lebih pendek darinya--tiba-tiba meremas tangan Aras dan berkata, "Tangan yang kuat, cukup kuat untuk mengangkat pedang atau tombak!"
Well, secara kalimat, paragraf contoh di atas tidak punya masalah berarti. Tapi kalo anda menganggap kalimat di atas tidak 'bermasalah', mungkin cara berpikir anda masih menggunakan gaya penulisan berita, bukannya gaya penulisan cerita. Pada 'gaya berita', kalimat adalah fakta kering, sekedar mendeskripsikan kejadian tanpa penafsiran lebih lanjut. Dalam 'gaya cerita', sebuah kalimat dibaca secara tafsir, pembaca berusaha memahami adegan dengan menggunakan imajinasi yang digiring oleh naskah.
Coba aja bayangin adegan ini: si pria MEREMAS tangan Aras, di suatu toko. Untung aja ngomongnya nggak gini, "Tangan yang kuat, ya boooo,..." (gedubrak.com)
Saya temukan banyak kekeliruan semacam itu di sekujur novel, sehingga semata susunan pengkalimatan yang dibikin oleh pengarang jadi gagal untuk mendeliver cerita sebesar ide yang dimilikinya, bahkan menggiring ekstra tafsir yang terkadang menggelikan, seperti contoh di atas.
So, gimana supaya kalimat di atas tidak disalah-tafsirkan sebagai 'gay novel'? (tentu saja, kita tidak usah capek-capek memikirkan hal ini bila si pengarang memang meng-intensikan novelnya sebagai 'queerlit'! Ha ha, tapi saya kira bukan itu intensi pengarang, tentunya?)
Tentu saja, pengarang musti memperhatikan setting dan cara berinteraksi yang tepat, dan pada akhirnya memilih istilah yang tepat. Saya akan memberi alternatif semacam ini:
Di samping Aras, seorang pria berbaju zirah--dengan tinggi badan yang tak melebihi pundak Aras-- tiba-tiba berhenti di sisinya dan mengamati tangan Aras penuh minat. Lalu tanpa permisi ia meraih pergelangan tangan Aras dengan pegangan sekuat penjagal sapi. Aras meringis kesakitan sekaligus keheranan, dan mencoba melawan dengan menarik lepas tangannya. Si Baju Zirah justru tertawa girang dan membetot tangan Aras lebih kuat lagi, membuat Aras harus mengerahkan tenaganya lebih besar lagi. Terjadi tarik-menarik yang cukup ulet, sampai akhirnya Si Baju Zirah melepas tangan Aras sembari terbahak, "Ha ha ha, hebat kau, nak! Tangan yang kuat, cukup kuat untuk mengangkat pedang atau tombak!" ujarnya dengan nada memuji yang tulus.
Pelajaran ketiga, adalah bahwa pembaca tidak bisa dijejali dengan terlalu banyak nama. Saat pengarang mengintrodusir SETIAP nama kepada pembaca, pembaca harus membuka file ingatan guna memasukkan nama itu dalam konstelasi cerita. Kenapa, sebab pembaca harus mengingat tokoh tersebut, apa posisinya, apa perannya, dalam cerita, ketika menjumpai nama itu seratus dua ratus halaman sesudahnya. The bad di Cardan, adalah terlalu banyak nama yang tidak cukup diikat dengan konteks, akibatnya terlalu banyak open file di kepala pembaca, yang membuat pembaca menjadi mudah tersesat.
Tata penamaan terkesan masih separuh asal. Pengarang menciptakan konvensi tiga nama untuk kebanyakan tokoh-tokohnya, seperti Aras Boma Palawa, Divin Shinta Wordane, Zavier de Voco dan lain-lain. Tapi sungguh sulit mengingat rangkaian tiga nama tersebut karena pengarang tidak punya konvensi mengenai cara mengintrodusir nama-nama tersebut.
Umumnya, nama-nama rumit/ kompleks harus diintrodusir seawal mungkin, setidaknya pada saat tokoh bersangkutan pertama kali dihadirkan oleh pengarang di panggung cerita. Dalam novel ini, nama Putri Divin termasuk yang diintrodusir pada saat yg tepat. Tapi jangan lah menghadirkan nama lengkap tiga kata itu setelah melewati sekian puluh halaman, guaranteed, pembaca akan sulit mengingatnya. Sebagai contoh, nama Aras Boma Palawa baru muncul di bab 3, sebelumnya hanya Aras saja. Dan kemunculan nama lengkap itupun tidak memiliki signifikansi apa-apa, muncul begitu saja dalam kalimat, "Pada waktu yang sama di dalam hutan Dio, Aras Boma Palawa merebahkan tubuh di tanah yang dihiasi pepohonan yang luar biasa besar dan lebat".
Di luar konvensi nama-tiga-kata, saya juga punya problem dengan nama asal caplok. Bagaimana sebuah nama ARAS BOMA PALAWA, bisa hadir di setting Cardan ini? Bagaimana bisa ada nama SHINTA di antara DIVIN WORDANE, gimana ada nama ZAVIER DE VOCO? Apakah setting novel bersentuhan dengan budaya India atau Spanyol? Belum lagi inkonsistensi nama-nama panggilan. Aras dan Divin dipanggil berdasarkan nama depannya, tapi Voco, dipanggil berdasarkan nama belakang.
Demikian juga dengan konsep locale yang agak sulit dimengerti, dan tak dijelaskan lebih jauh sehingga membingungkan pembaca, seperti:
Apa itu Garinka, sebuah benua, atau Kerajaan? Apa hubungannya dengan kerajaan Tolan, lalu ada kerajaan Memoard, ada Sync, ada Zonega? Ada pula nama Hinkal di dalam kerajaan Tolan, apakah maksudnya nama Kota Hinkal? Nama-nama tempat ini tidak dilengkapi dengan penjelasan yang memuaskan, setidaknya untuk memudahkan pembaca dalam membayangkannya.
Tampaknya memang pengarang menggunakan strategi 'imajinasi tak terbatas' dalam mengarang nama-nama di novelnya, sehingga seakan-akan nama-nama itu diambil secara sembarangan, dari berbagai sumber. Beberapa nama malah mengesankan bahwa pengarang menggunakan buku manual komputer sebagai referensi penamaan, tengok aja nama-nama: Sync (dari Synchronization), Memoard (seperti Memory, kan?), Links (pranala), Ada Hinkal 'Core' (Core duo?), Logite (Logitech?), Alt (liat, di keyboard lo tuh!). Yah, sebagai proses kreatif sih, nggak salah-salah amat. Tapi setidaknya tetap harus ada reasoning yang memadai dalam proses pengarang menciptakan nama-nama untuk digunakan dalam universenya. Paling dikit, ya agar bisa mensustain 'believeability', dah.
Misalnya, menggunakan nama-nama yang diambil dari dunia komputer seperti di atas, untuk setting novel sci-fi atau techno-thriller. Atau menggunakan nama-nama binatang untuk setting semi fabel (contohnya di novel Anansi Boys-nya Neil Gaiman). Kesesuaian semacam itu akan memudahkan imajinasi pembaca, serta memberi nuansa 'aura' yang pas buat novel.
Lantas, apa sisi positif Cardan?
Satu hal yg bisa saya sebutkan, plot (dalam pengertian yang amat-amat-amat-amat dasar) cukup memiliki daya pikat, dan ada ide 'besar' di belakangnya. Kalau bicara susunan plot, Cardan cukup standar buat kisah-kisah Fantasy, bahkan plot Cardan menjadi lemah akibat kurang kuatnya hubungan sebab-akibat digelar di dalam jalinan kisah novel ini. Tapi pengarang memiliki beberapa cabang plot yang tak biasa, yang cukup memberikan kejutan kecil. Antara lain pengkhianatan Raja Links, yang walaupun motifnya terasa ngga substansial, telah membuat novel ini memiliki 'warna' yg beda. Demikian juga keberanian pengarang untuk mengakhiri novelnya dengan situasi tragik, sesuatu yang jarang dilakukan oleh penulis kita.
Tentu maksudnya dapat diraba, yaitu dengan tragik ini, pengarang berharap untuk menumbuhkan rasa penasaran yang kuat di sisi pembaca, agar termotivasi untuk membeli sekuelnya. Dan saya pikir itu strategi yang cukup bagus.
Sayang sekali, strategi itu tidak berhasil 'mengugah' buat saya, dikarenakan sekujur novel telah dikerjakan secara too bad, badly written sehingga saya tidak berselera bahkan untuk membacanya ulang, alih-alih ngikutin serialnya sampai selesai. Seperti koki yang punya bahan-bahan makanan yang bagus dan mahal, tapi ngga bisa memasak dan mencampur bumbu yang enak. Hasil akhirnya ya tetep aja orang jadi ogah memakan masakannya.
Kan jadi sayang, ya?
Buat pengarang, selamat, karya pertama anda sudah eksis. Emang (karya yang ini) masih belum bagus buat saya, tapi bukan berarti anda ngga bisa menelurkan karya bagus di masa mendatang. Terus aja perdalam skill menulis anda, belajarlah sama ahlinya! Sukses, dah!
Salam,
FA Purawan
17 komentar:
SAlam kenal mas
Saya ngikutin review ente ttg buku2 fantasi lokal. KOmen2 ente bener2 bergizi, terutama bwt yg lg (mulai kepikir untuk) belajar nulis fiksi fantasy. AKu udah ada ide, tapi baru sebatas fantasy world-nya doang. bhkn lum dapat apa kira2 konflik yg mo ditulis.
Sblmnya aku nulis cerpen, tapi itu dah lama bgt. BUkunya pernah terbit dan pernah diresensi republika (pake pujian segala). Anehnya tuh buku gaklaku banget di pasaran dan susah dilacak keberadannya di pasaran. Kyknya gak pernah liat ada toko buku yg jual buku saya, kecuali gramed lampung. Itu pun awal-awal terbit. Gak tahutu penerbit nerbitin buku gw bukan tuk dijual kali ya, tp buat ngisi gudang :-)
Dr dulu sbnrnya aku suka cerita2 fantasy, baik buku maupun film. Bkngan, setelah sekian lama vakum nuis gara2 trauma buku #1, aku mulai kepikiran mo nuis fantasy aja. Setidaknya aku bisa nulisnya dengn senang cos salah satu hobiku kan berfantasy :-)Aku dah nulis deskripsi "world"-nya (kalo bhs ente universe yak?).
Tapi ngebaca review2 mas ini, rasanya ide crt gw langsung mengkeret. Wah, jd gak pede nih. Bakal ngomong apa ya ente kalo liat tuisan gw?
Gagas media lama-lama jadi makin asal-asalan kalo nerbitin buku. Emang sih komitmennya kuat, menyuplai pasar buku indonesia dengan hasil karya penulis lokal, tapi setidaknya yah jaga kualitas lah, masa gak bisa sih? :(
@mas Manthono,
Persoalan pernah bikin buku dan diterbitkan, SELAMAT! Ga banyak penulis bisa menikmati hal tersebut.
Persoalan buku itu belum laku, berbesar hatilah, mungkin belum rejekinya, dan belum tiba pada pasar yang tepat.
Saya pribadi cenderung menganggap saya tidak butuh beli Cerpen, dan tidak tertarik baca cerpen. Kalau ada duit, saya akan beli novel. Jelas, saya bukan target market anda.
Nah, apakah buku anda sudah dipajang/ dijual pada target market yang tepat? Kalau belum, coba bicarakan lagi dengan penerbit, usulkan daerah pemasaran yg mungkin belum dicoba atau terpikir. Kalau mereka tidak yakin, coba kiat jualan sendiri untuk mengecek pasar di area2 itu.
Persoalan membuat novel Fantasy, kalo anda sudah bikin universe, GOOD! Sekarang coba ujilah dulu universe itu. Gabung dg kami di Thread Fiksi dan Fantasi Dalam Negeri III (FFDN III), share visi anda, dan mari kita lihat masukan dari temen-temen sesama penulis fantasy. Ga usah takut dibantai, kalau memang di ujungnya adalah perubahan ke arah yang lebih baik, kan?
Lagian mendingan mana, saya bantai saat buku udah terbit? Hehehe.
Kalo menurut saya, sih. Perdalam terus universe anda. Kelak kalau anda sudah menjiwai betul universe itu, cerita, konflik, plot, dsb akan mudah mengalir dengan sendirinya!
Salam,
FA Purawan
Duh!
Beberapa komentar mengenai susunan kalimat memang menohok!
Saya (sori, sblmnya post pake "gw" buat nyebut diri :D) bbrp kali nyoba bikin resensi novel pun agak2 gak mutu dan nyaris gak ngasih komentar terlalu spesifik sama kalimat dan paragrafnya. Beda banget lah sama Mas Pur.
Tapi, jujur, dikasih penggalan paragraf gitu, saya juga ngerasa flow-nya tuh aneh (makanya saya blg komentar Mas Pur menohok alias tepat sasaran banget sampe jadi sakit :D)
Ah, soal buku cuma nampak pas awal2, saya pernah dengar kalo penerbit yang gak segede Gramedia, Grasindo dan bbrp nama penerbit lainnya, tu gak berani nyetok terlalu banyak ke toko buku besar semacam Gramedia krn keuntungan mereka jadi kecil (ada semacam "biaya naruh buku non terbitan Gramedia" sepertinya). Tolong dikoreksi kalo salah soal yg ini.
Oh ya, buat Mas Pur. Saya bakal sering2 nongkrong dan komentar di sini nih sepertinya. Tertarik mempelajari cara menulis resensi yang bagus sih.
Hehe.
@Juunishi,
Kenapa tertohok jadi sakit? Emang situ penulisnya, ya? Ah gue bandingin tulisan elo Signature itu dengan cardan, beda jauh, koq?
Kalau tertohok menjadi lebih terbuka wawasan, yeah, good lah, itu kan tujuan gue nulis review2 ini, hehehe,...
(BTW, 'gue' dan 'saya' tidak ada bedanya, dua-duanya sama-sama istilah yang sopan dan bermartabat!)
Sering-sering nongkrong di sini, welcome aja koq. Thanks buat supportnya :)
Salam,
Itu analoginya kayak kalo di kendo. Kena bagian2 vital dan fatal (misalnya leher, istilahnya tsuki). Biarpun pake pelindung, sakit juga tuh.
Makanya saya blg kalo "tertohok" itu pasti kena di sasaran yg tepat, vital, fatal dan jadinya sakit.
(pernah ngerasain kena dlm hal tulisan :D)
Kalo di tulisan, kalo pas baca review terus menyadari kesalahan kan jadi rasanya gimana gitu. :D
Sering nongkrong? Boleh. Aku juga seneng kok belajar bkn resensi+review dan ngebaca review di sini. Sering2 aja tambah post baru, Bos.
Hehe.
quoted:
Dan Hallooow,... para editornya lagi pada ngopi-ngopi di mana sih? Kalimat kayak di atas itu koq bisa lolos? Padahal itu di bab awaaaal banget, loh? (Wajar bila Editor agak loose di tengah-tengah buku. Tapi gimana kalo udah loose sejak AWAL buku?)
comment:
hahahaha.. makasih kritiknya, mas. maap lahir-batin. editornya kurang ngopi pas lagi ngedit. hahaha.. ;p
@gadisbintang
Ah, ada ibu editor mampir ke sini. Selamat datang, salam kenal dan maaf lahir batin juga.
Kelihatannya memang kopinya kurang mantep, ya mbak? He he he,.. Minumlah kopi AAA khas Jambi. Tuh kopi paling mantep yang pernah aku cicipin :)
Ayo, apakah panjenengan bersedia menshare proses kreatif yang berlangsung (tanpa menjelekkan/ merugikan siapapun) dengan semangat pembelajaran?
Monggo aja mbak bila ada yang bisa kita pelajari bersama.
Salam,
FA Pur
aahhh, serius mas, kopi jambi??
hmmm.. *bersiap memburu kopi yang dimaksud* hahaha..
soal proses pengeditan:
iya, saya mengakui, editan di buku ini emang kurang banget. selain deadline-nya amat sangat ketat (tiga hari saja), tingkat ketelitian yang diperlukan juga sangat tinggi.
lepas dari kualitas ide cerita, proses pengeditan jadi ribet karena setting dan adegan suka-suka (namanya juga fantasi). selain masalah kerapian tata bahasa, logika juga harus dirapikan (biar 'bohong'-nya nggak kental2 amat gituh). hihihi..
hasilnya: ya itu tadi, jebolnya banyak banget. :D :D
jujur, saya belajar banyak dari proses pengeditan ini. bukan hanya soal bahasa, tapi juga soal sistem penerbitan buku di Indonesia. (halaahh..)
hehehe..
adegan suka-suka karena fantasy?
OMG, bagaimanapun kalu editor sudah bicara begitu..
jadi tidak heran deh!...
bagaimana coba Fantasi lokal bisa maju kalau kita (pengarang-editor-penerbit) tidak sama serius menggarapnya.
bukan hanya tata bahasa, karakter kedodoran pun. kalau menurut mas Pur, ide subplotnya raja berkhianat dan sebab musababnya bisa dilewatin saja tapi menurut aku itu bagian yang semakin membuat Cardan tidak jelas.
sebut satu karakter yang masuk akal *versi fantasy* di Cardan...errr tidak ada! Ups bukannya tidak menghargai effoprt penulisnya. hanya saja apa Cardan ini tidak melewati bagian baca ulang? kecuali kalau Cardan masuk dalam novel Fantasy genre psikiatri--> bener gak *bermasalah secara karakter* *ada nggak ya?*
ha.ha
salam mbak Feba :-)
-------------------------
mas Pur, tulisanku genre fantasy sci fie wanna be [biggrin]. ntar kalu udah lewat proses baca ulang. ku kirimkan. tengkiyu sebelumnya
Quote @gadisbintang:
"iya, saya mengakui, editan di buku ini emang kurang banget. selain deadline-nya amat sangat ketat (tiga hari saja), tingkat ketelitian yang diperlukan juga sangat tinggi."
Halah, 3 hari,... hebat bener. Untuk menikmati 'just' sebagai pembaca aja aku butuhnya sebulan. (betapa oh betapa jadi editor itu kerjaan berat,..wkwkwk).
"Adegan suka-suka karena Fantasy"
Well, (udah ada komentar dari Elbintang, tuh. Kayaknya aku sepaham). Mungkin memang perlu diluruskan, entah apakah di dunia editor anggapannya sama atau tidak, aku tidak berusaha menghakimi.
Menurutku sih, Fantasy itu cuma beda di setting. Persoalan penulisan lainnya tetap saja harus patuh dengan pakem penulisan yg umum. Masalah "suka-suka" bila itu mengacu pada keluasan ide dan ketak-terbatasan pembuatan universe, sih, sah-sah aja. Namun prinsip "suka-suka" nggak bisa berlaku dalam aspek logika cerita maupun pengadeganan.
Tapi ngeliat materialnya Cardan, sih, kurasa emang 'tugas-berat'. Aku bersimpati pada bu editor, loh (evil grin,... heheheh).
Salam,
FA Purawan
Settingnya mungkin memang beda, tapi bisa juga kan ada hal2 berbeda lain semacam monster--groaar--sihir--ziuu--ato bahkan yg klasik2 bentrok dengan teknologi (dlm batasan tertentu)?
Hehe.
Kalau saya paling pusing sama footnote2nya. Deskripsiin ciri-ciri fisik masak pakai footnote....
quoted:
elbintang:
adegan suka-suka karena fantasy?
OMG, bagaimanapun kalu editor sudah bicara begitu..
jadi tidak heran deh!...
bagaimana coba Fantasi lokal bisa maju kalau kita (pengarang-editor-penerbit) tidak sama serius menggarapnya.
mas cheppy:
Masalah "suka-suka" bila itu mengacu pada keluasan ide dan ketak-terbatasan pembuatan universe, sih, sah-sah aja. Namun prinsip "suka-suka" nggak bisa berlaku dalam aspek logika cerita maupun pengadeganan.
comment:
aku setujuuhhh pada kaliaannn. :D hehehe.. masalahnya adalah, kadang tugas editor itu kayak makan buah simalakama: ngebabat abis2an haram, nggak dibabat kok ancur!? hahaha..
mungkin emang bener2 perlu ya, diadain semacam forum buat ngebahas sampai di mana editor boleh berkuasa. soalnya, jujur aja, sebagai penulis, pasti rasanya bakal "sakit hati" kalo tulisan kita diobrak-abrik seenaknya sama editor. :D
(kayaknya juga pihak penerbit harus lebih tegas: penulis yang masih belajar, mbok ya jangan langsung di-oke-in.) :D
setujuuu, maass?? :D :D
Quote @gadisbintang:
aku setujuuhhh pada kaliaannn. :D hehehe.. masalahnya adalah, kadang tugas editor itu kayak makan buah simalakama: ngebabat abis2an haram, nggak dibabat kok ancur!? hahaha..
FA Pur: hahaha bener-bener dilema. Udah gitu kalo ancur belakangan pun si editor juga yang didera-dera! Hehehe.
Quote @gadisbintang:
mungkin emang bener2 perlu ya, diadain semacam forum buat ngebahas sampai di mana editor boleh berkuasa. soalnya, jujur aja, sebagai penulis, pasti rasanya bakal "sakit hati" kalo tulisan kita diobrak-abrik seenaknya sama editor. :D
FA Pur: kalo menurut gue sih semuanya akibat salah kaprah terhadap proses editorial yg udah terlanjur melekat di industri penerbitan kita.
Kebanyakan interaksi editor-penulis berlangsung SETELAH naskah selesai di tangan penulis. Akibatnya setiap bentuk intervensi editor akan menyebabkan naskah seolah-olah harus 'diobrak-abrik'. Probabilitasnya semakin besar pada pengarang baru atau karbitan :)
Udah gitu, kadang editor tertentu juga main rombak tanpa konfirmasi, pulak!
Padahal yg ideal interaksi itu sudah mulai berlangsung paralel sambil si pengarang membangun karyanya. Editor, yg nota bene punya wawasan lengkap mengenai genre (aspek seni penulisan) dan sekaligus arah industri penerbitan, dapat memberi masukan-masukan yg sifatnya konstruktif tanpa perlu dipersepsikan mengacak-acak karya penulis.
Tapi itu memang idealnya, yg mungkin belum bisa sinkron dengan iklim industri penerbitan di sini. He he he,....
Salam,
FA Pur
Halo!
Salam kenal, Mas!
Saya lagi tertarik nih buat novel! Jadi, saya sering sering banget dateng ke situs HEBAT(buat menusuk penulis bego)
Kritikannya menggigt banget! Sampe saya bergeter duduk di kursi! Hehehehe!!!
Good job deh!
Oya, saya mau tanya! Dimnanya tempat para penulis fiksi fantasi berdiskusi dan sharing ilmu?
Saya lagi mengerjakan novel berseri(5 seri renacananya) dengan judul 7 Legends. Dan buku satu sudah selesai. api, saya takut ngirimin ke penerbit. Takutnya ga di terima...
Ada saran ga?
Thanks!
@Black Circus:
Salam kenal juga :) Kita punya forum yang cukup produktif di kalangan penulis fantasy. Namanya Forum Pulau Penulis (Pulpen) di lautanindonesia.com.
Coba aja googling: Fiksi dan Fantasi Dalam Negeri III.
Selamat mencoba, dam sampai ketemu di sana :)
Salam,
FA Pur
Posting Komentar