Rabu, 26 Mei 2010

Nadi Amura (Alexandra J. W. - 2009)

By Luz B.


Penyunting: -
Penerbit: Shesanaga
Desain Sampul: Marcel Wetik
Ilustrasi: Marcel Wetik
Tebal: 456 halaman


Pertama-tama aku mungkin harus minta maaf sama para pembaca Fikfanindo. Om Soto(y) tampaknya masih sibuk, dan harus kuakui aku juga lumayan sibuk membenahi proyekku sendiri.
 
Di sela-sela mengerjakan bagian akhir proyekku, ijinkan aku menyajikan satu repiu untuk anda semua. Untuk hari ini, buku fiksi fantasi yang beruntung (sial?) menjadi tamu kita adalah Nadi Amura karya Alexandra J. W.

Banyak di antara anda semua mungkin belum pernah melihat Nadi Amura. Jangan panik, karena penyebabnya bukan minus mata yang nambah terus. Buku ini memang nggak dimasukkan ke toko-toko buku grup Gramedia atau Gunung Agung. Aku sendiri beruntung melihatnya di toko buku ak' sa. ra. di eX Plaza Indonesia. Jadi, jika anda berminat untuk berburu buku satu ini, silakan jajal di lokasi yang sudah kusebut.

Namun, sebelum berburu, tentunya anda mau lihat dulu apakah buku ini layak diburu atau nggak. So? On to da repiu!  
   

 
Aku yakin banyak orang yang akan terpesona pada cover buku ini. Berbagai elemen seperti raksasa, kuda-naga, dua cewek berpakaian ajaib dan macan kumbang super-size yang ditaruh di sana langsung memberi kesan buku fiksi fantasi. Pemilihan warnanya juga oke banget, dengan kesan cat air yang aku suka. Good job untuk Marcel Wetik. (BTW, ilustrasi di dalamnya juga bagus-bagus kok!)

Balik ke belakang, sinopsis. Aku bisa nangkep kalau cerita besar Nadi Amura berkisar pada dua orang perempuan, yaitu Meara Onsu (yang kayaknya ga ada hubungan keluarga whatsoever ma Ruben Onsu,) dan Una Luca. Meara digambarkan sebagai seorang pemimpi yang suka berkhayal dan menulis cerita, sementara Una seorang yang baru beranjak dewasa, dan menghadapi krisis paruh akhir masa remaja, alias pengen kelihatan dewasa tapi apa daya pikiran dan tindakan masih ABG.

Menarik? Buatku sih menarik banget. Satu-satunya hal yang menghalangi aku buat mengambil Nadi Amura pas pertama kali ngelihat adalah karena aku lagi ngincer buku lain. sempat kelupaan soal buku ini, sampai tiba-tiba ada yang nyinggung di topik Fiksi Fantasi Dalam Negeri Goodreads Indonesia. Jadilah aku jalan lagi ke situs penemuan Nadi Amura untuk ngambil satu.

Begitu aku buka cover dan mulai membaca cerita, aku langsung disambut oleh serangkaian kalimat yang kayaknya maksudnya puitis. Aku nggak keberatan sama kalimat puitis atau figuratif, mengingat aku suka prosa liris, dan suka puisi, meski belum jago-jago amat dalam urusan bikin puisi.

Cuman, mau liris pun, mau figuratif pun, nggak berarti suatu kalimat sama sekali nggak perlu memperhatikan pedoman-pedoman tertentu. Kalau "puitis atau liris atau figuratif" sama dengan "nggak pake pedoman", dunia ini bakal penuh penyair, karena siapapun bisa menulis satu kalimat ngaco apapun dan mengklaimnya sebagai puitis / liris / perlambangan / figuratif / dan alasan-alasan seterusnya yang barangkali menjurus perngemengan.

Ambil contoh-contoh ini:
  
Setiap tikungan jalan dan belokan masuk ke rumah-rumah, tanpa berhenti untuk mengambil keputusan, ia mengambil jalan tertentu, dan masuk ke halaman rumah, lalu keluar lagi. (hal. 3)


Bagian ini menceritakan pengejaran seekor kucing ajaib (yang bisa bicara dan mikir kayak manusia) oleh sekumpulan Danawas, yang digambarkan kayak hantu. Buatku kalimat ini berasa gag logis. Kalau memang dikejar, kenapa si kucing harus masuk keluar halaman rumah-rumah? Kalau tahu dikejar aku kira seharusnya dia lari secepat mungkin, bukan bertele-tele keluar-masuk halaman setiap rumah yang dia temui.

Berikutnya,
  
Air muka hambar dan tanpa ampun terus mengejar target operasi mereka. (hal. 4)


Kalimat ini rancu kayaknya. Sejak kapan air muka bisa mengejar target operasi?

Ya, ya, aku dengar lagi alasan, "ini kan puitis dan liris dan figuratif" itu. Namun, bayangkan kalau saja cerita itu memakai, "dengan air muka hambar dan tanpa ampun, mereka terus mengejar target operasi." Apakah kalimat yang lebih jelas ini akan mengurangi nilai puitisnya? Apakah kalau kita mau membuat kalimat puitis kita harus menjadikannya serancu mungkin?

Lalu,
  
Sudah hampir 11.580 tahun ia menunggu saat yang tepat untuk mengambil benda itu dari tempat persembunyian, yang baginya tak mungkin akan dicari. (hal. 5)


Kalimat ini nggak masuk di logikaku. Kalau baginya tempat persembunyian itu ga mungkin dicari, bagaimana dia bisa mengambil benda itu dari tempat persembunyian?

Lagi,
  
Ia berteriak sekencang-kencangnya walau tak ada satupun suara yang keluar dari mulutnya. (hal... duh, lupa, dan malas nyarinya lagi. Sorry. My Bad.)


Kembali, gag masuk logikaku. Gimana orang bisa berteriak tanpa suara? Lain perkaranya kalau dia mencoba berteriak, tapi tak ada sepotongpun suara keluar dari mulutnya.

Terus,

Una menutup matanya sambil mengunyah dengan nikmatnya. Seluruh saraf-saraf pengecapnya bersenandung dan nyanyian itu menjalar ke seluruh tubuhnya. (hal. 382)


Lebai nggak sih? Saraf pengecap bernyanyi. Maksudnya mungkin mau bilang "saking lezatnya lidah bernyanyi," gitu. Tapi apakah ini nggak lebai? I mean, apakah kita merasa seperti ingin bernyanyi tiap kali kita  makan makanan enak? Analogi antara kelezatan dan nyanyian disini kayaknya kejauhan deh.

Dan yang paling keren dari semuanya,

...dari mulut Una yang terbuka lebar-lebar keluarlah semburan suara berdesing seperti kembang api yang baru saja diluncurkan. Suara ini sebenarnya berisikan mantra pemupus nyali. Bentuk semburan suara itu terlihat seperti api dan lahar berwarna merah terang. Pancaran keras bagaikan gunung yang meletus itu menghantam dada Den Poto di depannya. (hal. 96)


Oke, ini satu lagi contoh analogi yang kejauhan. suara diumpamakan seperti semburan kembang api, dan digambarkan berwujud seperti lahar. Sekarang bayangkan orang berteriak dan dari mulutnya keluar sesuatu berwujud kembang api dan lahar. Aneh gag? Buatku, aneh sekali.

Beberapa halaman kemudian, perumpamaan ini dilanjutkan dengan,
 
Api yang keluar dari mulutnya kini hilang, yang berderai adalah lahar panas yang semakin kental. (hal. 100)


Kualitas apa yang dibagi oleh suara dan lahar dan kembang api, sehingga mereka bisa diparalelkan dalam analogi? Kalau kualitas yang mirip itu terlalu sedikit, atau nyaris ga ada, aku jadi ngerasa analogi ini lucu bin maksa. Bagaimana suara bisa diumpamakan dengan "lahar panas yang semakin kental?" Yang kebayang olehku malah si tokoh ini muntah dan beler lahar dari mulutnya, setelah terlebih dahulu menyemburkan api kayak naga. Heyaaaaa~! Lava Drool Attack~!

Tapi gag semua perumpamaan/prosa puitis yang dibuat pengarang ini aneh-aneh. Ada juga perumpamaan yang kurasa bagus, seperti,

Sunyi.
Suara sedang beristirahat. (hal. 191)


Juga,
  
Kehampaan merajam dirinya. Sang Pangeran Kencanaloka yang sepantasnya kebal dari sembiluan lara dan deraan bengis, merasa sebagian dari dirinya hilang dan dilumpuhkan. (hal. 105)


Lalu,
  
Air itu menghajar bagaikan hiu mencabak mangsanya. (hal. 389)


Sedikit catatan, maksudnya mencabik, kali ya?

Berikut,
  
Senja memamerkan ketaklazimannya pula, di satu sisi petang telah berkuasa penuh, taburan bintangnya meyakinkan tak ada lagi senja yang masih malas beranjak di sana, di sisi lain senja masih bertahan dan tak merelakan petang bangkit dari tidurnya. Kedua kubu ini seolah-olah bersaing untuk mempertahankan daerah kediamannya. (hal. 127)


Ini sebenernya bagus, menggambarkan langit yang 'terbelah dua' antara senja dan petang. Cuma, penulis kayaknya ketuker antara senja dan petang. Yang terjadi duluan kan seharusnya petang (lepas siang sampai sore hari sebelum matahari terbenam), baru senja (setelah matahari terbenam).

Lepas dari bahasa puitisnya, aku pengen menyorot pemakaian mitos lokal yang bagus banget di buku ini. Penulis memakai istilah "Wayang" sebagai nama satu ras, dan menciptakan musuh-musuh yang diambil dari mitos lokal yang nggak banyak diketahui. ambil contoh Den Sambang, Den Poto, Den Naga, Werijal. Hebatnya lagi, penamaan ini dipakai dengan ngepas banget, mendukung suasana ceritanya, dan nggak berasa 'asal tempel' hanya supaya cerita ini mengandung muatan lokal.

Istilah-istilah yang diciptakan juga keren banget, misalnya satjamas untuk menyebut semacam kesaktian dan tenaga dalam, layang tangan untuk satuan ukur, adas nira untuk menamai ramuan, dan yang wow banget, Sumping Khundup Makota Galangan Neraka untuk menyebut hiasan kepala Setesuyara.

Wuehehehe... Garuda 5 karya Om Soto(y) punya saingan di dunia persilatan perjadulan pemakaian muatan lokal nih!

Nggak semua istilah itu asalnya dari budaya Indonesia sih. Penulis juga mengambil beberapa nama Sansekerta, misalnya Dhanvantari, Nasatya, Parashurama, Kakeeya. Ada juga Macha dan Tir yang jelas dari mitologi Celtic. Ada beberapa nama yang rasanya agak out of place, misalnya tanaman yang disebut Sayap Icarus, mengingat ga ada nama Yunani lain yang dipakai di cerita, tapi toh satu nama ini nggak merusak bangunan dunia.

And then, ada satu-dua nama yang plain weird. Bloemkoli (tanaman persilangan bunga kol dan brokoli), dan Frumlati (nama sejenis makanan yang kayak gula-gula kapas). Kreatif banget, hanya saja rasanya sedikit salah tempat. Too whimsical for the setting.
  
Dan yang paling salah tempat dari semua menurutku adalah nama Kapten WaGa. Iyah, "G"- nya itu ditulis pake huruf kapital. Maksudnya? Nggak ada penjelasan. Minor sih, tapi tiap kali ngebaca nama si kapten, aku langsung ngepelesetin namanya menjadi WaGu, atau Wagamama Fairy Mirumo de Pon, dan mulai mengkhayal kalau si Kapten adalah peri yang muncul dari mug susu coklat.

Bicara soal nama-nama, gimana dunianya? Imajinatif dan bagus--kalau pas deskripsinya lagi jelas. Dari konsep prana dan satjamas, terus upacara kedewasaan, penggambaran makhluk-makhluk dan tempat, banyak yang keren. Contohnya:
  
Tanpa peringatan apapun, cukup mengejutkan, senjata itu bergerak, agak terlihat mekanik dan terarah, lalu membentuk sebuah wajah. Alisnya yang tebal terdiri dari dua buah kampak besar. Kedua matanya yang bergerak terbuat dari dua buah pisau pendek berbilah tiga dan dua celurit. Hidungnya terdiri dari satu pedang berulir naga dan kampak pendek dua arah. Mulutnya terdiri dari dua buah vajra yang dapat membuka dan menutup. Wajah itu mengingatkan mereka akan wajah seorang raksasa yang beralis dan berbibir tebal, hidung besarnya sedang mengendus sehingga lubang hidungnya terlihat membesar dan mengecil. (hal. 411)


Ini menggambarkan seorang penunggu pulau, saat ia membentuk wujudnya dengan menggunakan senjata-senjata. Keren banget. Deskripsi paling keren di sepanjang buku.

Kalau cuma dari deskripsi dunia, mungkin cerita ini akan kumasukkan dalam kategori keren banget. Masalahnya, seperti yang kubilang pada repiuku di Goodreads, dunia yang bagus ini diceritakan dengan cara yang kurasa nggak enak karena dua hal.

Pertama adalah bahasanya, seperti yang sudah kucontohkan di atas, penulis kadang memakai perumpamaan yang nggak ngena. Atau kalimat yang rancu. Atau penggunaan kata yang bertele-tele muter-muter padahal maksudnya simpel, atau -- ini hobi penulis Indonesia yang jujur aja aku nggak suka -- menyelipkan petuah-petuah dan filosofi-filosofi yang 'pura-puranya' dialog, tapi kelihatan banget niatnya ngasih petuah panjang lebar, atau memampangkan filosofi yang dianggap benar oleh si penulis.

Cek halaman 162-172. 'Dialog' 10 halaman ini berisi filosofi 'pembelaan imajinasi atas logika'. Benernya aku agak setuju sama masalah satu ini (bahwa imajinasi itu sama penting dengan logika, bukan imajinasi itu lebih penting daripada logika, seperti yang disiratkan si penulis.) Tapi cara penyampaiannya harus gitu ya, di dalam dialog  / monolog panjang yang jelaaaaaas banget tujuannya memberi petuah ke pembaca?

Tiba-tiba ada orang di deret audiens yang ngangkat tangan. "Ehm, Mbak Luz, ngebedain dialog petuah / sisipan filosofi sama dialog beneran caranya gimana?"

Pertanyaan bagus. Caraku gini: perhatikan dialog itu baik-baik. Apakah saat membaca dialog itu anda merasa yang berbicara adalah si tokoh sendiri, atau si penulis yang menjadikan para tokoh sebagai corong suaranya?

Sekali lagi, nggak masalah kalau penulis mau menjadikan ceritanya sebagai sarana untuk menyampaikan pendapat. But please, jangan telanjang gini dong. Paling males deh kalau baca buku cerita, tau-tau si penulis kelihatan banget berganti moda dari moda tukang cerita ke moda dosen. Ampun deh. Aku tu beli buku cerita mau baca cerita, bukan mau dikuliahi!

Hal kedua yang jadi turn-off aku sama cerita ini adalah plotnya sendiri. Asli bingung maksudnya apa, saking gejenya, aku merasa bahwa seluruh buku ini cuma galeri imajinasi si penulis. Bagus dunianya, penggambarannya keren, tapi nggak jelas ceritanya.

Plot sebenernya terdiri dari dua cabang besar, seperti yang disebut di sinopsis. Satu cerita Meara, satu cerita Una. Premisnya sih menarik, tapi cara berceritanya nggak lugas. Salah satunya karena masalah bahasa seperti yang sudah kusebut diatas. Plotnya cuma kayak bayang-bayang di balik deretan kalimat  dan fragmen cerita yang dibuat si penulis. Aku jadi nggak megang cerita sebetulnya arahnya ke mana, maunya gimana, intinya dimana, dengan siapa, semalam berbuat apa.

Belum lagi rumus Mendadak Dangdut Sakti yang diterapkan penulis. Meara dibawa dari dunianya ke dunia lain, dan tahu-tahu bisa memakai kekuatan ajaib. Kenapa? Karena dia dipilih menjadi Avatar (ga ada kaitan sama filmnya James Cameron,) dan dia memiliki imajinasi tinggi.

Aku punya penjelasan yang lebih bagus: karena dia self-insertion pengarang yang pengen berada di dunia dimana imajinasi menguasai segalanya.

Dan ending? Gantung banget. Gantung dalam arti aku jadi merasa seluruh cerita ini nggak ada maksudnya. Meara ditarik ke dunia lain. So what? Una melakukan perjalanan. So what? Apa ngaruhnya, kalau semua cerita itu jadi 'kosong' karena setelah membaca, aku nggak merasa dapat apa-apa?

Seperti biasa, jawabannya adalah jawaban tipikal fiksi fantasi Indonesia.

"Oh, ini plotnya nggak jelas karena memang masih seri pertama. jadi ceritanya belum lengkap. Ntar ada sekuelnya kok. Semuanya akan dijelaskan di sekuelnya."
 
Cape deh.

Hal terakhir yang mau kusebut adalah bahwa buku ini nggak mencantumkan nama editor. Apa ga dicantumin atau memang ga ada, ga tau deh. Yang pasti, kalau buku ini nggak ada editornya, aku bakal bilang, "Pantas aja." Mungkin maksudnya nggak pake editor adalah untuk membebaskan imajinasi penulis sebebas-bebasnya, biar gag usah dikekang sama editor (apalagi pembaca sinisotoy) cerewet yang nggak ngerti apa-apa tentang dunia imajinasi di kepala penulis.  

Duh. Iya deh. Aku memang cuma orang sinisotoy yang ga tahu apa-apa yang terjadi di kepala si penulis.
 
Cuma, kalau buku ini sudah dirilis, pasti orang-orang juga yang menilai. Dan yang sinisotoy barangkali bukan cuma aku. Jadi mengapa nggak membiasakan diri dengan editor sejak awal?
 
Pertanyaan terakhir. Apakah buku ini layak diburu? Tergantung apa yang anda cari. Kalau nyari deskripsi, bangunan dunia yang keren, muatan lokal yang ga berasa asal tempel, buku ini bisa memberi inspirasi. Tapi kalau nyari cerita bagus...
  
Yah, aku nggak suka ngasih saran "jangan beli" sih, jadi saranku adalah, beli saja buku ini, gali insiprasi di dalamnya, dan coba buat cerita anda sendiri.



Luz B.

29 komentar:

Anonim mengatakan...

dejongstebroer : TATANAMA yg unik dan menayik,,, indonesia banget tuwhhhh!!!
wkwkwkwk
gaya bahasa yg filosofis tp mbulet2???? penasaran nih,,,

Anonim mengatakan...

dejongstebroer : oiya, repiuanku ttg BAYANGAN LENGGINI udah selesai, ke mana ya kirimnya biar bisa dimuat di fikfanindo???

Anonim mengatakan...

mas, aku punya cerita fiksi, belum slesei sih tapi, aku masih bingung ntar kalo uda slese gmana caranya ngirim cerita fiksi ku itu ke penerbit,
thx ya mas, untung nemuin blog ini, hehehehehe...

by aga di semarang .

Juno Kaha mengatakan...

@aga: Meskipun saya bukan si Mas yg punya blog ini aka Mas Pur, tapi mgkn saya akan mencoba membantu kalo soal terbit menerbit. Iya sih ... saya baru sekali ngirim ke penerbit, tapi kan ada ilmu yang dari hasil baca pengalaman mereka yang udah ngirim dan terbit. Hehe, abaikan saja masukan dari saya kalo dirasa kurang meyakinkan, Mas Aga. :D

Pertama kali yg hrs diketahui waktu mau ngirim naskah adalah penerbit mana yg memang jalurnya salah satunya adalah menerbitkan buku fiksi. Kan lmyn banyak juga tuh penerbit yang bergerak khususnya di bidang pendidikan, agama, komputer, etc. Kalau ada satu penerbit yang udah jadi target awal tapi gak yakin dia nerbitin karya fiksi lokal ato nggak, jangan ragu untuk mengirim email menanyakan soal terima naskah apa aja dan format/kriteria naskahnya gimana jika menerima.

*gini2 saya pernah ngirim email ke Gramedia, yak, tanpa menyadari bahwa di akun itu namanya sangat gak resmi yakni "Mantoel Toeink" Dibalas sih, tapi pas diingat2 lagi saya jadi malu udah ngirim pake nama gak resmi gitu*

Kedua, kalo udah dpt penerbit mana aja yg mau dikirimin, monggo dikirim sesuai format/kriteria yg diajukan msg2 penerbit. Kalau saya pribadi, krn saya orangnya sungkanan nolak, saya gak akan ngirim ke bbrp penerbit sekaligus. Beberapa orang yg saya tahu menganggap sah-sah saja mengirim naskah ke beberapa penerbit sekaligus, tapi untuk kasus yg satu ini, Mas harus agak tega sedikit menolak salah satu misalnya naskah Mas diterima dan akan diterbitkan oleh dua penerbit (kalo dikasih tahunya waktunya berdekatan bisa gini, tapi ada baiknya begitu tahu naskah diterima dan Mas sreg dengan penerbit tsb, kontak ke penerbit2 lain yg udah dikirimin naskah buat ngasih tahu bahwa udah diterbitin ama penerbit yg satu itu). Terserah aja Mas lbh suka yg mana.

Pengiriman naskah biasanya via pos. Banyak pihak yang sudah memberitahukan supaya hati2 dengan penerbit yang menerima kiriman naskah via email. Kalo saya ditanya kenapa alasannya, kemungkinan sih karena format digital jauh lebih mudah/beresiko diplagiat ketimbang format fisik. Kalo format fisik kan harus nyalin ato scan OCR (dan OCR kadang gak sebagus itu hasilnya) sedangkan kalo format digital, bnr2 tinggal blok, copas, edit format, cetak, dan si penulis asli termehek2.

Mudah2an menjawab pertanyaan Mas Aga. :D

@Mas Pur: Hoho, maaf saya mengambil alih pertanyaan yg ditujukan utk empunya blog ini. :D :D Tambahin aja kalo ada yg kurang. Toh situ yg bener2 udah pernah nerbitin buku, bukan saya. :D :D

@dejong: Ente terdengar sarkastis ... Komenmu soal tatanama unik dan menarik itu sarkasme ato beneran murni gitu maksudnya ...?

Hehe.

Diclonius 'Vina' Youichi mengatakan...

salam! aq anak baru disini! Mohon bntuan dri senior2 semuanya!

Wahahahahaha.. akhirnya,, ngeripiew cerita baru,, hehehe... liburan boring nih, gx da yg bisa dibaca di internet,, untung nemu blog ini, hehe.. jd punya bacaan baru,,

@mba luz, tolong repiew novel lanjutan aerial sih, judulnya..ambrosia, trus kemaren aq juga liat novel fantasi judulnya nuno and the revenge of the doomed omiyan,pengen beli cuma agx ragu pas baca sinopsisnya...

@mantoel : kalo diantara gramedia sama gagasmedia, kira2 mana yg lebih cocok kalo mw ngirim genre fantasi??

Luz Balthasaar mengatakan...

@dejong, coba pesen online ke pengarangnya bisa ga ya? Kalau repiuan Lenggini kasi ke Om aj. Klo Om sibuk, ke imelku, tar aku edit dulu baru kasih ke Om juga bisa.
__

@Aga, kalau nyari penerbit, coba ke Area 52. Mereka punya list penerbit, berikut mana aja yang nerima naskah fiksi.
__

@Juun, yuk ngirim lagiii~ XD
__

@Vina, Ambrosia? Nanti coba aku cari. Aku malah pengen coba repiu trilogi Magical Seira. Itu lebih baik sedikit dari Aerial, tapi ya... gitu deh, hehehe.

Soal Nuno blablabla Omiyan, aku udah baca buku itu. Aku agak segan ngasih saran 'jangan beli buku,' Jadi aku bilang saja bahwa firasat kamu layak didengarkan... XD


Luz B.

Anonim mengatakan...

Hm, aku cukup tertarik dengan tulisan seputar unsur filosofis-nya karena jujur aku juga sedang memper-smooth teknik ini. Selama ini, novel-novel fiksi-filosofis yang jadi panduanku adalah novel-novelnya si Abah Coelho, walau memang ini buku bukan genre fantasi. But it's still fantasy.

Yang pertama adalah Alchemist. Jelas ini buku preachy. Tokoh utamanya si boy juga polos dan lurus banget (sosok yang pantas buat di-preachy). Tapi aku suka. Banget malah.

Yang kedua adalah bla-bla-bla Piedra. Ini buku preachy juga dan aku ga suka. Tapi bukan dalam arti aku ga suka pesan yang hendak disampaikan, cuma aku ga suka cara penyampaiannya. Jadilah putus di tengah jalan.

Padahal jelas pengarangnya si itu-itu juga. Atau mungkin masalah setting? Ndak tahulah.

Kalo dari genre fantasi yang paling mengena buatku cuma Tanril. Maklum genre silat. Tapi kalo emang beneran fantasi medieval, ga tau deh, baik terbitan luar maupun dalam. Ada referensi, sis?

Heinz.

Danny mengatakan...

Emm, ngomong2 pisau berbilah tiga itu bentuknya gimana ya? Bingung ngebayangin posisi bilah sama gagangnya. ;)

Dan nuno itu kalo ga salah sekuelnya numeric uno kan?

Villam mengatakan...

good review, luz. :-)

tapi soal editor itu, yup, elu emang udah masuk area nge'judge' yg berlebihan. adalah benar bahwa penulis butuh editor, tapi bukan berarti kita bisa menuduh penulisnya begini dan begitu. kita gak tau 'struggle'nya penulis seperti apa kan?

but thats okay, anggap saja itu sbg bumbu review ini. :-P

Luz Balthasaar mengatakan...

@Heinz, satu selera sama aku! Alchemist suka, Piedra nggak. Dimananya yang salah ya...

Maksudnya fantasi 'medieval-barat' yang nyelip-nyelipin unsur filosofis dan 'muatan tambahan' lain juga gitu ya? Aku belum pernah baca. Yang muncul di ingatanku paling Hozzo doang. Tapi itu space opera. Bukan fantasy-medieval.
__

@ Danny, pisau berbilah tiga itu mungkin maksudnya kalau nggak katar, kayaknya sai. Kayak yang dipakai Bu Elektra itu loh. Wuakakaka...
__

@Villam, Sebetulnya sih, aku nggak nuduh. Aku nggak ngejudge dia nggak pake editor lho.

Aku bilang ada kemungkinan dia nggak pake editor. Dan kalau dia gag pake editor, barangkali alasannya seperti yang kuuraikan.

Sebagai orang yang juga belajar menulis, aku tahu struggle penulis itu seperti apa.

Salah satunya adalah 'rasa' tidak ingin dikekang itu. Aku sering mengalaminya, dan berkat 'teman-teman' editor-of-sorts-ku itulah aku belajar memahami dan mencari cara untuk menempatkannya.

Ditambah lagi, kalau kita membaca bukunya sendiri, ada banyak sekali bagian tersirat maupun gamblang yang isinya pemberontakan imajinasi atas kekangan logika.

You have read the book, haven't you?

Ketidakpuasan tersirat penulis akan dominasi logika, ditambah pengalamanku pribadi, dan komen penulis bersangkutan di blognya, memberi dasar padaku untuk mengemukakan kemungkinan seperti itu.

Sebab itulah aku bertanya, thought process macam apa yang dipakai hingga bagian itu layak 'dijudge' sekedar "bumbu"?



Luz B.

Diclonius 'Vina' Youichi mengatakan...

@mba luz, hehehehehe.. okehlah.. ditunggu reviewan selajutnya,, iy sih, denger3 magical, magical itu lbh keren dripda aerial, tpi gx tw jga y,, jujur aja sih, aq agx kurang suka novel fntasi yg tkoh utamanya cwe, *kecuali nocturnal* yg emnk keren,,, hahahahaha... ^^a

nurut aja deh ama saran mba luz, hehehe.. ikutin kata hati,,, ^^
temenq juga ada yg kebetulan beli,,, barusan minjem, tpi udh gx mood baca, soalny bnyk kesalahn typo, trus ceritany (menurut)q, enth kenp agx2 kyk HP gtu.. *ato cuma perasaanq*?? O.O


@danny : aq baca sih begitu,,, emnk numeric uno itu kyk mana?? = =
jdi nuno ni sequelny ato editanny??

FA Purawan mengatakan...

@Danny, setahu gue Nuno adalah rewriting dari Numeric Uno.

Salam,

FA Pur

Diclonius 'Vina' Youichi mengatakan...

@mas pur, jadi rewriting tu mksdny penulisan ulang, gitu??

Anonim mengatakan...

@Luz
Waduh Hozzo sih udah jadi barang langka kali ya?
Emang kalo terbitan luar juga jarang banget?

@bang Pur
Tentang rewriting itu maksudnya ditulis jadi sesuatu ada sesuatu yang baru ato cuma edit kanan-kiri doang ato....
Ah, maksudnya gini aja: ada perubahan major ato minor ato cuma judul & sampul aja yang diganti?

Heinz.

Juno Kaha mengatakan...

@Diclonius: Hm. Gramedia ama Gagas yah? Sebenernya agak bingng gw jawabnya nih krn pengetahuan gw soal fikfan lokal yg udah diterbitin ama dua penerbit itu minim. Setahu gw yg tergolong fikfan lokal dan udah diterbitin Gramed tu Married With Vampire--tolong dikoreksi lagi judulnya. Gagas Media seingat gw ada lbh banyak fikfan lokal, tapi ingatan gw gak menolong saat ini.

Kalo mau coba alternatif lain, belakangan ini para penulis fikfan lokal ngirim naskah ke Adhika Pustaka. Salah dua yg udah mereka terbitin tu Akkadia: Gerbang Sungai Tigris (eaa, lancang kan gw yg promosi bukan pengarang benerannya yg emang udah nongol di mari) ama Xar&Vichattan: Takhta Cahaya. Dua2nya pernah dibahas di blog ini.

@Luz: Mari. Dengan firepower yg lbh dahsyat (baca: sudah direvisi sedemikian rupa hingga lbh ramah editor).

@Danny(dan Luz): Gw lsg mikirnya kalo pisau bermata tiga tu kayak pisaunya Tri-Edge/Azure Flame Kite yg ada di game .hack//G.U. Itu bnr2 triple-bladed yg bisa motong, gak buat nusuk2 kyk tsai/trisula punya Elektra.

Hehe.

Anonim mengatakan...

@mantoel : Thx mas atau mbak yang punya nih nama, bagus bener sarannya !! Te-O-Pe !! Trus punya FB atau e-mail nggak ? Kalau misal bisa sharing tentang cerita fiksi ?
@Luz : Mr or Mrs Luz ini cewek apa cowok sih ? soalnya pas pertama kali liat namanya kayak cowok ?! (WOW !!) tapi nggak tau kalo cewek. Tapi terima kasih yang sebesar-besarnya buat Mr or Mrs Luz, sarannya Te-O-Pe juga !! Good Luck buat ngerepiu buku fantasi indonesia teruuuus !! MAJU NOVELIS INDONESIA !!

by aga di semarang lagi :P

Diclonius 'Vina' Youichi mengatakan...

@mantoel , kemaren q dpet informsi kalo gagasmedia fokus ke novel romence (-__-), kalo gramedia kan kemungkinan diterima (kalo karya q) kykny cuma 10%,,,, tapi kykny aq pengen nyoba ngirim ke andhika pustaka,, katany desain sampulny juga bagus,,, tpi masalahny tinggal, apakah karya q diterima ato enggak??? hehehehe...
tpi coba kirim dulu deh... ^^
thnkz buat infrmny... haha..

Juno Kaha mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Juno Kaha mengatakan...

@Mas Aga: FB/email ada kok. juunishi_master@yahoo.com tapi krn di sana jd byk masuk notification FB, gw malah jadi malas buka. Msh lbh sering buka gmail (juunishi.master@gmail.com) :D :D Hm, kalo sharing, cuma berdasarkan pengalaman ama belajar sendiri doang. :D Bnr2 gak ada latar belakang pendidikan sastra/jurnalistik, gpp nih? :P Merasa kurang kompeten aja sih.

@Diclonius: Ahaha, saya hanya berusaha membantu sebisanya kok. :D Adhika Pustaka, betul sekali, saya juga ngefans banget ama kover2nya yg ciamik. :D :D

*psst, ini mungkin cuma perasaan gw, tapi ada banyak penerbit di Yogyakarta yg kalo gw liat2 bisa dibilang "blm pny nama" tapi mereka sepertinya berani nerbitin berbagai genre*

Btw, reply komen gw sblmnya gw hapus krn mau gw ganti isinya. :P Mohon maaf atas ketidaknyamanan yg ditimbulkan.

Hehe.

Danny mengatakan...

@Om Pur: Rewriting? Jadi novel yang sama tapi ditulis ulang, gitu ya Om?
Kira2 seberapa banyak bedanya dari Numeric Uno yang lama (kalo Om pernah baca)?

FA Purawan mengatakan...

Kebetulan, yang lama aku belum baca jadi nggak bisa ngasih perbandingan.

Yg baru juga belum selesai baca karena perhatianku kesabet sama judul-judul lain, let's say.. yang lagi gue bikinin reviewnya sekarang (wink-wink), juga ada Biru Indigo yang akan jadi my next review,...

Mungkin rekans yang udah baca Numeric Uno bisa kasih komentar.

Kalau buku lain karya pengarang yg sama, sebetulnya udah pernah direview di sini. coba cari review RANAH 9.

Salam,

FA Pur

Diclonius 'Vina' Youichi mengatakan...

@mantoel, hehehe.. gpp kok.. iy sih.. akadia tu terbitnny kan? koverny sih kalo diliat emnk oke.. :3, pengen noba ngirim kesana jga sih.. hehe..

sayang di tempat q gx da penerbit novel...

FA Purawan mengatakan...

Dari review Luz: ...dari mulut Una yang terbuka lebar-lebar keluarlah semburan suara berdesing seperti kembang api yang baru saja diluncurkan. Suara ini sebenarnya berisikan mantra pemupus nyali. Bentuk semburan suara itu terlihat seperti api dan lahar berwarna merah terang. Pancaran keras bagaikan gunung yang meletus itu menghantam dada Den Poto di depannya. (hal. 96)


Oke, ini satu lagi contoh analogi yang kejauhan. suara diumpamakan seperti semburan kembang api, dan digambarkan berwujud seperti lahar. Sekarang bayangkan orang berteriak dan dari mulutnya keluar sesuatu berwujud kembang api dan lahar. Aneh gag? Buatku, aneh sekali.


Luz, kalau dari teks yang disunting, kupikir adegan penyemburan itu dimaksudkan memang secara harafiah ada sesuatu yang disemburkan, entah ajian lava droolnya itu,... makanya ada kalimat menghantam dada Den Poto.

Kalau merupakan kiasan, kan mustinya redaksi efeknya jadi 'menghantam telinga', toh yak?

FA Pur

Dewi Putri Kirana mengatakan...

@Om Pur: Aku juga setuju kalau paragraf itu bukan kiasan, tapi menurutku, sebagai analogi ataupun penggambaran nyata, penggambaran yang dipakai pengarang malah cenderung membingungkan, karena ada kalimat semburan suara berdesing seperti kembang api yang baru saja diluncurkan. Kemudian Bentuk semburan suara itu terlihat seperti api dan lahar berwarna merah terang. Jadi jelas kalau pengarang semula menggambarkannya sebagai "suara" yang kemudian "terlihat" seperti lahar, terus lahar yang cuma "kelihatannya" ini ternyata cukup nyata dan solid sampai bisa menghantam dada Den Poto di depannya

Kalau aku pribadi sih ga kebayang, gimana caranya suara bisa jadi kelihatan kayak lahar, trus bisa jadi cukup solid ampe bisa nabrak orang 0_0

Luz Balthasaar mengatakan...

...keluarlah semburan suara berdesing seperti kembang api yang baru saja diluncurkan

Penggunaan kata "seperti" disini menunjukkan suatu perumpamaan. Istilah (sok) teknisnya, simile.

Jadi ini perumpamaan. Dia menggambarkan suara dengan mengumpamakannya seperti kembang api.

Tapi berikutnya, waktu dia mulai bilang "bentuk semburan suara itu terlihat seperti api dan lahar berwarna merah terang," barulah dia menggambarkan bentuk suara itu kayak lahar.

Makanya aku bilang begini,

Oke, ini satu lagi contoh analogi yang kejauhan. Suara diumpamakan seperti semburan kembang api, dan digambarkan berwujud seperti lahar.

Aku nyadar kok kalau dia bermaksud menggambarkan suara itu memiliki wujud.

Cuma, pertama-tama, deskripsi itu dimulai dengan perumpamaan. Dan yang kedua, suaranya itu tetep suara. Bukan lahar dan api beneran. Penyerupaan suara dengan api dan lahar itu seharusnya melibatkan proses analogi, sekalipun analogi yang barangkali... aneh.

Ajian Beler Lahar~! Hiyaaat~!



Luz B.

Luz Balthasaar mengatakan...

Oh ya, tambahan biar nggak bingung, analogi itu beda dari majas / perumpamaan.

Analogi adalah suatu proses berpikir yang melibatkan pemindahan kualitas yang serupa dari satu hal ke hal lain.

Jadi, baik perumpamaan maupun penggambaran harafiah itu melibatkan analogi.


Luz B.

Anonim mengatakan...

Nice review, mba. Saya jadi pengen baca. Kayaknya bagus nih buat referensi untuk membangun setting dunia dan deskripsi.


Adrian.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Adrian, beli aja. Cari di eX, atau pesen dari penulisnya mungkin bisa. Ada alamatnya kan di link Goodreads yang kukasih?

Aku sendiri pengen nyimpen Nadi Amura-ku. Memang buku ini nggak kukategorikan bagus, tapi dalam masalah keunikan ide, aku tepuk tangan deh.


Luz B.

Anonim mengatakan...

@Luz

Yeps ^^ Ada di sana ada link ke website penulisnya juga. Thanks, mba :)



Adrian