
By FA Purawan
Penerbit: Kakilangit Kencana
Editor: Syaffrudin Azhar
Desain Sampul: Circlestuff Desugn
Tata letak: Jeffry
Ilustrator: Damuhbening
Tebal: 433 halaman
Tahun 60-an, suatu 'revolusi' dalam kebudayaan telah terjadi, merubah pandangan umat manusia terhadap konsep 'agama' maupun 'keberagamaan'. Lahirnya 'flower generations' saat itu bukan saja merupakan perlawanan politis masyarakat terhadap kebijakan pemerintah (Amerika, terutama) yang terlalu aktif berperang di sana-sini, namun juga merupakan pendobrakan 'spiritual' terhadap lembaga-lembaga agamawi yang dianggap terlampau dogmatis. Pemberontakan itu antara lain terwujud dalam perilaku ekstrim semacam freesex dan drugs, yang dianggap mampu merepresentasikan simbol-simbol perlawanan terhadap nilai-nilai kemapanan (atau puritan, yang pada saat itu banyak bersumber dari kalangan agama), dan sebagai bentuk kekecewaan bahwa ritual agama yang ada tidak memberikan jawaban atas pencarian spiritual kaum muda pada saat itu.
Setelah bergenerasi berselang, di tahun 2000-an, mulai muncul pembelajaran bahwa freesex dan drugs gak membawa kita kemana-mana, kecuali dapet AIDS dan sakaw, hehehe. Tapi pencarian spiritualnya terus berlanjut, walau tak lagi dicari melalui penggunaan drugs. Dan pemahaman spiritual mulai bergerak dari ranah badaniyah ke ranah internal yaitu pemikiran dan pendalaman terhadap diri. Dalam kebudayaan modern sekarang ini, frasa mengenal 'diri sejati' atau 'mengaktualisasikan diri' menjadi kalimat yang populer, whatever it means.
Walau teteup, sih, proponent freesex gak juga ketinggalan jaman dengan menjual paham baru, dari yang "free to choose your sexual partner", menjadi "free to choose your sexual orientation". Dan ndilalah itu tetap selaras dengan konsep 'aktualisasi diri' berbasis definisinya masing-masing, heheheh. Namanya juga jualan ideologi, bisaaa ajah!
Wait, aku gak lagi ngomongin queerlit, lho, dengan opening ini. Mari kita kembali pada pemahaman spiritual di tahun 2000-an dengan konsep internal 'aktualisasi diri' tadi. Ini pandangan inti dalam spiritualis new age, dimana mereka percaya bahwa puncak spiritualitas manusia ada di dalam dirinya sendiri, dan melalui sebuah proses pencerahan, maka bungkus itu akan tersingkap dan manusia akan memasuki suatu pengertian baru yang menempatkan kita dalam 'maqom' yang lebih tinggi, sampai akhirnya kita semakin mendekati "Sang Pusat" dari segalanya.
Pandangan yang menurut sejarahnya bersumber dari spiritualisme timur macam India yang kemudian menyebar dalam bentuk Buddhisme, Taoisme, Zen, apa lagilah. Metode-metode semacam ini kemudian memasuki alam budaya Barat melalui kaum flower generations yang menekuni tradisi Yoga, meditasi, bahkan Martial Arts. Pada ujungnya, saat mulai diterima oleh masyarakat Barat yang kreatif, mulailah muncul pada produk budaya tertinggi mereka, yaitu Science, Literatur dan Film.
Dewasa ini kita mulai menerima banjir produk budaya bertemakan spiritualisme new age, terutama melalui Film, sebab kita bangsa yang kurang suka membaca dan lebih suka jadi penonton. Tengok film-film seperti Flatliners, Trilogi Matrix, Heroes dan sebagainya.
Particularily, serial Heroes, yang tampaknya secara khusus menjadi inspirasi dari salah seorang pengarang lokal yaitu Lisa Febriyanti, yang menuliskan novel ILUMINASI. To sum up, Iluminasi adalah our take on New Age Spiritual concepts yang mengambil setting mirip dengan serial Heroes. Dan sebagai karya yang berusaha mengangkat isu spiritual dalam bahasa kekinian, rasanya Iluminasi cukup bisa berbicara.
Iluminasi menceritakan keberadaan manusia-manusia "istimewa", the X-Men, manusia super, yang memiliki kemampuan extra-ordinary seperti kemampuan mind-control, levitasi, terbang, bergerak cepat, memancarkan listrik, memanjangkan anggota tubuh (cewek, BTW, so gak usah mikir terlalu jauh:)), meciptakan api, punya sayap di punggung, kemampuan regenerasi sel, dan lain-lain. Setting di Indonesia, dan dalam cerita ini, manusia super itu bergabung dalam dua kelompok: The White Lights (WL) dan The Pure Black (PB). Dan seperti kelompok elit di manapun, keduanya bersikap bermusuhan, dan konon permusuhan itu sudah terjadi sejak beribu tahun lamanya.
Manusia-manusia istimewa ini bisa menjadi istimewa berkat keberhasilan mereka mengejawantahkan potensi istimewa yang sudah terkandung dalam kode genetik mereka, melalui sebuah usaha pencerahan, atau, yup: Iluminasi.
Tokoh cerita, Ardhananeswari atau dipanggil Ar, adalah salah seorang manusia istimewa yang belum terbangkitkan. Dan mengikuti pakem 'the chosen one', si Ar ini menjadi minat dan rebutan bagi dua seteru WL dan PB, karena konon dia menguasai suatu kekuatan yang unik yang sudah dinanti-nantikan oleh para manusia istimewa sejak ribuan tahun. Plot buku ini kemudian mengalir menceritakan proses kebangkitan Ar berikut pendalaman kisah latar belakang para tokoh, saling keterhubungannya dan akhirnya berklimaks di manifestasi kekuatan Ar yang menjadi pusat konflik WL & PB.
Sebuah cerita yang menarik, dan plot yang cukup rapih. Maksud saya, pengarang gak semata-mata niru konsep serial Heroes dan cuma ngambil kulitnya aja seperti banyak dilakukan oleh 'fantasy' writers. Dunia Iluminasi adalah dunia yang punya alasan cukup solid. Para karakter memiliki kekuatan ajaib yang fungsional terhadap karakternya sekaligus terhadap cerita. Dan para karakter ini pun masih sangat terlihat sisi-sisi kemanusiaannya sekalipun mereka bukan 'ordinary' human. Memang ada kemiripan dengan karakterisasi serial Heroes, terutama dalam jenis-jenis kekuatan ajaib yang dimiliki, dan dalam asal muasal kekuatan tersebut, yaitu dari DNA. Tapi karakter-karakter di Iluminasi bergerak, berpikir, dan bertindak dengan cara yang berbeda. Dan itu membuat novel ini tak tampak sebagai copy-cat dari konsep Heroes.
Kemudian pengarang juga meramu ceritanya dengan konsep-konsep new age spirituals, yang walau mungkin terdengar 'baru' dalam khasanah literatur fiksi lokal, tak lagi asing bagi pembaca di Barat. Dalam hal ini karya Fiksi-Spiritual serial Celestine Prophecy karya James Redfield. Ada konsep-konsep yang merupakan adopsi dari Celestine Propjecy, seperti Sinkronitas ('kebetulan' yang mengandung makna), Dimensi-Dimensi yang eksis di 'atas' Dimensi kita, dan lain-lain.
Singkatnya paduan setting yang solid dan plot memikat, membuat buku ini memiliki dasar kualitas yang cukup bagus. Untuk penggemar ide-ide filosofi-spiritualis New Age, buku ini akan cukup diapresiasi berkat kandungan filosofisnya yang cukup tergarap. Masukan adegan-adegan action extra-ordinary yang cukup menghibur dan cukup 'masa-kini', menjadi bumbu yang menarik dan cukup mendatangkan suspense menghibur bagi pembaca.
Lantas apakah menjadi buku yang bagus menurutku? Well, satu aja yang kupikir menjadi aspek minus (walau bisa saja hal ini gak berlaku terhadap pembaca lain), yaitu 'styling', yang meliputi penggunaan (atau revitalisasi, tepatnya) kosa-kata non-umum dalam bahasa Indonesia. Pengarang tampaknya berambisi mengorek-ngorek sudut kamus bahasa Indonesia yang jarang dijamah orang, mencoba menemukan kata-kata baru di balik timbunan debu, dan mencoba memasangkannya di novel untuk membuat bahasa novelnya lebih 'bergaya' (dan nyatanya, pun, ada yang terbeli dengan style ini, sebagaimana endorsemen berikut: ...didukung kekayaan terminologi, perlambang, dan tuturan bahasa yang cantik... -Darminto M. Sudarmo, di cover belakang.)
Apakah aku terbeli? Well, sini aku list-kan dulu sebagian kata-kata 'new age' yang berhasil digali oleh pengarang:
- (air teh) yang hangatnya mulai lindang
- berkelindan
- lindap
- segali jenggut
- ripuh
- repih
- repah
- selingkung energi rindu
- hatinya berpesai-pesai
- asa nya perlina
- rancak yang berganduh pada samsara
- nanap memandang
dan lain-lain yang nggak lagi aku bisa temukan saat ini, hehehe.
Dengan pilihan kosa-kata semacam ini, tentunya teman-teman sudah bisa menduga gaya bahasa seperti apa yang digunakan di novel tersebut. Yak, mengarah ke puitis. Bahkan sampai ke dialog pun, 'puitisasi' itu masih terasa juga, sehingga menurutku beberapa part dialog itu rasanya tak wajar diucapkan di setting sehari-hari, kecuali dalam sinetron yang menggunakan efek kamera soft-focus, dengan suara mendesah, gitu deh. Dan catat, Novel ini masih jauh lebih enak dibaca dibandingkan novel L@n@ng yang --kira-kira-- menerapkan kiat yang sama.
Sorry, kalo pengandaian saya jelek dan gak tepat. Soalnya ga biasa nonton sinetron. Ho-oh, sumpe loh.
Sehingga, semuanya menjadi masalah selera. Tapi untukku, yang jelas jadi masalah koneksi, sebab gaya bahasa itu membuatnya jadi berjarak dengan pikiranku, dunia novelnya jadi kurang bisa kumasuki.
Kemudian aspek styling lainnya yang kurasakan cukup aneh, adalah kenapa pengarang harus menggunakan inisial untuk nama kota yang sebenernya sudah sangat obvious sehingga pembaca udah pasti ngerti kota mana yang dimaksud. Pulau B, Kota J, Kota B,... gue inget ini gaya novel aliran jaman baheula, taun 70-an, kali ya? Atau biasanya di artikel-artikel Oh-Mama-Oh-Papa atau Cerita-Cerita-seru.com (ups...) Entah apa maksud dan tujuan pengarang, sebab gak usah disingkat, tulis aja Pulau Bali, Kota Jakarta, Kota Bandung, pembaca nggak akan protes, koq.
Sementara untuk naming, pengarang malah mencampur Istilah Inggris seperti White-light (tapi pemimpinnya disebut: Kamitua. Ga cucok deh!), Pure Black, Ordinary, dll. Buatku, istilah Inggris di dalam novel ini gak terlalu 'masuk' ke dalam keseluruhan setting, terkesan tempelan untuk membuatnya ber-kekinian aja. Tapi gak parah juga, sih. Nama karakter dibuat singkat --umumnya satu kata, misalnya Shaman, Zero, Pijar, Agni, Speedy-- dengan alasan yang cukup pas, bahwa nama-nama itu merupakan pengganti nama asli mereka, dimana nama baru mengandung pengertian sesuai dengan kekuatan istimewa mereka (yah, gak semua mengikuti aturan itu, sih. Tapi itu adat yang berlaku di kalangan manusia istimewa).
So, nothing too bad, also nothing too special juga. Mengalir dan cukup pas, lah.
Catatan terakhir, adalah mengenai sampul.
Sampul yang di desain Circlestuff Design menampakkan sebuah pohon meranggas dalam kegelapan yang dijatuhi berkas cahaya dari sebuah lubang di langit ("Anjrit! Pakulangit!" gue hampir memaki, hehehe). Seberkas idea mengenai kata 'Iluminasi'. Tadinya aku bersikap netral aja terhadap desain sampul ini. Tapi sewaktu aku membuka sampul dalam dan melihat ilustrasi 'Lompatan 1' (Istilah lompatan digunakan sebagia pengganti istilah BAB, which is interesting), sebuah pendulum yang digambar oleh Damuhbening, aku hampir terlompat beneran. Sh*t! Harusnya lambang ini-nih yang dijadikan cover! Keren banget!
Well, I guess, itu hak prerogatifnya penerbit, aku ga boleh ikut campur. Tapi bagi yang paham kekuatan simbol dalam memasuki alam bawah sadar manusia (baca: konsumen), keberadaan lambang itu mestinya jangan dianggap remeh.
OKEH, jadi kesimpulannya, novel Ilumnasi ini sesungguhnya merupakan perwujudan idea yang keren dan sangat relevan untuk masa kini. Opini saya, kalau saja kemasannya bisa dibuat lebih masa kini --termasuk menyederhanakan dan mengkinikan gaya bahasa puitis dan et cetera itu-- maka novel ini bisa punya posisi yang lebih menohok pasar. Mbak Lisa, selamat atas karyanya. Moga-moga sekuelnya lebih seru!
Salam,
FA Purawan