
Penerbit: AKOER
Editor: Aries Rayaguna Prima
Tata letak isi: Ibenk Bonanno
Fotografi: Andry Photography
Tebal: 236 halaman
Sebenernya, apa sih alasan untuk eksistensi sebuah SEKUEL?
Mungkin saja kita tak pernah memikirkannya terlampau dalam, mungkin sudah jadi sekedar sebuah kebiasaan. Kalau di era keemasan Kho Ping Hoo, dulu, sebuah sekuel dibikin karena pembaca terbiasa dengan span cerita yang panjang-panjang, mulai dari Sang Master Pulau Es yang punya murid dari piyik sampai jadi Master lagi, terus punya murid piyik lagi sampai jadi Master lagi, Murid piyik-Master-piyik-Master demikian bergenerasi. Dan hebatnya, sidang pembaca/ penggemar pun sampai bisa merunutkan silisah para pendekar itu sampai ke garis-garis suheng, sute, suci, sumoi, supek dan kawan-kawan termasuk sampai silsilah musuh-musuhnya!
Dunia penerbitan punya motivasi yang lebih pragmatis soal sekuel. Sekuel dibikin karena sebuah franchise akan selalu memberi napas panjang buat bisnis, dan lebih sedikit kapital dibutuhkan untuk mengedukasi pasar. Sehingga akhirnya sekuel acap dibikin dengan dasar pemikiran bahwa: ya memang harus dibikin sekuel, aja. Mumpung lagi on demand.
Atau mungkin alasan lebih hakiki, bahwa ceritanya memang simply belum selesai, karena pengarang belum sampai pada keutuhan pemaparan missi karangannya.
Atau sebaliknya justru alasan bombastis, "Woi, aku ngarang EPIK, dan bukan epik namanya kalle, kalo cuma selesai satu edisi". (Ngaku sendiri, diriku pun diam-diam punya menyimpan waham semacam ini dalam pikiranku).
Apapun itu.
Tapi pernahkah kita, berhenti sejenak dari megalomania-sekuelaria, dan bertanya pada pembaca: apa sih yang menyebabkan anda mau menunggu sebuah sekuel (selain dari alasan 'cerita yang belum finish')?
Dan kuimajinerkan, jawaban paling sederhana tapi mendasar justru seperti ini, "Aku hanya ingin kembali pada 'momen' itu lagi".
Yup. Momen. Maksudnya tentu momen bacaan, sesuatu dalam karanganmu yang telah menekuk ruang dan waktu real menjadi ruang dan waktu personal-kekal di dalam taman pikiran pembaca, tempat ia berendam dalam gelora kenikmatan yang kau hadirkan melalui larik-larik tulisan dalam karya mu.
They just want to re-live the moment.
Aku mengambil buku Harry Potter edisi berikutnya, sebetulnya bukan karena aku betul-betul care sama si-yang-bertahan-hidup itu dengan segala masalah heroismenya, gak sepenuhnya. Aku ngambil buku tebal itu, menepuk-nepuk bantal mencari posisi paling nyaman hanya karena aku ingin 'tersihir' oleh pena pengarang dan memasuki Dunia Hoghwarts with all it's splendor dan kehidupan sekolah sihir itu secara 'nyata' dalam imajinasiku sekali lagi.
Saya menganggap ini 'rule of thumb' pertama dalam penciptaan sekuel. Sesuatu yang harus ditemukenali oleh pengarang dan dipegangnya semasa ia mengkreasikan sekuelnya. Sebabnya wajar saja. Pengarang cenderung melupakan ini di saat benaknya dipenuhi kerangka-seting-plot-sambungan-whatever-grandeur yang ada di kepalanya. Bagi pengarang, jajaran jilid 1,2,3, dst adalah jalan menuju cita-cita tertingginya (garis finish kisah, the ever mega climax, mission deliverance dan gazillions of other prima causa kenapa dia menulis novel itu). Terlalu mudah kita melupakan kebutuhan pembaca saat kita memikirkan hal-hal besar itu.
Lantas apa itu, momen? Ini yang lebih susah. Buat satu pembaca, mungkin setting yang memesonanya. Buat pembaca lain, mungkin debar-debar kisah cinta yang belum juga bertaut. Buat pembaca lain, misteri sengkelat-sengkelit yang mengusik pikiran. Masih banyak lagi. Pengarang pasti akan mengalami kesulitan kalau mau melayani semua kemungkinan. Dia hanya bisa punya satu sikap yang paling aman: mempertahankan adonan orisinal sambil mengembangkan sekuelnya dengan menambahkan sedikit-demi-sedikit bumbu pengembangan (plot development) yang dituju. Dalam bahasa manajemennya: Konsistensi.
Fiuhhh, there, I've said it.
Panjang nian pembukaan ini sebelum aku benar-benar masuk ke pembahasan Tanril 2: The Siege of Krog Naum, sebuah sekuel dari mahakarya Nafta S Meika yang sempat menghebohkan khalayak pecinta buku dan penggemar baca (that's it, tertulis di cover belakang), dan sempat dinobatkan sebagai karya Fantasi terbaik di Fikfanindo pada review di sini.
Well, ini caraku untuk memulai menyatakan bahwa Tanril 2 punya issues di area tersebut. Secara umum saya akan mengatakan bahwa mulai titik awal sekuel, pengarang sepertinya mulai terbuai oleh rencana besar penggarapan sekuel (multi jilid, kalo gak salah sudah mencapai lebih dari 6 buku--dalam pikiran pengarang). Udah gitu, seperti pernah diinformasikan oleh pengarang sendiri, ia menyusun naskah orisinalnya dalam bahasa inggris (!). Well mungkin aja si pengarang memang person jenius (gue pikir emang begitu, jujur!). Tapi hukum alam berlaku, even for geniuses, bahwa begitu kita mencoba mengangkat keranjang apel yang lebih besar, maka sedikit apel akan mulai terjatuh berceceran.
Apa saja konsistensi yang tercecer di Tanril 2? Sesungguhnya tidak banyak. Tapi ibarat bendungan, mendingan keretakan kecil segera diinformasikan dan ditambal secepatnya, bukan?
Yang paling penting bagi saya, adalah konsistensi universe Benua Biru Tanril. Dimulai dari yang paling simpel aja. Bangsa Telentium (yang sejarahnya mulai dipaparkan secara ciamik dalam edisi ini), pada prinsipnya terdiri atas mixing kebudayaan besar Clem dan Zirconia. Okay, dan tidak ada pengaruh dari budaya Anglican di sisi manapun. So, nyaris ga ada alasan munculnya istilah-istilah berbahasa Anglic (Anglish, or English, if you still not get it) yang semakin merasuk dalam teks bahkan sampai ke dialog (panggilan "Sir", istilah "Lord" dll). Menurut saya, kadarnya sudah mulai breach dalam setting dan bukan lagi masalah kepraktisan penggunaan istilah. Saya tidak tahu apakah hal ini disebabkan karena naskah orisinal dalam bahasa inggris diterjemahkan ke bahasa Indonesia sehingga meninggalkan masalah semacam itu. Tapi penyisipan istilah bahasa inggris di dalam Tanril 2 mulai saya rasakan mengganggu.
Lalu formatting (dengan mengesampingkan pen-formatan halaman yang masih aja masalah!). Sebagian besar Bab, kalau tidak semuanya karena saya malas menghitung kembali, dibuka dengan penulisan beberapa baris puisi... (kebetulan) dalam bahasa Inggris. Ini format yang baru dikenalkan pada Tanril 2. Dan walaupun tak salah, tetap terasa mengganggu. Tapi bisa saja karena saya memang bukan penikmat puisi dan gak bisa 'membaca' puisi. Makanya saya nggak bisa menemukan kaitan interpretatif antara puisi pembuka bab tersebut dengan isi bab-nya. Makanya kemudian bagi saya puisi-puisi itu akhirnya hanya menjadi waste of page space aja.
Cukup dua hal itu aja, yang gue identifikasikan. Tapi dua hal (kecil) itu udah cukup untuk menghalangi gue menikmati unverse Tanril sebagaimana buku pertama. Apalagi... dengan masih hadirnya ulah gak jelas penerbit yang masiiiih aja menuliskan halaman-halaman Tanril dengan sistem paragraf yang nggak ngikutin standar, font kecil, serta penulisan dialog dengan huruf italic.
Tuh layouter tahu nggak sih, efeknya menulis dialog huruf italic, bagi pembaca?
Itu seperti dialog dalam sunyi, tau gak? Dialognya telepati yang menggunakan benak (Atau, dialog antara Nalia, Jie Bi Shinjin dan Wander yang menggunakan isyarat jari-jemari. Itu baru penerapan italic yang tepat). Dan bagi benak pembaca, itu sangat mengganggu.
Saya masih bisa mengapresiasi sebuah kiat kreatif, apabila kiat itu memang didesain untuk memenuhi tujuan tertentu yang saya selaku pembaca bisa connect. Saya pernah membaca satu novel yang font-nya sengaja dibedakan, menyesuaikan pada POV tokoh dalam novel itu. Penerapan font sedemikian rupa berhasil memperkuat karakter yang dikisahkan dalam novel. Itulah kreativitas yang smart --mendekatkan pembaca pada tujuan pengarang. Tapi kalo yang di Tanril ini, karena pembaca malah terganggu dan dibawa menjauh dari missi pengarang, penerapan nyeleneh malah ga jadi kreativitas. Saya menyebutnya 'ketololan', terutama karena sudah dikritik masih ngotot pula, pointlessly. Sorry.
Kenapa sih, saya blingsatan segini rupa?
Karena saya merasakan sendiri betapa jalinan kisah dan plot apik yang sesungguhnya tertuang dalam Tanril 2 menjadi jatuh ke level yang tak-bisa-dinikmati oleh pembaca. Seperti disuruh nonton film Avatar (yg konon sedang 'in' sebagai film dengan CGI terbaik) melalui TV hitam putih yang gambarnya kemeresek. The Beauty is lost in the statics. Sedihnya, bukan karena nasib, melainkan karena ignorance belaka.
Bicara keapikan buku ini, apalagi yang musti kubicarakan? Masih konsisten sebagus buku pertamanya! Pengarang dengan piawai memperkenalkan karakter-karakter baru yang unik, mengembangkan relasi para tokoh terdahulu sampai pada taraf yang menarik dan manusiawi. Saya paling happy dengan pengembangan karakter Jie Bi Shinjin yang semakin dalam. Di buku ini, bisa dibilang dialah bintangnya. Satu tokoh menarik lain adalah jendral Allen, jendral dengan pilihan karakter yang 'so unlikely', dan suppose to be merupakan lawan yang 'seimbang' bagi Sulran? (I cannot wait to see their showdown!). Si Kucing Tua juga melakukan come-back yang ditunggu-tunggu pembaca (tambahan juga hadir satu tokoh baru yang kayaknya ada sisi Trivial-nya: tokoh ini sepertinya merupakan personifikasi diri si pengarang dalam universe Tanril, hehehe, asyik juga). Everything was done right. Tastefuly.
Lantas tibalah kita pada pertanyaan terakhir, "Bagaimana buku ini setelah dibelah dua?".
Mungkin ada yang belum ngerti konteksnya. Jadi gini. Aslinya: Tanril 2 dibuat kira-kira setebal Tanril 1. Tapi kemudian dengan aneka pertimbangan, akhirnya dipotong menjadi dua jilid terpisah, sehingga bisa dikatakan bahwa buku ini adalah tanril 1,5 dan yang 0,5-nya lagi akan nyusul entah kapan. Entah, apakah disebabkan pertimbangan cost, masalah artistik, atau masalah komersial.
Secara wajar tentunya akan timbul pertanyaan bagaimana reading experience pembaca dengan buku yang dipotong setengah, itu kan artinya klimaksnya berhenti di tengah-tengah?
Well, harus kuakui, paduan komposisi antara penulisan teks yang melelahkan mata dan alur yang memang cukup padat (banyak background diceritakan, terutama dalam bab-bab depan), membuat porsi yang dipilihkan oleh penerbit terasa jadi 'pas'. Pendapatku sih, kalau bukunya dibuat setebal Tanril 1, biarpun ceritanya 'dapet' bagusnya, teteup akan dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan bacaannya. Takutnya dengan problem font ancur begitu, malah bukunya gak pernah diselesaikan oleh pembaca kalau terlalu tebal. So, yeah, the publisher's kind of on a right track, there, untuk satu alasan yang I bet gak terpikir seperti di itu di benak mereka! Hahahah.
So, selamat datang Taril 2. Buat Nafta, again, keep up the good work! You've got my symphaty :-)
FA Purawan
Mungkin saja kita tak pernah memikirkannya terlampau dalam, mungkin sudah jadi sekedar sebuah kebiasaan. Kalau di era keemasan Kho Ping Hoo, dulu, sebuah sekuel dibikin karena pembaca terbiasa dengan span cerita yang panjang-panjang, mulai dari Sang Master Pulau Es yang punya murid dari piyik sampai jadi Master lagi, terus punya murid piyik lagi sampai jadi Master lagi, Murid piyik-Master-piyik-Master demikian bergenerasi. Dan hebatnya, sidang pembaca/ penggemar pun sampai bisa merunutkan silisah para pendekar itu sampai ke garis-garis suheng, sute, suci, sumoi, supek dan kawan-kawan termasuk sampai silsilah musuh-musuhnya!
Dunia penerbitan punya motivasi yang lebih pragmatis soal sekuel. Sekuel dibikin karena sebuah franchise akan selalu memberi napas panjang buat bisnis, dan lebih sedikit kapital dibutuhkan untuk mengedukasi pasar. Sehingga akhirnya sekuel acap dibikin dengan dasar pemikiran bahwa: ya memang harus dibikin sekuel, aja. Mumpung lagi on demand.
Atau mungkin alasan lebih hakiki, bahwa ceritanya memang simply belum selesai, karena pengarang belum sampai pada keutuhan pemaparan missi karangannya.
Atau sebaliknya justru alasan bombastis, "Woi, aku ngarang EPIK, dan bukan epik namanya kalle, kalo cuma selesai satu edisi". (Ngaku sendiri, diriku pun diam-diam punya menyimpan waham semacam ini dalam pikiranku).
Apapun itu.
Tapi pernahkah kita, berhenti sejenak dari megalomania-sekuelaria, dan bertanya pada pembaca: apa sih yang menyebabkan anda mau menunggu sebuah sekuel (selain dari alasan 'cerita yang belum finish')?
Dan kuimajinerkan, jawaban paling sederhana tapi mendasar justru seperti ini, "Aku hanya ingin kembali pada 'momen' itu lagi".
Yup. Momen. Maksudnya tentu momen bacaan, sesuatu dalam karanganmu yang telah menekuk ruang dan waktu real menjadi ruang dan waktu personal-kekal di dalam taman pikiran pembaca, tempat ia berendam dalam gelora kenikmatan yang kau hadirkan melalui larik-larik tulisan dalam karya mu.
They just want to re-live the moment.
Aku mengambil buku Harry Potter edisi berikutnya, sebetulnya bukan karena aku betul-betul care sama si-yang-bertahan-hidup itu dengan segala masalah heroismenya, gak sepenuhnya. Aku ngambil buku tebal itu, menepuk-nepuk bantal mencari posisi paling nyaman hanya karena aku ingin 'tersihir' oleh pena pengarang dan memasuki Dunia Hoghwarts with all it's splendor dan kehidupan sekolah sihir itu secara 'nyata' dalam imajinasiku sekali lagi.
Saya menganggap ini 'rule of thumb' pertama dalam penciptaan sekuel. Sesuatu yang harus ditemukenali oleh pengarang dan dipegangnya semasa ia mengkreasikan sekuelnya. Sebabnya wajar saja. Pengarang cenderung melupakan ini di saat benaknya dipenuhi kerangka-seting-plot-sambungan-whatever-grandeur yang ada di kepalanya. Bagi pengarang, jajaran jilid 1,2,3, dst adalah jalan menuju cita-cita tertingginya (garis finish kisah, the ever mega climax, mission deliverance dan gazillions of other prima causa kenapa dia menulis novel itu). Terlalu mudah kita melupakan kebutuhan pembaca saat kita memikirkan hal-hal besar itu.
Lantas apa itu, momen? Ini yang lebih susah. Buat satu pembaca, mungkin setting yang memesonanya. Buat pembaca lain, mungkin debar-debar kisah cinta yang belum juga bertaut. Buat pembaca lain, misteri sengkelat-sengkelit yang mengusik pikiran. Masih banyak lagi. Pengarang pasti akan mengalami kesulitan kalau mau melayani semua kemungkinan. Dia hanya bisa punya satu sikap yang paling aman: mempertahankan adonan orisinal sambil mengembangkan sekuelnya dengan menambahkan sedikit-demi-sedikit bumbu pengembangan (plot development) yang dituju. Dalam bahasa manajemennya: Konsistensi.
Fiuhhh, there, I've said it.
Panjang nian pembukaan ini sebelum aku benar-benar masuk ke pembahasan Tanril 2: The Siege of Krog Naum, sebuah sekuel dari mahakarya Nafta S Meika yang sempat menghebohkan khalayak pecinta buku dan penggemar baca (that's it, tertulis di cover belakang), dan sempat dinobatkan sebagai karya Fantasi terbaik di Fikfanindo pada review di sini.
Well, ini caraku untuk memulai menyatakan bahwa Tanril 2 punya issues di area tersebut. Secara umum saya akan mengatakan bahwa mulai titik awal sekuel, pengarang sepertinya mulai terbuai oleh rencana besar penggarapan sekuel (multi jilid, kalo gak salah sudah mencapai lebih dari 6 buku--dalam pikiran pengarang). Udah gitu, seperti pernah diinformasikan oleh pengarang sendiri, ia menyusun naskah orisinalnya dalam bahasa inggris (!). Well mungkin aja si pengarang memang person jenius (gue pikir emang begitu, jujur!). Tapi hukum alam berlaku, even for geniuses, bahwa begitu kita mencoba mengangkat keranjang apel yang lebih besar, maka sedikit apel akan mulai terjatuh berceceran.
Apa saja konsistensi yang tercecer di Tanril 2? Sesungguhnya tidak banyak. Tapi ibarat bendungan, mendingan keretakan kecil segera diinformasikan dan ditambal secepatnya, bukan?
Yang paling penting bagi saya, adalah konsistensi universe Benua Biru Tanril. Dimulai dari yang paling simpel aja. Bangsa Telentium (yang sejarahnya mulai dipaparkan secara ciamik dalam edisi ini), pada prinsipnya terdiri atas mixing kebudayaan besar Clem dan Zirconia. Okay, dan tidak ada pengaruh dari budaya Anglican di sisi manapun. So, nyaris ga ada alasan munculnya istilah-istilah berbahasa Anglic (Anglish, or English, if you still not get it) yang semakin merasuk dalam teks bahkan sampai ke dialog (panggilan "Sir", istilah "Lord" dll). Menurut saya, kadarnya sudah mulai breach dalam setting dan bukan lagi masalah kepraktisan penggunaan istilah. Saya tidak tahu apakah hal ini disebabkan karena naskah orisinal dalam bahasa inggris diterjemahkan ke bahasa Indonesia sehingga meninggalkan masalah semacam itu. Tapi penyisipan istilah bahasa inggris di dalam Tanril 2 mulai saya rasakan mengganggu.
Lalu formatting (dengan mengesampingkan pen-formatan halaman yang masih aja masalah!). Sebagian besar Bab, kalau tidak semuanya karena saya malas menghitung kembali, dibuka dengan penulisan beberapa baris puisi... (kebetulan) dalam bahasa Inggris. Ini format yang baru dikenalkan pada Tanril 2. Dan walaupun tak salah, tetap terasa mengganggu. Tapi bisa saja karena saya memang bukan penikmat puisi dan gak bisa 'membaca' puisi. Makanya saya nggak bisa menemukan kaitan interpretatif antara puisi pembuka bab tersebut dengan isi bab-nya. Makanya kemudian bagi saya puisi-puisi itu akhirnya hanya menjadi waste of page space aja.
Cukup dua hal itu aja, yang gue identifikasikan. Tapi dua hal (kecil) itu udah cukup untuk menghalangi gue menikmati unverse Tanril sebagaimana buku pertama. Apalagi... dengan masih hadirnya ulah gak jelas penerbit yang masiiiih aja menuliskan halaman-halaman Tanril dengan sistem paragraf yang nggak ngikutin standar, font kecil, serta penulisan dialog dengan huruf italic.
Tuh layouter tahu nggak sih, efeknya menulis dialog huruf italic, bagi pembaca?
Itu seperti dialog dalam sunyi, tau gak? Dialognya telepati yang menggunakan benak (Atau, dialog antara Nalia, Jie Bi Shinjin dan Wander yang menggunakan isyarat jari-jemari. Itu baru penerapan italic yang tepat). Dan bagi benak pembaca, itu sangat mengganggu.
Saya masih bisa mengapresiasi sebuah kiat kreatif, apabila kiat itu memang didesain untuk memenuhi tujuan tertentu yang saya selaku pembaca bisa connect. Saya pernah membaca satu novel yang font-nya sengaja dibedakan, menyesuaikan pada POV tokoh dalam novel itu. Penerapan font sedemikian rupa berhasil memperkuat karakter yang dikisahkan dalam novel. Itulah kreativitas yang smart --mendekatkan pembaca pada tujuan pengarang. Tapi kalo yang di Tanril ini, karena pembaca malah terganggu dan dibawa menjauh dari missi pengarang, penerapan nyeleneh malah ga jadi kreativitas. Saya menyebutnya 'ketololan', terutama karena sudah dikritik masih ngotot pula, pointlessly. Sorry.
Kenapa sih, saya blingsatan segini rupa?
Karena saya merasakan sendiri betapa jalinan kisah dan plot apik yang sesungguhnya tertuang dalam Tanril 2 menjadi jatuh ke level yang tak-bisa-dinikmati oleh pembaca. Seperti disuruh nonton film Avatar (yg konon sedang 'in' sebagai film dengan CGI terbaik) melalui TV hitam putih yang gambarnya kemeresek. The Beauty is lost in the statics. Sedihnya, bukan karena nasib, melainkan karena ignorance belaka.
Bicara keapikan buku ini, apalagi yang musti kubicarakan? Masih konsisten sebagus buku pertamanya! Pengarang dengan piawai memperkenalkan karakter-karakter baru yang unik, mengembangkan relasi para tokoh terdahulu sampai pada taraf yang menarik dan manusiawi. Saya paling happy dengan pengembangan karakter Jie Bi Shinjin yang semakin dalam. Di buku ini, bisa dibilang dialah bintangnya. Satu tokoh menarik lain adalah jendral Allen, jendral dengan pilihan karakter yang 'so unlikely', dan suppose to be merupakan lawan yang 'seimbang' bagi Sulran? (I cannot wait to see their showdown!). Si Kucing Tua juga melakukan come-back yang ditunggu-tunggu pembaca (tambahan juga hadir satu tokoh baru yang kayaknya ada sisi Trivial-nya: tokoh ini sepertinya merupakan personifikasi diri si pengarang dalam universe Tanril, hehehe, asyik juga). Everything was done right. Tastefuly.
Lantas tibalah kita pada pertanyaan terakhir, "Bagaimana buku ini setelah dibelah dua?".
Mungkin ada yang belum ngerti konteksnya. Jadi gini. Aslinya: Tanril 2 dibuat kira-kira setebal Tanril 1. Tapi kemudian dengan aneka pertimbangan, akhirnya dipotong menjadi dua jilid terpisah, sehingga bisa dikatakan bahwa buku ini adalah tanril 1,5 dan yang 0,5-nya lagi akan nyusul entah kapan. Entah, apakah disebabkan pertimbangan cost, masalah artistik, atau masalah komersial.
Secara wajar tentunya akan timbul pertanyaan bagaimana reading experience pembaca dengan buku yang dipotong setengah, itu kan artinya klimaksnya berhenti di tengah-tengah?
Well, harus kuakui, paduan komposisi antara penulisan teks yang melelahkan mata dan alur yang memang cukup padat (banyak background diceritakan, terutama dalam bab-bab depan), membuat porsi yang dipilihkan oleh penerbit terasa jadi 'pas'. Pendapatku sih, kalau bukunya dibuat setebal Tanril 1, biarpun ceritanya 'dapet' bagusnya, teteup akan dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan bacaannya. Takutnya dengan problem font ancur begitu, malah bukunya gak pernah diselesaikan oleh pembaca kalau terlalu tebal. So, yeah, the publisher's kind of on a right track, there, untuk satu alasan yang I bet gak terpikir seperti di itu di benak mereka! Hahahah.
So, selamat datang Taril 2. Buat Nafta, again, keep up the good work! You've got my symphaty :-)
FA Purawan