By Luz B
Editor: -
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Ilustrasi sampul: Dianing Ratri
Pengerjaan Sampul: Marcel A.W.
Tebal: 319 halaman
"Kamu familiar. Bau darahmu familiar."
"Aku sama sekali tidak mengenalmu."
"Kau tahu siapa aku, Putri."
Ehem. Putri.
Menjadi makhluk skeptis kadang-kadang ada kekurangannya sendiri. Salah satunya, aku langsung merinding kalau dalam sebuah novel ada tokoh cowok yang digambarkan dingin-dingin-ketus dan terus-terusan manggil ceweknya dengan sebutan "Tuan Putri."
Tapi okelah, aku nggak bisa bilang Aerial jelek hanya itu. Jadi mari kita amati buku ini dengan lebih seksama. Dari sampul depan, sangat menarik. Ilustrator sampul mengerjakannya dengan ilustrasi cat air yang bagus, dan ide yang menarik. Matahari dan bulan di sudut berlawanan, dipasangkan dengan cowok dan cewek yang juga ditaruh berlawanan. Daratan ngambang di tengah, dengan pohon-pohon dan air terjun. Pas buat buku dongeng.
Balik ke cover belakang, bertemulah aku dengan tiga kalimat yang sudah kukutip di atas berikut sinopsis. Lalu tibalah kita di baris terbawah. Rupanya ada komen dari editor sebuah majalah remaja, sebagai berikut:
"Reading this novel, I keep on trying to visualize every detail from Sitta's great imagination..."
Great imagination. Baiklah, itu kata kunci yang kutangkap dari endorsemen pertama. Dan yang kedua,
"Sitta Karina adalah penulis novel remaja berjiwa sastra."
Nyastra. Itu kata kunci yang kedua.
Berani juga para endorserwan/endorserwati tersebut ngasih predikat yang segitu berat ke novel dan pengarang ini, wekekeke...
Setelah selesai membaca, aku bisa mengatakan bahwa plot cerita Aerial secara garis besar setia pada sinopsis sampul belakang, yang berarti, kira-kira begini: Sadira dan Hassya adalah Putri Negeri Cahaya dan Pangeran Negeri Kegelapan. Dan klan mereka bermusuhan ala Romeo dan Julio. Kenapa musuhan? Rupanya karena Negeri Cahaya disinari matahari, sementara Negeri Kegelapan nggak. Jadi, Negeri Kegelapan ingin merebut wilayah cahaya, dan sebagai akibatnya, Negeri Cahaya berniat menyerang duluan Negeri Kegelapan.
Lucunya, untuk apa orang-orang Negeri Kegelapan ini pengen sinar matahari, kalau mereka langsung kebakaran kulit begitu kesengat terik? Okelah, pengarang bilang bahwa bangsa kegelapan juga "butuh," ingin "menikmati" dan "memanfaatkan" matahari. Tapi caranya menikmati matahari gimana? Butuh buat apa, juga gag disinggung. Dan kenapa harus matahari, lha wong selama ini terbukti mereka bisa hidup tanpa sumber daya satu itu?
Jadi tolong jangan salahkan aku kalau ngebayangin bangsa Kegelapan ini ternyata punya hobi rahasia berbaring di bawah matahari, kebakar sambil menggelepar-gelepar tapi teriak-teriak nikmat.
Masochistic sunbathers.
Dan mengenai memanfaatkan, dari ucapan penasihat raja kegelapan di hal. 50, kita bisa menyimpulkan bahwa mereka juga belum tahu cara memanfaatkan matahari. Meskipun begitu, saudara-saudara, mereka mau menyulut perang demi mendapatkan sesuatu yang alih-alih mereka ketahui cara memanfaatkannya, justru bisa berbahaya bagi mereka.
Bukan hanya masokhis, rupanya; mereka juga korslet otak.
Cerita berlanjut. Hassya dan Sadira, awalnya saling benci, kini jatuh cinta. Bersamaan dengan itu, Isla, sepupu Sadira, juga jatuh cinta sama orang lain dari negeri Kegelapan. Sayangnya ramalan kuno berkata bahwa dunia mereka bakalan kiamat kalau ada orang dari Negeri Cahaya dan Negeri Kegelapan yang bersatu. Namun, dengan gigih mereka berempat bertekad untuk menghentikan perang dan mencegah kehancuran.
Nah, apa yang dilakukan para jatuhcintawan dan jatuhcintawati yang sudah kusebut diatas untuk menghentikan perang dan mencegah kehancuran? Eng-ing-eng! Isla dan pacarnya membuat rencana rahasia demi perdamaian yang garis besarnya adalah meriset krim anti matahari untuk rakyat Kegelapan supaya mereka bisa berbagi matahari tanpa harus berperang.
Bigsweat. Itu reaksi awalku, yang jujur kuakui terlalu ngenye'. Karena itu mari kita berpikir positif. Bukankah ini unik? Berapa banyak novel menawarkan konsep perdamaian lewat sunblock? Lagian ini cocok dengan penempatan tokoh Isla yang katanya cantik dan cerdas, dan doyan bikin penemuan-penemuan aneh seperti "alat pembuat busa sabun" (hlm. 29)
Sedikit catatan iseng, aku juga punya alat pembuat busa sabun. Namanya loofah, a.k.a spons mandi. So, apparently, in that universe, they need a genius to create something that has the exact same function as a simple loofah. Considering this fact, how smart can the rest of them possibly be?
Sedangkan Antya, adik Sadira, punya cara lain untuk menciptakan perdamaian. Bersama seekor kuda terbang ia berusaha memanggil penolong dari dunia lain, yaitu Laskar dan Sashika, pelajar SMU Surya Ilmu di Jakarta. Untuk apa? Dua hal.
Tujuan 1: cameo/promosi semata dengan membuat kaitan dengan buku karya Sitta Karina yang lain. Kenapa aku bilang semata? Karena di dalam tubuh Sadira dan Hassya, Sashika dan Laskar nggak berbuat apa-apa selain ngucapin beberapa dialog yang rasanya seperti diselipkan ke dalam buku sekedar supaya pembaca ingat kalau ada orang lain di dalam tubuh kedua pangeran dan putri itu. Kalau dialog-dialog selipan itu dihapus, aku rasa nggak akan ada ngaruhnya ke plot utama, dan nggak ngurangin greget cerita juga.
Tujuan 2: Untuk membuat Sadira dan Hassya semakin lengket.
Tunggu dulu. Bukankah katanya, kalau ada orang dari Klan Cahaya dan Klan Kegelapan yang bersatu, dunia kiamat? Ramalan memang belum tentu benar, tapi bagaimana orang-orang ini bisa tahu legenda itu keliru?
Nggak ada penjelasan dari pengarang. Jadi aku tergoda untuk membuat penjelasanku sendiri, yaitu,
a. bahwa para tokoh pasifis ini sebenarnya anggota Sekte Hari Kiamat, dan berniat mencegah perang dengan mengkiamatkan dunia lewat perkawinan mereka, (logis kan, Kalau kiamat, perangnya pasti gag jadi, wekekeke,) atau, yang nggak terlalu fatalistik,
b. mereka menerima wangsit ghoib dari pengarang yang tahu bahwa legenda itu sebetulnya sama sekali nggak penting dan bisa dicuekin!
Para pembaca blog Fikfanindo yang berpikiran kritis,
Kebolongan plot seperti yang kusebut diatas nggak berakhir disini. Demi menghindari spoiler, kukatakan saja kalau ada banyak sekali motif, logika, dan alasan di sepanjang buku yang kacau beliau, atau sedikitnya, kabur. Apakah ini karena diedit sehingga ada bagian-bagian penting yang hilang, atau memang kacau beliau dari sananya, entahlah. We may never know. Or care.
Hal berikutnya yang selalu menarik perhatianku adalah nama-nama tokoh. Kalau dilihat secara sendiri-sendiri, beberapa tokoh namanya bagus sekali. Laskar Adhyaksa, dan Sashika Amunggraha, terutama. Ini nama yang bunyinya Indonesia dan kedengaran enak, dan kupikir nggak pasaran. Thumbs up.
Ada juga nama yang nanggung, setengah Indonesia setengah bule celup, kayak Sirril Syadiran. Ada nama yang kayak nama OS jadoel (Neosys), menganut Jepangisme (Kaien, Ginta), kebarat-baratan (Fletta, Raoul, Franconia) dan berbau Irlandia. (Toireann, Isla, Blath. Yang terakhir ini buatku rasanya aneh karena blath artinya "bunga", klo gag salah, sementara yang punya nama ini cowok.)
Nama-nama ini nggak dengan sendirinya jelek. Yang membuatku protes adalah, nama-nama ini eksis di dalam dunianya secara berantakan. Bayangkan, dua pangeran Kerajaan Kegelapan bisa-bisanya satu dinamai Toireann, dan satunya lagi Hassya. Satu nama Irlandia, satunya Indonesia. Trus ada dua bersaudara Klan Kegelapan satunya bernama Aro, satunya lagi Kanti. Satu bau-bau Romawi, satunya lagi Indonesia.
Ortu mereka pada kenapa tuh pas ngasih nama anak kedua? Dideportasi?
Nama berasa Jepang macam Kaien dan Ginta juga nggak jelas bagaimana bisa eksis dalam dunia dimana hampir sebagian besar bernama Barat. Apalagi Raja Adhyasta, raja Cahaya. Kok dia bernama Indonesia padahal rakyatnya punya nama macam Elena, Micchal, Finn, Jedidah, Nenna, Falkor, dst?
Keporak-porandaan juga terjadi di setting dunia cerita Aerial. Katanya dunia ini terjadi di dimensi yang berbeda, lah, kok ada perang antara orang Viking dan Atlantis di mitologi dunia yang bersangkutan? Dan kenapa juga mereka menyebut Aphrodite dengan cara seperti yang dilakukan orang-orang di dunia nyata?
Bener, di dunia lain bisa saja ada orang Viking dan Orang Atlantis. Philip Pullman di His Dark Materials juga menaruh setting Oxford yang bernama sama dengan suatu lokasi di Inggris. Namun, nama ini ga berasa asal comot. Phillip Pullman memakai nama itu dengan memasukkan deskripsi dan properti dunia yang pas, misalnya dengan menunjukkan kehadiran daemon, atau menyebut arus listrik bukan sebagai "electric current" tapi "anbaric current," yang membuat aku menerima kalau ini Oxford yang berbeda.
Nah, kalau di Aerial? Bisa memang kita mengasumsi kalau itu orang Viking dan Atlantis dan Aphrodite lain. Namun, tanpa penjelasan, deskripsi, maupun properti dunia yang gamblang mendukung bahwa itu adalah Atlantis lain, Viking lain, maupun Aphrodite lain, rasa bahwa itu cuma nama comot-tempel akan tetap menghantui aku.
Bicara soal deskripsi serta properti dunia, bukannya pengarang sama sekali nggak ngasih gambaran akan dunia maupun benda-benda apa aja yang ada di negeri ini. Masalahku adalah, benda-benda itu ditempatkan sebagai anakronisme yang lagi-lagi nggak ada penjelasannya.
*Pembaca blog serempak melempar tomat* "Boooh! Sok Pintar loe, pake istilah anakronisme segala! Sok Canggehhh!!! Sotoyyyy!!!"
*ngelap jus tomat dari muka pake sapu tangan Pierre Cardin*
Oke. Maafkan aku karena demen banget make kata-kata canggih. Maksudnya biar aku terlihat so(k)phisticated gitu lowh, wekekeke...
Buat yang kurang familiar dengan anakronisme, hewan satu ini adalah, sederhananya, istilah untuk menggambarkan penempatan suatu properti di dunia yang mustahil secara alur waktu. Contohnya, mari kita ambil dari satu novel yang pernah dibahas oleh Om Pur: Kamera digital dan senter yang dinamai Ki Cahya Sumilak di The Prince Must Die (Langit Kresna Hariadi).
Anakronisme biasanya dikasih alasan atau latar yang membuatnya bisa diterima di dalam dunia cerita itu, seperti yang terjadi di The Prince Must Die: kamera dan senter itu dibawa ke jaman Singosari oleh seseorang yang melakukan time-travel. Kalau tidak ada penjelasan, barangkali anakronisme itu dimaksudkan untuk humor. Komik-komik Asterix karya R. Goscinny dan A. Uderzo banyak menampilkan yang semacam ini, misalnya cameo The Beatles yang jelas nggak mungkin ada di jaman Inggris jajahan Romawi (Asterix di Inggris), atau fashion show ala Galia (Asterix: Mawar dan Pedang Bermata Dua).
Kalau suatu anakronisme nggak ada penjelasannya dan tujuannya bukan untuk humor, barangkali itu kesalahan yang nggak disengaja. Atau boleh nyomot seenak jidat.
Nah, di Aerial, cerita kayaknya diset di negeri dongeng-fantasi-medieval, terbukti dari adanya gaun putri-putrian dan kuda-kudaan dan pertarungan dengan pedang dan panah. Tapi kok di hal. 26 disebut kalau Negeri Cahaya sudah "mengembangkan teknologi yang dapat menekan kadar karbohidrat di dalam makanan utama mereka, sehingga tidak menyebabkan kegemukan." Hah? Kapan para pangeran-dan-putri-dongeng-medieval ini belajar soal karbohidrat dan obesitas? Dan ide "kurus adalah indah" itu adalah cara pandang yang relatif modern, nggak ada di abad pertengahan.
Apa pengarang ngasih penjelasan soal kenapa ini terjadi? Nggak tuh.
Untungnya, kekacauan macam ini jauh berkurang di bagian belakang-belakang, terutama karena Isla dan penemuan-penemuan anehnya nggak lagi banyak dibahas. Namun, lepas dari kekacauan setting, muncul hal lain yang membuatku ngenye' lagi--karakter!
Aku menolak kalau teenlit/chicklit identik dengan karakter dangkal. Ada banyak teenlit yang karakternya cukup dalam. Sayangnya kebanyakan karakter di Aerial nggak memberi kesan yang kuat ke aku, karena peran, latar, atau motivasi mereka... yeah, well, *sob* dangkal.
Isla misalnya, disebut-sebut secara eksplisit sebagai cewek cantik yang berotak, lengkap dengan atribut buku dan alat-alat aneh. Tapi, ciri yang digembar-gemborkan penulis beda jauh dengan tindak-tanduk si karakter. Silakan kembali ke kasus loofah dan busa sabun yang sudah kusebut diatas.
Lalu Hassya, si pangeran kegelapan yang kata penulis dingin, tapi sifatnya panasan. Apa-apa harus diselesaikan dengan adu pedang, berkelahi, dan berantem. Kalau nggak pake tabok-tabokan, namanya banci. Dan saking ngerasa jantannya, dia menganggap ngasih makan burung sebagai tindakan yang "tidak laki-laki." Hmm... tunggu ntar deh kalau dia udah tua dan miara perkutut kayak Pak Haji depen rumahku!
Berikut, Toireann. Ini contoh karakter yang lumayan, walau jadi kurang berkembang karena porsinya sedikit. Kakak Hassya yang berusaha menciptakan perdamaian tapi sakit kepala karena saran-sarannya dicuekin. Pasalnya? Bapaknya, sang Raja Kegelapan, lebih milih ngedengerin pendapat gak logis dari penasihat bego seperti yang sudah kubahas di atas. (kembali, lihat hal. 50.) Poor guy. Nggak heran dia frustrasi.
Laskar dan Sashika: sebenernya latarbelakang mereka bagus. Laskar yang berangasan, dan Sashika yang pecinta alam. Sayangnya peran mereka cuma sebagai cameo.
Antya: adik tokoh utama yang perannya cuma memanggil Laskar dan Sashika. Sigh...
Dan yang terakhir, si tokoh utama, Sadira. Dia ini juga korban ketidaksinkronan antara gambaran pengarang tentang dirinya dan tingkah lakunya. Pengarang kayaknya setengah mati banget ngegambarin dan mencitrakan Sadira sebagai perempuan mandiri yang kuat dan--pake istilah sok kosmopolitan ah--smart, terlihat dari begitu banyak bagian narasi yang menceritakan bahwa Sadira tidak menyukai duduk tenang dan kegiatan-kegiatan serta tingkah polah kecewek-cewekan.
Lebih parah lagi, cara si penulis bercerita seakan-akan mencitrakan bahwa segala hal yang kecewek-cewekan itu sesuatu yang buruk. Alih-alih menunjukkan emansipasi perempuan seperti yang diniatkan pengarang, bukankah ini justru semakin menginferiorkan kegiatan-kegiatan perempuan sebagai sesuatu yang second-class, berada di bawah kegiatan-kegiatan macho macam berlatih tarung yang disukai Sadira the Warrior Princess?
My point is, karakter cewek yang kuat dan smart itu bukan berarti dia harus macho, bisa mengerjakan pekerjaan cowok, dan membenci hal-hal berbau cewek! Bandingkan ini dengan karakter Adel di Nocturnal (Poppy D. Chusfani), yang digambarkan lincah, berkekuatan super, bisa berpedang, dan justru semakin kuat sebagai seorang karakter karena ada bagian dirinya yang menyukai hal-hal girly, seperti tari balet.
Apalagi, 'kemandirian' Sadira itu digambarkan dengan kalimat-kalimat macam ini:
Sadira diperbolehkan berlatih fisik bersama Jenderal Arth asalkan setelah menikah nanti ia berhenti mengangkat senjata dan menjadi ratu sesungguhnya.
Bukan Sadira kalau otaknya nggak jalan. Tentu saja ia tinggal memanfaatkan perjanjian ini dengan tidak usah menjalin hubungan dengan laki-laki manapun.
Dan setelah pengarang gembar-gembor kalimat ini, tebak apa yang terjadi? Sadira bertemu Hassya, dan langsung deh segala atribut putri macho itu ilang, berganti dengan tingkah kecewek-cewekan yang (katanya) jelek. Si putri akhirnya nggak dapat kesempatan untuk memamerkan keahlian berantemnya, malah disandera, dan, mengikuti pakem nasib putri-putri nan basi, harus diselamatkan.
Benar-benar kuat. Dan smart.
Sedih.
Baiklah para pembaca yang terhormat, mari kita tutup sesi ngenye' kali ini dengan kembali pada kesimpulan endorsemen yang kutarik dari kata-kata bijak para endorserwan/endorserwati di cover belakang buku:
Aerial adalah suatu novel nyastra yang lahir dari great imagination.
*nangis terharu*
Mereka berdua memang sangat baik hati.
Luz Balthasaar
Editor: -
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Ilustrasi sampul: Dianing Ratri
Pengerjaan Sampul: Marcel A.W.
Tebal: 319 halaman
"Kamu familiar. Bau darahmu familiar."
"Aku sama sekali tidak mengenalmu."
"Kau tahu siapa aku, Putri."
Ehem. Putri.
Menjadi makhluk skeptis kadang-kadang ada kekurangannya sendiri. Salah satunya, aku langsung merinding kalau dalam sebuah novel ada tokoh cowok yang digambarkan dingin-dingin-ketus dan terus-terusan manggil ceweknya dengan sebutan "Tuan Putri."
Tapi okelah, aku nggak bisa bilang Aerial jelek hanya itu. Jadi mari kita amati buku ini dengan lebih seksama. Dari sampul depan, sangat menarik. Ilustrator sampul mengerjakannya dengan ilustrasi cat air yang bagus, dan ide yang menarik. Matahari dan bulan di sudut berlawanan, dipasangkan dengan cowok dan cewek yang juga ditaruh berlawanan. Daratan ngambang di tengah, dengan pohon-pohon dan air terjun. Pas buat buku dongeng.
Balik ke cover belakang, bertemulah aku dengan tiga kalimat yang sudah kukutip di atas berikut sinopsis. Lalu tibalah kita di baris terbawah. Rupanya ada komen dari editor sebuah majalah remaja, sebagai berikut:
"Reading this novel, I keep on trying to visualize every detail from Sitta's great imagination..."
Great imagination. Baiklah, itu kata kunci yang kutangkap dari endorsemen pertama. Dan yang kedua,
"Sitta Karina adalah penulis novel remaja berjiwa sastra."
Nyastra. Itu kata kunci yang kedua.
Berani juga para endorserwan/endorserwati tersebut ngasih predikat yang segitu berat ke novel dan pengarang ini, wekekeke...
Setelah selesai membaca, aku bisa mengatakan bahwa plot cerita Aerial secara garis besar setia pada sinopsis sampul belakang, yang berarti, kira-kira begini: Sadira dan Hassya adalah Putri Negeri Cahaya dan Pangeran Negeri Kegelapan. Dan klan mereka bermusuhan ala Romeo dan Julio. Kenapa musuhan? Rupanya karena Negeri Cahaya disinari matahari, sementara Negeri Kegelapan nggak. Jadi, Negeri Kegelapan ingin merebut wilayah cahaya, dan sebagai akibatnya, Negeri Cahaya berniat menyerang duluan Negeri Kegelapan.
Lucunya, untuk apa orang-orang Negeri Kegelapan ini pengen sinar matahari, kalau mereka langsung kebakaran kulit begitu kesengat terik? Okelah, pengarang bilang bahwa bangsa kegelapan juga "butuh," ingin "menikmati" dan "memanfaatkan" matahari. Tapi caranya menikmati matahari gimana? Butuh buat apa, juga gag disinggung. Dan kenapa harus matahari, lha wong selama ini terbukti mereka bisa hidup tanpa sumber daya satu itu?
Jadi tolong jangan salahkan aku kalau ngebayangin bangsa Kegelapan ini ternyata punya hobi rahasia berbaring di bawah matahari, kebakar sambil menggelepar-gelepar tapi teriak-teriak nikmat.
Masochistic sunbathers.
Dan mengenai memanfaatkan, dari ucapan penasihat raja kegelapan di hal. 50, kita bisa menyimpulkan bahwa mereka juga belum tahu cara memanfaatkan matahari. Meskipun begitu, saudara-saudara, mereka mau menyulut perang demi mendapatkan sesuatu yang alih-alih mereka ketahui cara memanfaatkannya, justru bisa berbahaya bagi mereka.
Bukan hanya masokhis, rupanya; mereka juga korslet otak.
Cerita berlanjut. Hassya dan Sadira, awalnya saling benci, kini jatuh cinta. Bersamaan dengan itu, Isla, sepupu Sadira, juga jatuh cinta sama orang lain dari negeri Kegelapan. Sayangnya ramalan kuno berkata bahwa dunia mereka bakalan kiamat kalau ada orang dari Negeri Cahaya dan Negeri Kegelapan yang bersatu. Namun, dengan gigih mereka berempat bertekad untuk menghentikan perang dan mencegah kehancuran.
Nah, apa yang dilakukan para jatuhcintawan dan jatuhcintawati yang sudah kusebut diatas untuk menghentikan perang dan mencegah kehancuran? Eng-ing-eng! Isla dan pacarnya membuat rencana rahasia demi perdamaian yang garis besarnya adalah meriset krim anti matahari untuk rakyat Kegelapan supaya mereka bisa berbagi matahari tanpa harus berperang.
Bigsweat. Itu reaksi awalku, yang jujur kuakui terlalu ngenye'. Karena itu mari kita berpikir positif. Bukankah ini unik? Berapa banyak novel menawarkan konsep perdamaian lewat sunblock? Lagian ini cocok dengan penempatan tokoh Isla yang katanya cantik dan cerdas, dan doyan bikin penemuan-penemuan aneh seperti "alat pembuat busa sabun" (hlm. 29)
Sedikit catatan iseng, aku juga punya alat pembuat busa sabun. Namanya loofah, a.k.a spons mandi. So, apparently, in that universe, they need a genius to create something that has the exact same function as a simple loofah. Considering this fact, how smart can the rest of them possibly be?
Sedangkan Antya, adik Sadira, punya cara lain untuk menciptakan perdamaian. Bersama seekor kuda terbang ia berusaha memanggil penolong dari dunia lain, yaitu Laskar dan Sashika, pelajar SMU Surya Ilmu di Jakarta. Untuk apa? Dua hal.
Tujuan 1: cameo/promosi semata dengan membuat kaitan dengan buku karya Sitta Karina yang lain. Kenapa aku bilang semata? Karena di dalam tubuh Sadira dan Hassya, Sashika dan Laskar nggak berbuat apa-apa selain ngucapin beberapa dialog yang rasanya seperti diselipkan ke dalam buku sekedar supaya pembaca ingat kalau ada orang lain di dalam tubuh kedua pangeran dan putri itu. Kalau dialog-dialog selipan itu dihapus, aku rasa nggak akan ada ngaruhnya ke plot utama, dan nggak ngurangin greget cerita juga.
Tujuan 2: Untuk membuat Sadira dan Hassya semakin lengket.
Tunggu dulu. Bukankah katanya, kalau ada orang dari Klan Cahaya dan Klan Kegelapan yang bersatu, dunia kiamat? Ramalan memang belum tentu benar, tapi bagaimana orang-orang ini bisa tahu legenda itu keliru?
Nggak ada penjelasan dari pengarang. Jadi aku tergoda untuk membuat penjelasanku sendiri, yaitu,
a. bahwa para tokoh pasifis ini sebenarnya anggota Sekte Hari Kiamat, dan berniat mencegah perang dengan mengkiamatkan dunia lewat perkawinan mereka, (logis kan, Kalau kiamat, perangnya pasti gag jadi, wekekeke,) atau, yang nggak terlalu fatalistik,
b. mereka menerima wangsit ghoib dari pengarang yang tahu bahwa legenda itu sebetulnya sama sekali nggak penting dan bisa dicuekin!
Para pembaca blog Fikfanindo yang berpikiran kritis,
Kebolongan plot seperti yang kusebut diatas nggak berakhir disini. Demi menghindari spoiler, kukatakan saja kalau ada banyak sekali motif, logika, dan alasan di sepanjang buku yang kacau beliau, atau sedikitnya, kabur. Apakah ini karena diedit sehingga ada bagian-bagian penting yang hilang, atau memang kacau beliau dari sananya, entahlah. We may never know. Or care.
Hal berikutnya yang selalu menarik perhatianku adalah nama-nama tokoh. Kalau dilihat secara sendiri-sendiri, beberapa tokoh namanya bagus sekali. Laskar Adhyaksa, dan Sashika Amunggraha, terutama. Ini nama yang bunyinya Indonesia dan kedengaran enak, dan kupikir nggak pasaran. Thumbs up.
Ada juga nama yang nanggung, setengah Indonesia setengah bule celup, kayak Sirril Syadiran. Ada nama yang kayak nama OS jadoel (Neosys), menganut Jepangisme (Kaien, Ginta), kebarat-baratan (Fletta, Raoul, Franconia) dan berbau Irlandia. (Toireann, Isla, Blath. Yang terakhir ini buatku rasanya aneh karena blath artinya "bunga", klo gag salah, sementara yang punya nama ini cowok.)
Nama-nama ini nggak dengan sendirinya jelek. Yang membuatku protes adalah, nama-nama ini eksis di dalam dunianya secara berantakan. Bayangkan, dua pangeran Kerajaan Kegelapan bisa-bisanya satu dinamai Toireann, dan satunya lagi Hassya. Satu nama Irlandia, satunya Indonesia. Trus ada dua bersaudara Klan Kegelapan satunya bernama Aro, satunya lagi Kanti. Satu bau-bau Romawi, satunya lagi Indonesia.
Ortu mereka pada kenapa tuh pas ngasih nama anak kedua? Dideportasi?
Nama berasa Jepang macam Kaien dan Ginta juga nggak jelas bagaimana bisa eksis dalam dunia dimana hampir sebagian besar bernama Barat. Apalagi Raja Adhyasta, raja Cahaya. Kok dia bernama Indonesia padahal rakyatnya punya nama macam Elena, Micchal, Finn, Jedidah, Nenna, Falkor, dst?
Keporak-porandaan juga terjadi di setting dunia cerita Aerial. Katanya dunia ini terjadi di dimensi yang berbeda, lah, kok ada perang antara orang Viking dan Atlantis di mitologi dunia yang bersangkutan? Dan kenapa juga mereka menyebut Aphrodite dengan cara seperti yang dilakukan orang-orang di dunia nyata?
Bener, di dunia lain bisa saja ada orang Viking dan Orang Atlantis. Philip Pullman di His Dark Materials juga menaruh setting Oxford yang bernama sama dengan suatu lokasi di Inggris. Namun, nama ini ga berasa asal comot. Phillip Pullman memakai nama itu dengan memasukkan deskripsi dan properti dunia yang pas, misalnya dengan menunjukkan kehadiran daemon, atau menyebut arus listrik bukan sebagai "electric current" tapi "anbaric current," yang membuat aku menerima kalau ini Oxford yang berbeda.
Nah, kalau di Aerial? Bisa memang kita mengasumsi kalau itu orang Viking dan Atlantis dan Aphrodite lain. Namun, tanpa penjelasan, deskripsi, maupun properti dunia yang gamblang mendukung bahwa itu adalah Atlantis lain, Viking lain, maupun Aphrodite lain, rasa bahwa itu cuma nama comot-tempel akan tetap menghantui aku.
Bicara soal deskripsi serta properti dunia, bukannya pengarang sama sekali nggak ngasih gambaran akan dunia maupun benda-benda apa aja yang ada di negeri ini. Masalahku adalah, benda-benda itu ditempatkan sebagai anakronisme yang lagi-lagi nggak ada penjelasannya.
*Pembaca blog serempak melempar tomat* "Boooh! Sok Pintar loe, pake istilah anakronisme segala! Sok Canggehhh!!! Sotoyyyy!!!"
*ngelap jus tomat dari muka pake sapu tangan Pierre Cardin*
Oke. Maafkan aku karena demen banget make kata-kata canggih. Maksudnya biar aku terlihat so(k)phisticated gitu lowh, wekekeke...
Buat yang kurang familiar dengan anakronisme, hewan satu ini adalah, sederhananya, istilah untuk menggambarkan penempatan suatu properti di dunia yang mustahil secara alur waktu. Contohnya, mari kita ambil dari satu novel yang pernah dibahas oleh Om Pur: Kamera digital dan senter yang dinamai Ki Cahya Sumilak di The Prince Must Die (Langit Kresna Hariadi).
Anakronisme biasanya dikasih alasan atau latar yang membuatnya bisa diterima di dalam dunia cerita itu, seperti yang terjadi di The Prince Must Die: kamera dan senter itu dibawa ke jaman Singosari oleh seseorang yang melakukan time-travel. Kalau tidak ada penjelasan, barangkali anakronisme itu dimaksudkan untuk humor. Komik-komik Asterix karya R. Goscinny dan A. Uderzo banyak menampilkan yang semacam ini, misalnya cameo The Beatles yang jelas nggak mungkin ada di jaman Inggris jajahan Romawi (Asterix di Inggris), atau fashion show ala Galia (Asterix: Mawar dan Pedang Bermata Dua).
Kalau suatu anakronisme nggak ada penjelasannya dan tujuannya bukan untuk humor, barangkali itu kesalahan yang nggak disengaja. Atau boleh nyomot seenak jidat.
Nah, di Aerial, cerita kayaknya diset di negeri dongeng-fantasi-medieval, terbukti dari adanya gaun putri-putrian dan kuda-kudaan dan pertarungan dengan pedang dan panah. Tapi kok di hal. 26 disebut kalau Negeri Cahaya sudah "mengembangkan teknologi yang dapat menekan kadar karbohidrat di dalam makanan utama mereka, sehingga tidak menyebabkan kegemukan." Hah? Kapan para pangeran-dan-putri-dongeng-medieval ini belajar soal karbohidrat dan obesitas? Dan ide "kurus adalah indah" itu adalah cara pandang yang relatif modern, nggak ada di abad pertengahan.
Apa pengarang ngasih penjelasan soal kenapa ini terjadi? Nggak tuh.
Untungnya, kekacauan macam ini jauh berkurang di bagian belakang-belakang, terutama karena Isla dan penemuan-penemuan anehnya nggak lagi banyak dibahas. Namun, lepas dari kekacauan setting, muncul hal lain yang membuatku ngenye' lagi--karakter!
Aku menolak kalau teenlit/chicklit identik dengan karakter dangkal. Ada banyak teenlit yang karakternya cukup dalam. Sayangnya kebanyakan karakter di Aerial nggak memberi kesan yang kuat ke aku, karena peran, latar, atau motivasi mereka... yeah, well, *sob* dangkal.
Isla misalnya, disebut-sebut secara eksplisit sebagai cewek cantik yang berotak, lengkap dengan atribut buku dan alat-alat aneh. Tapi, ciri yang digembar-gemborkan penulis beda jauh dengan tindak-tanduk si karakter. Silakan kembali ke kasus loofah dan busa sabun yang sudah kusebut diatas.
Lalu Hassya, si pangeran kegelapan yang kata penulis dingin, tapi sifatnya panasan. Apa-apa harus diselesaikan dengan adu pedang, berkelahi, dan berantem. Kalau nggak pake tabok-tabokan, namanya banci. Dan saking ngerasa jantannya, dia menganggap ngasih makan burung sebagai tindakan yang "tidak laki-laki." Hmm... tunggu ntar deh kalau dia udah tua dan miara perkutut kayak Pak Haji depen rumahku!
Berikut, Toireann. Ini contoh karakter yang lumayan, walau jadi kurang berkembang karena porsinya sedikit. Kakak Hassya yang berusaha menciptakan perdamaian tapi sakit kepala karena saran-sarannya dicuekin. Pasalnya? Bapaknya, sang Raja Kegelapan, lebih milih ngedengerin pendapat gak logis dari penasihat bego seperti yang sudah kubahas di atas. (kembali, lihat hal. 50.) Poor guy. Nggak heran dia frustrasi.
Laskar dan Sashika: sebenernya latarbelakang mereka bagus. Laskar yang berangasan, dan Sashika yang pecinta alam. Sayangnya peran mereka cuma sebagai cameo.
Antya: adik tokoh utama yang perannya cuma memanggil Laskar dan Sashika. Sigh...
Dan yang terakhir, si tokoh utama, Sadira. Dia ini juga korban ketidaksinkronan antara gambaran pengarang tentang dirinya dan tingkah lakunya. Pengarang kayaknya setengah mati banget ngegambarin dan mencitrakan Sadira sebagai perempuan mandiri yang kuat dan--pake istilah sok kosmopolitan ah--smart, terlihat dari begitu banyak bagian narasi yang menceritakan bahwa Sadira tidak menyukai duduk tenang dan kegiatan-kegiatan serta tingkah polah kecewek-cewekan.
Lebih parah lagi, cara si penulis bercerita seakan-akan mencitrakan bahwa segala hal yang kecewek-cewekan itu sesuatu yang buruk. Alih-alih menunjukkan emansipasi perempuan seperti yang diniatkan pengarang, bukankah ini justru semakin menginferiorkan kegiatan-kegiatan perempuan sebagai sesuatu yang second-class, berada di bawah kegiatan-kegiatan macho macam berlatih tarung yang disukai Sadira the Warrior Princess?
My point is, karakter cewek yang kuat dan smart itu bukan berarti dia harus macho, bisa mengerjakan pekerjaan cowok, dan membenci hal-hal berbau cewek! Bandingkan ini dengan karakter Adel di Nocturnal (Poppy D. Chusfani), yang digambarkan lincah, berkekuatan super, bisa berpedang, dan justru semakin kuat sebagai seorang karakter karena ada bagian dirinya yang menyukai hal-hal girly, seperti tari balet.
Apalagi, 'kemandirian' Sadira itu digambarkan dengan kalimat-kalimat macam ini:
Sadira diperbolehkan berlatih fisik bersama Jenderal Arth asalkan setelah menikah nanti ia berhenti mengangkat senjata dan menjadi ratu sesungguhnya.
Bukan Sadira kalau otaknya nggak jalan. Tentu saja ia tinggal memanfaatkan perjanjian ini dengan tidak usah menjalin hubungan dengan laki-laki manapun.
Dan setelah pengarang gembar-gembor kalimat ini, tebak apa yang terjadi? Sadira bertemu Hassya, dan langsung deh segala atribut putri macho itu ilang, berganti dengan tingkah kecewek-cewekan yang (katanya) jelek. Si putri akhirnya nggak dapat kesempatan untuk memamerkan keahlian berantemnya, malah disandera, dan, mengikuti pakem nasib putri-putri nan basi, harus diselamatkan.
Benar-benar kuat. Dan smart.
Sedih.
Baiklah para pembaca yang terhormat, mari kita tutup sesi ngenye' kali ini dengan kembali pada kesimpulan endorsemen yang kutarik dari kata-kata bijak para endorserwan/endorserwati di cover belakang buku:
Aerial adalah suatu novel nyastra yang lahir dari great imagination.
*nangis terharu*
Mereka berdua memang sangat baik hati.
Luz Balthasaar
17 komentar:
Susah deh mau bilang apa ama review Signora satu ini. :D
Satu hal yg membuat gw enggan beli novel ini salah satunya ada di tempelan karakter yg di-summon dari bumi Indonesia. Apa sebenernya ada aturan tidak tertulis dari penerbit bahwa sebisa mungkin ada sesuatu yang berkaitan ama Indonesia dalam sebuah novel?
Hehe.
Teteup, Masochistic Sunbathers, quote of the year, wekekeke
BTW Bones, generator busa sabun bisa saja merupakan penemuan penting pada universe tersebut, sebab pernah ada jamannya, kan sabun tidak menimbulkan busa?
FA Pur
Malah maso sunbathers yang dipermasalahin, bukannya si Hassya dan perkutut, wkwkwkwk...
Soal dulu sabun nggak berbusa, itu kan karena substansi kimiawi sabunnya. Jadi harusnya kalau mau berbusa, bukan pake alat yang bersifat fisik, tapi ubah resep sabunnya.
SWT, ngapain sih mikirin sabun, awakwakwakwa...
Luz B
Sejujurnya, semenjak aku membaca trilogi Magical Seira dari pengarang yang sama (terbitan TerrantBooks), aku nyadar bahwa yang berkesan dari Mbak Sitta Karina cuma kumpulan-kumpulan cerpennya aja...
*hiks hiks*
aduh, keren banget sih ini blog. Cinta deh. Salam kenal ya, aku pembaca setia (sekaligus penertawa setia, hehehe). Berniat buat buku fiksi fantasi juga, mudah-mudahan bisa dapat kehormatan utk dibantai di sini, wkwkwkwk
novel ini... aduh... udah sekuat tenaga baca, ga bisa deh... ga kuat. tingkat klisenya agak melampaui kapasitas saya sebagai pembaca fantasi.
mas pur kuat banget ya bisa nyelesain ampe abis -_-
@Calvin,
Yang nyelesain sampai abis itu si Luz, vin. So dia yang bikin review ini.
Kalo gue juga mungkin sama kayak elo, berhenti di tengah jalan, kayaknya di bagian dua pasangan itu kabur dari pesta... (sedihnya, gue sampai gak berminat untuk tahu bagaimana nasib mereka selanjutya, hiks!)
FA Pur
Wah2,review yg benar2 kritis :p
Pertama kali lihat novel ini di toko buku, aq langsung tertarik dg covernya yg warna-warni dan nyaris membeli.
Tapi begitu membaca sinopsis di sampul belakangnya, aq merasa aneh dg kemunculan tokoh Laskar & Sashika (yg menurutq ga ada hubungannya dg peristiwa di dunia lain itu).
Dari sinopsisnyapun bisa disimpulkan bahwa temanya hanya seputar kisah cinta antara dua anak manusia (yg ga begitu rumit) dg dibalut fantasi biasa.
Akhirnya aq mengurutkan niat untuk membeli, bahkan ketika temanq membelipun, aq ga berminat untuk meminjamnya.
Maaf, bukannya bermaksud menghina, tapi sepertinya novel ini bukan cerita fantasi yg sesuai dg seleraku -.-
Akhirnya buku ini direview juga *grin*. gue 'terpaksa' membeli buku ini karena waktu itu lagi mood pengen datang ke acara penulisan yang diasuh oleh jreng jreng... sitta karina. back then, gue gak begitu ngeh sapa sitta karina. tapi setelah ikut dan baca bukunya, yah... gitu deh.
Sejak awal baca bab awal aja, gue udah malas meneruskan karena masalah bahasa yang menurut gue nggak smooth.
Terus semakin lama gue membaca, gue merasa seperti membaca twilight ala Sitta Karina. Hal yang nggak mengherankan karena S.Meyer adalah penulis favorit Sitta.
En tentu saja bagian paling kacau adalah bagian ketika mensummon dua manusia dari Jakarta itu. Bener-bener gak penting.
Ada apa dengan standar Gramedia sampai buku ini diterbitkan? Atau karena memang Sitta Karina udah lumayan punya nama di kalangan ABG?
Ha.. ha... ha... karena baca review di blog ini, (dengan nekat) akhirnya q beli juga bukunya,,, ternyata... weww... 100% jeleknya buku ini bener.... tpi untuk cover ny emnk bngus sih,,,, yg sangat membwt q prihatin adalah masuknya embel2 indonesia di cerita ni,, -_-''
agx gx nyambung, kenapa mesti indonesia, kenapa gak penduduk negri cahaya yg laen, ato mungkin kalo pengarang cukup nekat dan kreatif nyoba2 aja buat karakter misterius yg diem2 tinggal aerial yg tw semua sejarah dan tragedi dunia itu,,,,
halaahh2..... *sotoy banget*
= =a
tpi kalo ngeliat novel2 di blog ni, kok kykny timbul perasaan q pengen coba dibantai disini juga y?? kekekekekekekeke...
agxny seru tuh.. *aneh* haha...
follow back dunk..
sekarang baru nyadar pas adeagan awal kan dibilang si pangeran bisa mencium "bau darah" nya si putri, gue langsung kebayang si putri ini sedang (sensor) dan lupa pakai (sensor) ampe-ampe bisa bau darahnya bisa dicium :P
Jujur saya beli buku ini karena temen bilang "WAH BAGUS! LU KUDU BELI!" dan akhirnya saya beli dan cukup kecewa(sbenernya banget) karena Aerial memang berantakan, mungkin pertama-tamanya(di bagian prolog) lumayan, tapi pas nyampe pertengahan, beh udah nggak ngudeng. Saya sendiri pengen jadi penulis novel, jadi kayaknya ini merupakan contoh bagus dari novel yang harus ditata ulang.
Hwell...aku penasaran dan nyoba search review lain tentang novel ini. Bisa dibilang kayaknya blog ini satu-satunya blog yang mencela novel ini. Hehehe... (menjadi kritis ternyata nggak gampang)
saya penulis novel fantasi yang errrr amatiran lah...
jujur, saya sedih baca postingan ini. nulis novel fantasy itu susah loh, ibarat membangun dunia yang baru dari nol
Saya juga penulis novel fantasi.. dan saya merasa review dari Signora satu ini membangun banget.. saya jadi kepikiran novel-novel saya.. apakah ada plotholenya, yang mungkin juga banyak, dan apakah banyak bagian nggak logisnya, padahal saya udah berusaha memberikan penjelasan untuk setiap ketidaklogisan yang ada. hehe..
Saya nggak keberatan dong, novel saya direview.. saya pengen belajar buat jadi lebih baik lagi..
terkadang, komentar yang hanya bilang karya kita bagus, tanpa mengatakan kekurangan, hanya membuat kita semakin lemah dalam berkarya..
kita butuh orang-orang yang kritis dan skeptis ama karya kita..
jadi kita bisa belajar dan menghindari kesalahan yang lalu.. :)
Keren lah, saya juga pengen buku-buku saya diulas atau dibantai kritik. Aku gak akan defensif, tetap nyimak. Yang ngerti aku cerna yang gak ngerti aku tanya.
Posting Komentar